"Gimana, Kang?" tanyaku pada Kang Sholeh yang sudah kembali."A-anu, Bu. Anu ..." raut wajah Kang Sholeh cemas. Napasnya tidak beraturan selepas berlari barusan. Melihat Kang Sholeh seperti itu napasku pun ikut tidak beraturan."Kok anu? Apa kata orang tadi, Kang? Jangan bikin tambah tegang," sahut ibu."Rin, kamu tidak apa-apa, Nak?" rupanya ibu memperhatikan."Tidak, Bu. Mungkin karena lihat gurat Kang Sholeh aku ikut cemas, Bu," ucapku di sela mengatur napas dan beristighfar."Jadi gimana Kang Sholeh? Apa kata Bapak tadi?" desakku tidak sabar."A ... i-itu, Bu," dia gugup."Jangan bikin aku tambah panik, apanya yang anu?!""Non Rinata kecelakaan, Bu." "Apa!" mataku membelalak, ketika mendengarkan kata yang diucapkan Kang Sholeh."Kamu serius Kang Sholeh?" tanya ibu tidak percaya."Udah bener infonya, Kang?" tambah Pak Tatang."Rin ... Rin .... kamu tidak apa-apa 'kan?" "Aduuuuuuhhh ... Bu, perutku," aku terut memegang perut bagian bawah, rasanya sakit bukan main, dadaku naik turu
"Bi ... Abi ... Ummi di atas sini. Kenapa kalian menangis, bukankah mesti bahagia jikalau aku sudah lahiran dan bayiku selamat.""Itu ... Itu 'kan dokter yang mengoperasiku tadi. Apa yang sedang dia sampaikan pada keluargaku?""Kenapa keluargaku bersikap aneh dan menangis seperti itu, harusnya bahagia apalagi aku sudah melahirkan putri cantik."❤❤❤"Rinjani ...""Ibu ...""Sini, Nak. Kamu semakin cantik saja, Nak. Apalagi memakai baju putih seperti itu. Wajahmu juga berseri.""Ibu kenapa bisa ada di sini? Kenapa aku bisa mendengar panggilan ibu? Sedangkan Abi Benny, Arsy, dan mertuaku tak menoleh sedikitpun.""Kamu dan ibu sama-sama berada di atas sini, Nak.""Kemari lah, Nak. Ibu kangen?""Bu ... aku juga rindu, tapi ...""Mana cucu, ibu?""Dia sedang bersama dokter dan perawat, Bu. Ibu cantik sekali memakai gamis putih itu. Ibu juga terlihat lebih muda,""Iya, Nak. Di sini kita akan awet muda selamanya. Ke sinilah, Nak.""Rinjani ...""Rinjani ...""Tante ... Ayah ... kenapa kalian
[Huney ... alatnya menunjukkan dua garis merah.] Dengan tangan gemetar kukirim pesan singkat ke Alex, pacarku. Kami memang melakukan hubungan suami-istri kurang lebih sebulan ini. Tapi, kok bisa hamil. Padahal sudah pakai pengaman.[Tanda apa?] balasnya lima menit kemudian.[Hamil. Kamu harus tanggung jawab!][Iya, tapi gugurin dulu. Kita masih semester dua, Vio. Ga mungkin nikah muda, aku belum siap][Gugurin? Kamu mau lari dari tanggung jawab, ya? Aku nggak mau, janin ini nggak salah, pokoknya kamu harus tanggung jawab!][Viola, please. Ga ada yang lari, aku bakalan tetap nikahin kamu, tapi gugurin dulu. Kita masih terlalu dini momong anak, Vio.][Pokoknya kamu ke kost aku sekarang!][Iya, setengah jam lagi aku nyampe sana.]Pikiranku tak karuan. Bagaimana kalau janin ini tidak mempan untuk digugurkan. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi mami papi setelah mengetahui kalau aku hamil tanpa ikatan pernikahan.Namaku Viola Mainula Sar, anak semester kedua jurusan ekonomi, pacar
"Gimana udah kamu minum?" Baru saja telepon tersambung, Viola sudah diburu pertanyaan. Viola menyeka air matanya yang masih saja turun membasahi wajahnya."Belum, aku nggak mau minum itu!" balas Viola dengan nada bicara sedikit tinggi.Perempuan mana yang tak sakit mendengarnya. Lelaki yang sudah mengambil mahkotanya, bahkan ada benihnya dalam rahim, tega menyuruh menggugurkan si jabang bayi yang sama sekali tidak bersalah."Jangan bertingkah bodoh kamu! Kita ini masih anak kuliahan, semester dua lagi. Aku nggak mau semuanya hancur begitu saja!" bentak Alrex di seberang sana.Mendengar deretan kata yang menyakitkan hingga ulu hati, Viola pun tak kalah tinggi nada suaranya."Terus, menurut kamu, masa depan aku nggak hancur apa? Hah? Mana janji kamu mau bertanggung jawab?" cecar Viola."Lah, kalau begitu, bener dong saran aku. Gugurin daripada anak dalam kandungan kamu itu nggak nyusahin masa depan kita!""Dia nggak punya dosa, Alex!""Terserah kamu saja kalau begitu, Vio. Kalau nggak g
"Vio ... Vio ...." Maura memanggil sambil mengetuk pintu kamar Viola, di tangan satunya lagi berisikan makanan yang dipesan Alex secara online.Tak kunjung dibuka dan tak ada sahutan dari dalam kamar, Maura pun menekan handle pintu, memastikan apakah pintunya dikunci atau tidak.Ceklek!!!Pintu terbuka setelah Maura menekannya. Di sudut sana, di atas kasur tanpa dipan, Viola duduk memeluk lututnya dengan kepala bertumpu pada lutut. Dia menangis tanpa suara."Vio ...," panggil Maura, dia melemparkan pandangan ke arah botol yang ada di atas meja."Kamu sudah meminumnya? Sakit ya? Ada tanda-tanda?"" Deretan pertanyaan yang terlontar dari mulut Maura membuat Viola mengangkat kepalanya."Lihat saja di sana buktinya, biar kamu bisa ngasih tahu Alex kalau aku sudah minum semuanya.""Terus, sekarang gimana rasa perutnya? Ngilu? Udah ada darah yang keluar?""Bisa nggak, kamu itu nggak kepoan jadi orang. Bisa nggak prihatin dikit sama kondisi aku. Kalau kamu ke sini cuma mau ngusik mending kelua
Pak Budi dengan tegas menyuruh Viola dan Alex masuk ke dalam rumahnya. Untung saja, para warga tidak begitu ikut campur saat Viola dan Alex masuk ke dalam rumah, karena Pak Budi akan menuntaskan persoalan pasangan muda-mudi ini."Paling juga heboh karena kumpul kebo," bisik seorang ibu pada temannya yang juga ikut menyaksikan pertengkaran Viola dan Alex."Anak-anak sekarang kok pada b*d*h ya, lelaki itu cuma mau enak doang. Modal cinta mau aja mengorbankan harga diri," celetuknya menggebu."Sssstttt ..., belum tentu juga kali, Bu. Siapa tahu pacarnya selingkuh atau masalah lain, anak zaman sekarang 'kan ada aja masalahnya," sanggah ibu satunya lagi. Dua perempuan berusia empat puluh lima tahun ini tengah berjalan kaki menuju rumah mereka yang kebetulan berjarak 100 meter dari rumah Pak Budi."Yeee si ibu, zaman sekarang malah masalah mereka seputar cinta hamildun itu-itu aja." Ibu berambut hitam bercampur pirang itu tak terima pendapat temannya. Ditambah dengan mengibas angin disertai
"Viola?" Rinjani tersentak kaget. Belum usai sesak dadanya melihat keponakannya hamil di luar nikah, kini timbul lagi masalah lain."Benar, Tan. Bahkan dia sudah membelikan aku lima botol minuman pelancar haid.""Kamu minum?""Iya, aku meminum semuanya.""Lalu? Apa reaksinya?"Viola menggelengkan kepala, "tidak ada reaksi apapun, Tan. Dan, dia makin marah karena aku baik-baik saja. Bahkan dia mengusulkan untuk aborsi," jelas Viola.Viola seakan dapat kekuatan setelah melihat Rinjani datang. Walaupun di sisi lain, dirinya sangat merasa bersalah, akan tetapi tak ingin memberi kesempatan lagi pada laki-laki yang tidak bertanggung jawab itu, Viola berniat untuk memasukkan Alex ke penjara.Bukan Rinjani saja yanvg terkejut mendengar penjelasan singkat Viola, Pak Budi juga tidak menyangka."Saya nggak ngerti sama jalan pikiran kamu anak muda. Sudah tidak mau tanggung jawab, malah meragukan kandungan dia, sekarang kamu menyuruh dia untuk menggugurkan janin yang tidak bersalah itu. Nyali kala
Viola semakin dirundung rasa bersalah, tak bersemangat menggigit roti selai coklat yang dibuatkan Rinjani. Dia menatap Rinjani yang masih mengolesi roti dengan selai coklat."Tan, kenapa Tante nggak marah sedikitpun sama aku? Padahal, aku sudah membuat tante kecewa. Apalagi ini aib yang sangat mencoreng nama baik tante. Aku juga tidak bisa membuat ibu di kampung bangga denganku," lirih Viola.Rinjani melirik sekilas sampai akhirnya menyelesaikan olesan yang sedikit lagi memenuhi roti tawar di tangannya."Kalau kamu nanya soal kecewa, jelas tante sangat kecewa sama kamu, Viola. Harapan tante begitu besar supaya kamu fokus untuk kuliah dan segera lulus. Namun, selain tante, ada wanita yang sangat-sangat kecewa, yaitu ibu kamu. Wanita kuat yang begitu penuh perjuangan dari kamu di kandungan hingga kamu sebesar ini."Nada bicara Rinjani yang pelan, membuat mata batin Viola semakin tersentuh bahkan makin merasa bersalah atas aib yang dia lakukan, ulah berpikir pendek bermodalkan buaian dir
Bab 12"Kamu beneran sudah gila ya, Lita! Mama pikir kamu bisa berpikir jernih sedikit, mengalah sedikit, apa kamu beneran nggak takut jadi janda dan hidup melarat?" serang Ririn dengan penuh amarah.Dia memang takut miskin karena mengingat hidupnya yang begitu susah dulunya.Lita mengendikkan bahu dengan angkuhnya."Aku memang sudah gila!""Kan berulang kali aku bilang sama mama, kalau aku nggak peduli. Mau hidup miskin ataupun kaya, terserah kedepannya. Aku capek diatur terus-terusan, aku yang lebih tahu kebahagiaan ku sendiri.""Sebelum Mas Ammar yang ceraikan aku, aku yang lebih dulu ceraikan dia, karena aku akan menikah dengan lelaki pilihanku!" erang Lita hilang kendali."Jangan bertindak bodoh kamu! Pikirkan lagi ucapan kamu itu Lita! Laki-laki itu pasti baru kamu kenal, nggak akan ada laki-laki yang nerima perempuan apalagi janda dengan segampang itu. Kamu nggak mikir efeknya nanti gimana?""Sudahlah, Ma. Aku capek berdebat terus dengan mama. Lagian hutang-hutang mama juga ham
Bab 11[Mas ... dimana? Aku lagi bete nih! Bisa keluar nggak]Lita mengirim pesan pada seseorang beberapa saat setelah menenggak habis minumannya. Tak perlu sepertinya Lita menunggu, selang satu menit, pesannya pun terbalaskan.Seperti tak kenal waktu, padahal sudah menunjukkan pukul satu dini hari.[Kan tadi abis jalan. Kok masih bete sih?] Balas seseorang yang diberi nama Argantara.[Tau gini mending aku nggak pulang tadi.] Balas Lita cepat.[Terus gimana? Mau keluar lagi?][Iya.][Oke. Aku otewe]Sembari menunggu jemputan dari lelaki yang baru dikenalnya selama seminggu ini, Lita menunggu lantai dua untuk mengambil tasnya. Dia berjalan mengendap-endap supaya langkah kakinya tak terdengar oleh Ririn sang mama.Dengan pelan dia menekan handle pintu dan membukanya sedikit saja. Tampak Ririn sudah tidur dengan posisi terlentang. Tak ingin ketahuan, Lita buru-buru menyambar tas yang ada di nakas.[Dimana? Aku udah siapa]Pesan yang dikirim Lita cukup lama dibalas, hingga ... terdengar b
Bab 10"Nggak cuma tanya apa ada yang mau nitip makanan, gue jawab aja langsung enggak.""Ooh ...." Lita sama sekali tak curiga dengan gerak-gerik teman kerjanya itu. Dia kembali berkutat pada ponselnya.[Ta, mama telponin daritadi nggak diangkat-angkat][Mama mau ngasih tau, mertua sama Arumi dan baby sitter kamu keluar dari rumah][Mama sempat nanya, tapi mertua kamu diam aja. Coba deh kamu telpon mertua kamu?]"Mama lebay banget deh ah. Perkara mereka keluar rumah aja pake lapor. Nggak ada apa hal yang lebih penting," ngomel Lita seraya membuka aplikasi lainnya."Masalah lagi?" tanya Dea."Ya biasalah, nyokap gue orang paling lebay. Masa iya, mertua, anak, dan baby sitter keluar rumah pake ngelapor segala ke gue. Kan nggak penting banget ya," jelas Lita dengan suara sedikit tinggi."Yaelah. Gitu aja lu sensi amat. Wajar aja lah emak lu lapor, kan mertua lu bawa anak lu keluar rumah, emangnya lu nggak mikir gimana gitu, khawatir paling tidak," sahut Dea seraya menyunggingkan sedikit
Bab 9"Lita ... Lita ..., bangun kamu! Heh!" Ririn mengguncang tubuh anaknya yang baru saja terlelap."Dasar kebo ya kamu, ditinggal sebentar ke bawah, langsung molor," sengit Ririn."Apa sih, Ma. Orang ngantuk juga." Lita menyentak tubuhnya. Tangan Ririn terlepas."Ammar mau menceraikan kamu!" ucap Ririn tanpa basa-basi."Hah?" Lita terduduk, dengan wajah masih berpoles make up dan rambut acak-acakan. "Jangan bercanda, Ma!" ucapnya tak percaya."Serius, tadi Ammar bilang, kalau kamu tidak berubah, bisa jadi kalian akan bercerai."Seolah seperti orang baru sadar, Lita mengibas angin tepat di depan wajah Ririn."Halah, paling juga ancaman belaka, Ma. Mana mungkin dia akan menceraikan aku. Lagian nih, pasti auto malu lah, dia kan tahu gimana rasanya punya orang tua nggak lengkap. Aku yakin, dia tidak akan melakukan hal itu, kalau dia sayang Arumi, aku yakin dia tidak akan memberikan Arumi orang tua yang tidak lengkap." Begitu percaya dirinya Lita berucap."Jika benar itu terjadi bagaima
Bab 8"Buka mata kamu, Mmar. Apa iya pantas istrimu bicara seperti itu sama bunda?"Viola tak tinggal diam, terasa dipojokkan oleh Lita."Neng Viola harusnya juga buka mata, jangan karena nila setitik rusak susu sebelanga, jangan karena Lita ingin istirahat sebentar, Neng Viola jadikan itu Boomerang," balas Ririn tegas."Kenapa kamu diam, Mmar?""Lihat istrimu Lita, bersimpuh meminta pengertianmu, dia rela meminta maaf atas apa yang sebenarnya tidak dia lakukan secara sengaja. Andai bundamu bisa mengontrol diri, tak akan runyam seperti ini," tambah Ririn.Ammar menundukkan kepalanya, melihat sekejap istrinya yang masih bersimpuh dan tak hentinya menangis. Isakkan tangis Lita pun terdengar semakin keras."Bund, kita turun saja dulu!" ajak Ammar memecahkan keheningan yang tercipta beberapa detik."Yuk, mending kita istirahat," sahut Viola dia menyunggingkan ujung bibirnya pada Ririn."Mas ... Mas ... Please, jangan begitu. Aku sedikitpun tidak ada niat mengutarakan ucapan seperti tadi s
Bab 7"Eh, Bunda. Duduk sini, Bund. Mau ngomong apaan? Serius nih keliatannya," ucap Ammar seraya menurunkan kedua kakinya yang tadinya berada di kursi kosong."Kamu nggak tidur?" tanya Viola memulai pembicaraan, seraya menduduki kursi yang ada di sebelah kanan."Nanti lah, Bund. Bunda kenapa nggak tidur? Udah malam lho, Bund. Apalagi tadi sibuk ngurusin acara Arumi.""Iyaa, bentar lagi bunda tidurnya." Viola menyisir pandangannya, termasuk ke pintu utama yang terbuka dengan lebar."Bunda lagi liatin apa? Katanya tadi mau bicara, bicara apa, Bund?" tanya Ammar mulai penasaran apalagi melihat gelagat bahasa tubuh ibunya yang agak lain."Tadi bunda liat Lita naik ke lantai dua bawa beberapa baju. Emangnya dia mau tidur di atas lagi, Mmar?""Oh itu, iya, Bund. Malam ini dia mau istirahat di kamar lantai atas.""Istirahat gimana? Kalian kan punya kamar? Kenapa pisah kamar lagi kayak kemarin?""Hmm ... cuma malam ini aja kok, Bund. Lita kecapekan kalau tidur di kamar aku, bakalan keganggu
Bab 6Malam ini, untuk pertama kali mereka tidur bertiga. Ammar sangat senang, hal kecil yang diimpikannya terwujud, satu kamar dengan istri dan anak."Mas, makasih ya. Atas sikapku kemarin." Lita kembali mengulangi permintaan maafnya pada Ammar saat mereka sama-sama tengah berbaring di atas ranjang sembari memainkan jambang Ammar yang tampak mulai lebat."Tidak apa, Sayang. Mas paham. Tapi, jangan lagi berkata seperti itu. Kasian Arumi," balas Ammar lembut dan mendaratkan sebuah kecupan di kening Lita."Mas, juga minta maaf sama kamu. Mas yang salah atas semuanya yang terjadi," tambah Ammar kemudian.Cahaya remang, dinginnya suhu AC, dan lelapnya Arumi di ranjangnya sendiri, serta tak bisa dibendung rasa rindu Ammar pada istrinya. Tangan Ammar mulai nakal menjamahi tubuh Lita."Mas, kita tidur yuk! Aku capek," bisik Lita seraya menggeser tangan suaminya dari bagian tubuh yang tersentuh."Yaudah, yuk!"Posisi tidur langsung berubah, Lita membelakangi suaminya. Namun, Ammar sepertinya
Bab 5Ammar seketika berdiri, telinganya terasa semakin panas oleh ucapan Lita yang sama sekali tidak ada rasa peduli padanya."Kamu bisa ngertiin posisi aku nggak?""Kamu juga nggak ngertiin aku, Mas. Kamu nggak ngerti gimana perasaan aku!" Lita tak mau kalah, mau adu nasib dengan suaminya yang siang malam berkejar-kejaran dengan waktu. "Aku kurang ngertiin apalagi coba? Aku akan tetap test DNA, tapi sabar dulu.""Terserah lah, Mas. Kamu egois!" Lita meninggalkan Ammar tanpa belas kasihan sedikitpun, seolah cinta dan kasih sayang yang dia berikan dari awal pernikahan sirna begitu saja."Lita ... Lita ... kamu nggak capek apa kita begini terus!" seru Ammar. Namun, Lita sama sekali tidak memperdulikan ucapan suaminya. Dia terus saja menaiki anak tangga Hari-hari yang dijalani Ammar sekarang selalu banyak masalah. Rumah terasa panas, dia pun sulit berkonsentrasi. Bahkan kerjaan yang sedang dia selesaikan sekarang itu, karena klien protes, dan itu karena Ammar tidak fokus.Viola yang m
Bab 4"Masa Neng Viola tidak tahu alasan saya berkata demikian? Bukannya Neng Viola sudah melihat bayi yang ada di kamar Ammar dan Lita.""Ya, saya sudah melihatnya. Lantas apa hubungannya dengan ucapan Neng Ririn tadi. Itu kan bayi mereka.""Saya tidak yakin, pasti Ammar sudah menjebak Lita. Bisa jadi itu anak orang lain. Saya rasa ad maksud lain dibalik hadirnya bayi itu.""Astaghfirullah, Neng. Jauh sekali pikiranmu. Sampai menuduh Ammar seperti itu. Saya tahu Ammar seperti apa, dia tidak akan berbuat sekonyol itu.""Udahlah, Neng Viola. Nanti saja kita buktikan. Saya akan tinggal di sini, biar tidak terjadi hal-hal buruk.""Sama lah kalau begitu, saya juga tinggal di sini. Kita buktikan saja siapa yang memfitnah."Lita tersentak, dia menatap ibunya, seolah mengode sesuatu."Lho, nggak bisa gitu dong, Neng. Anakmu laki-laki tidak perlu ditemani, beda dengan anakku, perlu penjagaan ketat.""Dia tidak terancam kok di sini, Neng Ririn. Malah, Lita bisa me time sepanjang waktu. Kan yan