"Hmmm," ibu menghela napas, lamat-lamat menatap ke arahku. "Menurut ibu, nggak usah dibawa Rinatanya ke sini. Sekalipun dia adik tirimu sebaiknya jangan dibawa. Ibu takut dia kayak dulu lagi. Ibu nggak mau kamu disakiti lagi, Rin. Kalau niatnya membantu nggak perlu juga sampai dibawa ke sini.""Iya, Bu. Benny juga usulnya begitu. Kita bantu dari jauh aja." sahut Abi Benny, dia menggenggam tanganku, "Abi tahu gimana sedih dan prihatinnya Ummi terhadap Rinata, tapi Abi lebih prihatin jikalau Rinata tinggal di sini. Abi bakalan nggak fokus kerja karena pasti mikirin Ummi di rumah.""Bukan karena kita bersu'udzon pada Rinata, tapi hanya menjaga-jaga. Berkaca dari yang pernah diperbuat. Dan memang manusia itu ada berubah tapi kalau ada kesempatan lagi gimana?""Iya, Bi. Gimana kalau besok kita suruh Pak Tayang cari info soal Rinata. Cari tahu rumahnya dimana, nanti baru kita pikirin bantu dia dalam bentuk apanya.""Nah, iya bagus gitu. Pokoknya gimana caranya kita ngebantu dia tanpa dia ta
"Umm, nanti hati-hati ya. Ingat, nggak boleh terlalu capek. Apalagi udah hamil besar gini. Kalau udah selesai urusan Rinata langsung pulang yah, Umm?" ujar lelaki yang paling posesif semenjak aku hamil namunku sayang karena Allah. Dia mengulurkan tangannya untuk kusalami dengan takzim."Iya, Bi. Tenang aja, in syaa Allah Ummi nggak bakalan kenapa-kenapa kok," jawabku meyakinkan. Ya wajar saja dia khawatir mengingat usia kandunganku tinggal menuju waktu, belum lagi ku yang tak muda lagi.Kemudian mengelus perutku sembari membisikkan sesuatu, "Kamu hati-hati ya, Nak. Bilangin ke Ummi jangan bandel, kalau capek suruh istirahat.""Bu, aku pamit ya. Bilangin sama Rinjani jangan lama-lama perginya. Aku khawatir, Bu." "Iya, kamu tenang saja. In syaa Allah tidak kenapa-napa nanti. Ya udah hati-hati di jalan ya, Ben."Abi Benny menyalami Ibu dengan takzim. Lalu punggung lebarnya perlahan menghilang dari pandanganku."Kamu udah siap-siap juga, Rin?" tanya ibu ketika aku lagi mencari-cari baju
"Gimana, Kang?" tanyaku pada Kang Sholeh yang sudah kembali."A-anu, Bu. Anu ..." raut wajah Kang Sholeh cemas. Napasnya tidak beraturan selepas berlari barusan. Melihat Kang Sholeh seperti itu napasku pun ikut tidak beraturan."Kok anu? Apa kata orang tadi, Kang? Jangan bikin tambah tegang," sahut ibu."Rin, kamu tidak apa-apa, Nak?" rupanya ibu memperhatikan."Tidak, Bu. Mungkin karena lihat gurat Kang Sholeh aku ikut cemas, Bu," ucapku di sela mengatur napas dan beristighfar."Jadi gimana Kang Sholeh? Apa kata Bapak tadi?" desakku tidak sabar."A ... i-itu, Bu," dia gugup."Jangan bikin aku tambah panik, apanya yang anu?!""Non Rinata kecelakaan, Bu." "Apa!" mataku membelalak, ketika mendengarkan kata yang diucapkan Kang Sholeh."Kamu serius Kang Sholeh?" tanya ibu tidak percaya."Udah bener infonya, Kang?" tambah Pak Tatang."Rin ... Rin .... kamu tidak apa-apa 'kan?" "Aduuuuuuhhh ... Bu, perutku," aku terut memegang perut bagian bawah, rasanya sakit bukan main, dadaku naik turu
"Bi ... Abi ... Ummi di atas sini. Kenapa kalian menangis, bukankah mesti bahagia jikalau aku sudah lahiran dan bayiku selamat.""Itu ... Itu 'kan dokter yang mengoperasiku tadi. Apa yang sedang dia sampaikan pada keluargaku?""Kenapa keluargaku bersikap aneh dan menangis seperti itu, harusnya bahagia apalagi aku sudah melahirkan putri cantik."❤❤❤"Rinjani ...""Ibu ...""Sini, Nak. Kamu semakin cantik saja, Nak. Apalagi memakai baju putih seperti itu. Wajahmu juga berseri.""Ibu kenapa bisa ada di sini? Kenapa aku bisa mendengar panggilan ibu? Sedangkan Abi Benny, Arsy, dan mertuaku tak menoleh sedikitpun.""Kamu dan ibu sama-sama berada di atas sini, Nak.""Kemari lah, Nak. Ibu kangen?""Bu ... aku juga rindu, tapi ...""Mana cucu, ibu?""Dia sedang bersama dokter dan perawat, Bu. Ibu cantik sekali memakai gamis putih itu. Ibu juga terlihat lebih muda,""Iya, Nak. Di sini kita akan awet muda selamanya. Ke sinilah, Nak.""Rinjani ...""Rinjani ...""Tante ... Ayah ... kenapa kalian
[Huney ... alatnya menunjukkan dua garis merah.] Dengan tangan gemetar kukirim pesan singkat ke Alex, pacarku. Kami memang melakukan hubungan suami-istri kurang lebih sebulan ini. Tapi, kok bisa hamil. Padahal sudah pakai pengaman.[Tanda apa?] balasnya lima menit kemudian.[Hamil. Kamu harus tanggung jawab!][Iya, tapi gugurin dulu. Kita masih semester dua, Vio. Ga mungkin nikah muda, aku belum siap][Gugurin? Kamu mau lari dari tanggung jawab, ya? Aku nggak mau, janin ini nggak salah, pokoknya kamu harus tanggung jawab!][Viola, please. Ga ada yang lari, aku bakalan tetap nikahin kamu, tapi gugurin dulu. Kita masih terlalu dini momong anak, Vio.][Pokoknya kamu ke kost aku sekarang!][Iya, setengah jam lagi aku nyampe sana.]Pikiranku tak karuan. Bagaimana kalau janin ini tidak mempan untuk digugurkan. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi mami papi setelah mengetahui kalau aku hamil tanpa ikatan pernikahan.Namaku Viola Mainula Sar, anak semester kedua jurusan ekonomi, pacar
"Gimana udah kamu minum?" Baru saja telepon tersambung, Viola sudah diburu pertanyaan. Viola menyeka air matanya yang masih saja turun membasahi wajahnya."Belum, aku nggak mau minum itu!" balas Viola dengan nada bicara sedikit tinggi.Perempuan mana yang tak sakit mendengarnya. Lelaki yang sudah mengambil mahkotanya, bahkan ada benihnya dalam rahim, tega menyuruh menggugurkan si jabang bayi yang sama sekali tidak bersalah."Jangan bertingkah bodoh kamu! Kita ini masih anak kuliahan, semester dua lagi. Aku nggak mau semuanya hancur begitu saja!" bentak Alrex di seberang sana.Mendengar deretan kata yang menyakitkan hingga ulu hati, Viola pun tak kalah tinggi nada suaranya."Terus, menurut kamu, masa depan aku nggak hancur apa? Hah? Mana janji kamu mau bertanggung jawab?" cecar Viola."Lah, kalau begitu, bener dong saran aku. Gugurin daripada anak dalam kandungan kamu itu nggak nyusahin masa depan kita!""Dia nggak punya dosa, Alex!""Terserah kamu saja kalau begitu, Vio. Kalau nggak g
"Vio ... Vio ...." Maura memanggil sambil mengetuk pintu kamar Viola, di tangan satunya lagi berisikan makanan yang dipesan Alex secara online.Tak kunjung dibuka dan tak ada sahutan dari dalam kamar, Maura pun menekan handle pintu, memastikan apakah pintunya dikunci atau tidak.Ceklek!!!Pintu terbuka setelah Maura menekannya. Di sudut sana, di atas kasur tanpa dipan, Viola duduk memeluk lututnya dengan kepala bertumpu pada lutut. Dia menangis tanpa suara."Vio ...," panggil Maura, dia melemparkan pandangan ke arah botol yang ada di atas meja."Kamu sudah meminumnya? Sakit ya? Ada tanda-tanda?"" Deretan pertanyaan yang terlontar dari mulut Maura membuat Viola mengangkat kepalanya."Lihat saja di sana buktinya, biar kamu bisa ngasih tahu Alex kalau aku sudah minum semuanya.""Terus, sekarang gimana rasa perutnya? Ngilu? Udah ada darah yang keluar?""Bisa nggak, kamu itu nggak kepoan jadi orang. Bisa nggak prihatin dikit sama kondisi aku. Kalau kamu ke sini cuma mau ngusik mending kelua
Pak Budi dengan tegas menyuruh Viola dan Alex masuk ke dalam rumahnya. Untung saja, para warga tidak begitu ikut campur saat Viola dan Alex masuk ke dalam rumah, karena Pak Budi akan menuntaskan persoalan pasangan muda-mudi ini."Paling juga heboh karena kumpul kebo," bisik seorang ibu pada temannya yang juga ikut menyaksikan pertengkaran Viola dan Alex."Anak-anak sekarang kok pada b*d*h ya, lelaki itu cuma mau enak doang. Modal cinta mau aja mengorbankan harga diri," celetuknya menggebu."Sssstttt ..., belum tentu juga kali, Bu. Siapa tahu pacarnya selingkuh atau masalah lain, anak zaman sekarang 'kan ada aja masalahnya," sanggah ibu satunya lagi. Dua perempuan berusia empat puluh lima tahun ini tengah berjalan kaki menuju rumah mereka yang kebetulan berjarak 100 meter dari rumah Pak Budi."Yeee si ibu, zaman sekarang malah masalah mereka seputar cinta hamildun itu-itu aja." Ibu berambut hitam bercampur pirang itu tak terima pendapat temannya. Ditambah dengan mengibas angin disertai