Share

9. Boleh Ikut?

last update Terakhir Diperbarui: 2023-05-24 23:23:42

"Kenapa kau ingin membangun rumah kecil dan itu dari kayu?" tanya Bu Latih. 

"Aku ingin hidup sederhana mulai sekarang, aku ingin suatu hari menjadi seperti bu Latih yang berhasil karena kegigihan sendiri, memanfaatkan peluang dan juga tidak lupa balas budi," jawabnya. 

Bu latih tersenyum mendengarnya. 

"Kau bukan hanya cantik, Srini. Tetapi, sangat menarik."

Srini tersenyum. 

Bu Latih memiliki 2 anak, yang pertama laki-laki, bernama Tirta usianya 15 tahun. Dan yang kedua perempuan, bernama Hera usinya 8 tahun. "Ibumu punya anak berapa?" tanya bu Latih. 

"Hanya aku saja," jawab Srini. 

"Sudah lebih dari 15 tahun aku belum sempat ke Distrik Kates lagi, terakhir aku ke sana, saat bersama Hera itupun berkunjung sebentar, sampai saat ini, jujur aku sangat merindukannya."

"Mainlah ke sana, Ibu pasti akan senang sekali melihat sahabatnya lagi," ucap Srini. 

"Aku pasti akan sangat bahagia bisa bertemu dengannya, jika nanti ada waktu apa kau mau menemaniku bertemu Ibumu, Srini"

Srini terdiam, bukan ia tak mau menemani, hanya saja ayahnya. Ia takut ayahnya akan marah lagi. 

Meski begitu, Srini yang sejak awal tidak menceritakan alasannya ke sini karena lari dari perjodohan dan pertengkaran ayahnya, mengiyakan kata-kata bu Latih. 

"Tentu saja," jawab Srini. 

"Oh, ya Srini. Di mana suamimu? Kenapa yang ke sini hanya kau dan Kembang?" Bu Latih yang mengira, Kembang adalah anak kandung Srini pun mempertanyakan di mana suaminya.

Srini terdiam, kemudian menjawab.

"Aku belum menikah, Kembang adalah anak angkatku," jawabnya. Seusai jawaban itu, Srini berharap kalau bu Latih tidak akan mempertanyakan di mana Srini menemukan Kembang. Dia tidak mau memberi tahu orang lain, kalau Kembang dulunya adalah budak yang dijual belikan. 

Tanpa di duga, bu Latih tersenyum.

"Kau orang yang sangat baik," kata bu Latih.

Kembang pergi memancing dengan Pandu, dia duduk di sisi sungai bersama anak gempal itu. Memegangi kayu kecil dan panjang, menunggu umpan mereka di makan oleh ikan. 

Karena mereka tidak punya joran, Pandu pun membuat dengan cara yang sangat sederhana. Yaitu, menggunakan kayu. 

Sebetulnya, Kembang tidak berniat ikut memancing. Hanya saja, karena dia bosan di rumah bu Latih sendiri, dia memutuskan tidak ikut pada Srini yang akan melihat para pekerja membangun rumah baru mereka bersama bu Latih.

Tirta dan Hera, sudah pergi main sendiri-sendiri. 

Sebelumnya, pak Bejo melihat Kembang duduk di depan rumah sendirian. Ia pun menghampiri gadis cilik itu dan bertanya. "Kembang, kenapa kau masih di sini? Kenapa tidak ikut Ibumu?"

Gadis itu menoleh. "Ah, aku hanya sedang tidak ingin ikut saja, Pak."

Lalu, tiba-tiba anak gempal lewat jalan setapak yang tidak jauh dari rumah bu Latih. 

Anak itu membawa ember, dan membawa kayu kecil yang cukup panjang, sambil memakan paha ayam goreng. 

"Pandu?" gumamnya. 

"Kalau kau bosan di rumah, ikut main saja dengan Pandu. Sepertinya dia akan memancing," kata pak Bejo. 

Kembang pun tertarik, daripada dia diam di rumah tetapi enggan menyusul ibunya juga. Lebih baik, dia ikut Pandu saja. 

"Ah, benar ... kalau begitu, aku pergi dulu, ya," ucapnya, bangun menengadah melihat pak Bejo. 

Lelaki itu memegangi tangan di belakang tubuh, tersenyum. "Pergilah, jika Ibumu nanti pulang akan aku katakan kau pergi main dengan Pandu."

"Terimakasih, Pak!" Kembang tersenyum lebar, dan segera mencicing kain jarik yang melebihi lututnya, dan berlari mengejar Pandu. 

"Pandu!" Bocah itu berbalik, dan menoleh.

"Mau ke mana?" tanya Kembang. 

Pandu membuang tulang ayamnya ke sembarang arah, lalu menjawab."Mau mancing di sungai."

"Boleh aku ikut?" 

"Kau tidak sakit 'kan?" 

Kembang bingung. "Memangnya kenapa?"

"Tidak ada. Hanya saja, sudah 2 minggu kita tidak bertemu setelah kau pindah ke rumah Bibi Ati, dan setiap aku menemuimu untuk mengajak main, kau selalu tidak mau menemuiku ...."

Kembang terdiam, ia tergagap ingin berkata dan menyangkalnya, tetapi tidak ada kata yang pas untuk menjadi alasan. 

"A-aku bukan tidak mau menemuimu ... akhir-akhir ini, aku juga sibuk membantu Bu Os di dapur menyiapkan makan," Alasannya. 

Pandu diam saja. Dia tau Kembang berbohong, tetapi dia tidak mempermasalahkannya. 

"Ja-jadi, bagaimana ... aku boleh ikut?"

"Ayolah," jawab Pandu, dia berbalik dan berjalan duluan. 

Kembang diam-diam bersorak senang, mengatakan 'Yes!' tanpa suara lalu mengikuti Pandu. 

*

Saat sedang memancing, kail Kembang dimangsa lebih dulu oleh ikan. 

"Eh, kenapa punyaku goyang-goyang dan rasanya berat?" tanya Kembang, Pandu melirik. 

"Punyamu dapat itu!" Pandu segera berdiri dan mengambil alih kayu milik Kembang, menariknya, tampak ikan nila tergelepak di atas rumput karena mulutnya lepas dari kail. 

Secepatnya, Pandu mengambil ikan itu dan memasukannya ke dalam ember yang sudah diisi air seperempat oleh Pandu. 

"Waaaah ...." Kembang terkesan, ikan yang memakan kailnya sebesar dua telapak tangannya ketika dijejerkan. 

"Kau hebat," puji Pandu. 

Kembang tersenyum, dan tak lama kemudian kail milik Pandu juga mendapat ikan. 

7 tahun berlalu, secepat membalik halaman buku, dua bocah itu tumbuh dewasa. 

usia Kembang 17 tahun, dan Pandu 16 tahun. Pandu tidak lagi gempal seperti dulu, tubuhnya menjadi langsing. Sekarang dia menjadi salah satu jajaran anak laki-laki tampan di Distrik Waringin. 

Kembang menjadi gadis yang sangat cantik, rambutnya panjang lurus seperti dulu, kulitnya jauh lebih bersih dari saat dia kecil. 

"Kembaaaaaang! Lariiii!" Teriak Pandu. 

Kembang berlari di belakang Pandu, dan Pandu tertawa terbahak-bahak di tidak jauh dari Kembang. Mereka berdua dikejar 3 angsa. 

"Pandu! Tunggu!" teriak Kembang. 

"Cepaaat!" 

Pandu berhenti di bawah pohon, menunggu Kembang. Lalu setelah Kembang sampai, dia membantunya naik ke pohon jambu, setelahnya dia pun ikut naik. 

Di atas pohon jambu, mereka berdua tertawa renyah sambil ngos-ngosan. Menertawakan angsa yang tidak bisa naik, dan beberapa menit angsa-angsa itu pergi. 

Pandu melompat turun, lalu Kembang dia turun perlahan. 

"E-E-Eh! Pandu!" Kaki Kembang merosot dari dahan pohon. 

Bruk!

Reflek, Pandu menangkapnya. 

Di atas sanggaan tangan pandu, Kembang melebarkan matanya, kedua tangan Kembang merangkul leher Pandu. 

Sepasang mata saling bertatapan, lalu berhembus angin sempoi-sempoi yang menerbangkan rambut-rambut tipis milik Kembang. 

"Ekhem!"

Kembang dan Pandu tersadar, segera Pandu menurunkan Kembang saat ada bocah berumur 12 tahun yang memergoki mereka saling diam menatap tanpa kata. 

"Habis lari-larian dikejar soang, langsung mesra-mesraan, ya?" ucap bocah itu, menggoda. Mahesa, cucu almarhum pak De'eng yang rambutannya sering dipetik tanpa izin oleh Pandu, pun sudah tumbuh besar. 

"Mana ada!" Bantah Kembang, sedangkan Pandu terdiam karena merasakan detakan aneh yang begitu awet di dalam dada. 

Bab terkait

  • Pengorbanan Hati sang Ibu Angkat   10. Hal manis

    "Ada. Aku tadi baru saja melihatnya.""Itu bukan seperti apa yang kamu pikirkan, Mahesa. Aku tidak sengaja hampir jatuh, kalau saja Pandu tidak sigap menangkapku tadi!" Kembang, gadis itu menjelaskan dengan serius, menampik pikiran Mahesa. "Heeeum ...." Mahesa memajukan mulutnya, mengejek dan tidak yakin pada apa yang sudah dijelaskan Kembang. Kedua tangan bersedekap dada, sambil menunjukan raut wajah tidak percaya. "Is! Kau ini!" Kembang menyenggol pinggang Pandu menggunakan sikutnya. "Benar, kan, Pandu? Apa yang aku jelaskan?" Pandu tampak terkejut, sempat tergagap menjawab, sampai akhirnya ia mengiyakan. "I-Iya, Mahesa. Lagipula, kita ini sahabat, tidak bisa mesra-mesraan.""He'em!" Kembang berkacak pinggang, menatap Mahesa setelah Pandu mengatakan itu. "Aah! Sudah sudah, terserah kalian saja ...." Anak itu berjalan pergi. "Jam berapa sekarang?" tanya Kembang tiba-tiba, setelah kepergian Mahesa. Pandu melihat ke arah matahari terbenam, lalu ia melihat bayangan mereka berdua.

    Terakhir Diperbarui : 2023-05-28
  • Pengorbanan Hati sang Ibu Angkat   11. Keseruan Masa Lalu

    Keesokan harinya, Pandu yang menemani ibunya, bu Ami ke pasar. melihat salah satu lapak yang biasanya kosong, kini sudah diisi oleh seorang penjual baru. Dan yang mengejutkan Pandu adalah, penjual baru itu adalah Kembang dan Srini. Pandu berjalan ke arah mereka, meninggalkan ibunya yang masih belum selesai mengobrol dengan penjual cabai. "Kembang, Bi Srini ... kalian jualan?" tanya Pandu. "Pandu, sedang apa kau di sini?" Kembang bertanya. "Aku ke sini bersama Ibuku, menemaninya belanja, seperti sudah kebiasaan rutin. Tapi, sejak kapan kalian berjualan di sini?""Iya Pandu, mulai saat ini kami berjualan, menjual hasil kebun yang lebih, daripada busuk, mending kami jual saja," kata Srini."Aku mengerti, Bi ... benar, memang daripada busuk. lebih baik jual saja, setidaknya lumayan untuk menambah uang belanja yang lain.""Pandu ...." Bu Ami datang, karena mencari-cari Pandu yang tiba-tiba saja meninggalkannya. "Kamu, Ibu cari-cari ada di sini." Bu Ami langsung melihat ke arah Srini,

    Terakhir Diperbarui : 2023-06-12
  • Pengorbanan Hati sang Ibu Angkat   12. Bantu masak

    12. Dari sisi lapangan, di tengah cahaya matahari sore yang hangat walau masih lumayan panas, tetapi tidak sepanas siang tadi. Kembang tetap diam, memandang remaja laki-laki yang berlari, tertawa, berebut bola dengan senang gembira bersama kawan-kawannya. Senyum lebar, rambut di sekitar wajah basah. Manis. Kembang menyimpulkan kalau Pandu itu manis. "Bagaimana, menurutmu Kembang?" tanya Srini, dia tersenyum simpul melihat cukup lama gadis itu mengarahkan pandangan ke orang yang dia maksud. "Menurutku, Pandu itu manis," katanya. Srini tertawa pelan, mendengar pendapat Kembang. Lagipula, mereka memang masih belum terlalu dewasa. Masih terhitung anak-anak. Kembang dan Srini melanjutkan langkah pulang, sementara Pandu yang dia berjingkrak, tertawa dengan semangat, lalu adu tos dengan teman-teman timnya karena berhasil mencetak gol. Di tengah tawa dan kegembiraannya, pandangannya tak sengaja melihat ke sisi lapangan. Senyumnya perlahan hilang, berganti dengan tatapan fokus melihat

    Terakhir Diperbarui : 2023-07-19
  • Pengorbanan Hati sang Ibu Angkat   13. Mancing ikan

    Beberapa saat Kembang yang memasak, menyiapkan makan malam dibantu oleh Pandu, akhirnya sebagian besar telah selesai.Nasi sudah ada di bakul kecil, asapnya mengepul karena masih panas. Tinggal menunggu sayur capcay yang sedang Kembang tumis itu matang. Lauk makan malam kali ini hanya sayur tumis capcay. Pandu yang merasa lauknya kurang banyak, bertanya tanpa malu pada Kembang."Apa lauknya hanya ini saja?"Sambil terus mengaduk-aduk sayur di wajan, Kembang menoleh pada Pandu. "Kalau kau mau makan dengan ikan, pergi mancing dulu sana!"Kemudian, Pandu terdiam. Memikirkan kata-kata Kembang."Kalau begitu, kalau aku dapat ikannya. Apa kau mau membersihkan dan memasakannya untukku?"Kembang menoleh lagi padanya dengan heran. "Tentu saja," jawab Kembang. Bergegaslah remaja laki-laki itu keluar dari rumah Kembang, meninggalkan gadis yang belum selesai memasak menatap kepergiaanya dengan bingung."Apa dia pergi mancing sungguhan?" gumam Kembang, di detik berikutnya dia tertawa, tak didug

    Terakhir Diperbarui : 2023-07-27
  • Pengorbanan Hati sang Ibu Angkat   14. Makan Malam

    14. Sembari berjalan, Pandu memanggul saringan yang berisi ikan. Ada yang ukurannya besar, sedang dan kecil. Pandu berdiri di balik pintu, tangannya tiba-tiba berhenti saat akan mengetuk pintunya. Dia berpikir dua kali, kalau ia melakukan itu takut Srini yang masih tertidur akan bangun.Alhasil, Pandu memilih membuka pintu langsung secara perlahan. Benar dugaannya, Srini masih tertidur. Untung saja tadi dia tidak mengetuk pintunya. Pelan-pelan setelah menutup pintu, Pandu berjalan ke dapur. Dia melihat Kembang sedang berdiri, memandangi perapian. Begitu Pandu datang, Kembang langsung menoleh."Kau sungguh pergi memancing?" tanya Kembang."Iya ... sesuai perkataanmu, ayo bersihkan ikan-ikan ini, goreng, aku sudah sangat lapar." Pandu menyerahkan ember berisi ikan-ikan yang bergelepak pada Kembang.Gadis itu sampai sesekali berjingkit kaget, saat ikan-ikan mulai melompat-lompat, berebut tempat untuk bernapas, karena air yang sedikit di dalam ember. "Ayo cepat, biar kita bisa makan

    Terakhir Diperbarui : 2023-08-31
  • Pengorbanan Hati sang Ibu Angkat   15. Teror Kampung

    Srini lebih dulu selesai makan, dia bangkit dari duduk setelah mencuci tangan pada air di baskom kecil, yang sengaja Kembang sediakan untuk itu. Pandu dan Kembang secara bersamaan menengadah, melihat Srini yang berdiri. "Kalian lanjutlah makan, aku sudah selesai. Aku mau melanjutkan tidur, sepertinya hari ini aku akan tidur lebih cepat," ujar Srini, lalu berjalan meninggalkan dapur, dan hilang setelah ia melewati pintu sekat ruangan yang terbuat dari bilik kayu. Setelah Pandu yakin, Srini sudah masuk ke kamar. "Kenapa kau menginjak kakiku!" Remaja laki-laki itu langsung bertanya pada gadis yang masih duduk, di hadapannya dengan intonasi biasa tapi suaranya tertahan. Kembang yang ditanya seperti itu hanya melirik, kemudian lanjut makan. Pandu gemas, ia balas menginjak kaki Kembang secara ringan. Membuat gadis itu kaget, dan sedikit melotot padanya. "Kenapa kau menginjak kakiku tadi?" Pandu bertanya sekali lagi. "Kau sendiri kenapa mencolek-colek kakiku dengan jempol kakimu

    Terakhir Diperbarui : 2023-10-13
  • Pengorbanan Hati sang Ibu Angkat   16. Antar Pulang

    Kembang berjalan, menyusuri jalan setapak, yang di kanan kirinya adalah pohon singkong. Gelap, tetapi gadis itu tak merasa takut. Justru, dia berjalan sembari memegangi pergelangan tangan dan menempelkannya di dada. Tepat di mana Pandu menggenggam tangannya tadi.Kembang tak mengerti, ada apa dengan dirinya sendiri.Dia menunduk, terus mengingat adegan saat Pandu memegangi tangannya, dan memberinya tatapan mata yang dia sendiri susah untuk menjelaskan.Gadis itu seolah melihat sisi lain dari sahabatnya sendiri, entah apa. Langkah Kembang terhenti, saat ia merasa ada yang mengikuti di belakang. Dia berbalik, tak menemukan siapapun, dan tak melihat apapun, hitam karena gelap.Di ujung sana lampu depan rumahnya menyala, dan hanya itulah yang menjadi pacuan Kembang untuk terus berjalan lurus. Bulu kuduknya mulai meremang, ketika kakinya merasakan ada orang lain lagi yang menginjak tanah yang sama. Tidak jauh di belakangnya, dia berdiam merasakan detakan takut juga pundaknya kaku sampa

    Terakhir Diperbarui : 2023-10-13
  • Pengorbanan Hati sang Ibu Angkat   17. Secarik Surat Perkenalan

    Di pasar, saat Kembang dan Srini tengah berjualan. Datang satu pria pendek, tampangnya sangat ramah, cara berjalannya saja semangat sekali ketika mendekati lapak jualan Srini dan Kembang. "Aku ingin beli 1kg lobak putihnya," kata Pria itu pada Srini, tanpa menanyakan berapa harga kiloannya. "Baik, tunggu sebentar, Pak," kata Srini, mengambil plastik dan memasukan beberapa lobak untuk ditimbang. "Jangan panggil aku 'Pak', Nona. Panggil saja aku Mung," ujarnya. Srini tersenyum ramah, mengangguk."Baiklah, tunggu sebentar, Mung."Di sela apa yang yang tengah dilakukan oleh ibunya, yang melayani pria bernama Mung itu.Kembang diam-diam memperhatikan orang tersebut, dia seperti mengingatnya dan pernah melihatnya di suatu tempat. Namun, tak ingat jelas di mana. 'Aku sepertinya pernah melihat wajah itu, tetapi di mana?' batin Kembang. Mung berusia sekitar 45 tahun, tingginya sekitar 153cm, dia lebih pendek dari Pandu, dan jelas sekali lebih pendek dari Kembang. Sebab, Kembang lebih tin

    Terakhir Diperbarui : 2023-10-13

Bab terbaru

  • Pengorbanan Hati sang Ibu Angkat   17. Secarik Surat Perkenalan

    Di pasar, saat Kembang dan Srini tengah berjualan. Datang satu pria pendek, tampangnya sangat ramah, cara berjalannya saja semangat sekali ketika mendekati lapak jualan Srini dan Kembang. "Aku ingin beli 1kg lobak putihnya," kata Pria itu pada Srini, tanpa menanyakan berapa harga kiloannya. "Baik, tunggu sebentar, Pak," kata Srini, mengambil plastik dan memasukan beberapa lobak untuk ditimbang. "Jangan panggil aku 'Pak', Nona. Panggil saja aku Mung," ujarnya. Srini tersenyum ramah, mengangguk."Baiklah, tunggu sebentar, Mung."Di sela apa yang yang tengah dilakukan oleh ibunya, yang melayani pria bernama Mung itu.Kembang diam-diam memperhatikan orang tersebut, dia seperti mengingatnya dan pernah melihatnya di suatu tempat. Namun, tak ingat jelas di mana. 'Aku sepertinya pernah melihat wajah itu, tetapi di mana?' batin Kembang. Mung berusia sekitar 45 tahun, tingginya sekitar 153cm, dia lebih pendek dari Pandu, dan jelas sekali lebih pendek dari Kembang. Sebab, Kembang lebih tin

  • Pengorbanan Hati sang Ibu Angkat   16. Antar Pulang

    Kembang berjalan, menyusuri jalan setapak, yang di kanan kirinya adalah pohon singkong. Gelap, tetapi gadis itu tak merasa takut. Justru, dia berjalan sembari memegangi pergelangan tangan dan menempelkannya di dada. Tepat di mana Pandu menggenggam tangannya tadi.Kembang tak mengerti, ada apa dengan dirinya sendiri.Dia menunduk, terus mengingat adegan saat Pandu memegangi tangannya, dan memberinya tatapan mata yang dia sendiri susah untuk menjelaskan.Gadis itu seolah melihat sisi lain dari sahabatnya sendiri, entah apa. Langkah Kembang terhenti, saat ia merasa ada yang mengikuti di belakang. Dia berbalik, tak menemukan siapapun, dan tak melihat apapun, hitam karena gelap.Di ujung sana lampu depan rumahnya menyala, dan hanya itulah yang menjadi pacuan Kembang untuk terus berjalan lurus. Bulu kuduknya mulai meremang, ketika kakinya merasakan ada orang lain lagi yang menginjak tanah yang sama. Tidak jauh di belakangnya, dia berdiam merasakan detakan takut juga pundaknya kaku sampa

  • Pengorbanan Hati sang Ibu Angkat   15. Teror Kampung

    Srini lebih dulu selesai makan, dia bangkit dari duduk setelah mencuci tangan pada air di baskom kecil, yang sengaja Kembang sediakan untuk itu. Pandu dan Kembang secara bersamaan menengadah, melihat Srini yang berdiri. "Kalian lanjutlah makan, aku sudah selesai. Aku mau melanjutkan tidur, sepertinya hari ini aku akan tidur lebih cepat," ujar Srini, lalu berjalan meninggalkan dapur, dan hilang setelah ia melewati pintu sekat ruangan yang terbuat dari bilik kayu. Setelah Pandu yakin, Srini sudah masuk ke kamar. "Kenapa kau menginjak kakiku!" Remaja laki-laki itu langsung bertanya pada gadis yang masih duduk, di hadapannya dengan intonasi biasa tapi suaranya tertahan. Kembang yang ditanya seperti itu hanya melirik, kemudian lanjut makan. Pandu gemas, ia balas menginjak kaki Kembang secara ringan. Membuat gadis itu kaget, dan sedikit melotot padanya. "Kenapa kau menginjak kakiku tadi?" Pandu bertanya sekali lagi. "Kau sendiri kenapa mencolek-colek kakiku dengan jempol kakimu

  • Pengorbanan Hati sang Ibu Angkat   14. Makan Malam

    14. Sembari berjalan, Pandu memanggul saringan yang berisi ikan. Ada yang ukurannya besar, sedang dan kecil. Pandu berdiri di balik pintu, tangannya tiba-tiba berhenti saat akan mengetuk pintunya. Dia berpikir dua kali, kalau ia melakukan itu takut Srini yang masih tertidur akan bangun.Alhasil, Pandu memilih membuka pintu langsung secara perlahan. Benar dugaannya, Srini masih tertidur. Untung saja tadi dia tidak mengetuk pintunya. Pelan-pelan setelah menutup pintu, Pandu berjalan ke dapur. Dia melihat Kembang sedang berdiri, memandangi perapian. Begitu Pandu datang, Kembang langsung menoleh."Kau sungguh pergi memancing?" tanya Kembang."Iya ... sesuai perkataanmu, ayo bersihkan ikan-ikan ini, goreng, aku sudah sangat lapar." Pandu menyerahkan ember berisi ikan-ikan yang bergelepak pada Kembang.Gadis itu sampai sesekali berjingkit kaget, saat ikan-ikan mulai melompat-lompat, berebut tempat untuk bernapas, karena air yang sedikit di dalam ember. "Ayo cepat, biar kita bisa makan

  • Pengorbanan Hati sang Ibu Angkat   13. Mancing ikan

    Beberapa saat Kembang yang memasak, menyiapkan makan malam dibantu oleh Pandu, akhirnya sebagian besar telah selesai.Nasi sudah ada di bakul kecil, asapnya mengepul karena masih panas. Tinggal menunggu sayur capcay yang sedang Kembang tumis itu matang. Lauk makan malam kali ini hanya sayur tumis capcay. Pandu yang merasa lauknya kurang banyak, bertanya tanpa malu pada Kembang."Apa lauknya hanya ini saja?"Sambil terus mengaduk-aduk sayur di wajan, Kembang menoleh pada Pandu. "Kalau kau mau makan dengan ikan, pergi mancing dulu sana!"Kemudian, Pandu terdiam. Memikirkan kata-kata Kembang."Kalau begitu, kalau aku dapat ikannya. Apa kau mau membersihkan dan memasakannya untukku?"Kembang menoleh lagi padanya dengan heran. "Tentu saja," jawab Kembang. Bergegaslah remaja laki-laki itu keluar dari rumah Kembang, meninggalkan gadis yang belum selesai memasak menatap kepergiaanya dengan bingung."Apa dia pergi mancing sungguhan?" gumam Kembang, di detik berikutnya dia tertawa, tak didug

  • Pengorbanan Hati sang Ibu Angkat   12. Bantu masak

    12. Dari sisi lapangan, di tengah cahaya matahari sore yang hangat walau masih lumayan panas, tetapi tidak sepanas siang tadi. Kembang tetap diam, memandang remaja laki-laki yang berlari, tertawa, berebut bola dengan senang gembira bersama kawan-kawannya. Senyum lebar, rambut di sekitar wajah basah. Manis. Kembang menyimpulkan kalau Pandu itu manis. "Bagaimana, menurutmu Kembang?" tanya Srini, dia tersenyum simpul melihat cukup lama gadis itu mengarahkan pandangan ke orang yang dia maksud. "Menurutku, Pandu itu manis," katanya. Srini tertawa pelan, mendengar pendapat Kembang. Lagipula, mereka memang masih belum terlalu dewasa. Masih terhitung anak-anak. Kembang dan Srini melanjutkan langkah pulang, sementara Pandu yang dia berjingkrak, tertawa dengan semangat, lalu adu tos dengan teman-teman timnya karena berhasil mencetak gol. Di tengah tawa dan kegembiraannya, pandangannya tak sengaja melihat ke sisi lapangan. Senyumnya perlahan hilang, berganti dengan tatapan fokus melihat

  • Pengorbanan Hati sang Ibu Angkat   11. Keseruan Masa Lalu

    Keesokan harinya, Pandu yang menemani ibunya, bu Ami ke pasar. melihat salah satu lapak yang biasanya kosong, kini sudah diisi oleh seorang penjual baru. Dan yang mengejutkan Pandu adalah, penjual baru itu adalah Kembang dan Srini. Pandu berjalan ke arah mereka, meninggalkan ibunya yang masih belum selesai mengobrol dengan penjual cabai. "Kembang, Bi Srini ... kalian jualan?" tanya Pandu. "Pandu, sedang apa kau di sini?" Kembang bertanya. "Aku ke sini bersama Ibuku, menemaninya belanja, seperti sudah kebiasaan rutin. Tapi, sejak kapan kalian berjualan di sini?""Iya Pandu, mulai saat ini kami berjualan, menjual hasil kebun yang lebih, daripada busuk, mending kami jual saja," kata Srini."Aku mengerti, Bi ... benar, memang daripada busuk. lebih baik jual saja, setidaknya lumayan untuk menambah uang belanja yang lain.""Pandu ...." Bu Ami datang, karena mencari-cari Pandu yang tiba-tiba saja meninggalkannya. "Kamu, Ibu cari-cari ada di sini." Bu Ami langsung melihat ke arah Srini,

  • Pengorbanan Hati sang Ibu Angkat   10. Hal manis

    "Ada. Aku tadi baru saja melihatnya.""Itu bukan seperti apa yang kamu pikirkan, Mahesa. Aku tidak sengaja hampir jatuh, kalau saja Pandu tidak sigap menangkapku tadi!" Kembang, gadis itu menjelaskan dengan serius, menampik pikiran Mahesa. "Heeeum ...." Mahesa memajukan mulutnya, mengejek dan tidak yakin pada apa yang sudah dijelaskan Kembang. Kedua tangan bersedekap dada, sambil menunjukan raut wajah tidak percaya. "Is! Kau ini!" Kembang menyenggol pinggang Pandu menggunakan sikutnya. "Benar, kan, Pandu? Apa yang aku jelaskan?" Pandu tampak terkejut, sempat tergagap menjawab, sampai akhirnya ia mengiyakan. "I-Iya, Mahesa. Lagipula, kita ini sahabat, tidak bisa mesra-mesraan.""He'em!" Kembang berkacak pinggang, menatap Mahesa setelah Pandu mengatakan itu. "Aah! Sudah sudah, terserah kalian saja ...." Anak itu berjalan pergi. "Jam berapa sekarang?" tanya Kembang tiba-tiba, setelah kepergian Mahesa. Pandu melihat ke arah matahari terbenam, lalu ia melihat bayangan mereka berdua.

  • Pengorbanan Hati sang Ibu Angkat   9. Boleh Ikut?

    "Kenapa kau ingin membangun rumah kecil dan itu dari kayu?" tanya Bu Latih. "Aku ingin hidup sederhana mulai sekarang, aku ingin suatu hari menjadi seperti bu Latih yang berhasil karena kegigihan sendiri, memanfaatkan peluang dan juga tidak lupa balas budi," jawabnya. Bu latih tersenyum mendengarnya. "Kau bukan hanya cantik, Srini. Tetapi, sangat menarik."Srini tersenyum. Bu Latih memiliki 2 anak, yang pertama laki-laki, bernama Tirta usianya 15 tahun. Dan yang kedua perempuan, bernama Hera usinya 8 tahun. "Ibumu punya anak berapa?" tanya bu Latih. "Hanya aku saja," jawab Srini. "Sudah lebih dari 15 tahun aku belum sempat ke Distrik Kates lagi, terakhir aku ke sana, saat bersama Hera itupun berkunjung sebentar, sampai saat ini, jujur aku sangat merindukannya.""Mainlah ke sana, Ibu pasti akan senang sekali melihat sahabatnya lagi," ucap Srini. "Aku pasti akan sangat bahagia bisa bertemu dengannya, jika nanti ada waktu apa kau mau menemaniku bertemu Ibumu, Srini"Srini terdiam,

DMCA.com Protection Status