"Ada apa dengan peserta Agera!? Peserta lainnya sudah bergegas kembali, namun ia baru saja berjalan untuk mengambil bahan!" seru komentator saat Akara masih berjalan santai, berpapasan dengan peserta lainnya yang berlari.
"Setelah cukup lama mengamati, apa yang akan ia ambil!?"Akara lalu mengambil sebuah batu yang membuat komentator terkejut. "Bahan tingkat Empat!? Slamet Kopling dan Jarl Kalala memaksimalkan potensinya dengan mengambil bahan tingkat Lima, apa yang terjadi dengannya hingga memilih bahan tingkat empat? Apakah dia akan menyerah sebelum berperang!?"Api telah berkobar di setiap tungku pembakaran, namun Akara masih berjalan santai. Ia bahkan melirik para peserta yang sudah mulai membakar bahan batunya. Saat sampai di tungku pembakarannya, ia melirik ke arah Slamet Kopling dan Jarl Kalala. Posisinya mereka bertiga yang jika ditarik garis lurus akan membentuk segitiga sama sisi.Komentator kembali mengomentari Akara yang sudah mulai bSemburan magma terfokus pada bilah kampak besar di dalam tungku, lalu saking derasnya hingga membuatnya menyiprat. Cipratan magma panas yang menyebar setelah mengenai bilah, menghujani para peserta lainnya. "Orang gila!" Umpat para peserta sambil melambaikan salah satu tangan ke atas, menciptakan energi pelindung."Apa yang terjadi!? Slamet Kopling mulai membuat suasana kompetisi jadi memanas!" "Dasar! Kau mendahuluiku!" Jarl Kalala juga membuat segel tangan, kemudian muncul aliran magma yang dengan lembut mencuat ke atas dari kawah. Layaknya sungai langit milik Bento Besiah, namun ini berupa magma yang mengalir deras di udara. Masuk ke dalam tungku pembakaran dan membasuh bilah pedang yang ia buat, lalu keluar lagi dan ia arahkan pada Akara. "Rasakan!" gumam gadis berambut merah di tribun VIP, ia menahan diri untuk bersorak gembira karena identitasnya."Huh?" Pemuda berjaket hitam itu dengan santai mengibaskan satu tangannya, membuat
Disaat mereka menatapnya dengan terbelalak, Akara hanya menaikkan salah satu ujung bibirnya. Ia tersenyum menyeringai, disusul oleh aliran energi yang mengalir di sekitarnya. "Apa yang terjadi!?" Aura Alkemis yang selalu ia sembunyikan, membuat para penonton mati penasaran. Sambaran listrik yang lebih besar daripada milik Jarl Kalala, membuat mereka menerka-nerka dengan yakin bahwa Akara memiliki aura Alkemis tingkat enam. Mereka tidak menebak lebih tinggi, karena Raja penempa saja baru sehari sebelumnya aura alkemisnya naik ke tingkat tujuh.Aliran energi yang masuk ke dalam bilah pedang milik Akara, membuat kedua lawannya tersadar dari keterkejutannya. Mereka juga menggunakan Aura Alkemisnya untuk mengalirkan energi alam ke dalam senjata tempaannya. Pukulan palu kembali mereka layangkan, hingga suara dentuman besi memenuhi altar penempa, dengan aliran energi yang terus mereka jaga kestabilannya."Mulai?" Jarl Kalala mengajak Slamet Kopling. Setelah dija
Energi itu masuk ke dalam senjata, bergerak dan meninggalkan bekas layaknya ukiran di bilahnya. Kini Akara tidak lagi merasa tertekan oleh gravitasi dari aura lawannya. Malah kini mental kedua lawannya yang tertekan saat melihat reaksi Raja Penempa. "Ntah seperti apa teknikmu itu, namun tidak akan aku biarkan kau menginjak-injak harga diri guruku!" Slamet Kopling melakukan segel tangan, diikuti oleh Jarl Kalala yang meliriknya sekilas. Kini di atas mereka muncul lingkaran sihir, dengan aksen kotak-kotak dan warna merah kecoklatan milik Slamet Kopling, lalu warna merah menyala dengan aksen lembut yang berubah-ubah layak api milik Jarl Kalala. Tidak ada saling ganggu lagi, ketiganya hanya fokus pada senjata yang mereka tempa. Suara bising dentuman besi sekaligus gesekan energi dengan udara, memenuhi altar penempa, menyajikan keindahan warna dari aura dan lingkaran sihir mereka. Semuanya berjalan begitu lancar, hingga akhirnya ada embun es berwarna putih d
"Lalu bocah itu?" Yog Aren kembali menoleh ke arah Akara yang masih melanjutkan menempa senjatanya."Tentu bukan seorang Amerta biasa yang ada di belakangnya, kau sendiri harusnya tau bagaimana ganasnya Esensi Surgawi. Sedangkan dia harus menyerap Esensi Surgawi bahkan sebelum memasuki ranah Maskumambang satu bulan energi," "Humph! Mau siapapun yang ada di belakangnya, sekarang dia hanyalah seorang anak kecil. Bisa apa dia setelah Malapetaka yang membuat semua orang di ranah Amerta menghilang!?" Yog Aren lalu melompat masuk ke dalam altar kompetisi menempa. Jlengg!..Tubuhnya yang besar mendarat tepat di depan Akara. Hentakannya yang begitu kuat bahkan sampai membuat tungku pembakaran dari ketiga peserta melayang, melompat di udara."Guru?" Slamet Kopling langsung menoleh ke arah gurunya, sedangkan ia hanya melambaikan tangan tanpa memalingkan wajahnya dari Akara. Para penonton juga bertanya-tanya akan hal yang dilakukan oleh Raja kota
Dengan wajah kesalnya, Yog Aren hanya mengernyitkan dahinya merasa bingung dengan pertanyaan yang diajukan oleh Akara. "Maksudku, dari tadi kok cari muka, sudah ketemu?" "Sialan!" Yog Aren langsung melesat, melancarkan pukulan ke arah Akara hingga membuat pemuda itu terhempas hingga mencapai ujung altar. Sepasang pedang kayu hitam sudah berada di depan dadanya, melayang dan keluar asap di bekas pukulan Yog Aren. Pedang yang Akara tempa tadi masuk ke dalam penyimpanan dimensinya, lalu ia meraih kedua pedang kayunya dan langsung muncul kilatan listrik tipis berwarna merah."Seorang Raja yang terhormat, ternyata memiliki temperamental yang begitu buruk," ucap Akara saat Yog Aren mengeluarkan sebuah senjata berupa palu besar dengan gagang yang pendek. Lemon saat itu ingin melesat membantu Akara, namun ia langsung dihentikan oleh Alan."Lihatlah kilatan merah pada pedangnya, kalau kau bergabung, hanya seperti bunuh diri saja. Kita awasi aga
Karena ayunan pedangnya ditahan, Akara mengayunkan pedang lainnya. Akan tetapi, badannya langsung meliuk ke samping dan mengurungnya serangannya. Sebab, palu yang Yog Aren lemparkan tadi melesat kembali kepada pemiliknya. Mereka lalu melesat di langit-langit gua, saling menyerang dengan sangat cepat layaknya kilatan cahaya. Setiap kali benturan serangan, menciptakan gelombang energi yang begitu besar. Walau para warga telah terlindungi oleh pelindung yang Akara buat, namun tidak dengan langit-langit gua. Pegunungan batu Vodor bergetar hebat, tidak sedikit ada bagiannya yang runtuh. Sambil mempertahankan energi pelindung dan menonton pertarungan, Raja Vonci Kates, orang yang menggantikan tahta Raja Marbun Bidara mendekati Bento Besiah. "Raja Bento Besiah, bukankah hubungan kota Shuyal dengan kota Gnome bisa dibilang tidak buruk, kenapa tidak membantunya?""Tidak ada alasan untukku membantunya, pemuda itu juga telah menyelamatkan kotaku. Lalu bagaimana den
Akara melepaskan pedang di tangan kanannya hingga ia melayang sendiri, lalu melebarkan tangannya ke depan. Energi dingin dengan cepat membentuk cakar Naga, lalu aura alkemisnya menyala.Dua aura yang bercahaya begitu indah mengapitnya dari sisi atas dan bawah.Saat mengarahkan telapak tangannya ke atas, ada es yang membentuk bor spiral yang langsung melayang di atasnya. Setelah terbentuk sempurna, angin langsung menyelimutinya, membuatnya berputar dengan kecepatan tinggi. Kembali bor spiral terbentuk, hingga jumlahnya mencapai tujuh buah. Melayang di sekitar tubuhnya, bergerak mengelilinginya secara horizontal. Ia lalu meraih pedangnya sebelum membuat kuda-kuda untuk melesat. Sonic Boom atau dentuman sonik langsung tercipta saat ia melesat ke arah Yog Aren. Selain suara dentuman yang keras, namun juga getaran di seluruh gua.Raja kota Gnome itu lalu mengayunkan tangan ke atas, 'wushh' bongkahan batu besar mencuat dari kawah di depan Akara. Akan tetapi, pemuda i
Ia terlentang, tertanam di langit-langit gua. Saat berusaha untuk mengangkat kepalanya, Akara sudah melesat di depannya sambil mengayunkan pedang.Boommbbb… Langit-langit gua berlubang dengan tebasannya, bahkan sampai menembus ke atas pegunungan Vodor. Lubang sepanjang belasan metes, menyebabkan abu dari hancurnya bebatuan mengepul di udara. Swussh… Kepulan debu tersapu oleh angin, kini terlihat sorotan cahaya matahari yang memasuki gua melalui lubang bekas serangan Akara. Tidak terlihat keberadaan Yog Aren, lalu pemuda berjaket hitam itu menoleh ke arah datangnya hembusan angin."Para tetua dengarkan perintahku!" Yog Aren sudah terbang cukup jauh darinya. Walau lolos, namun armor batu di pundak kirinya sudah hancur. Bahkan melukainya hingga terlihat darah yang mengalir di sela-sela armor batu."Bentuk formasi Berlah Naga Magma!" Yog Aren langsung membuat segel tangan, lalu muncul lingkaran sihir berwarna oranye di atasnya. Pola ukiran sajak yang