"Mmmmmm!" Gadis itu berteriak, namun tertahan oleh mulut Akara. Ia benar-benar melumatnya dengan buas, sambil menahan kedua tangan gadis itu di atas kepalanya menggunakan satu tangan. Tangan lainnya ia gunakan untuk memegangi dagu kecilnya, lalu satu kaki di antara kakinya. Posisi kakinya selain untuk mengunci dan menghindari tendangan, juga melemahkannya dengan menekan selangkangannya.
Sambil terus berusaha memberontak, mata tajamnya perlahan-lahan mulai sayu. Pergerakan tubuhnya juga melemas, diikuti oleh menetesnya air mata di pipinya. Melihat mangsanya tak berdaya, Akara lalu melepaskan ciumannya. Gadis itu langsung terduduk lemas di lantai, dengan pandangannya yang rendah, menatap kepergian pemuda yang mencuri ciuman pertamanya.Baru beberapa langkah berjalan, ada kilatan petir tipis, namun bercabang memenuhi langit-langit kota. Listrik berwarna ungu cerah, disusul suara ledakan yang gemlegar."Apa yang terjadi?" tanya Alan pada pemuda di depannya.Auman dan rintihan kesakitan begitu memekikkan telinga, bahkan tidak sedikit yang teriris hatinya. Akan tetapi, mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Tidak ada satupun yang berinisiatif menolong, walau raut wajah mereka nampak begitu mengasihani. Ia terus di cambuk, bahkan sampai merobek membran sayapnya.Akara yang melihatnya langsung terbelalak, matanya melotot sangat kesal dan tanpa sadar energi dingin keluar dari tubuhnya. Mengetahui hal berbahaya itu, Alan dan Lemon langsung meraih tangannya dari kedua sisi."Bahaya! Jangan dilakukan!" bisik Alan dengan sedikit geram.Akara tidak menjawabnya, namun tubuhnya terus berontak hingga condong ke depan."Bersabarlah!" Kini giliran Lemon yang berbisik di telinganya. "Ingat tujuanmu! Kekuatanmu masih lemah! Apa kau lupa tentang gadismu!? Siapa yang akan menjemputnya!? Siapa juga yang akan membalaskan dendam ular raksasa itu!?" Akara lalu melemaskan tubuhnya, namun pandangannya tetap tertuju pad
Seleksi kompetisi menempa sudah dimulai, tidak hanya peserta dari dunia ini saja, namun dari berbagai dunia fana yang mengikutinya. Ada dua orang yang paling mencolok, aura alkemisnya yang membuat semua orang menatapnya dengan kagum. Aura yang bukan lagi pecahan pola unik, namun sudah menyatu membentuk lingkaran. "Dengan usia semuda itu mereka sudah bisa memadatkan aura alkemis tingkat lima!?""Itu tetaplah luar biasa walau mereka seorang abadi di ranah Asmaradana. Para master aura lainnya di ranah Gambuh saja belum tentu bisa memadatkan aura alkemis tingkat lima," sahut seseorang.Selain memiliki aura alkemis tingkat lima, mereka sama-sama menggunakan elemen Magma untuk menempa. Slamet Kopling, seorang pemuda bertubuh kekar yang merupakan murid langsung dari Yog Aren, raja kota Gnome. Di sisi lain ada Jarl Kalala, seorang pemuda berambut merah dengan tubuh atletisnya. Ia adalah peserta dari dunia Magna. Gerakan yang dilakukan keduanya saat ini menempa hampir sama. Tangan kiri merek
"Tidak mungkin, anak itu!?" tetua satu terbelalak melihat cahaya ungu cerah yang muncul. "Ranahnya masih di tingkat Sinom, tidak mungkin itu aura alkemisnya asli," sahut tetua dua. Perkataan yang sama dilontarkan oleh Jarl Kalala kepada Slamet Kopling."Semoga saja," jawab Slamet Kopling yang masih ragu-ragu. Mereka melanjutkan menempa, namun murid dari Yog Aren itu masih tidak tenang. Pandangannya sempat kosong saat menempa senjata, hingga akhirnya tersadarkan oleh gelombang energi yang muncul dari arah Jarl Kalala. Pemuda itu telah berhasil menempa sebuah kampak dua sisi."Jarl Kalala berhasil menempa paling cepat! Senjata kampak level empat tingkat Kaisar!" seru tetua ketiga yang menjadi komentator.Beberapa peserta yang merasakan gelombang energi darinya jadi terdiam. Mereka sedang kesulitan, malah ternyata ada yang bisa berhasil dengan mudah. Fokus mereka sudah hilang saat mentalnya goyah, hingga akhirnya Slamet Kopling menyusul."Posisi kedua dimiliki oleh Slamet Kopling, sebua
Hari yang dinantikan oleh para penempa telah dimulai. Master penempa dari berbagai dunia dan puluhan ribuan antusiasnya telah memenuhi tribun yang mengelilingi Altar penempa, tempat di mana Raja kota Gnome biasa melakukan latihan dan menempa. Altar dengan luberan magma di tengah-tengah layaknya mata air, kini sekitar tujuh peserta tersisa yang akan melakukan kompetisi. Mereka sudah berjejer mengelilingi Altar, dengan tungku pembakaran di depannya. Sedangkan para penonton ada di tribun yang mengelilingi Altar, dengan posisi yang lebih tinggi dan kawah magma yang menjadi batasnya. Seperempat tribun, memiliki posisi yang lebih tinggi, juga sekat pemisah dari tribun penonton biasa. Ada beberapa kursi besar layaknya singgasana yang berjejer, namun memiliki jarak satu meteran. Di kursi yang berada di tengah, ada seorang pria bertubuh besar dan kekar bernama Yog Aren. Raja kota Gnome duduk dengan santai dan di sampingnya ada gadis sebelumnya. Gadis yang Akara ambil ciuman pertama
"Ada apa dengan peserta Agera!? Peserta lainnya sudah bergegas kembali, namun ia baru saja berjalan untuk mengambil bahan!" seru komentator saat Akara masih berjalan santai, berpapasan dengan peserta lainnya yang berlari. "Setelah cukup lama mengamati, apa yang akan ia ambil!?"Akara lalu mengambil sebuah batu yang membuat komentator terkejut. "Bahan tingkat Empat!? Slamet Kopling dan Jarl Kalala memaksimalkan potensinya dengan mengambil bahan tingkat Lima, apa yang terjadi dengannya hingga memilih bahan tingkat empat? Apakah dia akan menyerah sebelum berperang!?"Api telah berkobar di setiap tungku pembakaran, namun Akara masih berjalan santai. Ia bahkan melirik para peserta yang sudah mulai membakar bahan batunya. Saat sampai di tungku pembakarannya, ia melirik ke arah Slamet Kopling dan Jarl Kalala. Posisinya mereka bertiga yang jika ditarik garis lurus akan membentuk segitiga sama sisi.Komentator kembali mengomentari Akara yang sudah mulai b
Semburan magma terfokus pada bilah kampak besar di dalam tungku, lalu saking derasnya hingga membuatnya menyiprat. Cipratan magma panas yang menyebar setelah mengenai bilah, menghujani para peserta lainnya. "Orang gila!" Umpat para peserta sambil melambaikan salah satu tangan ke atas, menciptakan energi pelindung."Apa yang terjadi!? Slamet Kopling mulai membuat suasana kompetisi jadi memanas!" "Dasar! Kau mendahuluiku!" Jarl Kalala juga membuat segel tangan, kemudian muncul aliran magma yang dengan lembut mencuat ke atas dari kawah. Layaknya sungai langit milik Bento Besiah, namun ini berupa magma yang mengalir deras di udara. Masuk ke dalam tungku pembakaran dan membasuh bilah pedang yang ia buat, lalu keluar lagi dan ia arahkan pada Akara. "Rasakan!" gumam gadis berambut merah di tribun VIP, ia menahan diri untuk bersorak gembira karena identitasnya."Huh?" Pemuda berjaket hitam itu dengan santai mengibaskan satu tangannya, membuat
Disaat mereka menatapnya dengan terbelalak, Akara hanya menaikkan salah satu ujung bibirnya. Ia tersenyum menyeringai, disusul oleh aliran energi yang mengalir di sekitarnya. "Apa yang terjadi!?" Aura Alkemis yang selalu ia sembunyikan, membuat para penonton mati penasaran. Sambaran listrik yang lebih besar daripada milik Jarl Kalala, membuat mereka menerka-nerka dengan yakin bahwa Akara memiliki aura Alkemis tingkat enam. Mereka tidak menebak lebih tinggi, karena Raja penempa saja baru sehari sebelumnya aura alkemisnya naik ke tingkat tujuh.Aliran energi yang masuk ke dalam bilah pedang milik Akara, membuat kedua lawannya tersadar dari keterkejutannya. Mereka juga menggunakan Aura Alkemisnya untuk mengalirkan energi alam ke dalam senjata tempaannya. Pukulan palu kembali mereka layangkan, hingga suara dentuman besi memenuhi altar penempa, dengan aliran energi yang terus mereka jaga kestabilannya."Mulai?" Jarl Kalala mengajak Slamet Kopling. Setelah dija
Energi itu masuk ke dalam senjata, bergerak dan meninggalkan bekas layaknya ukiran di bilahnya. Kini Akara tidak lagi merasa tertekan oleh gravitasi dari aura lawannya. Malah kini mental kedua lawannya yang tertekan saat melihat reaksi Raja Penempa. "Ntah seperti apa teknikmu itu, namun tidak akan aku biarkan kau menginjak-injak harga diri guruku!" Slamet Kopling melakukan segel tangan, diikuti oleh Jarl Kalala yang meliriknya sekilas. Kini di atas mereka muncul lingkaran sihir, dengan aksen kotak-kotak dan warna merah kecoklatan milik Slamet Kopling, lalu warna merah menyala dengan aksen lembut yang berubah-ubah layak api milik Jarl Kalala. Tidak ada saling ganggu lagi, ketiganya hanya fokus pada senjata yang mereka tempa. Suara bising dentuman besi sekaligus gesekan energi dengan udara, memenuhi altar penempa, menyajikan keindahan warna dari aura dan lingkaran sihir mereka. Semuanya berjalan begitu lancar, hingga akhirnya ada embun es berwarna putih d
Alhamdulillah selesai Season 1! Terima kasih buat yang sudah mendukung Author, semoga terhibur dengan imajinasi saya. Mohon maaf bila banyak kesalahan author, baik penulisan kata-kata yang kurang berkenan di hati para pembaca ataupun yang lainnya. Para pendukung semoga sehat selalu dan dilancarkan rezekinya, jadi dapat terus mengikuti perkembangan author dan Akara. Author akan hiatus dulu dan akan mulai kembali bulan depan, semoga diberikan kelancaran untuk semuanya. Oh iya, Author sarankan untuk membaca ulang Arc 1 (bab1-52) percayalah, ada rencana bagus yang Author siapkan untuk Akara. ******* Penguasa Dewa Naga Season 2 Takdir merenggut semua orang terkasihnya, membuat kekuatannya lepas kendali dan menciptakan lubang hitam. Dirinya terhisap ke dalam lubang hitam, lalu muncul kembali di dunia yang dipenuhi oleh api dan kekerasan. Neraka? Seperti itulah gambaran dunia ini. Dengan ingatan yang masih membekas, Akara mencari cara untuk keluar dari dunia itu. Menggunakan nama samaran
Pemuda dengan pakaian compang camping penuh luka bakar dan menenteng sepasang pedang kayu hitam, muncul di atas sebuah sungai, di belakangnya ada gua di bawah air terjun yang sudah hancur. Ia lalu melihat ke arah hilir sungai, pemukiman di pinggir bantaran sungai sudah hancur berantakan, dengan pepohonan raksasa yang ambruk dari hutan di belakangnya. Selain tubuh manusia yang berserakan, juga banyak binatang sihir raksasa yang kondisinya tidak jauh berbeda. "Tuan Agera!" teriak seseorang yang wajah dan tubuhnya penuh bekas luka, namun kali ini banyak sekali tambahan luka di tubuhnya. Ia tertatih-tatih mendekat, lalu melesat terbang mendekati pemuda itu. "Marbun Bidara! Kekaisaran Gletser Abadi!"Akara langsung menoleh ke samping, kesadarannya langsung mendeteksi ribuan mil di depan sana. Wush!... Dalam sekejap, ia sudah berada di atas gletser kutub, meninggalkan robekan ruang yang gelap di udara, seakan menggaris langit sejauh ribuan mil. Gleng!... Ia melompat turun, membuat cekung
447Walau tubuhnya masih penuh luka bakar yang mulai mengering, ia mengangkat satu tangannya ke atas. Wush!... Ketiga Auranya menyala, membuat hembusan energi dan seketika energi meluap keluar dari tubuhnya, membentuk aliran energi yang bergerak ke atas. Enegi itu membentuk lingkaran energi besar yang memiliki pola rumit layaknya di atas altar teleportasi. "Kau ingin kabur!?" Sonic Boom terbentuk di belakang Rose, sambil mengulurkan satu tangan ke depan dan segera diselimuti oleh energi merah berbentuk cakar. Akan tetapi, lingkaran teleportasi sudah sepenuhnya menyala dan Whup!... Para master Alkemis menghilang, namun ternyata Akara masih berada di sana. Cring!... Ia menangkis cakar rubah menggunakan pedang kayunya sambil tersenyum menyeringai."Sudah aku bilang, aku akan membunuhmu!"Wush!... Rose melesat menjauh bagaikan bayangan, namun Akara langsung berada di depannya. Mereka melesat hingga luka bakar di tubuh keduanya terlepas sendiri-sendiri. Akara terus mengincar lehernya, mem
Laser menembus energi pelindung dan langsung menerpa tubuhnya, cukup lama laser bersinar hingga akhirnya padam. Gelombang radiasi panas masih memenuhi angkasa lepas, lalu ada bongkahan batu yang menyala merah. Krek!... Batu itu retak dan tidak lama kemudian hancur, muncullah pemuda berjaket hitam di dalamnya. Walau tubuhnya diselimuti oleh Esensi Surgawi, namun pakaian dan tubuhnya penuh luka bakar. "Apa aku bilang!" seru Komo, namun tuannya masih terlihat santai dan meraih kedua pedangnya kembali. Akan tetapi.."Agkh!" Ia langsung memegangi dadanya dan tatapannya begitu tajam melihat ke arah gadis rubah di depannya. "Ada apa Akara!?"Ia menjawabnya sambil menahan emosi dan giginya mengatup karena sangat geram. "Kubah pelindung di kota Bhinneka telah hancur, bahkan yang menyelimuti Gua Pelindung Harapan juga hancur!"Rose lalu tertawa puas, seolah-olah dia dapat mendengar apa yang Akara katakan. "Apa kau merasakannya!? Pasukanku telah menemukan keberadaan kekasih fanamu! Para gadism
335Di angkasa lepas yang gelap dan dihiasi cahaya bintang. Bruak!... Rose kembali tertahan oleh dinding transparan dan Akara langsung berada di depannya, memukul hidungnya dengan sekuat tenaga. Dinding transparan langsung hancur dan gadis itu terlempar ke belakang. Akara ingin membuat dinding transparan lagi, namun segera ada energi kematian yang menyelimuti tubuh Rose. Gadis itu tidak lagi menabrak dinding transparan dan menembusnya. Akan tetapi, Akara tetap muncul di depannya dengan mengayunkan pedangnya. Tring tring!... Benturan pedang dan cakar rubah menciptakan percikan api, lalu mereka saling menyerang sambil terus melesat. Bugh!... Rose menendang perut Akara hingga terlempar mundur, namun pemuda itu langsung berteleport di belakangnya. Crang!... Ia mengayunkan pedangnya, ditahan oleh selendang, namun tetap membuat meluncur jauh. Ia kembali berteleport dan menendang punggungnya, hingga melenting sebelum terlempar. Gadis itu terlempar menuju planet di dekatnya, terbakar saat mem
Kubah pelindung arena bergetar hebat, membuat semua orang menoleh, termasuk para penyandera dan yang di sandera. Pria bertopeng kucing oranye sempat melirik leher penyandera, namun getaran itu tidak berlangsung lama. ...Di dalam arena, bongkahan batu tadi sudah menyala merah layaknya bara api. Sedangkan Rose diselimuti oleh selendangnya yang perlahan-lahan membuka. Ia terkekeh saat melihat sekitarnya dipenuhi asap bekas terbakar. "Kau bodoh! Membakar seluruh tempat hanya akan membunuh dirimu sendiri! Sekarang tidak ada lagi oksigen untukmu ber..." Ia terdiam saat bongkahan batu yang melayang-layang tersibak, nampaklah pemuda berjaket hitam yang melebarkan kedua tangannya ke samping. Di ujung telapak tangannya, ada sebuah benda seperti kelereng yang bercahaya sangat terang, dengan ketiga auranya yang menyala. Aliran energi sangat lebar layaknya selendang sutra merahnya, bergerak masuk ke dalam kedua titik bercahaya. "Sudah kubilang, aku akan membunuhmu!" Akara menyeringai, namun se
333Mengetahui kekasihnya disandera, puluhan bor spiral terbentuk dan langsung melesat, meliuk-liuk menghindari selendang merah yang hendak menangkisnya. Akan tetapi, ada energi kematian yang langsung membuat bor spiral melebur. Benar-benar lenyap di udara tanpa menyisakan sebutir debupun. Ia langsung berhenti, melihat Lina yang pergi bersama pasukan yang mengepungnya, memasuki portal dan menghilang. "Lihatlah! Apalagi yang bisa kau miliki!? Sang Peri Salju telah pergi, putri Kaisar Atla telah dikepung, tidak ada yang bisa kau lakukan lagi!?" Wush tring tring tring tring!... Akara melesat dengan tatapan tajam ke arahnya. Walau banyak selendang yang menghadang, namun ia tebas begitu mudahnya. Karena terus mendekat, energi kematian seperti asap hitam kehijauan keluar dari tubuh Rose. Persis seperti seekor gurita yang menyemprotkan tintanya. Akan tetapi, ada angin yang berputar, menembus kepulan energi kematian. Ia melesat dan sudah siap posisi Cakaran Naga Hitam, membuat gadis itu terb
Kedua peserta sudah berada di atas arena, mereka masih terlihat begitu tenang, walau gong tanda mulainya pertandingan sudah berbunyi. "Apa yang kau lakukan? Cepat menyerah!" Komo yang tidak sabar langsung melompat dan bertengger di pundaknya."Iya iya!" Akara ingin mengangkat tangannya, namun gadis yang menjadi lawannya berbicara. "Kau mirip dengan ayahmu!"Akara langsung menarik kembali tangannya dan menatapnya sambil mengernyitkan dahi. "Kau kenal ayahku?"Rose langsung tertawa lepas, lalu berjalan mendekat sambil berkata. "Tidak hanya kenal!" Ia mengangkat satu tangannya. "Dengan tangan ini aku membunuhnya!" Akara langsung terbelalak dan mengepal erat, namun masih berusaha menahan emosinya. "Apa maksudmu!?"Gadis itu kembali tertawa puas dan terdengar menakutkan, lalu berkata dengan ritme cepat. "Kau tau bagaimana ekspresi ibumu si Rani yang marah meluap-luap? Kau tau bagaimana ekspresi Violet yang dingin dan menak
Akara berjalan di sebuah lorong sambil menggandeng tangan kekasihnya. Di lorong yang sepi, namun terdengar suara riuh dari penonton dari sebuah tribun di atas mereka. Saat itulah mereka berpapasan dengan seorang gadis bergaun merah dan bercadar. Langkahnya begitu tenang dan mantap saat melewati lorong, ditemani oleh seorang pemuda berpakaian rapi. Akara langsung mengenali pemuda itu, sang wakil komandan pasukan Bintang, Baester. Ia langsung mempercepat langkahnya dan mendekat, lalu melebarkan tangan kanannya ke samping, menyentuh dinding lorong dan menghalangi jalan mereka.Melihat nonanya dihadang, Baester langsung menghardiknya. "Akara, apa yang kau lakukan!?"Akara lalu menatapnya dan berkata dengan tenang. "Pergilah!" Ia langsung membuat pemuda itu tehentak, lalu gadis bercadar berkata tanpa menoleh. "Pergilah terlebih dahulu!""Baik nona!" Ia langsung melesat pergi, sedangkan Akara langsung tersenyum lebar dan berkata."Kenapa memak