Share

5. Tawaran menginap

last update Last Updated: 2023-05-08 21:29:32

Mereka selesai makan, Srini sudah membayar makannya dan keluar bersama Bu Ami juga Pandu. 

"Ibu sendiri habis dari mana bawa pakaian banyak seperti itu?" tanya Srini melihat kantung besar bewarna merah, yang dibuntal seperti menggendong bayi. 

Secuil kain terlihat menyembul keluar dari mulut kantung, membuat Srini mengetahui itu adalah pakaian. 

"Ibu habis dari rumah Paman. Dia sakit sudah 2 minggu, jadi Ibu harus menjenguknya. Sempat menginap 4 hari di sana karena Paman ingin Ibu menginap."

"Ooh, kalau boleh tau ... Paman Ibu sakit apa?"

"Dia jatuh, tergelincir dari hutan saat mencari kayu."

"Aaah ... bagaimana kondisinya sekarang?"

"Kakinya kesleo, dia masih kesulitan berjalan, tetapi sudah jauh lebih baik."

"Sukurlah ...."

"Kau sudah tau, kan? Rumah teman Ibumu itu?"

Srini membuang napas berat. "Belum, saya harus mencarinya dulu. Mungkin malam ini saya akan mencari penginapan dulu."

"Menginaplah di rumahku kalau begitu," tawar Bu Ami. 

Srini terkejut. "A-apa? Menginap di rumah Ibu?"

Kembang yang berdiri di samping Srini, langsung menoleh, menengadah cepat ke arah ibu angkatnya itu sedetik setelah ikut mendengar tawaran Bu Ami. 

Gadis cilik itu mulai gelisah. Dia menggigit bagian dalam bawah bibirnya sedikit, sebenarnya Kembang kurang setuju. Kembang menurunkan pandangan, melihat Pandu yang berdiri di sisi Bu Ami, tepat dua langkah di hadapannya. Tengah sibuk memakan sepotong sayap goreng. 

Sebelum keluar, Pandu ingin makan sayap goreng sambil pulang katanya. Bu Ami ibu yang sangat baik sekali, tidak tega menolak keinginan putranya. 

"Ah ... tidak usah, saya tidak mau merepotkan Ibu ... saya cari penginapan saja."

"Suamiku pulang larut malam, apalagi malam ini dia kebagian jaga ronda. Pulangnya akan jam 4 dini hari. Daripada mencari penginapan, mahal, uangnya simpan saja."

Srini terdiam. Dia tengah memikirkannya. 

Sementara itu, Kembang kembali melihat ke arah Srini untuk memastikan jawaban Srini adalah tidak. 

"Besok akan aku bantu tanyakan pada suamiku, barangkali dia tau teman baik Ibumu." Bu Ami tersenyum, berharap Srini mau menerima tawarannya. 

"Baiklah, kalau Ibu berkata begitu." Akhirnya Srini menerima tawaran menginap bu Ami. 

Membuat wanita itu tersenyum senang, karena tidak akan sendirian di rumah. 

Kembang mengembuskan napas berat. Raut wajahnya merengut dan lesu, karena itu tandanya dia akan bertemu lebih lama bersama Pandu. 

Setuju tidak setuju, Kembang tidak ada keberanian. 

'Aku mana berani mengatakan tidak setuju pada Ibu, setelah satu hari ini cukup banyak hal yang aku ketahui, bagiku sekarang bersamanya adalah anugerah,' batin Kembang, Srini sudah berhasil melekat di hatinya. Menatap lesu Pandu yang memanyunkan bibir, lalu mencebik singkat padanya. Ciuman jarak jauh.

"Ayo ayo," kata bu Ami, mengajak Srini ikut pulang. Srini tersenyum menanggapi, lalu mulai berjalan bersama. 

Mereka berjalan kaki 10 menit dari tempat itu. 

Kemudian, sampailah pada rumah bu Ami dan keluarganya. 

"Ini rumah Ibu, ayo masuk ...." Srini mengangguk, tersenyum. Rumah yang dindingnya dari bata merah, lalu lantainya tanah. 

"Silakan duduk dulu, saya buatkan minum," kata Bu Ami. 

"Terimakasih, maaf kami merepotkan."

"Ah! Tidak, tidak merepotkan ... saya malah senang dalat tamu. Apalagi dari Distrik tempat saya lahir dulu," jawab bu Ami, tersenyum sambil meletakan barang-barang di atas ranjang kayu, alasnya dari bambu. 

Bu Ami pergi ke belakang, lalu Pandu pergi ke salah satu ruangan yang Srini yakin itu pasti kamar. 

Rumah bu Ami memang jauh berbeda dari rumah Srini di Distrik Kates. 

Tetapi, rumah itu sangat rapi, bersih. Jadi, walau tidak terlalu lebar sangat nyaman rasanya berada di sana.

Pandu ke luar dari kamar, dia menghampiri Kembang dan Srini, bertepatan dengan Bu Ami yang membawa dua gelas teh manis hangat untuk mereka. 

"Kembang." Bukan hanya pemilik nama saja yang menoleh, Srini dan Bu Ami pun menoleh pada Pandu sesaat setelah bocah itu memanggil Kembang. 

"Ayo main," ajak Pandu. 

Kembang terdiam, dia melihat ke arah Srini seakan melihat tanggapannya. 

'Bu, tolong katakan sesuatu ...,' batinnya. Dia sangat berharap Srini akan berkata sesuatu yang membuat Kembang tidak usah repot-repot menerima ajakan Pandu. 

"Kembang akan kau ajak main apa?" Bu Ami yang bertanya. 

"Sesuatu yang sangat menyenangkan dan mengenyangkan perut," jawab Pandu. 

"Biarlah Kembang istirahat dulu," ucap Bu Ami. 

Kembang sedikit bernapas lega. Bu Ami mengerti.

Pandu ke luar rumah, entah dia ke mana. 

Srini dan Bu Ami kembali berbincang, Bu Ami bercerita kalau dia sangat senang bisa bertemu Kembang. 

"Ayo di minum," kata Bu Ami.

"Ah, Baiklah ... terimakasih sebelumnya."

"Ngomong-ngomong, aku sangat senang bisa bertemu denganmu ...," kata Bu Ami, duduk di sebrang bangku kayu di hadapan Srini. 

"Benarkah? Saya juga sangat senang bisa bertemu dengan Bu Ami."

Bu Ami tertawa ringan. "Ya, aku sangat senang. Karena bisa bertemu orang dari Distrik kelahiranku. Seperti dikunjungi oleh sodara."

"Terimakasih sekali, aku sangat tersanjung ... apa sodara Ibu yang ada di sana tidak pernah berkunjung ke sini?"

"Kami sudah tidak ada sodara lagi di sana. Entah kebetulan atau apa, semua keluarga kami berjodoh dengan orang sini. Jadi, kami semua pindah ke sini ...."

Srini mengangguk paham. 

Related chapters

  • Pengorbanan Hati sang Ibu Angkat   6. Petik rambutan

    Obrolan terus berlanjut sampai beberapa menit, sampai Pandu kembali. "Ayo Kembang, main denganku sebentar saja," katanya lagi. Kembang kembali gelisah. Namun, kesempatan kali ini tidak berpihak padanya. "Mainlah Kembang, akrabkan dirimu dengan teman barumu, sepertinya mulai detik ini, kita akan tinggal di distrik ini juga." Srini berbisik di dekat telinga gadis itu. Kembang menoleh, ia dan Srini saling pandang sampai Srini tersenyum dan mengangguk meyakinkan.Akhirnya, Kembang harus menerima ajakan Pandu walau dengan sangat terpaksa. "Kau mau mengajakku ke mana?" tanya Kembang. Setelah cukup lama terus membisu sejak pertama kali bertemu, akhirnya dia berani angkat bicara pada Pandu. Malam-malam. Mereka berdua tengah berjalan di jalan tanah berbatu di desa itu, melewati beberapa rumah orang lain dengan lampu putih dan ada juga lampu cahaya orangeAlih-alih menjawab pertanyaan Kembang, Pandu malah tersenyum padanya."Kembang, kau sangat cantik ... aku suka padamu."Seketika Kembang

    Last Updated : 2023-05-08
  • Pengorbanan Hati sang Ibu Angkat   7. Ke mana Bu Ami

    Kembang berjalan di belakang Pandu yang terus memakan rambutan, meninggalkan banyak kulit rambutan di sepanjang jalan yang sudah mereka lewati. Baju Pandu yang besar, mampu menjadi kantong untuk wadah rambutan yang banyak. Anak itu membawanya dengan cara memeluknya di depan perut. Di belakang, Kembang hanya diam memerhatikan anak laki-laki gempal yang terus melempar kulit, dan biji rambutan ke sembarang arah.Pandu dengan sengaja melambatkan langkah kakinya, membuat Kembang tanpa sadar berjalan di belakang Pandu dengan jarak 1 meter. Dekat sekali."Apa kau belum kenyang?" Kembang bertanya. "Belum, kenapa? Kau mau?" Pandu berhenti dan berbalik, menampakan mulutnya yang sedikit terbuka, juga sebelah pipinya lebih besar sebelah. Itu karena sebiji rambutan langsung dia simpan di sisi gigi, lantaran saat ia akan mengunyahnya Kembang malah bertanya. "Tidak. Aku masih kenyang," jawab Kembang. Pandu kembali berbalik, dan lanjut berjalan. "Apa setiap hari kau selalu mencuri rambutan itu

    Last Updated : 2023-05-24
  • Pengorbanan Hati sang Ibu Angkat   8. Sahabat Ibunya

    Seorang wanita masuk ke dalam rumah, Bu Ami. Ia membawa rantang putih dan memanggil-manggil nama Bu Ami. "Ami ...!"Srini yang mendengarnya bergegas ke keluar untuk menemui orang tersebut. Begitu ia keluar, wanita itu tanpak bingung. "Kau siapa?" tanya wanita yang lebih tua dari Bu Ami. Usinya 44 tahun.Srini tersenyum. "Maaf, aku Srini, sore kemarin bertemu Bu Ami di rumah makan." Srini pun akhirnya menceritakan awal mula ia bisa ada di rumah bu Ami. Wanita itu tampak ramah, dia mendengarkan Srini dan mengangguk. "Oh, jadi kau dari Distrik Kates? itu adalah tempat kelahiran kami," kata wanita itu. "Iya, tadi aku terbangun karena mencium bau bawang. Saat aku ke dapur, Bu Ami tidak ada, yang ada hanyalah kuali yang mengepul di atas tungku dan bawang goreng yang sudah gosong."Mendengar itu, wanita tersebut terkejut. "Ami ini dasar ceroboh ....""Mbak Ati?" Bu Ami kembali, sembari membawa piring plastik yang penuh dengan cabai."Ami, kau dari mana saja. Meninggalkan bawang di kuali

    Last Updated : 2023-05-24
  • Pengorbanan Hati sang Ibu Angkat   9. Boleh Ikut?

    "Kenapa kau ingin membangun rumah kecil dan itu dari kayu?" tanya Bu Latih. "Aku ingin hidup sederhana mulai sekarang, aku ingin suatu hari menjadi seperti bu Latih yang berhasil karena kegigihan sendiri, memanfaatkan peluang dan juga tidak lupa balas budi," jawabnya. Bu latih tersenyum mendengarnya. "Kau bukan hanya cantik, Srini. Tetapi, sangat menarik."Srini tersenyum. Bu Latih memiliki 2 anak, yang pertama laki-laki, bernama Tirta usianya 15 tahun. Dan yang kedua perempuan, bernama Hera usinya 8 tahun. "Ibumu punya anak berapa?" tanya bu Latih. "Hanya aku saja," jawab Srini. "Sudah lebih dari 15 tahun aku belum sempat ke Distrik Kates lagi, terakhir aku ke sana, saat bersama Hera itupun berkunjung sebentar, sampai saat ini, jujur aku sangat merindukannya.""Mainlah ke sana, Ibu pasti akan senang sekali melihat sahabatnya lagi," ucap Srini. "Aku pasti akan sangat bahagia bisa bertemu dengannya, jika nanti ada waktu apa kau mau menemaniku bertemu Ibumu, Srini"Srini terdiam,

    Last Updated : 2023-05-24
  • Pengorbanan Hati sang Ibu Angkat   10. Hal manis

    "Ada. Aku tadi baru saja melihatnya.""Itu bukan seperti apa yang kamu pikirkan, Mahesa. Aku tidak sengaja hampir jatuh, kalau saja Pandu tidak sigap menangkapku tadi!" Kembang, gadis itu menjelaskan dengan serius, menampik pikiran Mahesa. "Heeeum ...." Mahesa memajukan mulutnya, mengejek dan tidak yakin pada apa yang sudah dijelaskan Kembang. Kedua tangan bersedekap dada, sambil menunjukan raut wajah tidak percaya. "Is! Kau ini!" Kembang menyenggol pinggang Pandu menggunakan sikutnya. "Benar, kan, Pandu? Apa yang aku jelaskan?" Pandu tampak terkejut, sempat tergagap menjawab, sampai akhirnya ia mengiyakan. "I-Iya, Mahesa. Lagipula, kita ini sahabat, tidak bisa mesra-mesraan.""He'em!" Kembang berkacak pinggang, menatap Mahesa setelah Pandu mengatakan itu. "Aah! Sudah sudah, terserah kalian saja ...." Anak itu berjalan pergi. "Jam berapa sekarang?" tanya Kembang tiba-tiba, setelah kepergian Mahesa. Pandu melihat ke arah matahari terbenam, lalu ia melihat bayangan mereka berdua.

    Last Updated : 2023-05-28
  • Pengorbanan Hati sang Ibu Angkat   11. Keseruan Masa Lalu

    Keesokan harinya, Pandu yang menemani ibunya, bu Ami ke pasar. melihat salah satu lapak yang biasanya kosong, kini sudah diisi oleh seorang penjual baru. Dan yang mengejutkan Pandu adalah, penjual baru itu adalah Kembang dan Srini. Pandu berjalan ke arah mereka, meninggalkan ibunya yang masih belum selesai mengobrol dengan penjual cabai. "Kembang, Bi Srini ... kalian jualan?" tanya Pandu. "Pandu, sedang apa kau di sini?" Kembang bertanya. "Aku ke sini bersama Ibuku, menemaninya belanja, seperti sudah kebiasaan rutin. Tapi, sejak kapan kalian berjualan di sini?""Iya Pandu, mulai saat ini kami berjualan, menjual hasil kebun yang lebih, daripada busuk, mending kami jual saja," kata Srini."Aku mengerti, Bi ... benar, memang daripada busuk. lebih baik jual saja, setidaknya lumayan untuk menambah uang belanja yang lain.""Pandu ...." Bu Ami datang, karena mencari-cari Pandu yang tiba-tiba saja meninggalkannya. "Kamu, Ibu cari-cari ada di sini." Bu Ami langsung melihat ke arah Srini,

    Last Updated : 2023-06-12
  • Pengorbanan Hati sang Ibu Angkat   12. Bantu masak

    12. Dari sisi lapangan, di tengah cahaya matahari sore yang hangat walau masih lumayan panas, tetapi tidak sepanas siang tadi. Kembang tetap diam, memandang remaja laki-laki yang berlari, tertawa, berebut bola dengan senang gembira bersama kawan-kawannya. Senyum lebar, rambut di sekitar wajah basah. Manis. Kembang menyimpulkan kalau Pandu itu manis. "Bagaimana, menurutmu Kembang?" tanya Srini, dia tersenyum simpul melihat cukup lama gadis itu mengarahkan pandangan ke orang yang dia maksud. "Menurutku, Pandu itu manis," katanya. Srini tertawa pelan, mendengar pendapat Kembang. Lagipula, mereka memang masih belum terlalu dewasa. Masih terhitung anak-anak. Kembang dan Srini melanjutkan langkah pulang, sementara Pandu yang dia berjingkrak, tertawa dengan semangat, lalu adu tos dengan teman-teman timnya karena berhasil mencetak gol. Di tengah tawa dan kegembiraannya, pandangannya tak sengaja melihat ke sisi lapangan. Senyumnya perlahan hilang, berganti dengan tatapan fokus melihat

    Last Updated : 2023-07-19
  • Pengorbanan Hati sang Ibu Angkat   13. Mancing ikan

    Beberapa saat Kembang yang memasak, menyiapkan makan malam dibantu oleh Pandu, akhirnya sebagian besar telah selesai.Nasi sudah ada di bakul kecil, asapnya mengepul karena masih panas. Tinggal menunggu sayur capcay yang sedang Kembang tumis itu matang. Lauk makan malam kali ini hanya sayur tumis capcay. Pandu yang merasa lauknya kurang banyak, bertanya tanpa malu pada Kembang."Apa lauknya hanya ini saja?"Sambil terus mengaduk-aduk sayur di wajan, Kembang menoleh pada Pandu. "Kalau kau mau makan dengan ikan, pergi mancing dulu sana!"Kemudian, Pandu terdiam. Memikirkan kata-kata Kembang."Kalau begitu, kalau aku dapat ikannya. Apa kau mau membersihkan dan memasakannya untukku?"Kembang menoleh lagi padanya dengan heran. "Tentu saja," jawab Kembang. Bergegaslah remaja laki-laki itu keluar dari rumah Kembang, meninggalkan gadis yang belum selesai memasak menatap kepergiaanya dengan bingung."Apa dia pergi mancing sungguhan?" gumam Kembang, di detik berikutnya dia tertawa, tak didug

    Last Updated : 2023-07-27

Latest chapter

  • Pengorbanan Hati sang Ibu Angkat   17. Secarik Surat Perkenalan

    Di pasar, saat Kembang dan Srini tengah berjualan. Datang satu pria pendek, tampangnya sangat ramah, cara berjalannya saja semangat sekali ketika mendekati lapak jualan Srini dan Kembang. "Aku ingin beli 1kg lobak putihnya," kata Pria itu pada Srini, tanpa menanyakan berapa harga kiloannya. "Baik, tunggu sebentar, Pak," kata Srini, mengambil plastik dan memasukan beberapa lobak untuk ditimbang. "Jangan panggil aku 'Pak', Nona. Panggil saja aku Mung," ujarnya. Srini tersenyum ramah, mengangguk."Baiklah, tunggu sebentar, Mung."Di sela apa yang yang tengah dilakukan oleh ibunya, yang melayani pria bernama Mung itu.Kembang diam-diam memperhatikan orang tersebut, dia seperti mengingatnya dan pernah melihatnya di suatu tempat. Namun, tak ingat jelas di mana. 'Aku sepertinya pernah melihat wajah itu, tetapi di mana?' batin Kembang. Mung berusia sekitar 45 tahun, tingginya sekitar 153cm, dia lebih pendek dari Pandu, dan jelas sekali lebih pendek dari Kembang. Sebab, Kembang lebih tin

  • Pengorbanan Hati sang Ibu Angkat   16. Antar Pulang

    Kembang berjalan, menyusuri jalan setapak, yang di kanan kirinya adalah pohon singkong. Gelap, tetapi gadis itu tak merasa takut. Justru, dia berjalan sembari memegangi pergelangan tangan dan menempelkannya di dada. Tepat di mana Pandu menggenggam tangannya tadi.Kembang tak mengerti, ada apa dengan dirinya sendiri.Dia menunduk, terus mengingat adegan saat Pandu memegangi tangannya, dan memberinya tatapan mata yang dia sendiri susah untuk menjelaskan.Gadis itu seolah melihat sisi lain dari sahabatnya sendiri, entah apa. Langkah Kembang terhenti, saat ia merasa ada yang mengikuti di belakang. Dia berbalik, tak menemukan siapapun, dan tak melihat apapun, hitam karena gelap.Di ujung sana lampu depan rumahnya menyala, dan hanya itulah yang menjadi pacuan Kembang untuk terus berjalan lurus. Bulu kuduknya mulai meremang, ketika kakinya merasakan ada orang lain lagi yang menginjak tanah yang sama. Tidak jauh di belakangnya, dia berdiam merasakan detakan takut juga pundaknya kaku sampa

  • Pengorbanan Hati sang Ibu Angkat   15. Teror Kampung

    Srini lebih dulu selesai makan, dia bangkit dari duduk setelah mencuci tangan pada air di baskom kecil, yang sengaja Kembang sediakan untuk itu. Pandu dan Kembang secara bersamaan menengadah, melihat Srini yang berdiri. "Kalian lanjutlah makan, aku sudah selesai. Aku mau melanjutkan tidur, sepertinya hari ini aku akan tidur lebih cepat," ujar Srini, lalu berjalan meninggalkan dapur, dan hilang setelah ia melewati pintu sekat ruangan yang terbuat dari bilik kayu. Setelah Pandu yakin, Srini sudah masuk ke kamar. "Kenapa kau menginjak kakiku!" Remaja laki-laki itu langsung bertanya pada gadis yang masih duduk, di hadapannya dengan intonasi biasa tapi suaranya tertahan. Kembang yang ditanya seperti itu hanya melirik, kemudian lanjut makan. Pandu gemas, ia balas menginjak kaki Kembang secara ringan. Membuat gadis itu kaget, dan sedikit melotot padanya. "Kenapa kau menginjak kakiku tadi?" Pandu bertanya sekali lagi. "Kau sendiri kenapa mencolek-colek kakiku dengan jempol kakimu

  • Pengorbanan Hati sang Ibu Angkat   14. Makan Malam

    14. Sembari berjalan, Pandu memanggul saringan yang berisi ikan. Ada yang ukurannya besar, sedang dan kecil. Pandu berdiri di balik pintu, tangannya tiba-tiba berhenti saat akan mengetuk pintunya. Dia berpikir dua kali, kalau ia melakukan itu takut Srini yang masih tertidur akan bangun.Alhasil, Pandu memilih membuka pintu langsung secara perlahan. Benar dugaannya, Srini masih tertidur. Untung saja tadi dia tidak mengetuk pintunya. Pelan-pelan setelah menutup pintu, Pandu berjalan ke dapur. Dia melihat Kembang sedang berdiri, memandangi perapian. Begitu Pandu datang, Kembang langsung menoleh."Kau sungguh pergi memancing?" tanya Kembang."Iya ... sesuai perkataanmu, ayo bersihkan ikan-ikan ini, goreng, aku sudah sangat lapar." Pandu menyerahkan ember berisi ikan-ikan yang bergelepak pada Kembang.Gadis itu sampai sesekali berjingkit kaget, saat ikan-ikan mulai melompat-lompat, berebut tempat untuk bernapas, karena air yang sedikit di dalam ember. "Ayo cepat, biar kita bisa makan

  • Pengorbanan Hati sang Ibu Angkat   13. Mancing ikan

    Beberapa saat Kembang yang memasak, menyiapkan makan malam dibantu oleh Pandu, akhirnya sebagian besar telah selesai.Nasi sudah ada di bakul kecil, asapnya mengepul karena masih panas. Tinggal menunggu sayur capcay yang sedang Kembang tumis itu matang. Lauk makan malam kali ini hanya sayur tumis capcay. Pandu yang merasa lauknya kurang banyak, bertanya tanpa malu pada Kembang."Apa lauknya hanya ini saja?"Sambil terus mengaduk-aduk sayur di wajan, Kembang menoleh pada Pandu. "Kalau kau mau makan dengan ikan, pergi mancing dulu sana!"Kemudian, Pandu terdiam. Memikirkan kata-kata Kembang."Kalau begitu, kalau aku dapat ikannya. Apa kau mau membersihkan dan memasakannya untukku?"Kembang menoleh lagi padanya dengan heran. "Tentu saja," jawab Kembang. Bergegaslah remaja laki-laki itu keluar dari rumah Kembang, meninggalkan gadis yang belum selesai memasak menatap kepergiaanya dengan bingung."Apa dia pergi mancing sungguhan?" gumam Kembang, di detik berikutnya dia tertawa, tak didug

  • Pengorbanan Hati sang Ibu Angkat   12. Bantu masak

    12. Dari sisi lapangan, di tengah cahaya matahari sore yang hangat walau masih lumayan panas, tetapi tidak sepanas siang tadi. Kembang tetap diam, memandang remaja laki-laki yang berlari, tertawa, berebut bola dengan senang gembira bersama kawan-kawannya. Senyum lebar, rambut di sekitar wajah basah. Manis. Kembang menyimpulkan kalau Pandu itu manis. "Bagaimana, menurutmu Kembang?" tanya Srini, dia tersenyum simpul melihat cukup lama gadis itu mengarahkan pandangan ke orang yang dia maksud. "Menurutku, Pandu itu manis," katanya. Srini tertawa pelan, mendengar pendapat Kembang. Lagipula, mereka memang masih belum terlalu dewasa. Masih terhitung anak-anak. Kembang dan Srini melanjutkan langkah pulang, sementara Pandu yang dia berjingkrak, tertawa dengan semangat, lalu adu tos dengan teman-teman timnya karena berhasil mencetak gol. Di tengah tawa dan kegembiraannya, pandangannya tak sengaja melihat ke sisi lapangan. Senyumnya perlahan hilang, berganti dengan tatapan fokus melihat

  • Pengorbanan Hati sang Ibu Angkat   11. Keseruan Masa Lalu

    Keesokan harinya, Pandu yang menemani ibunya, bu Ami ke pasar. melihat salah satu lapak yang biasanya kosong, kini sudah diisi oleh seorang penjual baru. Dan yang mengejutkan Pandu adalah, penjual baru itu adalah Kembang dan Srini. Pandu berjalan ke arah mereka, meninggalkan ibunya yang masih belum selesai mengobrol dengan penjual cabai. "Kembang, Bi Srini ... kalian jualan?" tanya Pandu. "Pandu, sedang apa kau di sini?" Kembang bertanya. "Aku ke sini bersama Ibuku, menemaninya belanja, seperti sudah kebiasaan rutin. Tapi, sejak kapan kalian berjualan di sini?""Iya Pandu, mulai saat ini kami berjualan, menjual hasil kebun yang lebih, daripada busuk, mending kami jual saja," kata Srini."Aku mengerti, Bi ... benar, memang daripada busuk. lebih baik jual saja, setidaknya lumayan untuk menambah uang belanja yang lain.""Pandu ...." Bu Ami datang, karena mencari-cari Pandu yang tiba-tiba saja meninggalkannya. "Kamu, Ibu cari-cari ada di sini." Bu Ami langsung melihat ke arah Srini,

  • Pengorbanan Hati sang Ibu Angkat   10. Hal manis

    "Ada. Aku tadi baru saja melihatnya.""Itu bukan seperti apa yang kamu pikirkan, Mahesa. Aku tidak sengaja hampir jatuh, kalau saja Pandu tidak sigap menangkapku tadi!" Kembang, gadis itu menjelaskan dengan serius, menampik pikiran Mahesa. "Heeeum ...." Mahesa memajukan mulutnya, mengejek dan tidak yakin pada apa yang sudah dijelaskan Kembang. Kedua tangan bersedekap dada, sambil menunjukan raut wajah tidak percaya. "Is! Kau ini!" Kembang menyenggol pinggang Pandu menggunakan sikutnya. "Benar, kan, Pandu? Apa yang aku jelaskan?" Pandu tampak terkejut, sempat tergagap menjawab, sampai akhirnya ia mengiyakan. "I-Iya, Mahesa. Lagipula, kita ini sahabat, tidak bisa mesra-mesraan.""He'em!" Kembang berkacak pinggang, menatap Mahesa setelah Pandu mengatakan itu. "Aah! Sudah sudah, terserah kalian saja ...." Anak itu berjalan pergi. "Jam berapa sekarang?" tanya Kembang tiba-tiba, setelah kepergian Mahesa. Pandu melihat ke arah matahari terbenam, lalu ia melihat bayangan mereka berdua.

  • Pengorbanan Hati sang Ibu Angkat   9. Boleh Ikut?

    "Kenapa kau ingin membangun rumah kecil dan itu dari kayu?" tanya Bu Latih. "Aku ingin hidup sederhana mulai sekarang, aku ingin suatu hari menjadi seperti bu Latih yang berhasil karena kegigihan sendiri, memanfaatkan peluang dan juga tidak lupa balas budi," jawabnya. Bu latih tersenyum mendengarnya. "Kau bukan hanya cantik, Srini. Tetapi, sangat menarik."Srini tersenyum. Bu Latih memiliki 2 anak, yang pertama laki-laki, bernama Tirta usianya 15 tahun. Dan yang kedua perempuan, bernama Hera usinya 8 tahun. "Ibumu punya anak berapa?" tanya bu Latih. "Hanya aku saja," jawab Srini. "Sudah lebih dari 15 tahun aku belum sempat ke Distrik Kates lagi, terakhir aku ke sana, saat bersama Hera itupun berkunjung sebentar, sampai saat ini, jujur aku sangat merindukannya.""Mainlah ke sana, Ibu pasti akan senang sekali melihat sahabatnya lagi," ucap Srini. "Aku pasti akan sangat bahagia bisa bertemu dengannya, jika nanti ada waktu apa kau mau menemaniku bertemu Ibumu, Srini"Srini terdiam,

DMCA.com Protection Status