Share

BAB 03

Pagi hari dengan udara yang sejuk dan suara kicauan burung - burung yang hinggap di pohon menemani Zahra menikmati udara pagi hari ini. dia sedikit terkejut saat ada sepasang tangan yang melingkar di perutnya.

"Mas udah bangun?" Tanya Zahra yang mengenali siapa yang sedang memeluknya dari belakang.

"Kenapa disini udara pagi ini lumayan dingin." tanpa menjawab Mizan membawa tubuh Zahra masuk ke dalam kamar.

"Kenapa malah tidur lagi?"

"Masih pagi dan masih sangat dingin lebih baik kita tidur lagi." Mizan membawa sang istri kembali ke tempat tidur dan menyelimuti tubuh mereka berdua.

"Iya tapi nggak baik tidur lagi mending kita olahraga lari sekitaran sini."

"Mending olahraga pagi yang lain aja nggak sih kata anak muda sekarang." goda Mizan.

"Ish udah mau siang mas."

"Oh iya sayang kemarin ada bibi dan keponakanku datang iya.'

"Iya sore mereka datang kesini, tidak tahu kalau mereka akan menginap atau tidak karena setelah membuat makanan langsung pergi ke kamar tidak ke bawah lagi."

"Apa mereka membuat ulah lagi?"

"Iya begitulah, kapan sih mereka nggak pernah nyari ribut kalau datang kesini."

"Baiklah diamkan saja seperti biasa kalau mereka berulah lagi."

"Iya sudah ayo lepaskan pelukanmu ini, aku akan membuat sarapan." Zahra mencoba melepaskan lengan Mizan yang sedang memeluknya, namun bukannya melepaskan malah semakin mengeratkan pelukannya.

"Lima menit lagi..." Mizan kembali memejamkan matanya.

Bukan lima menit lagi nyatanya lima menit yang di katakan Mizan adalah tiga jam kemudian. kini dengan paksaan sang istri membangunkannya akhirnya mereka turun untuk sarapan pagi yang sudah terlewat beberapa jam.

"Mizan kalian baru bangun? kok istri kamu nggak di siplin sih jam segini baru bangun belum nyiapin sarapan."

"Ini baru mau bikin bi." sahut Zahra menimpali saat melihat Endah menatapnya sinis.

"Istri itu bangunnya pagi siapin sarapan untuk suami dengan keluarganya"

"Maaf bi, memang aku yang menyuruhnya membuat sarapannya sekarang, kalau bibi ingin sarapan bukannya disini banyak asisten yang bisa di mintai tolong membuat sarapan." ucap Mizan mendekati Endah.

"Dan satu lagi dia bukan orang yang seenaknya bibi suruh - suruh! dia adalah ratu di rumah ini, kedudukannya sama denganku di rumah ini jadi jangan pernah sekali menyuruhnya apapun, untuk apa aku memiliki banyak asisten kalau begitu."

"Kok kamu berbicara seperti itu sama keluarga sendiri."

"Keluarga kata bibi? apa pernah bibi memperlakukan istriku dengan baik?" tanya Mizan.

"Kapan aku memperlakukan istrimu dengan tidak baik?"

"Kenapa kakak memarahi mamahmu." ucap Hilda menghampiri Mizan dengan nada tidak suka

"Sudahlah jangan ada keributan pagi ini, aku buatkan sarapan sekarang." sahut Zahra yang tidak ingin ada keributan pagi ini, di tambah lumayan sulit baginya nanti untuk merubah mood sang suami bila sudah marah.

Mizan tipikal orang mudah terbawa emosi namun tak sampai main tangan paling sekedar mengomeli dan yang lebih parah memecahkan barang - barang yan ada di sekitar.

Sudah mendapat perintah dari sang istri, Mizan pun akhirnya menurutinya dan kini memilih duduk di meja makan, sedangkan Endah dan Hilda kembali ke kamar tamu masing - masing.

Perasaannya kini semakin kesal kepada sang bibi dan keponakannya setiap hari bila bertemu, mereka selalu membuat masalah entah itu dengan Zahra mau pun dirinya, namun dia menahannya untuk tidak sampai melampiaskannya, karena bagaimana pun sang bibi yang merawatnya sejak kecil saat kedua orang tuanya meninggal dunia karena kecelakaan pesawat.

"Ada yang perlu aku bantu?" setelah meredam amarahnya, Mizan mendekati sang istri berniat membantunya.

"Tidak perlu sudah tunggu saja di meja makan, hari ini aku hanya membuat nasi goreng saja karena bahan - bahan di dapur sudah habis tidak apa kan mas?"

"Tidak apa - apa nanti setelah sarapan kita beli persediaan stok makanan ke supermarket." sahut Mizan.

"Baiklah ya sudah kita sarapan sekarang nasi gorengnya sudah jadi."

Setelah acara sarapan selesai kini mereka sedang berada di supermarket untuk memberi stok bahan makanan, Zahra selalu membeli bahan dan stok makanan sendiri karena dia yang akan memasaknya sedangkan untuk para Asisten masalah makanan di serahkan kepada ketuanya untuk urusan makanan sehari - harinya.

Tidak butuh waktu lama mereka disana, karena Zahra membeli bahan untuk semiggu kemudian. sebelum pulang mereka makan bakso langganan mereka selama zaman pacaran dulu.

"Mang pesen dua porsi seperti biasa iya." ucap Mizan mendekati pedagang bakso tersebut.

"Eh aden siap ditunggu iya dua porsi seperti biasanya kan?"

"Sip saya tunggu iya di meja paling pojok."

"Siap aden."

Setelah memesan Mizan pun kembali ke mejanya menuggu pesaannya dengan Zahra datang, selama menunggu Mizan dan Zahra berbincang tentang masa- masa mereka pacaran dulu.

"Aku sampai sekarang nggak nyangka loh mas bakal dinikahin sama orang sesukses kamu, karena dulu aku kenal kamu ngakunya orang kantoran doang."

"Iya memang orang kantoran kan?" sahut Mizan.

"Iya maksudnya karyawan biasa di tempat mas kerja, eh pas nikah baru tahu ternyata mas yang punya tempat kerjanya."

"Iya kan aku nyari yang tulus cinta sama aku, karena dulu pada mau karena jabatan aku doang. jadi deh pura - pura pas deketin kamu." sahut Mizan terkekeh mengingat kembali saat dimana dia mencoba mendekati Zahra yang cuek bebek dengan lelaki, setelah tahu alasannya ingin fokus kuliah katanya.

"Maaf aden, non ini baksonya dua porsi seperti biasanya." sahut sang penjual bakso mengintrupsi saat Mizan dan Zahra sedang asyik berbincang.

"Terima kasih mang."

"Sama - sama non, silahkan di nikmati." penjual bakso pun pamit meninggalkan tempat karena sedang ramai pembeli.

"Iya sudah ayo kita makan selagi panas."

Mereka pun memakan baksonya dengan lahap tak tersisa kini setelah selesai bergegas kembali pulang.

"Mas bibi sama Hilda ternyata masih disini, tapi kok muka mereka kaya panik gitu iya." ucap Zahra saat masuk ke dalam hendak ke dapur, namun melihat keduanya yang berada di ruang tamu duduk dengan wajah tegang.

"Nggak tahu sayang, nanti juga di cerita tanpa kita tanya." sahut Mizan langsung ke dapur membawa barang belanjaan yang mereka beli tadi.

Dan benar saja mereka sampai di dapur, Endah dan Hilda datang menghampiri Mizan dan Zahra.

"Mizan tolong bibi Mizan." Endah memegangi lengan Mizan.

"Ada apa bi kenapa bibi panik sekali?" tanya Zahra.

"Mizan tolongin bibi, beberapa hari yang lalu bibi menginvestasikan uang dan perhiasan."

"Iya terus masalahnya apa bi tolong jangan bertele - tele." sahut Mizan yang kini memfokuskan padangannya kepada sang bibi.

"Bibi habis kena tipu Mizan ternyata perusahaan yang bibi investasi ternyata perusahaan bodong, barusan bibi lihat beritanya di tv." ucap Endah sesegukkan.

"Bibi bingung harus bagaimana sekarang Mizan semua uang dan emas bibi investasikan disana."

"Kenapa bibi bsa seceroboh itu, biasanya bibi selalu teliti apa lagi masalah uang dan perhiasan."

"Bibi juga tidak tahu Mizan apa yang harus bibi lakukan sekarang." kini Endah meraung - raung frustasi setelah mendapatkan kabar tersebut.

Mendengar itu Mizan menghelan nafas lalu mengecek dan mengetik sesuatu pada ponselnya.

"Aku tidak tahu apa yang aku lakukan sekarang bisa mengembalikan aset bibi, tapi bibi harus bersiap bila itu tidak kembali karena itu sudah konsekuensi terburuknya."

"Ini bi minum dulu biar sedikit tenang." Zahra pun memberikan air dingin dan di berikan kepada Endah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status