Obrolan terus berlanjut sampai beberapa menit, sampai Pandu kembali.
"Ayo Kembang, main denganku sebentar saja," katanya lagi. Kembang kembali gelisah.
Namun, kesempatan kali ini tidak berpihak padanya.
"Mainlah Kembang, akrabkan dirimu dengan teman barumu, sepertinya mulai detik ini, kita akan tinggal di distrik ini juga." Srini berbisik di dekat telinga gadis itu. Kembang menoleh, ia dan Srini saling pandang sampai Srini tersenyum dan mengangguk meyakinkan.
Akhirnya, Kembang harus menerima ajakan Pandu walau dengan sangat terpaksa.
"Kau mau mengajakku ke mana?" tanya Kembang. Setelah cukup lama terus membisu sejak pertama kali bertemu, akhirnya dia berani angkat bicara pada Pandu.
Malam-malam. Mereka berdua tengah berjalan di jalan tanah berbatu di desa itu, melewati beberapa rumah orang lain dengan lampu putih dan ada juga lampu cahaya orange
Alih-alih menjawab pertanyaan Kembang, Pandu malah tersenyum padanya.
"Kembang, kau sangat cantik ... aku suka padamu."
Seketika Kembang berhenti berjalan. Dia kaget mendengar ungkapan Pandu. Pandu yang sudah berjalan beberapa langkah darinya berhenti, menoleh melihat Kembang yang tertinggal.
"Ada apa? Ayo ...," katanya.
"Apa kau sadar ucapanmu itu?" tanya Kembang.
"Apa? Yang mana? Tentang kau cantik? Apa aku salah ...? Bukankah, kau memang cantik?"
"Ah! Sudahlah! Sebenarnya kau mau mengajakku ke mana?! Jangan jauh-jauh, aku masih lelah ...." Kembang kesal, dia tidak nyaman mendengar ungkapan Pandu. Tetapi, ketika kalimat terakhirnya ... Kembang sempat di buat malu.
"Ikuti saja aku ...," kata Pandu.
Mereka terus berjalan, Kembang termenung sembari melihat langkah kakinya. Ia menatap ke depan dan memanggil Pandu. Ingin memastikan sesuatu.
"Hei!" Pandu tidak menoleh.
"Hei, apa kau dengar aku?"
Kali ini Pandu menoleh ke belakang, ke arah Kembang tetapi tidak menjawab.
"Kau kenapa sih?! Aku memanggilmu loh!"
"Memanggil siapa? Kalau kau memanggilku, coba sebut namaku mulai sekarang. Aku sudah menyebut namamu, tapi kamu tidak."
Kembang memejamkan mata, menarik napas. Apa yang dikatakan Pandu memang benar, sejak tadi dia tidak menyebut namanya.
"Hei Pandu." Kali ini dia menyebutnya.
"Apa?" Pandu berbalik, dan menjawab.
"Soal yang kau katakan tadi ...."
"Soal Apa?"
"Soal aku ... apa di matamu aku cantik?"
Pandu berhenti, ia terdiam lalu tersenyum.
"Apa kamu tak sadar diri? Dirimu cantik, Kembang. Seperti Ibumu."
"Apa?"
"Kau cantik seperti Ibumu ... ayahmu pasti sangat beruntung memiliki kalian."
"Tapi ... dia bukan Ibu kandungku, dia Ibu angkatku."
Pandu langsung berhenti lagi. Dia menoleh pada Kembang dengan tatapan sulit diartikan.
"Apa? Dia bukan Ibu aslimu?"
Kembang diam. Berulang kali begitu, berhenti berjalan berhenti kesekian kalinya. Gadis itu mematung, karena telah mengatakan hal yang seharusnya tidak dikatakan.
"Um ... walau dia Ibu Angkatku, tapi aku sangat bahagia bersamanya, aku senang, bahkan aku sangat bersyukur. Dia Ibu yang baik, dan tentunya aku pun akan menjadi anak yang baik untuknya ... aku harap, aku selalu bisa bersamanya," jelas Kembang. Pandu tersenyum, lalu mengacungkan dua jempol.
Mereka lanjut berjalan. Kali ini tidak lama, mereka telah sampai. Tepatnya, di bawah pohon rambutan di samping rumah reot satu lampu bewarna orange di bagian atas depan rumah, yang nampaknya tak berpenghuni.
"Mau apa kita di sini?" tanya Kembang.
"Petik rambutan. Ayo!" Pandu mengambil galah yang tergeletak, terbenam oleh rumput-rumput yang tingginya sebetis mereka.
Dia mulai mengambil rambutan, sedangkan Kembang melongo berdiri melihatnya.
"Kembang, bantu aku! Jangan diam saja!"
"Kau mengajakku mencuri?"
"Rumah ini kosong sudah lama, pohon rambutan ini juga dibiarkan begitu saja. Ayo daripada terbuang jatuh dan busuk, lebih baik kita petik dan makan."
Kembang memperhatikan ujung galah bagian bawah yang Pandu ganjalkan pada perut bulatnya.
"Pf ... Pft ... Hahahahaha." Kembang menertawakannya.
Saat sedang asik tertawa, Pandu tiba-tiba berteriak.
"Kembaaaang! Awaaas ...!"
Belum juga Kembang menyadari apa maksud kata awas dari Pandu, dan lagi ia masih tertawa menertawakan anak laki-laki gembul itu.
Tiba-tiba saja .... Bruk!
"KEMBAAAAANG!" Pandu berteriak.
Satu tangkai yang penuh rambutan jatuh tepat di kepala Kembang. Gadis kecil itu berjongkok, memegangi pucuk kepalanya dan mengaduh.
"Aaaadddduuuuhh ...."
Serta rambutan yang harusnya bergerombol, sebagian berserakan, beberapa daun kering dan daun hijau rambutan menempel di bagian pundak dan punggung baju kebaya yang Kembang pakai.
"Kau tak apa?" tanya Pandu, khawatir.
"Kau bagaimana sih! Kenapa kau jatuhkan di kepalaku?! Aduuh!"
"A-aku tidak sengaja, tadi rambutan itu kupetik di dahan yang kebetulan ada jauh di atas kepalamu."
***
"Bagaimana cara kita membawanya?" tanya Kembang. Melihat rambutan yang berserakan di tanah dan rumput.
Pandu mencopot bajunya. Perut bulatnya terlihat jelas. Pandu bertelanj4ng dada. Dia meletakan di atas rumput, melebarkannya lalu memindahkan satu satu rambutan ke atas bajunya.
"Kenapa kau pakai bajumu untuk wadah rambutan?"
"Kalau aku suruh pakai bajumu itu, apa kau mau?"
Kembang mendelik, dia merangkul tubuhnya sendiri. "Jangan bercanda!"
"Hahahahaha ...." Pandu tertawa, "kau tambah cantik saat marah."
"Hei berhentilah!"
"Untuk apa berhenti, rambutannya masih banyak dan belum kupindahkan semua."
"Bukan itu maksudku!"
Pandu tertawa lagi, dia terhibur bisa bercanda jahil dengan Kembang.
Kembang berjalan di belakang Pandu yang terus memakan rambutan, meninggalkan banyak kulit rambutan di sepanjang jalan yang sudah mereka lewati. Baju Pandu yang besar, mampu menjadi kantong untuk wadah rambutan yang banyak. Anak itu membawanya dengan cara memeluknya di depan perut. Di belakang, Kembang hanya diam memerhatikan anak laki-laki gempal yang terus melempar kulit, dan biji rambutan ke sembarang arah.Pandu dengan sengaja melambatkan langkah kakinya, membuat Kembang tanpa sadar berjalan di belakang Pandu dengan jarak 1 meter. Dekat sekali."Apa kau belum kenyang?" Kembang bertanya. "Belum, kenapa? Kau mau?" Pandu berhenti dan berbalik, menampakan mulutnya yang sedikit terbuka, juga sebelah pipinya lebih besar sebelah. Itu karena sebiji rambutan langsung dia simpan di sisi gigi, lantaran saat ia akan mengunyahnya Kembang malah bertanya. "Tidak. Aku masih kenyang," jawab Kembang. Pandu kembali berbalik, dan lanjut berjalan. "Apa setiap hari kau selalu mencuri rambutan itu
Seorang wanita masuk ke dalam rumah, Bu Ami. Ia membawa rantang putih dan memanggil-manggil nama Bu Ami. "Ami ...!"Srini yang mendengarnya bergegas ke keluar untuk menemui orang tersebut. Begitu ia keluar, wanita itu tanpak bingung. "Kau siapa?" tanya wanita yang lebih tua dari Bu Ami. Usinya 44 tahun.Srini tersenyum. "Maaf, aku Srini, sore kemarin bertemu Bu Ami di rumah makan." Srini pun akhirnya menceritakan awal mula ia bisa ada di rumah bu Ami. Wanita itu tampak ramah, dia mendengarkan Srini dan mengangguk. "Oh, jadi kau dari Distrik Kates? itu adalah tempat kelahiran kami," kata wanita itu. "Iya, tadi aku terbangun karena mencium bau bawang. Saat aku ke dapur, Bu Ami tidak ada, yang ada hanyalah kuali yang mengepul di atas tungku dan bawang goreng yang sudah gosong."Mendengar itu, wanita tersebut terkejut. "Ami ini dasar ceroboh ....""Mbak Ati?" Bu Ami kembali, sembari membawa piring plastik yang penuh dengan cabai."Ami, kau dari mana saja. Meninggalkan bawang di kuali
"Kenapa kau ingin membangun rumah kecil dan itu dari kayu?" tanya Bu Latih. "Aku ingin hidup sederhana mulai sekarang, aku ingin suatu hari menjadi seperti bu Latih yang berhasil karena kegigihan sendiri, memanfaatkan peluang dan juga tidak lupa balas budi," jawabnya. Bu latih tersenyum mendengarnya. "Kau bukan hanya cantik, Srini. Tetapi, sangat menarik."Srini tersenyum. Bu Latih memiliki 2 anak, yang pertama laki-laki, bernama Tirta usianya 15 tahun. Dan yang kedua perempuan, bernama Hera usinya 8 tahun. "Ibumu punya anak berapa?" tanya bu Latih. "Hanya aku saja," jawab Srini. "Sudah lebih dari 15 tahun aku belum sempat ke Distrik Kates lagi, terakhir aku ke sana, saat bersama Hera itupun berkunjung sebentar, sampai saat ini, jujur aku sangat merindukannya.""Mainlah ke sana, Ibu pasti akan senang sekali melihat sahabatnya lagi," ucap Srini. "Aku pasti akan sangat bahagia bisa bertemu dengannya, jika nanti ada waktu apa kau mau menemaniku bertemu Ibumu, Srini"Srini terdiam,
"Ada. Aku tadi baru saja melihatnya.""Itu bukan seperti apa yang kamu pikirkan, Mahesa. Aku tidak sengaja hampir jatuh, kalau saja Pandu tidak sigap menangkapku tadi!" Kembang, gadis itu menjelaskan dengan serius, menampik pikiran Mahesa. "Heeeum ...." Mahesa memajukan mulutnya, mengejek dan tidak yakin pada apa yang sudah dijelaskan Kembang. Kedua tangan bersedekap dada, sambil menunjukan raut wajah tidak percaya. "Is! Kau ini!" Kembang menyenggol pinggang Pandu menggunakan sikutnya. "Benar, kan, Pandu? Apa yang aku jelaskan?" Pandu tampak terkejut, sempat tergagap menjawab, sampai akhirnya ia mengiyakan. "I-Iya, Mahesa. Lagipula, kita ini sahabat, tidak bisa mesra-mesraan.""He'em!" Kembang berkacak pinggang, menatap Mahesa setelah Pandu mengatakan itu. "Aah! Sudah sudah, terserah kalian saja ...." Anak itu berjalan pergi. "Jam berapa sekarang?" tanya Kembang tiba-tiba, setelah kepergian Mahesa. Pandu melihat ke arah matahari terbenam, lalu ia melihat bayangan mereka berdua.
Keesokan harinya, Pandu yang menemani ibunya, bu Ami ke pasar. melihat salah satu lapak yang biasanya kosong, kini sudah diisi oleh seorang penjual baru. Dan yang mengejutkan Pandu adalah, penjual baru itu adalah Kembang dan Srini. Pandu berjalan ke arah mereka, meninggalkan ibunya yang masih belum selesai mengobrol dengan penjual cabai. "Kembang, Bi Srini ... kalian jualan?" tanya Pandu. "Pandu, sedang apa kau di sini?" Kembang bertanya. "Aku ke sini bersama Ibuku, menemaninya belanja, seperti sudah kebiasaan rutin. Tapi, sejak kapan kalian berjualan di sini?""Iya Pandu, mulai saat ini kami berjualan, menjual hasil kebun yang lebih, daripada busuk, mending kami jual saja," kata Srini."Aku mengerti, Bi ... benar, memang daripada busuk. lebih baik jual saja, setidaknya lumayan untuk menambah uang belanja yang lain.""Pandu ...." Bu Ami datang, karena mencari-cari Pandu yang tiba-tiba saja meninggalkannya. "Kamu, Ibu cari-cari ada di sini." Bu Ami langsung melihat ke arah Srini,
12. Dari sisi lapangan, di tengah cahaya matahari sore yang hangat walau masih lumayan panas, tetapi tidak sepanas siang tadi. Kembang tetap diam, memandang remaja laki-laki yang berlari, tertawa, berebut bola dengan senang gembira bersama kawan-kawannya. Senyum lebar, rambut di sekitar wajah basah. Manis. Kembang menyimpulkan kalau Pandu itu manis. "Bagaimana, menurutmu Kembang?" tanya Srini, dia tersenyum simpul melihat cukup lama gadis itu mengarahkan pandangan ke orang yang dia maksud. "Menurutku, Pandu itu manis," katanya. Srini tertawa pelan, mendengar pendapat Kembang. Lagipula, mereka memang masih belum terlalu dewasa. Masih terhitung anak-anak. Kembang dan Srini melanjutkan langkah pulang, sementara Pandu yang dia berjingkrak, tertawa dengan semangat, lalu adu tos dengan teman-teman timnya karena berhasil mencetak gol. Di tengah tawa dan kegembiraannya, pandangannya tak sengaja melihat ke sisi lapangan. Senyumnya perlahan hilang, berganti dengan tatapan fokus melihat
Beberapa saat Kembang yang memasak, menyiapkan makan malam dibantu oleh Pandu, akhirnya sebagian besar telah selesai.Nasi sudah ada di bakul kecil, asapnya mengepul karena masih panas. Tinggal menunggu sayur capcay yang sedang Kembang tumis itu matang. Lauk makan malam kali ini hanya sayur tumis capcay. Pandu yang merasa lauknya kurang banyak, bertanya tanpa malu pada Kembang."Apa lauknya hanya ini saja?"Sambil terus mengaduk-aduk sayur di wajan, Kembang menoleh pada Pandu. "Kalau kau mau makan dengan ikan, pergi mancing dulu sana!"Kemudian, Pandu terdiam. Memikirkan kata-kata Kembang."Kalau begitu, kalau aku dapat ikannya. Apa kau mau membersihkan dan memasakannya untukku?"Kembang menoleh lagi padanya dengan heran. "Tentu saja," jawab Kembang. Bergegaslah remaja laki-laki itu keluar dari rumah Kembang, meninggalkan gadis yang belum selesai memasak menatap kepergiaanya dengan bingung."Apa dia pergi mancing sungguhan?" gumam Kembang, di detik berikutnya dia tertawa, tak didug
14. Sembari berjalan, Pandu memanggul saringan yang berisi ikan. Ada yang ukurannya besar, sedang dan kecil. Pandu berdiri di balik pintu, tangannya tiba-tiba berhenti saat akan mengetuk pintunya. Dia berpikir dua kali, kalau ia melakukan itu takut Srini yang masih tertidur akan bangun.Alhasil, Pandu memilih membuka pintu langsung secara perlahan. Benar dugaannya, Srini masih tertidur. Untung saja tadi dia tidak mengetuk pintunya. Pelan-pelan setelah menutup pintu, Pandu berjalan ke dapur. Dia melihat Kembang sedang berdiri, memandangi perapian. Begitu Pandu datang, Kembang langsung menoleh."Kau sungguh pergi memancing?" tanya Kembang."Iya ... sesuai perkataanmu, ayo bersihkan ikan-ikan ini, goreng, aku sudah sangat lapar." Pandu menyerahkan ember berisi ikan-ikan yang bergelepak pada Kembang.Gadis itu sampai sesekali berjingkit kaget, saat ikan-ikan mulai melompat-lompat, berebut tempat untuk bernapas, karena air yang sedikit di dalam ember. "Ayo cepat, biar kita bisa makan
Di pasar, saat Kembang dan Srini tengah berjualan. Datang satu pria pendek, tampangnya sangat ramah, cara berjalannya saja semangat sekali ketika mendekati lapak jualan Srini dan Kembang. "Aku ingin beli 1kg lobak putihnya," kata Pria itu pada Srini, tanpa menanyakan berapa harga kiloannya. "Baik, tunggu sebentar, Pak," kata Srini, mengambil plastik dan memasukan beberapa lobak untuk ditimbang. "Jangan panggil aku 'Pak', Nona. Panggil saja aku Mung," ujarnya. Srini tersenyum ramah, mengangguk."Baiklah, tunggu sebentar, Mung."Di sela apa yang yang tengah dilakukan oleh ibunya, yang melayani pria bernama Mung itu.Kembang diam-diam memperhatikan orang tersebut, dia seperti mengingatnya dan pernah melihatnya di suatu tempat. Namun, tak ingat jelas di mana. 'Aku sepertinya pernah melihat wajah itu, tetapi di mana?' batin Kembang. Mung berusia sekitar 45 tahun, tingginya sekitar 153cm, dia lebih pendek dari Pandu, dan jelas sekali lebih pendek dari Kembang. Sebab, Kembang lebih tin
Kembang berjalan, menyusuri jalan setapak, yang di kanan kirinya adalah pohon singkong. Gelap, tetapi gadis itu tak merasa takut. Justru, dia berjalan sembari memegangi pergelangan tangan dan menempelkannya di dada. Tepat di mana Pandu menggenggam tangannya tadi.Kembang tak mengerti, ada apa dengan dirinya sendiri.Dia menunduk, terus mengingat adegan saat Pandu memegangi tangannya, dan memberinya tatapan mata yang dia sendiri susah untuk menjelaskan.Gadis itu seolah melihat sisi lain dari sahabatnya sendiri, entah apa. Langkah Kembang terhenti, saat ia merasa ada yang mengikuti di belakang. Dia berbalik, tak menemukan siapapun, dan tak melihat apapun, hitam karena gelap.Di ujung sana lampu depan rumahnya menyala, dan hanya itulah yang menjadi pacuan Kembang untuk terus berjalan lurus. Bulu kuduknya mulai meremang, ketika kakinya merasakan ada orang lain lagi yang menginjak tanah yang sama. Tidak jauh di belakangnya, dia berdiam merasakan detakan takut juga pundaknya kaku sampa
Srini lebih dulu selesai makan, dia bangkit dari duduk setelah mencuci tangan pada air di baskom kecil, yang sengaja Kembang sediakan untuk itu. Pandu dan Kembang secara bersamaan menengadah, melihat Srini yang berdiri. "Kalian lanjutlah makan, aku sudah selesai. Aku mau melanjutkan tidur, sepertinya hari ini aku akan tidur lebih cepat," ujar Srini, lalu berjalan meninggalkan dapur, dan hilang setelah ia melewati pintu sekat ruangan yang terbuat dari bilik kayu. Setelah Pandu yakin, Srini sudah masuk ke kamar. "Kenapa kau menginjak kakiku!" Remaja laki-laki itu langsung bertanya pada gadis yang masih duduk, di hadapannya dengan intonasi biasa tapi suaranya tertahan. Kembang yang ditanya seperti itu hanya melirik, kemudian lanjut makan. Pandu gemas, ia balas menginjak kaki Kembang secara ringan. Membuat gadis itu kaget, dan sedikit melotot padanya. "Kenapa kau menginjak kakiku tadi?" Pandu bertanya sekali lagi. "Kau sendiri kenapa mencolek-colek kakiku dengan jempol kakimu
14. Sembari berjalan, Pandu memanggul saringan yang berisi ikan. Ada yang ukurannya besar, sedang dan kecil. Pandu berdiri di balik pintu, tangannya tiba-tiba berhenti saat akan mengetuk pintunya. Dia berpikir dua kali, kalau ia melakukan itu takut Srini yang masih tertidur akan bangun.Alhasil, Pandu memilih membuka pintu langsung secara perlahan. Benar dugaannya, Srini masih tertidur. Untung saja tadi dia tidak mengetuk pintunya. Pelan-pelan setelah menutup pintu, Pandu berjalan ke dapur. Dia melihat Kembang sedang berdiri, memandangi perapian. Begitu Pandu datang, Kembang langsung menoleh."Kau sungguh pergi memancing?" tanya Kembang."Iya ... sesuai perkataanmu, ayo bersihkan ikan-ikan ini, goreng, aku sudah sangat lapar." Pandu menyerahkan ember berisi ikan-ikan yang bergelepak pada Kembang.Gadis itu sampai sesekali berjingkit kaget, saat ikan-ikan mulai melompat-lompat, berebut tempat untuk bernapas, karena air yang sedikit di dalam ember. "Ayo cepat, biar kita bisa makan
Beberapa saat Kembang yang memasak, menyiapkan makan malam dibantu oleh Pandu, akhirnya sebagian besar telah selesai.Nasi sudah ada di bakul kecil, asapnya mengepul karena masih panas. Tinggal menunggu sayur capcay yang sedang Kembang tumis itu matang. Lauk makan malam kali ini hanya sayur tumis capcay. Pandu yang merasa lauknya kurang banyak, bertanya tanpa malu pada Kembang."Apa lauknya hanya ini saja?"Sambil terus mengaduk-aduk sayur di wajan, Kembang menoleh pada Pandu. "Kalau kau mau makan dengan ikan, pergi mancing dulu sana!"Kemudian, Pandu terdiam. Memikirkan kata-kata Kembang."Kalau begitu, kalau aku dapat ikannya. Apa kau mau membersihkan dan memasakannya untukku?"Kembang menoleh lagi padanya dengan heran. "Tentu saja," jawab Kembang. Bergegaslah remaja laki-laki itu keluar dari rumah Kembang, meninggalkan gadis yang belum selesai memasak menatap kepergiaanya dengan bingung."Apa dia pergi mancing sungguhan?" gumam Kembang, di detik berikutnya dia tertawa, tak didug
12. Dari sisi lapangan, di tengah cahaya matahari sore yang hangat walau masih lumayan panas, tetapi tidak sepanas siang tadi. Kembang tetap diam, memandang remaja laki-laki yang berlari, tertawa, berebut bola dengan senang gembira bersama kawan-kawannya. Senyum lebar, rambut di sekitar wajah basah. Manis. Kembang menyimpulkan kalau Pandu itu manis. "Bagaimana, menurutmu Kembang?" tanya Srini, dia tersenyum simpul melihat cukup lama gadis itu mengarahkan pandangan ke orang yang dia maksud. "Menurutku, Pandu itu manis," katanya. Srini tertawa pelan, mendengar pendapat Kembang. Lagipula, mereka memang masih belum terlalu dewasa. Masih terhitung anak-anak. Kembang dan Srini melanjutkan langkah pulang, sementara Pandu yang dia berjingkrak, tertawa dengan semangat, lalu adu tos dengan teman-teman timnya karena berhasil mencetak gol. Di tengah tawa dan kegembiraannya, pandangannya tak sengaja melihat ke sisi lapangan. Senyumnya perlahan hilang, berganti dengan tatapan fokus melihat
Keesokan harinya, Pandu yang menemani ibunya, bu Ami ke pasar. melihat salah satu lapak yang biasanya kosong, kini sudah diisi oleh seorang penjual baru. Dan yang mengejutkan Pandu adalah, penjual baru itu adalah Kembang dan Srini. Pandu berjalan ke arah mereka, meninggalkan ibunya yang masih belum selesai mengobrol dengan penjual cabai. "Kembang, Bi Srini ... kalian jualan?" tanya Pandu. "Pandu, sedang apa kau di sini?" Kembang bertanya. "Aku ke sini bersama Ibuku, menemaninya belanja, seperti sudah kebiasaan rutin. Tapi, sejak kapan kalian berjualan di sini?""Iya Pandu, mulai saat ini kami berjualan, menjual hasil kebun yang lebih, daripada busuk, mending kami jual saja," kata Srini."Aku mengerti, Bi ... benar, memang daripada busuk. lebih baik jual saja, setidaknya lumayan untuk menambah uang belanja yang lain.""Pandu ...." Bu Ami datang, karena mencari-cari Pandu yang tiba-tiba saja meninggalkannya. "Kamu, Ibu cari-cari ada di sini." Bu Ami langsung melihat ke arah Srini,
"Ada. Aku tadi baru saja melihatnya.""Itu bukan seperti apa yang kamu pikirkan, Mahesa. Aku tidak sengaja hampir jatuh, kalau saja Pandu tidak sigap menangkapku tadi!" Kembang, gadis itu menjelaskan dengan serius, menampik pikiran Mahesa. "Heeeum ...." Mahesa memajukan mulutnya, mengejek dan tidak yakin pada apa yang sudah dijelaskan Kembang. Kedua tangan bersedekap dada, sambil menunjukan raut wajah tidak percaya. "Is! Kau ini!" Kembang menyenggol pinggang Pandu menggunakan sikutnya. "Benar, kan, Pandu? Apa yang aku jelaskan?" Pandu tampak terkejut, sempat tergagap menjawab, sampai akhirnya ia mengiyakan. "I-Iya, Mahesa. Lagipula, kita ini sahabat, tidak bisa mesra-mesraan.""He'em!" Kembang berkacak pinggang, menatap Mahesa setelah Pandu mengatakan itu. "Aah! Sudah sudah, terserah kalian saja ...." Anak itu berjalan pergi. "Jam berapa sekarang?" tanya Kembang tiba-tiba, setelah kepergian Mahesa. Pandu melihat ke arah matahari terbenam, lalu ia melihat bayangan mereka berdua.
"Kenapa kau ingin membangun rumah kecil dan itu dari kayu?" tanya Bu Latih. "Aku ingin hidup sederhana mulai sekarang, aku ingin suatu hari menjadi seperti bu Latih yang berhasil karena kegigihan sendiri, memanfaatkan peluang dan juga tidak lupa balas budi," jawabnya. Bu latih tersenyum mendengarnya. "Kau bukan hanya cantik, Srini. Tetapi, sangat menarik."Srini tersenyum. Bu Latih memiliki 2 anak, yang pertama laki-laki, bernama Tirta usianya 15 tahun. Dan yang kedua perempuan, bernama Hera usinya 8 tahun. "Ibumu punya anak berapa?" tanya bu Latih. "Hanya aku saja," jawab Srini. "Sudah lebih dari 15 tahun aku belum sempat ke Distrik Kates lagi, terakhir aku ke sana, saat bersama Hera itupun berkunjung sebentar, sampai saat ini, jujur aku sangat merindukannya.""Mainlah ke sana, Ibu pasti akan senang sekali melihat sahabatnya lagi," ucap Srini. "Aku pasti akan sangat bahagia bisa bertemu dengannya, jika nanti ada waktu apa kau mau menemaniku bertemu Ibumu, Srini"Srini terdiam,