Kesetiaan berarti ketulusan untuk menyimpan satu hati di dalam hati, dan berjanji untuk tidak akan mengkhianati. – Bacharuddin Jusuf Habibie(Filzah Nawwal Haziq Priambudi – Sekeping Hati)Senyuman menyeringai Alvisyah tidak menggangu hati Filzah. Gadis cantik bergaun pengantin putih sangat indah dengan hiasan butiran swarovski yang berkilau--hasil rancangannya sendiri malah mengukir senyuman manis yang tulus. Alvisyah dengan angkuh memalingkan wajahnya dan memilih turun dari panggung. Alvisyah mengedarkan pandangannya mencari seseorang yang selama ini selalu berada di pihaknya. Ya, dia sedang mencari Nirmala. Entah berada di mana wanita itu. Alvisyah terlihat sangat kesal, meski sudah cukup lama ia mencari sosok wanita paruh baya itu di keramaian pesta namun tak jua ia temukan.Kecewa dengan hal itu, akhirnya Alvisyah memilih untuk meninggalkan pesta. Namun, langkahnya tiba-tiba terhenti saat melihat sosok yang sedang dicarinya tengah mengobrol bersama seseorang didampingi Habibi
Ketika ketulusan dipertanyakan, di saat itulah kesungguhan harus dibuktikan, bukan dengan ucapan melainkan oleh tindakan.(Filzah – Arash – Sekeping Hati)Filzah tak bergeming di tepi ranjang. Posisinya masih sama seperti saat Arash memberanikan diri menyusuri wajahnya. Tubuhnya mematung hingga Arash menghilang di balik pintu kamar hotel. Ingin rasanya Filzah mencegah kepergian Arash, tetapi tubuhnya keluh dan tidak ada tenaga."Ada apa sebenarnya? Mengapa Kak Arash terburu-buru pergi setelah menjawab telpon? Siapa yang menelponnya?" gumamnya risau. Permintaan Arash yang memintanya untuk tidur lebih dulu, dia enyahkan.Sebenarnya saat ini hatinya tengah gundah. Dirinya masih belum bisa mencerna semua ucapan Arash yang menyatakan akan memenuhi tanggung jawabnya lahir dan batin sebagai seorang suami. Apakah itu suatu kesungguhan, ataukah hanya sekedar upaya Arash menghilangkan kekakuan di antara mereka?Meskipun hatinya sempat menghangat karena ucapan dan perlakuan Arash tadi. Namun,
Pernikahan itu laksana taman, membutuhkan waktu untuk tumbuh. Akan tetapi, untuk menunggu panen dengan hasil yang memuaskan dibutuhkan kesabaran dan kelembutan untuk merawat tanahnya.(Filzah – Arash – Sekeping Hati)Mata Filzah mengerjap, mendadak kantuknya hilang. Morning kiss dari Arash membuatnya tertegun beberapa saat, susah payah gadis itu menenangkan debaran jantungnya. Filzah yakin wajahnya kini memerah, refleks kedua tangannya mengusap kedua pipinya.Sadar Arash masih memperhatikannya, Filzah pun segera menundukkan kepala menghindari kontak mata dengan pemuda yang berstatus suaminya itu.Gemas melihat Filzah salah tingkah, membuat Arash semakin ingin menggoda sang istri. Arash mengangkat dagu gadis cantik yang tetap cantik tanpa riasan make-up di wajahnya. “Kenapa menunduk?” ujar Arash sambil tersenyum manis.Segera ditepisnya tangan sang suami pelan. "Aku mau Salat, Kak!" serunya mengukir senyum malu. "Aku harus menghindari berlama-lama bertatapan dengannya, jika tak ingi
Hal yang paling menyakitkan dalam hidup adalah penolakan dari orang yang sangat kita hormati dan sayangi.(Filzah – Sekeping Hati)Arash terbangun dan bergegas turun dari ranjang ketika mendengar ketukan pintu. Gegas Arash mendekati koper dan mengeluarkan pakaian dari dalamnya lalu memakainya.Ingin rasanya Arash menyahut agar orang yang di luar sana berhenti mengetuk pintu. Namun, dirinya khawatir tindakannya itu malah akan membangunkan Filzah yang masih lelap.“Maaf, Tuan. Sudah tiga kali saya ke sini untuk mengantar makanan yang di pesan Nona Filzah, tapi tidak ada yang membukakan pintu,” ujar pelayan hotel merasa canggung. Apalagi dilihatnya wajah Arash tampak sedikit terganggu. “Iya, tak apa-apa, Mas. Saya yang seharusnya minta maaf, kami ketiduran,” ungkap Arash tidak enak hati.“Baiklah, Tuan. Mohon maaf, bolehkah sekarang saya membawa troli makanan ini ke dalam?” tanya pelayan itu sopan.“Tidak usah, Mas! Biar saya saja yang membawanya. Nanti setelah selesai makan kami aka
Celahmu akan kuanggap sempurna oleh hatiku yang memang ditakdirkan untukmu dan mencintaimu.(Filzah-Arash – Sekeping Hati)Filzah memutuskan kembali ke kamar Arash dengan perasaan sedih, perkataan sang mama mertua menorehkan rasa sakit di dadanya. Sambil menaiki anak tangga, Filzah menghela napas panjang dan mengembuskannya, ia berharap rasa sakit itu menguap bersama embusan napasnya. "Ya Allah, kuatkanlah hati ini, meski kejadian tadi membuat perasaanku sakit, jangan biarkan hati ini patah, demi Kak Arash dan demi rumah tangga kami. Berilah aku kesabaran menghadapi sikap mama mertuaku. Jadikan hatiku selalu lapang menerima ujian kehidupan rumah tanggaku, Aamiin,” ucapnya lirih sambil menyeka butiran bening yang kembali menetes di pipinya. "Aku tidak boleh menangis dan tidak boleh kelihatan bersedih di depan Kak Arash. Sebaiknya aku tidak menceritakan apa yang baru saja kualami," gumamnya sambil memastikan matanya tak basah lagi."Biar bagaimanapun beliau juga orang tuaku, seper
Sejauh apapun kamu menjauh, bila hatiku ingin kamu. Aku bisa apa?(Alvisyah – Sekeping Hati)Pukul 10.00 Nirina, Cynthia, Azzura, dan wanita seusia Nirina datang. Mereka di sambut Arash dan Filzah dengan hangat. “Pak, tolong keluarkan bawaan kami dari bagasi dan bawa langsung ke dapur,” perintah Nirina pada sopir keluarga Priambudi.“Baik, Nyonya.” sopir keluarga Priambudi itu dengan cekatan mengeluarkan bawaan yang dimaksud Nirina, tentu saja Arash turut membantunya.“Dek, maaf Bunda lancang sudah memerintahkan Pak Bayu untuk meletakkan barang bawaan kami ke dapur kalian tanpa seizin yang punya rumah,” ujar Nirina pada sang putri yang saat ini berada di dapur mengambilkan minum.“Ya Allah, Bunda. Enggak apalah, santai saja, kayak sama siapa aja sih, Bunda” jawab Filzah sambil tersenyum manis.“Rumahnya asri, ya, Sayang. Banyak tanaman di depan, samping, dan belakang,” ucap Nirina sambil menelusuri rumah itu. Rumah yang mengingatkannya pada rumah kedua orang tuanya, tetapi lebih be
Hidup adalah sebuah pertanyaan. Untuk mendapatkan jawaban kita harus menjalaninya terlebih dahulu.(Filzah – Sekeping Hati)Arash lebih memilih mengalah dan meninggalkan Filzah menangis di kamar. “Mungkin akan lebih baik bila aku memberi waktu dan ruang untuk Filzah sendirian. Biarlah dia menumpahkan perasaannya dan menenangkan dirinya,” gumam Arash. Arash menyadari, akan sangat sulit baginya menjelaskan kesalahpahaman ini bila sang istri masih dikuasai amarah. “Maafkan aku, Zah. Aku memang pembohong, tapi aku punya alasan untuk tidak jujur padamu. Aku takut menyakiti hatimu,” ucapnya lirih sambil mengacak rambutnya. Laki-laki tampan itu beranjak menuju ruang makan, tepat di depan kamar utama. Dituangkannya air minum ke dalam gelas dan duduk di salah satu kursi di sana. Arash melihat pekerjaan berberes rumah yang ditinggalkan Filzah dan masih belum selesai, dia pun tergerak untuk melanjutkannya. Arash masih sibuk menyapu lantai ketika Bik Ulil datang dengan diantar Azzura.“Assal
Cinta itu terlalu suci untuk dinodai, terlalu tinggi untuk dikhianati, terlalu indah untuk dikotori. Karena ia adalah anugerah yang harus dijaga kesuciannya, Diagungkan ketinggiannya, dan dikagumi keindahannya.(Filzah Nawwal Haziq Priambudi)Filzah segera menutup dan menguci pintu kamar. Perlahan tubuhnya luruh menyandar pintu kamar. Air mata satu persatu jatuh. Arash yang menyadari kesalahannya telah berlaku kasar pada sang istri segera menyusul. Arash sudah tidak peduli keberadaan sang mantan dan mamanya. “Zah, tolong buka pintunya, Zah. Tolong maafkan aku!” pintanya sambil terus mengetuk pintu.Arash mendengar deru mobil Alvisyah meninggalkan rumahnya, tetapi Arash sama sekali tidak peduli. Saat ini yang terpenting baginya hanyalah Filzah. “Ya Allah, apa yang telah aku lakukan tadi? Kenapa aku tidak bisa mengontrol emosi dan tanganku?” Arash mengusap kasar wajahnya, frustrasi, hingga terduduk di lantai depan pintu kamarnya.“Sayang, aku mohon, buka pintunya. Aku minta maaf,” u