Srini dan Kembang turun dari kereta delman.
"Ini Paman, sesuai perjanjian awal. 1 koin perak." Srini memberikan 1 benda bulat yang ukurannya sebesar tutup botol tapi lebih tipis lagi.
Tukang delman itu menerima dengan senang.
"Terimakasih."
Srini tersenyum. "Tidak, aku yang harusnya berterimakasih."
Saat Tukang delman memasukan koin itu ke dalam saku baju, Srini dan Kembang memperhatikan sesaat.
"Ah iya, Paman ... sebentar lagi akan petang. Apa kau akan kembali sekarang?"
"Iya, saya akan langsung pulang lagi ke Distrik Kates. Mungkin sampai sana akan malam, tetapi tidak terlalu malam juga."
"Baiklah, hati-hati di jalan ... semoga perjalanmu lancar sekali lagi terima kasih."
.
"Sama-sama, ya sudah ... saya pamit dulu." Srini mengangguk sembari tersenyum simpul.
Tukang delman menaiki delmannya, lalu membuat kuda-kudanya berbalik arah dan mulai mencambuk pant4t kudanya. Kemudian melambaikan tangan pada Srini dan Kembang.
Mereka pun mengangkat tangan, membalas lambaian sembari senyum.
"Orang yang ramah," celetuk Kembang, terus menatap ke arah perginya Tukang delman. Membuat Srini menoleh ke arahnya.
Sadar sedang diperhatikan, Kembang grogi dan hal itu membuat Srini tertawa.
"Benar, Paman itu sangat ramah dan baik, mau mengantarkan kita ke sini."
Srini menengadah, melihat langit yang perlahan akan petang. Perutnya tiba-tiba saja merasa lapar, ia pun melihat salah satu tukang jualan dan mengajak Kembang ke sana.
"Nah ... Kembang, bagaimana sekarang kalau kita makan dulu. Aku pun sudah merasa lapar sejak tadi siang makan bersamamu."
Kembang mengangguk saja.
"Ayo kita ke sana."
Ada beberapa orang yang sedang makan di sana, tempat itu tidak besar, tetapi dilihat dari banyaknya orang yang makan di sana sepertinya makannya cukup enak.
Kembang dan Srini duduk di sebrang kursi kayu panjang yang di sebrangnya lagi sudah ada ibu-ibu yang umurnya sekitar 37 tahun, bersama anak laki-laki seusia Kembang.
Sebelum duduk, Srini dan ibu anak itu tak sengaja bertemu tatap. Sehingga membuat Srini reflek tersenyum padanya, ibu anak itu juga membalas senyuman Srini.
Pemilik tempat makan itu menghampiri Srini dan Kembang. "Berapa porsi, Dik? Lauknya mau pakai apa?"
"Ah, 2 porsi, lauknya ayam sama sayur gulai nangka saja," kata Srini.
"Minumnya?"
"Air teh tawar hangat saja."
"Baik." Laki-laki yang usianya sekitar 50 tahunan itu pergi setelah menerima pesanan Srini.
Ibu-ibu dengan anak laki-laki di hadapan Srini tidak memesan. Nampaknya, mereka sudah memesan sebelum Srini dan Kembang tiba di sana hanya saja pesannya belum datang.
"Dari mana, Nduk?" tanya ibu-ibu itu pada Srini. Nduk adalah panggilan Jawa untuk anak perempuan.
"Saya dari rumah, Bu ...," jawab Kembang.
"Dari rumah? Memangnya di mana rumahmu?"
"Di Distrik Kates ...."
"Distrik Kates? Wah, di sana tempat terkenal karena banyaknya kebun Kates, ya?"
"Iya, benar ... Ibu tau Distrik itu? Apa pernah ke sana?"
"Dulu saya dan orang tua saya tinggal di sana, tapi setelah Ibu kami menikah dengan orang sini. Kami semua pindah ke sini, dan menetap di sini."
Di tengah perbincangan Srini dan Ibu itu, Kembang dan anak laki-laki yang duduk di depannya tak sengaja bertemu pandang.
Anak dengan pipi, juga perutnya yang bulat itu terus saja menatap Kembang sejak ia dan Srini pertama kali duduk.
Awalnya Kembang biasa saja, tapi matanya tiba-tiba melebar kala anak laki-laki itu mengedipkan mata dan tersenyum padanya.
"Siapa namamu, Nduk? Kalau saya Ami, panggil saja Bu Ami. Ini anak saja, namanya Pandu, usinya baru 9 tahun."
"Nama saya Srini, ini anak saja Kembang. Usinya 10 tahun," jawab Srini.
Untung saja Srini sempat menanyakan umur Kembang saat anak itu selesai mandi tadi, saat masih di rumahnya.
"Berapa umurmu?" tanya Srini saat itu.
"Aku tidak tahu," jawab Kembang sambil memakai baju.
"Apa kau tahu, kau lahir tahun berapa?"
"Ayah pernah bilang aku lahir tahun 82."
Srini terdiam, ia mengerti maksud ayah Kembang pasti tahun 1982. Sekarang sudah tahun 1992.
Berarti benar usia Kembang adalah 10 tahun.
Pesanan mereka datang. Bu Ami dan anaknya memesan nasi dengan lauknya Ayam goreng dan Sayur sop. Srini tersenyum saat melihat lauk anak Bu Ami—Pandu, lebih banyak dari ibunya.
2 ayam goreng, 1 potong gepuk sapi, dan sayur nangka kari.
Sambil makan, Bu Ami yang sepertinya penasaran kembali mengajak Srini bicara.
"Kalau boleh tau, memangnya kamu mau ke tempat siapa di sini sampai datang dari jauh? Apa ada sodara juga di sini?"
Walau tengah makan, Srini tidak keberatan menanggapi. Baginya itu lebih baik, daripada diam-diaman, karena mereka duduk berhadap-hadapan. Akan tidak nyaman jika semuanya diam. Dengan mengobrol seperti itu, membuat Srini dan Bu Ami tampak seperti sebuah keluarga yang sengaja makan bersama di tempat itu.
"Iya, saya ke sini untuk menemui teman baik Ibu saya."
Bu Ami mengangguk, sambil menyuap makanannya. Mereka terus lanjut mengobrol saling bertanya dan menjawab tentang hal-hal lain. Seperti Srini yang bertanya Pandu sudah sekolah kelas berapa, apakah Pandu punya kakak atau adik.
Kembang memakan makanannya dengan tenang, dia tidak memperhatikan ibu angkat berbicara apa saja.
Tiba-tiba saat tenggorokannya sedikit serat, ia mengambil minum yang ada di depan piringnya.
Kembang melihat ada beberapa tetesan air dari kuah gulai nangka di dekat piring Srini.
Melihat Srini masih asik berbincang, Kembang secara inisiatif ingin mengelapnya. Dia mengulurkan tangan hendak mengambil lap yang disediakan di sana, hanya saja elap itu lebih dekat dengan piring Pandu. Walau tidak dekat sekali.
Tangan Kembang tidak sampai, dia berniat akan berdiri lebih dulu tapi lagi-lagi Kembang di buat tercengang oleh Pandu. Anak gempal itu menggeser elap yang akan diambil oleh Kembang, mendekatkannya ke tangan gadis itu, seraya tersenyum aneh. Ditambah alis anak itu naik turun kala Kembang diam menatapnya.
Kembang mengambil elap tersebut secepat mungkin, ia mengelap tetesan kuah makanan di dekat piring Srini secara hati-hati sambil terus tidak memperdulikan Pandu.
Mereka selesai makan, Srini sudah membayar makannya dan keluar bersama Bu Ami juga Pandu. "Ibu sendiri habis dari mana bawa pakaian banyak seperti itu?" tanya Srini melihat kantung besar bewarna merah, yang dibuntal seperti menggendong bayi. Secuil kain terlihat menyembul keluar dari mulut kantung, membuat Srini mengetahui itu adalah pakaian. "Ibu habis dari rumah Paman. Dia sakit sudah 2 minggu, jadi Ibu harus menjenguknya. Sempat menginap 4 hari di sana karena Paman ingin Ibu menginap.""Ooh, kalau boleh tau ... Paman Ibu sakit apa?""Dia jatuh, tergelincir dari hutan saat mencari kayu.""Aaah ... bagaimana kondisinya sekarang?""Kakinya kesleo, dia masih kesulitan berjalan, tetapi sudah jauh lebih baik.""Sukurlah ....""Kau sudah tau, kan? Rumah teman Ibumu itu?"Srini membuang napas berat. "Belum, saya harus mencarinya dulu. Mungkin malam ini saya akan mencari penginapan dulu.""Menginaplah di rumahku kalau begitu," tawar Bu Ami. Srini terkejut. "A-apa? Menginap di rumah Ibu?
Obrolan terus berlanjut sampai beberapa menit, sampai Pandu kembali. "Ayo Kembang, main denganku sebentar saja," katanya lagi. Kembang kembali gelisah. Namun, kesempatan kali ini tidak berpihak padanya. "Mainlah Kembang, akrabkan dirimu dengan teman barumu, sepertinya mulai detik ini, kita akan tinggal di distrik ini juga." Srini berbisik di dekat telinga gadis itu. Kembang menoleh, ia dan Srini saling pandang sampai Srini tersenyum dan mengangguk meyakinkan.Akhirnya, Kembang harus menerima ajakan Pandu walau dengan sangat terpaksa. "Kau mau mengajakku ke mana?" tanya Kembang. Setelah cukup lama terus membisu sejak pertama kali bertemu, akhirnya dia berani angkat bicara pada Pandu. Malam-malam. Mereka berdua tengah berjalan di jalan tanah berbatu di desa itu, melewati beberapa rumah orang lain dengan lampu putih dan ada juga lampu cahaya orangeAlih-alih menjawab pertanyaan Kembang, Pandu malah tersenyum padanya."Kembang, kau sangat cantik ... aku suka padamu."Seketika Kembang
Kembang berjalan di belakang Pandu yang terus memakan rambutan, meninggalkan banyak kulit rambutan di sepanjang jalan yang sudah mereka lewati. Baju Pandu yang besar, mampu menjadi kantong untuk wadah rambutan yang banyak. Anak itu membawanya dengan cara memeluknya di depan perut. Di belakang, Kembang hanya diam memerhatikan anak laki-laki gempal yang terus melempar kulit, dan biji rambutan ke sembarang arah.Pandu dengan sengaja melambatkan langkah kakinya, membuat Kembang tanpa sadar berjalan di belakang Pandu dengan jarak 1 meter. Dekat sekali."Apa kau belum kenyang?" Kembang bertanya. "Belum, kenapa? Kau mau?" Pandu berhenti dan berbalik, menampakan mulutnya yang sedikit terbuka, juga sebelah pipinya lebih besar sebelah. Itu karena sebiji rambutan langsung dia simpan di sisi gigi, lantaran saat ia akan mengunyahnya Kembang malah bertanya. "Tidak. Aku masih kenyang," jawab Kembang. Pandu kembali berbalik, dan lanjut berjalan. "Apa setiap hari kau selalu mencuri rambutan itu
Seorang wanita masuk ke dalam rumah, Bu Ami. Ia membawa rantang putih dan memanggil-manggil nama Bu Ami. "Ami ...!"Srini yang mendengarnya bergegas ke keluar untuk menemui orang tersebut. Begitu ia keluar, wanita itu tanpak bingung. "Kau siapa?" tanya wanita yang lebih tua dari Bu Ami. Usinya 44 tahun.Srini tersenyum. "Maaf, aku Srini, sore kemarin bertemu Bu Ami di rumah makan." Srini pun akhirnya menceritakan awal mula ia bisa ada di rumah bu Ami. Wanita itu tampak ramah, dia mendengarkan Srini dan mengangguk. "Oh, jadi kau dari Distrik Kates? itu adalah tempat kelahiran kami," kata wanita itu. "Iya, tadi aku terbangun karena mencium bau bawang. Saat aku ke dapur, Bu Ami tidak ada, yang ada hanyalah kuali yang mengepul di atas tungku dan bawang goreng yang sudah gosong."Mendengar itu, wanita tersebut terkejut. "Ami ini dasar ceroboh ....""Mbak Ati?" Bu Ami kembali, sembari membawa piring plastik yang penuh dengan cabai."Ami, kau dari mana saja. Meninggalkan bawang di kuali
"Kenapa kau ingin membangun rumah kecil dan itu dari kayu?" tanya Bu Latih. "Aku ingin hidup sederhana mulai sekarang, aku ingin suatu hari menjadi seperti bu Latih yang berhasil karena kegigihan sendiri, memanfaatkan peluang dan juga tidak lupa balas budi," jawabnya. Bu latih tersenyum mendengarnya. "Kau bukan hanya cantik, Srini. Tetapi, sangat menarik."Srini tersenyum. Bu Latih memiliki 2 anak, yang pertama laki-laki, bernama Tirta usianya 15 tahun. Dan yang kedua perempuan, bernama Hera usinya 8 tahun. "Ibumu punya anak berapa?" tanya bu Latih. "Hanya aku saja," jawab Srini. "Sudah lebih dari 15 tahun aku belum sempat ke Distrik Kates lagi, terakhir aku ke sana, saat bersama Hera itupun berkunjung sebentar, sampai saat ini, jujur aku sangat merindukannya.""Mainlah ke sana, Ibu pasti akan senang sekali melihat sahabatnya lagi," ucap Srini. "Aku pasti akan sangat bahagia bisa bertemu dengannya, jika nanti ada waktu apa kau mau menemaniku bertemu Ibumu, Srini"Srini terdiam,
"Ada. Aku tadi baru saja melihatnya.""Itu bukan seperti apa yang kamu pikirkan, Mahesa. Aku tidak sengaja hampir jatuh, kalau saja Pandu tidak sigap menangkapku tadi!" Kembang, gadis itu menjelaskan dengan serius, menampik pikiran Mahesa. "Heeeum ...." Mahesa memajukan mulutnya, mengejek dan tidak yakin pada apa yang sudah dijelaskan Kembang. Kedua tangan bersedekap dada, sambil menunjukan raut wajah tidak percaya. "Is! Kau ini!" Kembang menyenggol pinggang Pandu menggunakan sikutnya. "Benar, kan, Pandu? Apa yang aku jelaskan?" Pandu tampak terkejut, sempat tergagap menjawab, sampai akhirnya ia mengiyakan. "I-Iya, Mahesa. Lagipula, kita ini sahabat, tidak bisa mesra-mesraan.""He'em!" Kembang berkacak pinggang, menatap Mahesa setelah Pandu mengatakan itu. "Aah! Sudah sudah, terserah kalian saja ...." Anak itu berjalan pergi. "Jam berapa sekarang?" tanya Kembang tiba-tiba, setelah kepergian Mahesa. Pandu melihat ke arah matahari terbenam, lalu ia melihat bayangan mereka berdua.
Keesokan harinya, Pandu yang menemani ibunya, bu Ami ke pasar. melihat salah satu lapak yang biasanya kosong, kini sudah diisi oleh seorang penjual baru. Dan yang mengejutkan Pandu adalah, penjual baru itu adalah Kembang dan Srini. Pandu berjalan ke arah mereka, meninggalkan ibunya yang masih belum selesai mengobrol dengan penjual cabai. "Kembang, Bi Srini ... kalian jualan?" tanya Pandu. "Pandu, sedang apa kau di sini?" Kembang bertanya. "Aku ke sini bersama Ibuku, menemaninya belanja, seperti sudah kebiasaan rutin. Tapi, sejak kapan kalian berjualan di sini?""Iya Pandu, mulai saat ini kami berjualan, menjual hasil kebun yang lebih, daripada busuk, mending kami jual saja," kata Srini."Aku mengerti, Bi ... benar, memang daripada busuk. lebih baik jual saja, setidaknya lumayan untuk menambah uang belanja yang lain.""Pandu ...." Bu Ami datang, karena mencari-cari Pandu yang tiba-tiba saja meninggalkannya. "Kamu, Ibu cari-cari ada di sini." Bu Ami langsung melihat ke arah Srini,
12. Dari sisi lapangan, di tengah cahaya matahari sore yang hangat walau masih lumayan panas, tetapi tidak sepanas siang tadi. Kembang tetap diam, memandang remaja laki-laki yang berlari, tertawa, berebut bola dengan senang gembira bersama kawan-kawannya. Senyum lebar, rambut di sekitar wajah basah. Manis. Kembang menyimpulkan kalau Pandu itu manis. "Bagaimana, menurutmu Kembang?" tanya Srini, dia tersenyum simpul melihat cukup lama gadis itu mengarahkan pandangan ke orang yang dia maksud. "Menurutku, Pandu itu manis," katanya. Srini tertawa pelan, mendengar pendapat Kembang. Lagipula, mereka memang masih belum terlalu dewasa. Masih terhitung anak-anak. Kembang dan Srini melanjutkan langkah pulang, sementara Pandu yang dia berjingkrak, tertawa dengan semangat, lalu adu tos dengan teman-teman timnya karena berhasil mencetak gol. Di tengah tawa dan kegembiraannya, pandangannya tak sengaja melihat ke sisi lapangan. Senyumnya perlahan hilang, berganti dengan tatapan fokus melihat
Di pasar, saat Kembang dan Srini tengah berjualan. Datang satu pria pendek, tampangnya sangat ramah, cara berjalannya saja semangat sekali ketika mendekati lapak jualan Srini dan Kembang. "Aku ingin beli 1kg lobak putihnya," kata Pria itu pada Srini, tanpa menanyakan berapa harga kiloannya. "Baik, tunggu sebentar, Pak," kata Srini, mengambil plastik dan memasukan beberapa lobak untuk ditimbang. "Jangan panggil aku 'Pak', Nona. Panggil saja aku Mung," ujarnya. Srini tersenyum ramah, mengangguk."Baiklah, tunggu sebentar, Mung."Di sela apa yang yang tengah dilakukan oleh ibunya, yang melayani pria bernama Mung itu.Kembang diam-diam memperhatikan orang tersebut, dia seperti mengingatnya dan pernah melihatnya di suatu tempat. Namun, tak ingat jelas di mana. 'Aku sepertinya pernah melihat wajah itu, tetapi di mana?' batin Kembang. Mung berusia sekitar 45 tahun, tingginya sekitar 153cm, dia lebih pendek dari Pandu, dan jelas sekali lebih pendek dari Kembang. Sebab, Kembang lebih tin
Kembang berjalan, menyusuri jalan setapak, yang di kanan kirinya adalah pohon singkong. Gelap, tetapi gadis itu tak merasa takut. Justru, dia berjalan sembari memegangi pergelangan tangan dan menempelkannya di dada. Tepat di mana Pandu menggenggam tangannya tadi.Kembang tak mengerti, ada apa dengan dirinya sendiri.Dia menunduk, terus mengingat adegan saat Pandu memegangi tangannya, dan memberinya tatapan mata yang dia sendiri susah untuk menjelaskan.Gadis itu seolah melihat sisi lain dari sahabatnya sendiri, entah apa. Langkah Kembang terhenti, saat ia merasa ada yang mengikuti di belakang. Dia berbalik, tak menemukan siapapun, dan tak melihat apapun, hitam karena gelap.Di ujung sana lampu depan rumahnya menyala, dan hanya itulah yang menjadi pacuan Kembang untuk terus berjalan lurus. Bulu kuduknya mulai meremang, ketika kakinya merasakan ada orang lain lagi yang menginjak tanah yang sama. Tidak jauh di belakangnya, dia berdiam merasakan detakan takut juga pundaknya kaku sampa
Srini lebih dulu selesai makan, dia bangkit dari duduk setelah mencuci tangan pada air di baskom kecil, yang sengaja Kembang sediakan untuk itu. Pandu dan Kembang secara bersamaan menengadah, melihat Srini yang berdiri. "Kalian lanjutlah makan, aku sudah selesai. Aku mau melanjutkan tidur, sepertinya hari ini aku akan tidur lebih cepat," ujar Srini, lalu berjalan meninggalkan dapur, dan hilang setelah ia melewati pintu sekat ruangan yang terbuat dari bilik kayu. Setelah Pandu yakin, Srini sudah masuk ke kamar. "Kenapa kau menginjak kakiku!" Remaja laki-laki itu langsung bertanya pada gadis yang masih duduk, di hadapannya dengan intonasi biasa tapi suaranya tertahan. Kembang yang ditanya seperti itu hanya melirik, kemudian lanjut makan. Pandu gemas, ia balas menginjak kaki Kembang secara ringan. Membuat gadis itu kaget, dan sedikit melotot padanya. "Kenapa kau menginjak kakiku tadi?" Pandu bertanya sekali lagi. "Kau sendiri kenapa mencolek-colek kakiku dengan jempol kakimu
14. Sembari berjalan, Pandu memanggul saringan yang berisi ikan. Ada yang ukurannya besar, sedang dan kecil. Pandu berdiri di balik pintu, tangannya tiba-tiba berhenti saat akan mengetuk pintunya. Dia berpikir dua kali, kalau ia melakukan itu takut Srini yang masih tertidur akan bangun.Alhasil, Pandu memilih membuka pintu langsung secara perlahan. Benar dugaannya, Srini masih tertidur. Untung saja tadi dia tidak mengetuk pintunya. Pelan-pelan setelah menutup pintu, Pandu berjalan ke dapur. Dia melihat Kembang sedang berdiri, memandangi perapian. Begitu Pandu datang, Kembang langsung menoleh."Kau sungguh pergi memancing?" tanya Kembang."Iya ... sesuai perkataanmu, ayo bersihkan ikan-ikan ini, goreng, aku sudah sangat lapar." Pandu menyerahkan ember berisi ikan-ikan yang bergelepak pada Kembang.Gadis itu sampai sesekali berjingkit kaget, saat ikan-ikan mulai melompat-lompat, berebut tempat untuk bernapas, karena air yang sedikit di dalam ember. "Ayo cepat, biar kita bisa makan
Beberapa saat Kembang yang memasak, menyiapkan makan malam dibantu oleh Pandu, akhirnya sebagian besar telah selesai.Nasi sudah ada di bakul kecil, asapnya mengepul karena masih panas. Tinggal menunggu sayur capcay yang sedang Kembang tumis itu matang. Lauk makan malam kali ini hanya sayur tumis capcay. Pandu yang merasa lauknya kurang banyak, bertanya tanpa malu pada Kembang."Apa lauknya hanya ini saja?"Sambil terus mengaduk-aduk sayur di wajan, Kembang menoleh pada Pandu. "Kalau kau mau makan dengan ikan, pergi mancing dulu sana!"Kemudian, Pandu terdiam. Memikirkan kata-kata Kembang."Kalau begitu, kalau aku dapat ikannya. Apa kau mau membersihkan dan memasakannya untukku?"Kembang menoleh lagi padanya dengan heran. "Tentu saja," jawab Kembang. Bergegaslah remaja laki-laki itu keluar dari rumah Kembang, meninggalkan gadis yang belum selesai memasak menatap kepergiaanya dengan bingung."Apa dia pergi mancing sungguhan?" gumam Kembang, di detik berikutnya dia tertawa, tak didug
12. Dari sisi lapangan, di tengah cahaya matahari sore yang hangat walau masih lumayan panas, tetapi tidak sepanas siang tadi. Kembang tetap diam, memandang remaja laki-laki yang berlari, tertawa, berebut bola dengan senang gembira bersama kawan-kawannya. Senyum lebar, rambut di sekitar wajah basah. Manis. Kembang menyimpulkan kalau Pandu itu manis. "Bagaimana, menurutmu Kembang?" tanya Srini, dia tersenyum simpul melihat cukup lama gadis itu mengarahkan pandangan ke orang yang dia maksud. "Menurutku, Pandu itu manis," katanya. Srini tertawa pelan, mendengar pendapat Kembang. Lagipula, mereka memang masih belum terlalu dewasa. Masih terhitung anak-anak. Kembang dan Srini melanjutkan langkah pulang, sementara Pandu yang dia berjingkrak, tertawa dengan semangat, lalu adu tos dengan teman-teman timnya karena berhasil mencetak gol. Di tengah tawa dan kegembiraannya, pandangannya tak sengaja melihat ke sisi lapangan. Senyumnya perlahan hilang, berganti dengan tatapan fokus melihat
Keesokan harinya, Pandu yang menemani ibunya, bu Ami ke pasar. melihat salah satu lapak yang biasanya kosong, kini sudah diisi oleh seorang penjual baru. Dan yang mengejutkan Pandu adalah, penjual baru itu adalah Kembang dan Srini. Pandu berjalan ke arah mereka, meninggalkan ibunya yang masih belum selesai mengobrol dengan penjual cabai. "Kembang, Bi Srini ... kalian jualan?" tanya Pandu. "Pandu, sedang apa kau di sini?" Kembang bertanya. "Aku ke sini bersama Ibuku, menemaninya belanja, seperti sudah kebiasaan rutin. Tapi, sejak kapan kalian berjualan di sini?""Iya Pandu, mulai saat ini kami berjualan, menjual hasil kebun yang lebih, daripada busuk, mending kami jual saja," kata Srini."Aku mengerti, Bi ... benar, memang daripada busuk. lebih baik jual saja, setidaknya lumayan untuk menambah uang belanja yang lain.""Pandu ...." Bu Ami datang, karena mencari-cari Pandu yang tiba-tiba saja meninggalkannya. "Kamu, Ibu cari-cari ada di sini." Bu Ami langsung melihat ke arah Srini,
"Ada. Aku tadi baru saja melihatnya.""Itu bukan seperti apa yang kamu pikirkan, Mahesa. Aku tidak sengaja hampir jatuh, kalau saja Pandu tidak sigap menangkapku tadi!" Kembang, gadis itu menjelaskan dengan serius, menampik pikiran Mahesa. "Heeeum ...." Mahesa memajukan mulutnya, mengejek dan tidak yakin pada apa yang sudah dijelaskan Kembang. Kedua tangan bersedekap dada, sambil menunjukan raut wajah tidak percaya. "Is! Kau ini!" Kembang menyenggol pinggang Pandu menggunakan sikutnya. "Benar, kan, Pandu? Apa yang aku jelaskan?" Pandu tampak terkejut, sempat tergagap menjawab, sampai akhirnya ia mengiyakan. "I-Iya, Mahesa. Lagipula, kita ini sahabat, tidak bisa mesra-mesraan.""He'em!" Kembang berkacak pinggang, menatap Mahesa setelah Pandu mengatakan itu. "Aah! Sudah sudah, terserah kalian saja ...." Anak itu berjalan pergi. "Jam berapa sekarang?" tanya Kembang tiba-tiba, setelah kepergian Mahesa. Pandu melihat ke arah matahari terbenam, lalu ia melihat bayangan mereka berdua.
"Kenapa kau ingin membangun rumah kecil dan itu dari kayu?" tanya Bu Latih. "Aku ingin hidup sederhana mulai sekarang, aku ingin suatu hari menjadi seperti bu Latih yang berhasil karena kegigihan sendiri, memanfaatkan peluang dan juga tidak lupa balas budi," jawabnya. Bu latih tersenyum mendengarnya. "Kau bukan hanya cantik, Srini. Tetapi, sangat menarik."Srini tersenyum. Bu Latih memiliki 2 anak, yang pertama laki-laki, bernama Tirta usianya 15 tahun. Dan yang kedua perempuan, bernama Hera usinya 8 tahun. "Ibumu punya anak berapa?" tanya bu Latih. "Hanya aku saja," jawab Srini. "Sudah lebih dari 15 tahun aku belum sempat ke Distrik Kates lagi, terakhir aku ke sana, saat bersama Hera itupun berkunjung sebentar, sampai saat ini, jujur aku sangat merindukannya.""Mainlah ke sana, Ibu pasti akan senang sekali melihat sahabatnya lagi," ucap Srini. "Aku pasti akan sangat bahagia bisa bertemu dengannya, jika nanti ada waktu apa kau mau menemaniku bertemu Ibumu, Srini"Srini terdiam,