“Tanpa komitmen, pada akhirnya cinta tak akan bertahan dalam menjalin sebuah hubungan.”(Filzah 💔 Arash – Sekeping Hati)Kondisi tak biasa tampak di kediaman keluarga Priambudi. Rumah mewah mereka mulai dipenuhi dengan kedatangan kerabat dan para tamu. Beberapa kerabat mereka yang datang dari luar kota atau daerah lain sudah berdatangan sejak kemarin dan bermalam di hotel milik keluarga. Begitu pula dengan Cynthia dan Bambang, oma dan opa Filzah, mereka sudah tiba dari Singapura sejak dua hari yang lalu, bersama beberapa asisten pribadi. Mereka semua ingin hadir dan memberikan doa restu di hari istimewa Filzah. Hanya tinggal hitungan waktu, Filzah akan melepas masa gadisnya—menikah dengan Arash.Filzah tengah dirias oleh MUA dengan didampingi Azzura. Sesuai permintaan gadis cantik itu, sang kakak ipar tidak boleh meninggalkannya walau sedetik pun. Di kamar itu juga, ada dua sahabatnya, Ariana dan Fitri. Pukul 08.00 rombongan calon pengantin wanita meninggalkan rumah menuju Masjid Ag
Kesetiaan berarti ketulusan untuk menyimpan satu hati di dalam hati, dan berjanji untuk tidak akan mengkhianati. – Bacharuddin Jusuf Habibie(Filzah Nawwal Haziq Priambudi – Sekeping Hati)Senyuman menyeringai Alvisyah tidak menggangu hati Filzah. Gadis cantik bergaun pengantin putih sangat indah dengan hiasan butiran swarovski yang berkilau--hasil rancangannya sendiri malah mengukir senyuman manis yang tulus. Alvisyah dengan angkuh memalingkan wajahnya dan memilih turun dari panggung. Alvisyah mengedarkan pandangannya mencari seseorang yang selama ini selalu berada di pihaknya. Ya, dia sedang mencari Nirmala. Entah berada di mana wanita itu. Alvisyah terlihat sangat kesal, meski sudah cukup lama ia mencari sosok wanita paruh baya itu di keramaian pesta namun tak jua ia temukan.Kecewa dengan hal itu, akhirnya Alvisyah memilih untuk meninggalkan pesta. Namun, langkahnya tiba-tiba terhenti saat melihat sosok yang sedang dicarinya tengah mengobrol bersama seseorang didampingi Habibi
Ketika ketulusan dipertanyakan, di saat itulah kesungguhan harus dibuktikan, bukan dengan ucapan melainkan oleh tindakan.(Filzah – Arash – Sekeping Hati)Filzah tak bergeming di tepi ranjang. Posisinya masih sama seperti saat Arash memberanikan diri menyusuri wajahnya. Tubuhnya mematung hingga Arash menghilang di balik pintu kamar hotel. Ingin rasanya Filzah mencegah kepergian Arash, tetapi tubuhnya keluh dan tidak ada tenaga."Ada apa sebenarnya? Mengapa Kak Arash terburu-buru pergi setelah menjawab telpon? Siapa yang menelponnya?" gumamnya risau. Permintaan Arash yang memintanya untuk tidur lebih dulu, dia enyahkan.Sebenarnya saat ini hatinya tengah gundah. Dirinya masih belum bisa mencerna semua ucapan Arash yang menyatakan akan memenuhi tanggung jawabnya lahir dan batin sebagai seorang suami. Apakah itu suatu kesungguhan, ataukah hanya sekedar upaya Arash menghilangkan kekakuan di antara mereka?Meskipun hatinya sempat menghangat karena ucapan dan perlakuan Arash tadi. Namun,
Pernikahan itu laksana taman, membutuhkan waktu untuk tumbuh. Akan tetapi, untuk menunggu panen dengan hasil yang memuaskan dibutuhkan kesabaran dan kelembutan untuk merawat tanahnya.(Filzah – Arash – Sekeping Hati)Mata Filzah mengerjap, mendadak kantuknya hilang. Morning kiss dari Arash membuatnya tertegun beberapa saat, susah payah gadis itu menenangkan debaran jantungnya. Filzah yakin wajahnya kini memerah, refleks kedua tangannya mengusap kedua pipinya.Sadar Arash masih memperhatikannya, Filzah pun segera menundukkan kepala menghindari kontak mata dengan pemuda yang berstatus suaminya itu.Gemas melihat Filzah salah tingkah, membuat Arash semakin ingin menggoda sang istri. Arash mengangkat dagu gadis cantik yang tetap cantik tanpa riasan make-up di wajahnya. “Kenapa menunduk?” ujar Arash sambil tersenyum manis.Segera ditepisnya tangan sang suami pelan. "Aku mau Salat, Kak!" serunya mengukir senyum malu. "Aku harus menghindari berlama-lama bertatapan dengannya, jika tak ingi
Hal yang paling menyakitkan dalam hidup adalah penolakan dari orang yang sangat kita hormati dan sayangi.(Filzah – Sekeping Hati)Arash terbangun dan bergegas turun dari ranjang ketika mendengar ketukan pintu. Gegas Arash mendekati koper dan mengeluarkan pakaian dari dalamnya lalu memakainya.Ingin rasanya Arash menyahut agar orang yang di luar sana berhenti mengetuk pintu. Namun, dirinya khawatir tindakannya itu malah akan membangunkan Filzah yang masih lelap.“Maaf, Tuan. Sudah tiga kali saya ke sini untuk mengantar makanan yang di pesan Nona Filzah, tapi tidak ada yang membukakan pintu,” ujar pelayan hotel merasa canggung. Apalagi dilihatnya wajah Arash tampak sedikit terganggu. “Iya, tak apa-apa, Mas. Saya yang seharusnya minta maaf, kami ketiduran,” ungkap Arash tidak enak hati.“Baiklah, Tuan. Mohon maaf, bolehkah sekarang saya membawa troli makanan ini ke dalam?” tanya pelayan itu sopan.“Tidak usah, Mas! Biar saya saja yang membawanya. Nanti setelah selesai makan kami aka
Celahmu akan kuanggap sempurna oleh hatiku yang memang ditakdirkan untukmu dan mencintaimu.(Filzah-Arash – Sekeping Hati)Filzah memutuskan kembali ke kamar Arash dengan perasaan sedih, perkataan sang mama mertua menorehkan rasa sakit di dadanya. Sambil menaiki anak tangga, Filzah menghela napas panjang dan mengembuskannya, ia berharap rasa sakit itu menguap bersama embusan napasnya. "Ya Allah, kuatkanlah hati ini, meski kejadian tadi membuat perasaanku sakit, jangan biarkan hati ini patah, demi Kak Arash dan demi rumah tangga kami. Berilah aku kesabaran menghadapi sikap mama mertuaku. Jadikan hatiku selalu lapang menerima ujian kehidupan rumah tanggaku, Aamiin,” ucapnya lirih sambil menyeka butiran bening yang kembali menetes di pipinya. "Aku tidak boleh menangis dan tidak boleh kelihatan bersedih di depan Kak Arash. Sebaiknya aku tidak menceritakan apa yang baru saja kualami," gumamnya sambil memastikan matanya tak basah lagi."Biar bagaimanapun beliau juga orang tuaku, seper
Sejauh apapun kamu menjauh, bila hatiku ingin kamu. Aku bisa apa?(Alvisyah – Sekeping Hati)Pukul 10.00 Nirina, Cynthia, Azzura, dan wanita seusia Nirina datang. Mereka di sambut Arash dan Filzah dengan hangat. “Pak, tolong keluarkan bawaan kami dari bagasi dan bawa langsung ke dapur,” perintah Nirina pada sopir keluarga Priambudi.“Baik, Nyonya.” sopir keluarga Priambudi itu dengan cekatan mengeluarkan bawaan yang dimaksud Nirina, tentu saja Arash turut membantunya.“Dek, maaf Bunda lancang sudah memerintahkan Pak Bayu untuk meletakkan barang bawaan kami ke dapur kalian tanpa seizin yang punya rumah,” ujar Nirina pada sang putri yang saat ini berada di dapur mengambilkan minum.“Ya Allah, Bunda. Enggak apalah, santai saja, kayak sama siapa aja sih, Bunda” jawab Filzah sambil tersenyum manis.“Rumahnya asri, ya, Sayang. Banyak tanaman di depan, samping, dan belakang,” ucap Nirina sambil menelusuri rumah itu. Rumah yang mengingatkannya pada rumah kedua orang tuanya, tetapi lebih be
Hidup adalah sebuah pertanyaan. Untuk mendapatkan jawaban kita harus menjalaninya terlebih dahulu.(Filzah – Sekeping Hati)Arash lebih memilih mengalah dan meninggalkan Filzah menangis di kamar. “Mungkin akan lebih baik bila aku memberi waktu dan ruang untuk Filzah sendirian. Biarlah dia menumpahkan perasaannya dan menenangkan dirinya,” gumam Arash. Arash menyadari, akan sangat sulit baginya menjelaskan kesalahpahaman ini bila sang istri masih dikuasai amarah. “Maafkan aku, Zah. Aku memang pembohong, tapi aku punya alasan untuk tidak jujur padamu. Aku takut menyakiti hatimu,” ucapnya lirih sambil mengacak rambutnya. Laki-laki tampan itu beranjak menuju ruang makan, tepat di depan kamar utama. Dituangkannya air minum ke dalam gelas dan duduk di salah satu kursi di sana. Arash melihat pekerjaan berberes rumah yang ditinggalkan Filzah dan masih belum selesai, dia pun tergerak untuk melanjutkannya. Arash masih sibuk menyapu lantai ketika Bik Ulil datang dengan diantar Azzura.“Assal
Saat ini Arash berada di stasiun untuk mengantarkan Zayyan dan Azzura. Ya, hari ini mereka berdua akan ke rumah Bik Jum dengan menggunakan kereta. Tentu saja semua itu permintaan dari Azzura yang tidak bisa diganggu gugat.“Kurang dua puluh menit lagi pemberangkatannya, Sayang. Lebih baik kamu duduk santai,” ujar Zayyan yang sejak tadi melihat sang istri mondar-mandir ke sana kemari. Baru kali ini, wanita cantik yang saat ini perutnya sudah mulai terlihat membuncit itu naik kereta.“Sayang sekali Filzah enggak ikut. Kalau dia ikut antar kami, pasti juga sangat senang karena belum pernah juga naik kereta,” sahut Azzura.“Arfi sedikit rewel, kayaknya mau tumbuh gigi, makanya Filzah enggak jadi ikut antar,” jawab Arash.“Kamu sudah menjadi suami siaga buat Filzah dan Arfi, bahkan di sela kesibukanmu kamu tahu setiap perkembangan Arfi, makasih, ya, Rash. Kamu benar-benar membuktikan ucapanmu untuk bahagiakan Filzah,” ucap Zayyan senang.“Tidak usah berterima kasih, Zay. Aku melakukan sem
Azzura terlihat berbinar saat Zayyan mengeluarkan motor sportnya dan menyuruhnya untuk duduk di belakangnya. “Jangan lupa pegangan yang erat seperti yang kamu katakan tadi,” ucap Zayyan saat memasangkan helm untuk Azzura.Azzura mencebik. “Dasar modus,” ucapnya memukul dada sang suami.“Modus, tapi untuk kebaikanmu juga, Sayang,” jawab Zayyan menaik turunkan alisnya menggoda.“Lho, Den Zayyan dan Non Azzura mau ke mana malam-malam naik motor?” tanya Pak Heru satpam yang berjaga di gerbang utama kediaman keluarga Priambudi.Zayyan dan Azzura menyengir sebelum menjawab pertanyaan satpam yang sudah bekerja di rumah ini belasan tahun yang lalu itu.“Mau cari nasi goreng seafood permintaan bumil yang sedang ngidam ini, Pak,” jawab Zayyan sopan. Ya, meskipun pada bawahan Haziq dan Nirina selalu mengajarkan pada anak-anaknya untuk menghormati yang lebih tua tanpa merendahkannya.“Owalah, tapi kenapa pakai motor, Den? Udah malam, lho. Apa tidak takut masuk angin Non Azzura?” ucap Pak Heru me
Lima belas hari berlalu, setelah kepulangan Filzah dari rumah sakit. Saat ini, bayi tampan yang diberi nama Arfi Putra Elmani gabungan dari nama Arash dan Filzah itu sedang dikhitan. Permintaan Nirina dan Haziq untuk mengkhitan sang cucu saat bayi pun disanggupi Arash, begitu pun dengan Filzah yang menyetujuinya, meskipun masih terbesit tidak tega. Namun, dia yakin semua akan baik-baik saja.Pagi ini, seperti biasanya Arfi dimandikan Bik Ulil karena Filzah masih takut untuk memandikannya sendiri. Nirina dan Nirmala yang sengaja menginap di rumah Arash dan Filzah pun segera mengambil alih Arfi. Sudah biasa mereka akan berebut untuk menggendong Arfi yang ujungnya Nirina harus mengalah.Usai sarapan bersama, Dokter Dony membawa teman seprofesinya yang diminta untuk mengkhitan Arfi. Haziq dan Habibi mempersilakan dokter itu untuk segera mengkhitan sang cucu. Arash dan Filzah pun sudah menyiapkan tempatnya.“Sayang, kalau kamu enggak tega lihatnya, sebaiknya kamu ke kamar. Kata orang tua
Saat ini Arash dan Filzah berada di dalam kamar. Arash membantu mengemasi pakaian Filzah dan meletakkannya ke dalam koper. Laki-laki tampan itu terlihat bersemangat membantu Filzah. Sesekali ia mengusap lembut perut sang istri yang masih rata, lalu mencium keningnya.“Bagaimana dengan reaksi mama nanti, Kak? Aku pergi meninggalkan rumah dan Kak Arash begitu saja,” ungkap Filzah resah. Hatinya masih cemas memikirkan sang mama mertua yang tidak menyukainya.“Tidak usah risau memikirkan mama, Sayang. Ini kehidupan kita, rumah tangga kita. Aku akan tetap menjadi anak yang berbakti pada mereka, tapi aku tidak akan tunduk pada perintah mama yang sekiranya menyesatkan. Berbakti pada kedua orang tua tidak harus menyesatkan diri, bila mama salah aku akan menentangnya,” ucap Arash sungguh-sungguh. Dia tidak mau kehilangan Filzah lagi hanya karena sang mama.“Ba-bagaimana kalau Alvisyah hadir lagi dalam kehidupan rumah tangga kita. Tidakkah Kak Arash akan tergoda?” tanya Filzah lagi. Sebenarnya
Kamu adalah kepingan hatiku yang telah hilang, bersamamu aku Bahagia.(Arash Habibi Elmani – Sekeping Hati)Filzah ingin mempercepat langkahnya, rasanya ia ingin segera menjauh dari Mirza. Namun, tanpa sepengetahuan Filzah, Mirza tengah mengikutinya dari belakang. Pemuda manis itu hendak menyusul Filzah, dia tidak mau terjadi sesuatu pada Filzah. Dia ingin memastikan wanita itu sampai di rumah Bik Jum dengan selamat. Dari kejauhan Filzah melihat mobil yang sangat dia kenali. Sebuah mobil mewah berwana hitam metalik dan itu adalah milik ayahnya. Perlahan mobil itu semakin mendekatinya. Dia bingung harus berbuat apa. Filzah pun memutuskan untuk kembali ke masjid. Dia ingin menghindar dari kedua orang tuanya. Namun, saat membalikkan badan, ia tercengang karena mendapati Mirza telah berada di belakangnya. Filzah bimbang, antara kembali ke masjid dan menghadapi Mirza lagi atau bertemu keluarganya. Jujur, Filzah belum siap untuk itu. “Maaf, aku tidak bermaksud menguntitmu. Aku hanya ingi
Cinta itu suatu perasaan yang indah bila dirasa, sakit bila diacuhkan, dan kecewa bila tidak terbalas.(Sekeping Hati)Zayyan masih tidak percaya, Filzah meninggalkan rumah Arash tanpa sepengetahuan dirinya dan keluarga. Rasa khawatir sebagai seorang kakak yang sangat menyayangi adik menyelimuti hatinya. Saat ini hatinya bimbang diterpa kekhawatiran setelah meninggalkan rumah Arash. Beruntung ada Azzura di sampingnya. Wanita cantik itu adalah penawar dari segala gundanya.“Bagaimana kalau bunda tahu? Bunda pasti syok dan menangis seharian. Filzah tidak pernah jauh dari keluarga. Sejak kecil dia selalu berada di samping bunda dan oma. Bahkan untuk bisa kuliah di luar negeri seperti aku pun bunda tidak mengizinkannya,” ucapnya lirih. Saat ini Zayyan dan Azzura dalam perjalanan pulang ke rumah.“Apa rencanamu, Kak?” tanya Azzura memastikan. Azzura sangat tahu, masalah ini sangat sensitif terjadi pada keluarga suaminya. Kasih sayang yang besar membuat keluarga itu saling menjaga dan mera
Hati yang kuat takkan pernah goyah dengan berbagai tekanan, karena tekad telah mengalahkan segalanya(Sekeping Hati)Usai menceritakan permasalahan rumah tangganya pada Bik Jum, Filzah merasa beban yang ditanggung hatinya sedikit ringan. “Non Filzah sebaiknya istirahat dulu. Setelah melewati perjalanan panjang, pasti Non Filzah lelah. Sebentar Bibi siapkan sarapan buat Non,” ujar Bik Jum sambil mengantar Filzah ke kamar yang baru saja dibersihkannya.Filzah yang merasa lelah pun mengiyakan perintah Bik Jum. Gadis cantik itu menyeret koper dan membawanya masuk ke dalam kamar yang diperuntukkan untuknya, kamar yang biasa dia tempati saat liburan di rumah Bik Jum.Filzah memilih membersihkan tubuhnya dulu sebelum beristirahat. Sekarang tubuhnya terasa segar dan lebih ringan—berkurang rasa lelahnya. Saat Filzah akan membaringkan tubuhnya, terdengar panggilan Bik Jum mengajaknya sarapan. “Non Filzah silakan melanjutkan istirahatnya. Nanti saatnya makan siang, Bibi akan bangunkan!”
Sebaik-baik rindu adalah rindu yang ketika terpenuhi menjadi energi baik untuk membuatmu semakin termotivasi.(Arash💔Filzah)Arash berulang kali mengacak rambutnya. Dia sangat menyesal sudah menyakiti Filzah, apalagi sudah menampar sang istri.“Apa yang telah aku lakukan? Mengapa aku begitu bodoh?!” Arash menatap telapak tangan yang sudah menampar wajah sang isteri lalu mengusap kasar wajahnya.“Filzah, maafin aku. Aku sudah mengingkari janjiku, bahkan aku sudah melakukan kekerasan fisik padamu. Aku merasa gagal. Aku bukan suami yang baik,” isaknya penuh penyesalan.. Bik Ulil merasa iba dengan apa yang menimpa sang majikan. “Sebaiknya Den Arash sekarang membersihkan diri dulu dan salat. Setelah tenang, Den Arash bisa mencari Non Filzah. Bibi akan menyiapkan makan malam dulu,” bujuk Bik Ulil.“Bik Ulil tidak usah menyiapkan makan malam untukku, aku belum lapar. Silakan Bibi menghangatkan lauk untuk makan malam. Lalu, Bibi makanlah lebih dulu. Usai mandi dan salat, aku akan mencari F
Cinta itu terlalu suci untuk dinodai, terlalu tinggi untuk dikhianati, terlalu indah untuk dikotori. Karena ia adalah anugerah yang harus dijaga kesuciannya, Diagungkan ketinggiannya, dan dikagumi keindahannya.(Filzah Nawwal Haziq Priambudi)Filzah segera menutup dan menguci pintu kamar. Perlahan tubuhnya luruh menyandar pintu kamar. Air mata satu persatu jatuh. Arash yang menyadari kesalahannya telah berlaku kasar pada sang istri segera menyusul. Arash sudah tidak peduli keberadaan sang mantan dan mamanya. “Zah, tolong buka pintunya, Zah. Tolong maafkan aku!” pintanya sambil terus mengetuk pintu.Arash mendengar deru mobil Alvisyah meninggalkan rumahnya, tetapi Arash sama sekali tidak peduli. Saat ini yang terpenting baginya hanyalah Filzah. “Ya Allah, apa yang telah aku lakukan tadi? Kenapa aku tidak bisa mengontrol emosi dan tanganku?” Arash mengusap kasar wajahnya, frustrasi, hingga terduduk di lantai depan pintu kamarnya.“Sayang, aku mohon, buka pintunya. Aku minta maaf,” u