Proses pendewasaan dalam hidup adalah melalui ujian-ujian yang terjadi dalam hidup.(Filzah – Azzura ~ Sekeping Hati)Filzah memang memutuskan untuk melanjutkan rencana pernikahannya, tetapi sikap gadis itu terlihat datar menanggapi setiap ucapan Arash. Arash mencoba memaklumi sikap yang ditunjukkan gadis itu, walaupun sedikit kecewa.“Maaf, Kak. Aku harus segera kembali ke butik. Pukul tiga nanti, ada meeting lagi dengan pelanggan. Permisi,” pamitnya sambil berdiri sedikit membungkukkan badan.“Baiklah, sekali lagi terima kasih sudah mau melanjutkan rencana pernikahan kita. Aku akan berusaha memperbaiki situasi yang membuatmu tidak nyaman ini,” ucapnya yang ditanggapi Filzah dengan senyum tipis. “Assalamualaikum,” ucapnya seraya meninggalkan Arash.“Wa’alaikumussalam,” balas Arash sambil menatap sendu punggung gadis yang berjalan meninggalkannya. Tubuh ramping gadis itu perlahan menghilang dari arah pandangnya.“Aku tahu, Zah. Sulit untukmu memutuskan semua ini, bahkan aku melihat a
“Tanpa komitmen, pada akhirnya cinta tak akan bertahan dalam menjalin sebuah hubungan.”(Filzah 💔 Arash – Sekeping Hati)Kondisi tak biasa tampak di kediaman keluarga Priambudi. Rumah mewah mereka mulai dipenuhi dengan kedatangan kerabat dan para tamu. Beberapa kerabat mereka yang datang dari luar kota atau daerah lain sudah berdatangan sejak kemarin dan bermalam di hotel milik keluarga. Begitu pula dengan Cynthia dan Bambang, oma dan opa Filzah, mereka sudah tiba dari Singapura sejak dua hari yang lalu, bersama beberapa asisten pribadi. Mereka semua ingin hadir dan memberikan doa restu di hari istimewa Filzah. Hanya tinggal hitungan waktu, Filzah akan melepas masa gadisnya—menikah dengan Arash.Filzah tengah dirias oleh MUA dengan didampingi Azzura. Sesuai permintaan gadis cantik itu, sang kakak ipar tidak boleh meninggalkannya walau sedetik pun. Di kamar itu juga, ada dua sahabatnya, Ariana dan Fitri. Pukul 08.00 rombongan calon pengantin wanita meninggalkan rumah menuju Masjid Ag
Kesetiaan berarti ketulusan untuk menyimpan satu hati di dalam hati, dan berjanji untuk tidak akan mengkhianati. – Bacharuddin Jusuf Habibie(Filzah Nawwal Haziq Priambudi – Sekeping Hati)Senyuman menyeringai Alvisyah tidak menggangu hati Filzah. Gadis cantik bergaun pengantin putih sangat indah dengan hiasan butiran swarovski yang berkilau--hasil rancangannya sendiri malah mengukir senyuman manis yang tulus. Alvisyah dengan angkuh memalingkan wajahnya dan memilih turun dari panggung. Alvisyah mengedarkan pandangannya mencari seseorang yang selama ini selalu berada di pihaknya. Ya, dia sedang mencari Nirmala. Entah berada di mana wanita itu. Alvisyah terlihat sangat kesal, meski sudah cukup lama ia mencari sosok wanita paruh baya itu di keramaian pesta namun tak jua ia temukan.Kecewa dengan hal itu, akhirnya Alvisyah memilih untuk meninggalkan pesta. Namun, langkahnya tiba-tiba terhenti saat melihat sosok yang sedang dicarinya tengah mengobrol bersama seseorang didampingi Habibi
Ketika ketulusan dipertanyakan, di saat itulah kesungguhan harus dibuktikan, bukan dengan ucapan melainkan oleh tindakan.(Filzah – Arash – Sekeping Hati)Filzah tak bergeming di tepi ranjang. Posisinya masih sama seperti saat Arash memberanikan diri menyusuri wajahnya. Tubuhnya mematung hingga Arash menghilang di balik pintu kamar hotel. Ingin rasanya Filzah mencegah kepergian Arash, tetapi tubuhnya keluh dan tidak ada tenaga."Ada apa sebenarnya? Mengapa Kak Arash terburu-buru pergi setelah menjawab telpon? Siapa yang menelponnya?" gumamnya risau. Permintaan Arash yang memintanya untuk tidur lebih dulu, dia enyahkan.Sebenarnya saat ini hatinya tengah gundah. Dirinya masih belum bisa mencerna semua ucapan Arash yang menyatakan akan memenuhi tanggung jawabnya lahir dan batin sebagai seorang suami. Apakah itu suatu kesungguhan, ataukah hanya sekedar upaya Arash menghilangkan kekakuan di antara mereka?Meskipun hatinya sempat menghangat karena ucapan dan perlakuan Arash tadi. Namun,
Pernikahan itu laksana taman, membutuhkan waktu untuk tumbuh. Akan tetapi, untuk menunggu panen dengan hasil yang memuaskan dibutuhkan kesabaran dan kelembutan untuk merawat tanahnya.(Filzah – Arash – Sekeping Hati)Mata Filzah mengerjap, mendadak kantuknya hilang. Morning kiss dari Arash membuatnya tertegun beberapa saat, susah payah gadis itu menenangkan debaran jantungnya. Filzah yakin wajahnya kini memerah, refleks kedua tangannya mengusap kedua pipinya.Sadar Arash masih memperhatikannya, Filzah pun segera menundukkan kepala menghindari kontak mata dengan pemuda yang berstatus suaminya itu.Gemas melihat Filzah salah tingkah, membuat Arash semakin ingin menggoda sang istri. Arash mengangkat dagu gadis cantik yang tetap cantik tanpa riasan make-up di wajahnya. “Kenapa menunduk?” ujar Arash sambil tersenyum manis.Segera ditepisnya tangan sang suami pelan. "Aku mau Salat, Kak!" serunya mengukir senyum malu. "Aku harus menghindari berlama-lama bertatapan dengannya, jika tak ingi
Hal yang paling menyakitkan dalam hidup adalah penolakan dari orang yang sangat kita hormati dan sayangi.(Filzah – Sekeping Hati)Arash terbangun dan bergegas turun dari ranjang ketika mendengar ketukan pintu. Gegas Arash mendekati koper dan mengeluarkan pakaian dari dalamnya lalu memakainya.Ingin rasanya Arash menyahut agar orang yang di luar sana berhenti mengetuk pintu. Namun, dirinya khawatir tindakannya itu malah akan membangunkan Filzah yang masih lelap.“Maaf, Tuan. Sudah tiga kali saya ke sini untuk mengantar makanan yang di pesan Nona Filzah, tapi tidak ada yang membukakan pintu,” ujar pelayan hotel merasa canggung. Apalagi dilihatnya wajah Arash tampak sedikit terganggu. “Iya, tak apa-apa, Mas. Saya yang seharusnya minta maaf, kami ketiduran,” ungkap Arash tidak enak hati.“Baiklah, Tuan. Mohon maaf, bolehkah sekarang saya membawa troli makanan ini ke dalam?” tanya pelayan itu sopan.“Tidak usah, Mas! Biar saya saja yang membawanya. Nanti setelah selesai makan kami aka
Celahmu akan kuanggap sempurna oleh hatiku yang memang ditakdirkan untukmu dan mencintaimu.(Filzah-Arash – Sekeping Hati)Filzah memutuskan kembali ke kamar Arash dengan perasaan sedih, perkataan sang mama mertua menorehkan rasa sakit di dadanya. Sambil menaiki anak tangga, Filzah menghela napas panjang dan mengembuskannya, ia berharap rasa sakit itu menguap bersama embusan napasnya. "Ya Allah, kuatkanlah hati ini, meski kejadian tadi membuat perasaanku sakit, jangan biarkan hati ini patah, demi Kak Arash dan demi rumah tangga kami. Berilah aku kesabaran menghadapi sikap mama mertuaku. Jadikan hatiku selalu lapang menerima ujian kehidupan rumah tanggaku, Aamiin,” ucapnya lirih sambil menyeka butiran bening yang kembali menetes di pipinya. "Aku tidak boleh menangis dan tidak boleh kelihatan bersedih di depan Kak Arash. Sebaiknya aku tidak menceritakan apa yang baru saja kualami," gumamnya sambil memastikan matanya tak basah lagi."Biar bagaimanapun beliau juga orang tuaku, seper
Sejauh apapun kamu menjauh, bila hatiku ingin kamu. Aku bisa apa?(Alvisyah – Sekeping Hati)Pukul 10.00 Nirina, Cynthia, Azzura, dan wanita seusia Nirina datang. Mereka di sambut Arash dan Filzah dengan hangat. “Pak, tolong keluarkan bawaan kami dari bagasi dan bawa langsung ke dapur,” perintah Nirina pada sopir keluarga Priambudi.“Baik, Nyonya.” sopir keluarga Priambudi itu dengan cekatan mengeluarkan bawaan yang dimaksud Nirina, tentu saja Arash turut membantunya.“Dek, maaf Bunda lancang sudah memerintahkan Pak Bayu untuk meletakkan barang bawaan kami ke dapur kalian tanpa seizin yang punya rumah,” ujar Nirina pada sang putri yang saat ini berada di dapur mengambilkan minum.“Ya Allah, Bunda. Enggak apalah, santai saja, kayak sama siapa aja sih, Bunda” jawab Filzah sambil tersenyum manis.“Rumahnya asri, ya, Sayang. Banyak tanaman di depan, samping, dan belakang,” ucap Nirina sambil menelusuri rumah itu. Rumah yang mengingatkannya pada rumah kedua orang tuanya, tetapi lebih be