Satem hendak melangkahkan kaki menghampiri putrinya, dia sangat khawatir. Tetapi, tak bisa karena Bahar sudah mencengkal kuat lengannya.
"Kau Srini! Sudah mempermalukanku! Pergilah kau dari sini! Enyahlah anak durhaka!"
JDAR!
Bagai petir, bagai ledakan tak terduga. Bahar akhirnya mengusir putri semata wayangnya.
Satem menutup mulut, kepalanya menggeleng perlahan menatap Srini dan matanya kabur karena cairan yang menumpuk di pelupuk mata.
Kembang mendelik tak percaya.
Sementara Srini perlahan mulai tersenyum, menyeringai menatap Sang ayah dengan kecewa.
Alih-alih mendengarkan keinginan hati dan perasaanya, ayahnya justru memilih mengusirnya.
"Ayah mengusirku? ... baik, itu artinya aku bebas? ... baik, aku pergi," kata Srini, dia berbalik menangis dengan senyuman yang sebenarnya senyum penutup amarah. Tak lupa, ia juga menarik tangan Kembang supaya ikut dengannya.
"Apa yang kau lakukan! Dia anak kita satu-satunya!?" Satem berteriak tak terima putrinya diusir. Sedangkan Bahar, terus menatap ke arah putrinya masuk, dengan dada yang menggebu-gebu tak mengindahkan istrinya yang ikut marah dan menangis tak rela.
Dengan menahan segala rasa yang bertumpuk jadi satu dalam dada. Srini mengambil tas besar, dia memasukan baju-bajunya, bahkan ia juga memilih baju-baju lawasnya saat kecil, untuk dipakai Kembang.
Sementara Kembang, dia berdiri mematung memperhatikan Srini yang berulang kali mengusap air mata secara kasar, bolak-balik dari lemari ke sisi kasur, membenahi pakaiannya.
Setelah cukup, ia keluar kamar. Bersama Kembang yang mengikuti dengan perasaan tak nyaman.
Di pintu ke luar, ada Bahar dan Satem yang tengah berdiri berhadap-hadapan, tampak mereka pun tengah berdebat, terlihat dari Satem yang menangis dan membentak-bentak suaminya. Namun, Bahar membalas juga dengan sentakan.
Srini berhenti di ambang pintu, seketika dua pasangan yang itu pun berhenti berdebat. Mereka serentak menatap ke arah Srini. Tali tas besar tersampir di pundak kanannya. Juga Kembang yang berada di belakang Srini.
"Srini ... Nak, tolong jangan pergi." Satem berjalan mendekati putrinya, raut wajah tak rela begitu tergambar jelas, dan tangisan yang berat cukup nyata sebagai ungkapan bahwa dia tidak ingin Srini pergi.
"Jangan pergi, Srini ... jangan tinggalkan Ibu."
Srini rapuh, langsung memeluk erat ibunya dan menangis sejadi-jadinya. Dagu perempuan itu bertumpu di atas pundak Sang ibu, meringis karena berat meninggalkan ibunya tetapi tidak kuat jika terus bertahan di rumah.
"Aku minta maaf, Bu ... aku harus tetap pergi," ucap Srini dengan parau.
Ibunya melepaskan pelukan, mata dan pipi basah, Satem menggeleng perlahan sebagai jawaban.
"Jangan ... Ibu mohon jangan ...."
Langsung Srini memeluk ibunya lantaran tak kuasa memberi penolakan kedua kalinya. Dia, harus tetap pergi.
Srini melepaskan pelukan, matanya masih terus meluruhkan air hangat, ia menatap Si ayah, Bahar.
Niat hati ingin berpamitan, karena bagaimanapun Bahar adalah ayahnya. Terlepas pertengkaran mereka tadi, Srini tetap tidak ingin meninggalkan Ayahnya dengan cara tidak sopan.
Untuk saat ini, dia menekan rasa marah dan kecewanya. Srini berjalan ke arah Bahar, sedangkan ayahnya langsung berkacak pinggang, membuang muka enggan melihat putrinya.
Hatinya sudah abu, dia sangat marah pada Srini.
"Ayah, aku ingin berpamitan," kata Srini.
"Pergilah! tanpa harus basa-basi, kau sudah mengecewakanku!"
Srini terdiam setelah mendengar jawaban ayahnya. Dia perlahan berlutut, bersimpuh lalu bersujud di depan kaki Bahar.
Satem yang melihat hal tersebut, semakin kuat menangis karena merasa hancur menyaksikan suami dan anaknya seperti itu.
Perlahan, Srini kembali bangkit. Dia mengusap air matanya, lalu menatap Satem. Mengungkapan maaf lewat tatap mata, karena jika ia ungkapkan pasti jawaban Satem adalah tidak. Hal itu akan membuat Srini goyah akan keputusannya, dan merasa semakin sakit karena dirinya tetap memilih pergi.
Tali tas yang menggantung di pundak kanannya merosot, reflek Srini membenarkan hingga ia memanggil Kembang.
"Kembang." Sedari tadi Kembang memang terus melihat Srini.
"Ayo kita pergi," ajak Srini. Kembang mengembuskan napas panjang dengan lesu. Lalu melangkah, melewati Satem, hingga berdiri di samping Srini di hadapan Bahar.
Keduanya berbalik, Srini dan Kembang mulai pergi.
"Pak, Pak ... jangan mengusir Srini, Pak." Satem memegangi sebelah tangan suaminya, sambil menangis menatap punggung putrinya yang kian menjauh melewati halaman rumah.
"Pak! Tolong, panggil Srini, bujuk dia kembali, Pak!"
"Biarkan saja! Biarkan dia pergi! Daripada keluarga kita menjadi bual-bualan orang, karena dia membawa seorang anak kecil yang tidak jelas apalagi seorang budak!"
Satem tertegun. Dia menggigit bibir bawahnya. Srini semakin jauh, bahkan ia sudah berada di luar halaman depan rumah mereka.
Suaminya tak bisa diharapkan, anaknya sudah dewasa dan keputusan putrinya tak sanggup dia goyahkan.
****
"Srini! Srini tunggu!"
Terdengar dari belakang, suara ibunya memanggil. Srini berhenti, dan berbalik.
"Ini, bawa ini." Ibunya memberikan sekantung kain abu-abu, ketika Srini buka, isinya adalah koin emas dan uang yang jumlahnya sangat banyak.
"Untuk apa ibu memberiku ini?" tanya Srini.
"Bagaimanapun, kau tetap anakku. Sekali-kali kembalilah pulang. Tak usah memikirkan Bapakmu, tapi pikirkan aku. Karena semarah apapun, dan bagaimanapun aku tetap Ibumu."
Srini menangis mendengar itu, ia kemudian memeluk ibunya dan terisak mengucapkan terimakasih.
"Pergilah ke distrik Waringin, cari orang yang bernama Latih. Dia sahabat baik Ibu. Meski jauh, tapi Ibu yakin dia bisa menolongmu."
Srini terdiam. Awalnya ia ingin menolak bantuan ibunya yang ini, tetapi seakan tahu pikiran anaknya. Satem langsung berkata, sambil memegang kedua tangan Srini yang memegangi sekantung kain pemberiannya.
"Dengarkan Ibu kali ini, Nak. Biarkan Ibu membantumu ...."
Akhirnya, Srini mengangguk. Satem mengusap lembut sebelah wajah putrinya itu seraya terus meneteskan air mata dan tersenyum.
Dia mengizinkan putrinya pergi.
***
Pergilah Srini dan Kembang ke luar desanya. Menuju Desa Waringin, sesuai kata-kata Satem.
Mereka mendekati tukang delman, dan bertanya soal harga ke Desa Waringin.
"Permisi, Paman ...."
Laki-laki yang tengah duduk termenung menanti penumpang, sampai terkejut melihat satu perempuan cantik dengan satu gadis kecil.
"Y-ya?"
"Apa Anda tau Distrik Waringin?"
"Distrik Waringin? Distrik itu sangat jauh dari sini," jawab Tukang delman.
"Kira-kira berapa jauhnya?"
"Jika dari sini sekitar 3 jam sampai sana."
"Apa kau bisa mengantarku ke sana?"
"Bisa bisa, hanya saja ongkosnya mahal."
"Berapa?"
"Sekitar 10 ribu atau 1 koin perak."
"Baiklah, bisa Paman antarkan aku dan anakku ke sana sekarang?"
"Baiklah, silakan naik."
Tangan Kanan Srini merangkul bahu Kembang, ia mengangguk sekali pada anak itu. Membiarkan Kembang naik dulu.
Suara pecut berbunyi setelah mengenai pantat dua kuda yang siap menarik kereta, lalu berjalanlah kedua kuda itu membawa Srini dan Kembang ke Distrik Waringin.
Srini dan Kembang turun dari kereta delman."Ini Paman, sesuai perjanjian awal. 1 koin perak." Srini memberikan 1 benda bulat yang ukurannya sebesar tutup botol tapi lebih tipis lagi. Tukang delman itu menerima dengan senang."Terimakasih."Srini tersenyum. "Tidak, aku yang harusnya berterimakasih."Saat Tukang delman memasukan koin itu ke dalam saku baju, Srini dan Kembang memperhatikan sesaat."Ah iya, Paman ... sebentar lagi akan petang. Apa kau akan kembali sekarang?""Iya, saya akan langsung pulang lagi ke Distrik Kates. Mungkin sampai sana akan malam, tetapi tidak terlalu malam juga.""Baiklah, hati-hati di jalan ... semoga perjalanmu lancar sekali lagi terima kasih."."Sama-sama, ya sudah ... saya pamit dulu." Srini mengangguk sembari tersenyum simpul. Tukang delman menaiki delmannya, lalu membuat kuda-kudanya berbalik arah dan mulai mencambuk pant4t kudanya. Kemudian melambaikan tangan pada Srini dan Kembang. Mereka pun mengangkat tangan, membalas lambaian sembari senyum.
Mereka selesai makan, Srini sudah membayar makannya dan keluar bersama Bu Ami juga Pandu. "Ibu sendiri habis dari mana bawa pakaian banyak seperti itu?" tanya Srini melihat kantung besar bewarna merah, yang dibuntal seperti menggendong bayi. Secuil kain terlihat menyembul keluar dari mulut kantung, membuat Srini mengetahui itu adalah pakaian. "Ibu habis dari rumah Paman. Dia sakit sudah 2 minggu, jadi Ibu harus menjenguknya. Sempat menginap 4 hari di sana karena Paman ingin Ibu menginap.""Ooh, kalau boleh tau ... Paman Ibu sakit apa?""Dia jatuh, tergelincir dari hutan saat mencari kayu.""Aaah ... bagaimana kondisinya sekarang?""Kakinya kesleo, dia masih kesulitan berjalan, tetapi sudah jauh lebih baik.""Sukurlah ....""Kau sudah tau, kan? Rumah teman Ibumu itu?"Srini membuang napas berat. "Belum, saya harus mencarinya dulu. Mungkin malam ini saya akan mencari penginapan dulu.""Menginaplah di rumahku kalau begitu," tawar Bu Ami. Srini terkejut. "A-apa? Menginap di rumah Ibu?
Obrolan terus berlanjut sampai beberapa menit, sampai Pandu kembali. "Ayo Kembang, main denganku sebentar saja," katanya lagi. Kembang kembali gelisah. Namun, kesempatan kali ini tidak berpihak padanya. "Mainlah Kembang, akrabkan dirimu dengan teman barumu, sepertinya mulai detik ini, kita akan tinggal di distrik ini juga." Srini berbisik di dekat telinga gadis itu. Kembang menoleh, ia dan Srini saling pandang sampai Srini tersenyum dan mengangguk meyakinkan.Akhirnya, Kembang harus menerima ajakan Pandu walau dengan sangat terpaksa. "Kau mau mengajakku ke mana?" tanya Kembang. Setelah cukup lama terus membisu sejak pertama kali bertemu, akhirnya dia berani angkat bicara pada Pandu. Malam-malam. Mereka berdua tengah berjalan di jalan tanah berbatu di desa itu, melewati beberapa rumah orang lain dengan lampu putih dan ada juga lampu cahaya orangeAlih-alih menjawab pertanyaan Kembang, Pandu malah tersenyum padanya."Kembang, kau sangat cantik ... aku suka padamu."Seketika Kembang
Kembang berjalan di belakang Pandu yang terus memakan rambutan, meninggalkan banyak kulit rambutan di sepanjang jalan yang sudah mereka lewati. Baju Pandu yang besar, mampu menjadi kantong untuk wadah rambutan yang banyak. Anak itu membawanya dengan cara memeluknya di depan perut. Di belakang, Kembang hanya diam memerhatikan anak laki-laki gempal yang terus melempar kulit, dan biji rambutan ke sembarang arah.Pandu dengan sengaja melambatkan langkah kakinya, membuat Kembang tanpa sadar berjalan di belakang Pandu dengan jarak 1 meter. Dekat sekali."Apa kau belum kenyang?" Kembang bertanya. "Belum, kenapa? Kau mau?" Pandu berhenti dan berbalik, menampakan mulutnya yang sedikit terbuka, juga sebelah pipinya lebih besar sebelah. Itu karena sebiji rambutan langsung dia simpan di sisi gigi, lantaran saat ia akan mengunyahnya Kembang malah bertanya. "Tidak. Aku masih kenyang," jawab Kembang. Pandu kembali berbalik, dan lanjut berjalan. "Apa setiap hari kau selalu mencuri rambutan itu
Seorang wanita masuk ke dalam rumah, Bu Ami. Ia membawa rantang putih dan memanggil-manggil nama Bu Ami. "Ami ...!"Srini yang mendengarnya bergegas ke keluar untuk menemui orang tersebut. Begitu ia keluar, wanita itu tanpak bingung. "Kau siapa?" tanya wanita yang lebih tua dari Bu Ami. Usinya 44 tahun.Srini tersenyum. "Maaf, aku Srini, sore kemarin bertemu Bu Ami di rumah makan." Srini pun akhirnya menceritakan awal mula ia bisa ada di rumah bu Ami. Wanita itu tampak ramah, dia mendengarkan Srini dan mengangguk. "Oh, jadi kau dari Distrik Kates? itu adalah tempat kelahiran kami," kata wanita itu. "Iya, tadi aku terbangun karena mencium bau bawang. Saat aku ke dapur, Bu Ami tidak ada, yang ada hanyalah kuali yang mengepul di atas tungku dan bawang goreng yang sudah gosong."Mendengar itu, wanita tersebut terkejut. "Ami ini dasar ceroboh ....""Mbak Ati?" Bu Ami kembali, sembari membawa piring plastik yang penuh dengan cabai."Ami, kau dari mana saja. Meninggalkan bawang di kuali
"Kenapa kau ingin membangun rumah kecil dan itu dari kayu?" tanya Bu Latih. "Aku ingin hidup sederhana mulai sekarang, aku ingin suatu hari menjadi seperti bu Latih yang berhasil karena kegigihan sendiri, memanfaatkan peluang dan juga tidak lupa balas budi," jawabnya. Bu latih tersenyum mendengarnya. "Kau bukan hanya cantik, Srini. Tetapi, sangat menarik."Srini tersenyum. Bu Latih memiliki 2 anak, yang pertama laki-laki, bernama Tirta usianya 15 tahun. Dan yang kedua perempuan, bernama Hera usinya 8 tahun. "Ibumu punya anak berapa?" tanya bu Latih. "Hanya aku saja," jawab Srini. "Sudah lebih dari 15 tahun aku belum sempat ke Distrik Kates lagi, terakhir aku ke sana, saat bersama Hera itupun berkunjung sebentar, sampai saat ini, jujur aku sangat merindukannya.""Mainlah ke sana, Ibu pasti akan senang sekali melihat sahabatnya lagi," ucap Srini. "Aku pasti akan sangat bahagia bisa bertemu dengannya, jika nanti ada waktu apa kau mau menemaniku bertemu Ibumu, Srini"Srini terdiam,
"Ada. Aku tadi baru saja melihatnya.""Itu bukan seperti apa yang kamu pikirkan, Mahesa. Aku tidak sengaja hampir jatuh, kalau saja Pandu tidak sigap menangkapku tadi!" Kembang, gadis itu menjelaskan dengan serius, menampik pikiran Mahesa. "Heeeum ...." Mahesa memajukan mulutnya, mengejek dan tidak yakin pada apa yang sudah dijelaskan Kembang. Kedua tangan bersedekap dada, sambil menunjukan raut wajah tidak percaya. "Is! Kau ini!" Kembang menyenggol pinggang Pandu menggunakan sikutnya. "Benar, kan, Pandu? Apa yang aku jelaskan?" Pandu tampak terkejut, sempat tergagap menjawab, sampai akhirnya ia mengiyakan. "I-Iya, Mahesa. Lagipula, kita ini sahabat, tidak bisa mesra-mesraan.""He'em!" Kembang berkacak pinggang, menatap Mahesa setelah Pandu mengatakan itu. "Aah! Sudah sudah, terserah kalian saja ...." Anak itu berjalan pergi. "Jam berapa sekarang?" tanya Kembang tiba-tiba, setelah kepergian Mahesa. Pandu melihat ke arah matahari terbenam, lalu ia melihat bayangan mereka berdua.
Keesokan harinya, Pandu yang menemani ibunya, bu Ami ke pasar. melihat salah satu lapak yang biasanya kosong, kini sudah diisi oleh seorang penjual baru. Dan yang mengejutkan Pandu adalah, penjual baru itu adalah Kembang dan Srini. Pandu berjalan ke arah mereka, meninggalkan ibunya yang masih belum selesai mengobrol dengan penjual cabai. "Kembang, Bi Srini ... kalian jualan?" tanya Pandu. "Pandu, sedang apa kau di sini?" Kembang bertanya. "Aku ke sini bersama Ibuku, menemaninya belanja, seperti sudah kebiasaan rutin. Tapi, sejak kapan kalian berjualan di sini?""Iya Pandu, mulai saat ini kami berjualan, menjual hasil kebun yang lebih, daripada busuk, mending kami jual saja," kata Srini."Aku mengerti, Bi ... benar, memang daripada busuk. lebih baik jual saja, setidaknya lumayan untuk menambah uang belanja yang lain.""Pandu ...." Bu Ami datang, karena mencari-cari Pandu yang tiba-tiba saja meninggalkannya. "Kamu, Ibu cari-cari ada di sini." Bu Ami langsung melihat ke arah Srini,
Di pasar, saat Kembang dan Srini tengah berjualan. Datang satu pria pendek, tampangnya sangat ramah, cara berjalannya saja semangat sekali ketika mendekati lapak jualan Srini dan Kembang. "Aku ingin beli 1kg lobak putihnya," kata Pria itu pada Srini, tanpa menanyakan berapa harga kiloannya. "Baik, tunggu sebentar, Pak," kata Srini, mengambil plastik dan memasukan beberapa lobak untuk ditimbang. "Jangan panggil aku 'Pak', Nona. Panggil saja aku Mung," ujarnya. Srini tersenyum ramah, mengangguk."Baiklah, tunggu sebentar, Mung."Di sela apa yang yang tengah dilakukan oleh ibunya, yang melayani pria bernama Mung itu.Kembang diam-diam memperhatikan orang tersebut, dia seperti mengingatnya dan pernah melihatnya di suatu tempat. Namun, tak ingat jelas di mana. 'Aku sepertinya pernah melihat wajah itu, tetapi di mana?' batin Kembang. Mung berusia sekitar 45 tahun, tingginya sekitar 153cm, dia lebih pendek dari Pandu, dan jelas sekali lebih pendek dari Kembang. Sebab, Kembang lebih tin
Kembang berjalan, menyusuri jalan setapak, yang di kanan kirinya adalah pohon singkong. Gelap, tetapi gadis itu tak merasa takut. Justru, dia berjalan sembari memegangi pergelangan tangan dan menempelkannya di dada. Tepat di mana Pandu menggenggam tangannya tadi.Kembang tak mengerti, ada apa dengan dirinya sendiri.Dia menunduk, terus mengingat adegan saat Pandu memegangi tangannya, dan memberinya tatapan mata yang dia sendiri susah untuk menjelaskan.Gadis itu seolah melihat sisi lain dari sahabatnya sendiri, entah apa. Langkah Kembang terhenti, saat ia merasa ada yang mengikuti di belakang. Dia berbalik, tak menemukan siapapun, dan tak melihat apapun, hitam karena gelap.Di ujung sana lampu depan rumahnya menyala, dan hanya itulah yang menjadi pacuan Kembang untuk terus berjalan lurus. Bulu kuduknya mulai meremang, ketika kakinya merasakan ada orang lain lagi yang menginjak tanah yang sama. Tidak jauh di belakangnya, dia berdiam merasakan detakan takut juga pundaknya kaku sampa
Srini lebih dulu selesai makan, dia bangkit dari duduk setelah mencuci tangan pada air di baskom kecil, yang sengaja Kembang sediakan untuk itu. Pandu dan Kembang secara bersamaan menengadah, melihat Srini yang berdiri. "Kalian lanjutlah makan, aku sudah selesai. Aku mau melanjutkan tidur, sepertinya hari ini aku akan tidur lebih cepat," ujar Srini, lalu berjalan meninggalkan dapur, dan hilang setelah ia melewati pintu sekat ruangan yang terbuat dari bilik kayu. Setelah Pandu yakin, Srini sudah masuk ke kamar. "Kenapa kau menginjak kakiku!" Remaja laki-laki itu langsung bertanya pada gadis yang masih duduk, di hadapannya dengan intonasi biasa tapi suaranya tertahan. Kembang yang ditanya seperti itu hanya melirik, kemudian lanjut makan. Pandu gemas, ia balas menginjak kaki Kembang secara ringan. Membuat gadis itu kaget, dan sedikit melotot padanya. "Kenapa kau menginjak kakiku tadi?" Pandu bertanya sekali lagi. "Kau sendiri kenapa mencolek-colek kakiku dengan jempol kakimu
14. Sembari berjalan, Pandu memanggul saringan yang berisi ikan. Ada yang ukurannya besar, sedang dan kecil. Pandu berdiri di balik pintu, tangannya tiba-tiba berhenti saat akan mengetuk pintunya. Dia berpikir dua kali, kalau ia melakukan itu takut Srini yang masih tertidur akan bangun.Alhasil, Pandu memilih membuka pintu langsung secara perlahan. Benar dugaannya, Srini masih tertidur. Untung saja tadi dia tidak mengetuk pintunya. Pelan-pelan setelah menutup pintu, Pandu berjalan ke dapur. Dia melihat Kembang sedang berdiri, memandangi perapian. Begitu Pandu datang, Kembang langsung menoleh."Kau sungguh pergi memancing?" tanya Kembang."Iya ... sesuai perkataanmu, ayo bersihkan ikan-ikan ini, goreng, aku sudah sangat lapar." Pandu menyerahkan ember berisi ikan-ikan yang bergelepak pada Kembang.Gadis itu sampai sesekali berjingkit kaget, saat ikan-ikan mulai melompat-lompat, berebut tempat untuk bernapas, karena air yang sedikit di dalam ember. "Ayo cepat, biar kita bisa makan
Beberapa saat Kembang yang memasak, menyiapkan makan malam dibantu oleh Pandu, akhirnya sebagian besar telah selesai.Nasi sudah ada di bakul kecil, asapnya mengepul karena masih panas. Tinggal menunggu sayur capcay yang sedang Kembang tumis itu matang. Lauk makan malam kali ini hanya sayur tumis capcay. Pandu yang merasa lauknya kurang banyak, bertanya tanpa malu pada Kembang."Apa lauknya hanya ini saja?"Sambil terus mengaduk-aduk sayur di wajan, Kembang menoleh pada Pandu. "Kalau kau mau makan dengan ikan, pergi mancing dulu sana!"Kemudian, Pandu terdiam. Memikirkan kata-kata Kembang."Kalau begitu, kalau aku dapat ikannya. Apa kau mau membersihkan dan memasakannya untukku?"Kembang menoleh lagi padanya dengan heran. "Tentu saja," jawab Kembang. Bergegaslah remaja laki-laki itu keluar dari rumah Kembang, meninggalkan gadis yang belum selesai memasak menatap kepergiaanya dengan bingung."Apa dia pergi mancing sungguhan?" gumam Kembang, di detik berikutnya dia tertawa, tak didug
12. Dari sisi lapangan, di tengah cahaya matahari sore yang hangat walau masih lumayan panas, tetapi tidak sepanas siang tadi. Kembang tetap diam, memandang remaja laki-laki yang berlari, tertawa, berebut bola dengan senang gembira bersama kawan-kawannya. Senyum lebar, rambut di sekitar wajah basah. Manis. Kembang menyimpulkan kalau Pandu itu manis. "Bagaimana, menurutmu Kembang?" tanya Srini, dia tersenyum simpul melihat cukup lama gadis itu mengarahkan pandangan ke orang yang dia maksud. "Menurutku, Pandu itu manis," katanya. Srini tertawa pelan, mendengar pendapat Kembang. Lagipula, mereka memang masih belum terlalu dewasa. Masih terhitung anak-anak. Kembang dan Srini melanjutkan langkah pulang, sementara Pandu yang dia berjingkrak, tertawa dengan semangat, lalu adu tos dengan teman-teman timnya karena berhasil mencetak gol. Di tengah tawa dan kegembiraannya, pandangannya tak sengaja melihat ke sisi lapangan. Senyumnya perlahan hilang, berganti dengan tatapan fokus melihat
Keesokan harinya, Pandu yang menemani ibunya, bu Ami ke pasar. melihat salah satu lapak yang biasanya kosong, kini sudah diisi oleh seorang penjual baru. Dan yang mengejutkan Pandu adalah, penjual baru itu adalah Kembang dan Srini. Pandu berjalan ke arah mereka, meninggalkan ibunya yang masih belum selesai mengobrol dengan penjual cabai. "Kembang, Bi Srini ... kalian jualan?" tanya Pandu. "Pandu, sedang apa kau di sini?" Kembang bertanya. "Aku ke sini bersama Ibuku, menemaninya belanja, seperti sudah kebiasaan rutin. Tapi, sejak kapan kalian berjualan di sini?""Iya Pandu, mulai saat ini kami berjualan, menjual hasil kebun yang lebih, daripada busuk, mending kami jual saja," kata Srini."Aku mengerti, Bi ... benar, memang daripada busuk. lebih baik jual saja, setidaknya lumayan untuk menambah uang belanja yang lain.""Pandu ...." Bu Ami datang, karena mencari-cari Pandu yang tiba-tiba saja meninggalkannya. "Kamu, Ibu cari-cari ada di sini." Bu Ami langsung melihat ke arah Srini,
"Ada. Aku tadi baru saja melihatnya.""Itu bukan seperti apa yang kamu pikirkan, Mahesa. Aku tidak sengaja hampir jatuh, kalau saja Pandu tidak sigap menangkapku tadi!" Kembang, gadis itu menjelaskan dengan serius, menampik pikiran Mahesa. "Heeeum ...." Mahesa memajukan mulutnya, mengejek dan tidak yakin pada apa yang sudah dijelaskan Kembang. Kedua tangan bersedekap dada, sambil menunjukan raut wajah tidak percaya. "Is! Kau ini!" Kembang menyenggol pinggang Pandu menggunakan sikutnya. "Benar, kan, Pandu? Apa yang aku jelaskan?" Pandu tampak terkejut, sempat tergagap menjawab, sampai akhirnya ia mengiyakan. "I-Iya, Mahesa. Lagipula, kita ini sahabat, tidak bisa mesra-mesraan.""He'em!" Kembang berkacak pinggang, menatap Mahesa setelah Pandu mengatakan itu. "Aah! Sudah sudah, terserah kalian saja ...." Anak itu berjalan pergi. "Jam berapa sekarang?" tanya Kembang tiba-tiba, setelah kepergian Mahesa. Pandu melihat ke arah matahari terbenam, lalu ia melihat bayangan mereka berdua.
"Kenapa kau ingin membangun rumah kecil dan itu dari kayu?" tanya Bu Latih. "Aku ingin hidup sederhana mulai sekarang, aku ingin suatu hari menjadi seperti bu Latih yang berhasil karena kegigihan sendiri, memanfaatkan peluang dan juga tidak lupa balas budi," jawabnya. Bu latih tersenyum mendengarnya. "Kau bukan hanya cantik, Srini. Tetapi, sangat menarik."Srini tersenyum. Bu Latih memiliki 2 anak, yang pertama laki-laki, bernama Tirta usianya 15 tahun. Dan yang kedua perempuan, bernama Hera usinya 8 tahun. "Ibumu punya anak berapa?" tanya bu Latih. "Hanya aku saja," jawab Srini. "Sudah lebih dari 15 tahun aku belum sempat ke Distrik Kates lagi, terakhir aku ke sana, saat bersama Hera itupun berkunjung sebentar, sampai saat ini, jujur aku sangat merindukannya.""Mainlah ke sana, Ibu pasti akan senang sekali melihat sahabatnya lagi," ucap Srini. "Aku pasti akan sangat bahagia bisa bertemu dengannya, jika nanti ada waktu apa kau mau menemaniku bertemu Ibumu, Srini"Srini terdiam,