Sembari berjalan menuju ruang inap Ayah, bathinku selalu bertanya-tanya apa penyebab Ustadzah Renty pergi untuk selama-lamanya. Walaupun baru enam bulan bergabung di Pondok Pesantren Nurul Iman tapi sekalipun tidak pernah terdengar olehku Ustadzah Renty punya sakit yang serius.Apalagi dia aktif dalam kegiatan pondok baik dalam pembelajaran ataupun ekstra kurikuler. Sifat Arsy yang periang itu turunan dari Ustadzah Renty.Ketika langkahku sampai di dekat ruang inap Ayah, terdengar suara agak rame terlihat dari kaca jendela kamar di dalam sudah ada beberapa orang Bapak Polisi."Assalamualaikum." ucapku masuk ke ruangan Ayah, semua mata serempak melihat ke arahku sambil menjawab salam, "Waalaikumsalam.""Rin, bilang sama Bapak-bapak ini. Kalau Ayah tidak mau ikut dengan mereka. Apalagi kondisi Ayah seperti ini. Mana ada orang buta yang ditahan. Belum lagi Ayah masih dalam perawatan."Ku dekati ranjang Ayah, "Ayah tenang dulu." ucapku dengan sedikit berbisik."Maaf, Pak. Tadi saya ada ur
Setelah sepuluh menit menunggu, aku dan Pak Hendro pun masuk ke ruangan Dokter Handoko.Kalau ku tebak kisaran umur sang Dokter berumur 35-40 tahun, masih terbilang muda."Assalamualaikum, Dok" sapaku."Waalaikumsalam." silakan duduk, pintanya."Dok, begini. Perihal Ayah saya pasien yang baru saja kemarin menjadi korban kecelakaan. Itu penyebab kebutaan Ayah saya seperti apa yah, Dok? Soalnya kebetulan Ayah mau dipindahkan ke rumah sakit polisi." jelasku malas. Harusnya dokter tidak perlu tahu jika Ayah adalah tersangka. Tetapi apa boleh buat semuanya harus terbuka secara detail."Begini Bu, soal kondisi Ayah anda, bahwasanya dalam kecelakaan tersebut Ayah anda mengalami benturan yang sangat keras. Akibatnya saraf mata pecah dan didorong salah satunya dari penyakit diabetes yang diderita Ayah anda, sehingga juga menyebabkan kerusakan pada kornea mata. Ini dilihat dari hasil rontsen yang dilakukan tadi malam." jelas Dokter sembari menyerahkan hasil rontsen padaku."Diabetes?" bisik bat
"Umm, dasi Abi yang warna abu-abu tua ditarok dimana?" tanya suamiku dari dalam kamar.Aku yang ketika itu sedang menyiapkan sarapan berhenti sejenak, "Bik, tolong tuangin teh panas ini yah, sama ambilkan piring." pintaku pada Bik Iyem-asisten rumah tanggaku yang usianya tidak begitu jauh dariku. Bik Iyem berusia 50 tahun, walaupun sudah separuh baya dia begitu telaten dan semangat mengerjakan tugasnya."Baik, Nyah." jawabnya sigap ditambah dengan anggukan."Ada Bi, itu udah Ummi tarok di atas ranjang." jawabku sembari menghampirinya ke dalam kamar."Ya Allah Abi, masa dasinya nggak kelihatan sih." keluhku pada suami yang sedang mematut diri di depan cermin."Dimana Umm, udah Abi cari-cari daritadi nggak nemu.""Nih, nyelip di bawah bantal dasinya. Abi mah kebiasaan kalau lagi siap-siap gini, selalu berantakan.""Maaf sayang, di rumah boleh berantakan tapi di kantor kan enggak sayang." dia mencubit pipiku dengan manja. "Umm, pasangin dong dasinya." rengeknya manja.Aku hanya menggelen
"Iya, Umm. Sebentar." sahutnya.Tak lama kemudian dia keluar dari dalam rumah, "Umm, Arsy pergi kuliah dulu ya. Dadada Ummi." dia menyium punggung tanganku dan juga mengelus-elus perutku-calon adiknya yang sebentar lagi lahir ke dunia.Biasanya Arsy berangkat kuliah dengan mengendarai mobil sendiri tetapi berhubung mobilnya sedang di bengkel, jadi dia nebeng dengan Abinya."Assalamualaikum, Ummiiii" ucap mereka serempak sambil melambaikan tangan ke arahku."Waalaikumsalam." jawabku semringah dan melambaikan tangan juga pada mereka yang berlalu meninggalkan rumah."Pak Tatang, nanti anterin aku ke rumah sakit pukul 10.00 ya." pintaku pada Pak Tatang yang sedang menutup pagar rumah."Baik, Nyah. Siap."Aku kembali masuk ke dalam rumah, tampak Bik Iyem sedang membersihkan meja makan."Bik, sarapan dulu." sapaku."Iya, Nyah. Nanggung Nyah. Oh iya Bik, rendang dagingnya udah masak belum?" "Dikit lagi masak Nyah.""Oh baiklah, aku mau ke kamar dulu Bik." ucapku pamit.Nanti sore ibu mertua
Flashback"Ustadzah, tunggu!" sergah Arsy tiba-tiba ketika satu langkah lagi kakiku sampai di ambang pintu utama rumahnya, aku bisa menebak suaranya tanpa menoleh terlebih dahulu. Memang ketika aku berpamitan dengan Pak Benny tadi tak terlihat Arsy disampingnya dan aku pun enggan untuk meminta tolong pada Pak Benny untuk memanggil Arsy, mungkin saja dia sedang bersama keluarganya yang lain di kamar atau di ruangan lainnya."Iya, Arsy kenapa?" tanyaku ketika membalikkan badan dan menatap netranya penuh rasa campur aduk yang berdiri lesu di antara aku dan Pak Benny. Pak Benny yang sedang berdiri di sudut ruang tamu hanya mematung, tak tahu apa yang ada dibenaknya, tetapi aku tahu Pak Benny pasti rapuh."Ustadzah di sini saja sama Arsy! Arsy kesepian Dzah, Bunda udah nggak ada," kata-kata yang terlontar dari mulutnya terdengar lirih dan bergetar. Tangisnya pecah hingga dia menangis sesegukkan.Lagian anak seusianya yang tidak rapuh ditinggal pergi oleh wanita yang begitu amat mencintain
"Hmmm," ibu menghela napas, lamat-lamat menatap ke arahku. "Menurut ibu, nggak usah dibawa Rinatanya ke sini. Sekalipun dia adik tirimu sebaiknya jangan dibawa. Ibu takut dia kayak dulu lagi. Ibu nggak mau kamu disakiti lagi, Rin. Kalau niatnya membantu nggak perlu juga sampai dibawa ke sini.""Iya, Bu. Benny juga usulnya begitu. Kita bantu dari jauh aja." sahut Abi Benny, dia menggenggam tanganku, "Abi tahu gimana sedih dan prihatinnya Ummi terhadap Rinata, tapi Abi lebih prihatin jikalau Rinata tinggal di sini. Abi bakalan nggak fokus kerja karena pasti mikirin Ummi di rumah.""Bukan karena kita bersu'udzon pada Rinata, tapi hanya menjaga-jaga. Berkaca dari yang pernah diperbuat. Dan memang manusia itu ada berubah tapi kalau ada kesempatan lagi gimana?""Iya, Bi. Gimana kalau besok kita suruh Pak Tayang cari info soal Rinata. Cari tahu rumahnya dimana, nanti baru kita pikirin bantu dia dalam bentuk apanya.""Nah, iya bagus gitu. Pokoknya gimana caranya kita ngebantu dia tanpa dia ta
"Umm, nanti hati-hati ya. Ingat, nggak boleh terlalu capek. Apalagi udah hamil besar gini. Kalau udah selesai urusan Rinata langsung pulang yah, Umm?" ujar lelaki yang paling posesif semenjak aku hamil namunku sayang karena Allah. Dia mengulurkan tangannya untuk kusalami dengan takzim."Iya, Bi. Tenang aja, in syaa Allah Ummi nggak bakalan kenapa-kenapa kok," jawabku meyakinkan. Ya wajar saja dia khawatir mengingat usia kandunganku tinggal menuju waktu, belum lagi ku yang tak muda lagi.Kemudian mengelus perutku sembari membisikkan sesuatu, "Kamu hati-hati ya, Nak. Bilangin ke Ummi jangan bandel, kalau capek suruh istirahat.""Bu, aku pamit ya. Bilangin sama Rinjani jangan lama-lama perginya. Aku khawatir, Bu." "Iya, kamu tenang saja. In syaa Allah tidak kenapa-napa nanti. Ya udah hati-hati di jalan ya, Ben."Abi Benny menyalami Ibu dengan takzim. Lalu punggung lebarnya perlahan menghilang dari pandanganku."Kamu udah siap-siap juga, Rin?" tanya ibu ketika aku lagi mencari-cari baju
"Gimana, Kang?" tanyaku pada Kang Sholeh yang sudah kembali."A-anu, Bu. Anu ..." raut wajah Kang Sholeh cemas. Napasnya tidak beraturan selepas berlari barusan. Melihat Kang Sholeh seperti itu napasku pun ikut tidak beraturan."Kok anu? Apa kata orang tadi, Kang? Jangan bikin tambah tegang," sahut ibu."Rin, kamu tidak apa-apa, Nak?" rupanya ibu memperhatikan."Tidak, Bu. Mungkin karena lihat gurat Kang Sholeh aku ikut cemas, Bu," ucapku di sela mengatur napas dan beristighfar."Jadi gimana Kang Sholeh? Apa kata Bapak tadi?" desakku tidak sabar."A ... i-itu, Bu," dia gugup."Jangan bikin aku tambah panik, apanya yang anu?!""Non Rinata kecelakaan, Bu." "Apa!" mataku membelalak, ketika mendengarkan kata yang diucapkan Kang Sholeh."Kamu serius Kang Sholeh?" tanya ibu tidak percaya."Udah bener infonya, Kang?" tambah Pak Tatang."Rin ... Rin .... kamu tidak apa-apa 'kan?" "Aduuuuuuhhh ... Bu, perutku," aku terut memegang perut bagian bawah, rasanya sakit bukan main, dadaku naik turu
Bab 12"Kamu beneran sudah gila ya, Lita! Mama pikir kamu bisa berpikir jernih sedikit, mengalah sedikit, apa kamu beneran nggak takut jadi janda dan hidup melarat?" serang Ririn dengan penuh amarah.Dia memang takut miskin karena mengingat hidupnya yang begitu susah dulunya.Lita mengendikkan bahu dengan angkuhnya."Aku memang sudah gila!""Kan berulang kali aku bilang sama mama, kalau aku nggak peduli. Mau hidup miskin ataupun kaya, terserah kedepannya. Aku capek diatur terus-terusan, aku yang lebih tahu kebahagiaan ku sendiri.""Sebelum Mas Ammar yang ceraikan aku, aku yang lebih dulu ceraikan dia, karena aku akan menikah dengan lelaki pilihanku!" erang Lita hilang kendali."Jangan bertindak bodoh kamu! Pikirkan lagi ucapan kamu itu Lita! Laki-laki itu pasti baru kamu kenal, nggak akan ada laki-laki yang nerima perempuan apalagi janda dengan segampang itu. Kamu nggak mikir efeknya nanti gimana?""Sudahlah, Ma. Aku capek berdebat terus dengan mama. Lagian hutang-hutang mama juga ham
Bab 11[Mas ... dimana? Aku lagi bete nih! Bisa keluar nggak]Lita mengirim pesan pada seseorang beberapa saat setelah menenggak habis minumannya. Tak perlu sepertinya Lita menunggu, selang satu menit, pesannya pun terbalaskan.Seperti tak kenal waktu, padahal sudah menunjukkan pukul satu dini hari.[Kan tadi abis jalan. Kok masih bete sih?] Balas seseorang yang diberi nama Argantara.[Tau gini mending aku nggak pulang tadi.] Balas Lita cepat.[Terus gimana? Mau keluar lagi?][Iya.][Oke. Aku otewe]Sembari menunggu jemputan dari lelaki yang baru dikenalnya selama seminggu ini, Lita menunggu lantai dua untuk mengambil tasnya. Dia berjalan mengendap-endap supaya langkah kakinya tak terdengar oleh Ririn sang mama.Dengan pelan dia menekan handle pintu dan membukanya sedikit saja. Tampak Ririn sudah tidur dengan posisi terlentang. Tak ingin ketahuan, Lita buru-buru menyambar tas yang ada di nakas.[Dimana? Aku udah siapa]Pesan yang dikirim Lita cukup lama dibalas, hingga ... terdengar b
Bab 10"Nggak cuma tanya apa ada yang mau nitip makanan, gue jawab aja langsung enggak.""Ooh ...." Lita sama sekali tak curiga dengan gerak-gerik teman kerjanya itu. Dia kembali berkutat pada ponselnya.[Ta, mama telponin daritadi nggak diangkat-angkat][Mama mau ngasih tau, mertua sama Arumi dan baby sitter kamu keluar dari rumah][Mama sempat nanya, tapi mertua kamu diam aja. Coba deh kamu telpon mertua kamu?]"Mama lebay banget deh ah. Perkara mereka keluar rumah aja pake lapor. Nggak ada apa hal yang lebih penting," ngomel Lita seraya membuka aplikasi lainnya."Masalah lagi?" tanya Dea."Ya biasalah, nyokap gue orang paling lebay. Masa iya, mertua, anak, dan baby sitter keluar rumah pake ngelapor segala ke gue. Kan nggak penting banget ya," jelas Lita dengan suara sedikit tinggi."Yaelah. Gitu aja lu sensi amat. Wajar aja lah emak lu lapor, kan mertua lu bawa anak lu keluar rumah, emangnya lu nggak mikir gimana gitu, khawatir paling tidak," sahut Dea seraya menyunggingkan sedikit
Bab 9"Lita ... Lita ..., bangun kamu! Heh!" Ririn mengguncang tubuh anaknya yang baru saja terlelap."Dasar kebo ya kamu, ditinggal sebentar ke bawah, langsung molor," sengit Ririn."Apa sih, Ma. Orang ngantuk juga." Lita menyentak tubuhnya. Tangan Ririn terlepas."Ammar mau menceraikan kamu!" ucap Ririn tanpa basa-basi."Hah?" Lita terduduk, dengan wajah masih berpoles make up dan rambut acak-acakan. "Jangan bercanda, Ma!" ucapnya tak percaya."Serius, tadi Ammar bilang, kalau kamu tidak berubah, bisa jadi kalian akan bercerai."Seolah seperti orang baru sadar, Lita mengibas angin tepat di depan wajah Ririn."Halah, paling juga ancaman belaka, Ma. Mana mungkin dia akan menceraikan aku. Lagian nih, pasti auto malu lah, dia kan tahu gimana rasanya punya orang tua nggak lengkap. Aku yakin, dia tidak akan melakukan hal itu, kalau dia sayang Arumi, aku yakin dia tidak akan memberikan Arumi orang tua yang tidak lengkap." Begitu percaya dirinya Lita berucap."Jika benar itu terjadi bagaima
Bab 8"Buka mata kamu, Mmar. Apa iya pantas istrimu bicara seperti itu sama bunda?"Viola tak tinggal diam, terasa dipojokkan oleh Lita."Neng Viola harusnya juga buka mata, jangan karena nila setitik rusak susu sebelanga, jangan karena Lita ingin istirahat sebentar, Neng Viola jadikan itu Boomerang," balas Ririn tegas."Kenapa kamu diam, Mmar?""Lihat istrimu Lita, bersimpuh meminta pengertianmu, dia rela meminta maaf atas apa yang sebenarnya tidak dia lakukan secara sengaja. Andai bundamu bisa mengontrol diri, tak akan runyam seperti ini," tambah Ririn.Ammar menundukkan kepalanya, melihat sekejap istrinya yang masih bersimpuh dan tak hentinya menangis. Isakkan tangis Lita pun terdengar semakin keras."Bund, kita turun saja dulu!" ajak Ammar memecahkan keheningan yang tercipta beberapa detik."Yuk, mending kita istirahat," sahut Viola dia menyunggingkan ujung bibirnya pada Ririn."Mas ... Mas ... Please, jangan begitu. Aku sedikitpun tidak ada niat mengutarakan ucapan seperti tadi s
Bab 7"Eh, Bunda. Duduk sini, Bund. Mau ngomong apaan? Serius nih keliatannya," ucap Ammar seraya menurunkan kedua kakinya yang tadinya berada di kursi kosong."Kamu nggak tidur?" tanya Viola memulai pembicaraan, seraya menduduki kursi yang ada di sebelah kanan."Nanti lah, Bund. Bunda kenapa nggak tidur? Udah malam lho, Bund. Apalagi tadi sibuk ngurusin acara Arumi.""Iyaa, bentar lagi bunda tidurnya." Viola menyisir pandangannya, termasuk ke pintu utama yang terbuka dengan lebar."Bunda lagi liatin apa? Katanya tadi mau bicara, bicara apa, Bund?" tanya Ammar mulai penasaran apalagi melihat gelagat bahasa tubuh ibunya yang agak lain."Tadi bunda liat Lita naik ke lantai dua bawa beberapa baju. Emangnya dia mau tidur di atas lagi, Mmar?""Oh itu, iya, Bund. Malam ini dia mau istirahat di kamar lantai atas.""Istirahat gimana? Kalian kan punya kamar? Kenapa pisah kamar lagi kayak kemarin?""Hmm ... cuma malam ini aja kok, Bund. Lita kecapekan kalau tidur di kamar aku, bakalan keganggu
Bab 6Malam ini, untuk pertama kali mereka tidur bertiga. Ammar sangat senang, hal kecil yang diimpikannya terwujud, satu kamar dengan istri dan anak."Mas, makasih ya. Atas sikapku kemarin." Lita kembali mengulangi permintaan maafnya pada Ammar saat mereka sama-sama tengah berbaring di atas ranjang sembari memainkan jambang Ammar yang tampak mulai lebat."Tidak apa, Sayang. Mas paham. Tapi, jangan lagi berkata seperti itu. Kasian Arumi," balas Ammar lembut dan mendaratkan sebuah kecupan di kening Lita."Mas, juga minta maaf sama kamu. Mas yang salah atas semuanya yang terjadi," tambah Ammar kemudian.Cahaya remang, dinginnya suhu AC, dan lelapnya Arumi di ranjangnya sendiri, serta tak bisa dibendung rasa rindu Ammar pada istrinya. Tangan Ammar mulai nakal menjamahi tubuh Lita."Mas, kita tidur yuk! Aku capek," bisik Lita seraya menggeser tangan suaminya dari bagian tubuh yang tersentuh."Yaudah, yuk!"Posisi tidur langsung berubah, Lita membelakangi suaminya. Namun, Ammar sepertinya
Bab 5Ammar seketika berdiri, telinganya terasa semakin panas oleh ucapan Lita yang sama sekali tidak ada rasa peduli padanya."Kamu bisa ngertiin posisi aku nggak?""Kamu juga nggak ngertiin aku, Mas. Kamu nggak ngerti gimana perasaan aku!" Lita tak mau kalah, mau adu nasib dengan suaminya yang siang malam berkejar-kejaran dengan waktu. "Aku kurang ngertiin apalagi coba? Aku akan tetap test DNA, tapi sabar dulu.""Terserah lah, Mas. Kamu egois!" Lita meninggalkan Ammar tanpa belas kasihan sedikitpun, seolah cinta dan kasih sayang yang dia berikan dari awal pernikahan sirna begitu saja."Lita ... Lita ... kamu nggak capek apa kita begini terus!" seru Ammar. Namun, Lita sama sekali tidak memperdulikan ucapan suaminya. Dia terus saja menaiki anak tangga Hari-hari yang dijalani Ammar sekarang selalu banyak masalah. Rumah terasa panas, dia pun sulit berkonsentrasi. Bahkan kerjaan yang sedang dia selesaikan sekarang itu, karena klien protes, dan itu karena Ammar tidak fokus.Viola yang m
Bab 4"Masa Neng Viola tidak tahu alasan saya berkata demikian? Bukannya Neng Viola sudah melihat bayi yang ada di kamar Ammar dan Lita.""Ya, saya sudah melihatnya. Lantas apa hubungannya dengan ucapan Neng Ririn tadi. Itu kan bayi mereka.""Saya tidak yakin, pasti Ammar sudah menjebak Lita. Bisa jadi itu anak orang lain. Saya rasa ad maksud lain dibalik hadirnya bayi itu.""Astaghfirullah, Neng. Jauh sekali pikiranmu. Sampai menuduh Ammar seperti itu. Saya tahu Ammar seperti apa, dia tidak akan berbuat sekonyol itu.""Udahlah, Neng Viola. Nanti saja kita buktikan. Saya akan tinggal di sini, biar tidak terjadi hal-hal buruk.""Sama lah kalau begitu, saya juga tinggal di sini. Kita buktikan saja siapa yang memfitnah."Lita tersentak, dia menatap ibunya, seolah mengode sesuatu."Lho, nggak bisa gitu dong, Neng. Anakmu laki-laki tidak perlu ditemani, beda dengan anakku, perlu penjagaan ketat.""Dia tidak terancam kok di sini, Neng Ririn. Malah, Lita bisa me time sepanjang waktu. Kan yan