"Ibu ke sini saja biar bisa lihat langsung."Di cerna dari nada bicara Pak Wawan mengisyaratkan ada sesuatu yang terjadi di kantor. Apa mungkin ada klien yang marah-marah di kantor? Atau mungkin ..."Rinjani, kamu kenapa? Kok ibu lihat kamu bingung begitu?" ternyata sedari tadi ibu memperhatikan gerak-gerik ku."Bu, aku mau balik ke kantor. Ibu nggak apa-apa kan kalau aku tinggal sendirian di sini? In syaa Allah di sini aman, jika ada yang ngetik pintu jangan dibuka yah, Bu. Aku pamit dulu." sambil mencium punggung tangannya dengan takzim."Iya, Nak. Kamu hati-hati di jalan."Di jalan pulang menuju hotel aku sudah membeli beberapa makanan siap saji. Untung juga tadi sempat mampir ke toko buku. Soalnya ibu ku hobby banget membaca yang berbau islami. Tujuan ku beliin ibu buku, biar ibu nggak bosan di sini sembari aku kerja.***"Hallo Pak Wawan?" "Ibu dimana?" desaknya, dari suaranya feeling ku mengatakan Pak Wawan sedang cemas. Tapi cemas soal apa."Saya masih terjebak macet Pak, kena
Aku yang sempat berjalan mundur tak mampu melarikan diri lebih cepat, akhirnya terjongkok dengan kepala menunduk serta melindungi kepala dengan tangan kedua tanganku. Tapi herannya aku tidak merasakan sakit sama sekali ketika mendengar bunyi pukulan tersebut. Apakah ini hanya mimpi, seperti waktu itu."Aaaaaaauuuuuuuuuuuuuuuu...." suara pekik perempuan menjulang mengudara. Lalu "Baaaaaaaammmmm." bunyi sesuatu yang jatuh.Sontak ku angkat kepala ke arah sumber suara, "Astagfirullah, Rinata." aku melihatnya sudah tertelungkup.Kulihat sekitar tidak ada satupun selain aku dan Rinata. Lantas, siapa yang memukul gundik mantan suamiku ini."Toloooooong..... Tolooooong...." aku berteriak minta tolong, tetapi tidak ada satupun yang datang.Rintik hujan gerimis mulai membasahi bumi, sedangkan Rinata masih tertelungkup, "Rinata, Ta bangun. Rinata bangun." aku mengguncang tubuhnya, tapi tidak ada reaksi apapun. Mana mampu aku mengangkat badannya.Bukankah tadi Pak Wawan menelfon ku, tapi kenapa
"Iya, akibat dia jatuh dalam posisi tertelungkup itu menjadi salah satu faktornya. Saya sarankan, pasien untuk di rontgen dulu guna mengetahui secara jelas. Apalagi bagian punggungnya hanya kelihatan memar, saya takutnya ada luka bagian dalam ataupun patah tulang.""Kalau boleh tahu, Ibu siapa nya pasien?" "Saya orang yang dilukainya Dok." inginku menjawab seperti itu."Saya rekan kerjanya Dok.""Iya, Bu. Untuk sementara pasien di rawat dulu di sini sampai keadaannya membaik."Aku pun permisi dan kembali ke ruangan IGD ingin mengecek kondisi Rinata. Ternyata setelah ku lihat dia belum sadarkan diri, dan kini baju Rinata pun sudah diganti dengan baju untuk pasien yang sudah disediakan oleh pihak rumah sakit. Aku pun memutuskan untuk balik ke kantor. Dan meninggalkan pesan pada perawat jaga.Sesampainya di kantor, aku langsung menuju ruangan. Mau mencari data beberapa tahun lalu, karena ada sesuatu yang penting. Ketika ku cari di lemari ternyata tidak ada. Lanjut aku mencarinya di bran
Kuselesaikan beberapa kerjaan yang cito untuk minggu depan supaya nanti ketika Pak Harjoko masuk beberapa berkas sudah fix diserahkan ke dia. Selang tiga jam kemudian aku memutuskan untuk pulang, belum langsung balik ke hotel tentunya.Sebelum meninggalkan kantor aku berhenti dulu di depan posko satpam memastikan apa Pak Wawan masih ada atau sudah berganti shift dengan satpam yang lain."Pak, pak." teriakku dari dalam mobil. Namun yang keluar adalah Pak Amri, "Iya, Bu. Ada yang bisa saya bantu?" tanyanya."Pak Wawan mana Pak?" ucapku balik bertanya."Pak Wawan udah balik, Bu." pungkasnya."Emang sudah ganti shift, Pak?"Belum sih, Bu, harusnya nanti lepas abis Magrib ganti shiftnya. Tapi Pak Wawan nyuruh saya lebih cepat datangnya, katanya dia tidak enak badan."Ooh gitu ya, Pak. Makasih infonya, saya pulang duluan." ucapku berpamitan dengan Pak Amri.Di atas mobil aku bergumam sendiri keterlaluan juga Rinata sampai menyekap Pak Wawan seperti itu, tapi kenapa bisa, Pak Wawan juga suda
"Ba-baik lah. Ku lanjutkan. Komunikasi ku semakin dengan Rinata sejak kejadian itu. Aku mulai menaruh hati dengannya, hingga akhirnya kami berpacaran. Aku sering berkeluh kesah dengan Rinata tentang kondisi ibu dan juga keadaan ekonomi ku. Aku sudah terasa nyaman dengannya hingga aku berani untuk menceritakan masalah yang telah terjadi pada keluargaku. Sekalian aku juga mau menguji Rinata, apakah dia bisa menerima keadaanku sebagai pendampingnya nanti."Di luar dugaan, di saat aku terpuruk dalam masalah keuangan apalagi uang tabunganku abis membiayai pengobatan ibu. Rinata selalu menolongku, suatu ketika dia curhat pada ku. Soal ibumu yang membuat orang tua kakak sepupunya berpisah. Dia merencanakan supaya kamu berpisah dengan Reno. Sama hal yang terjadi pada tante dan pamannya. Awalnya aku tidak setuju, tetapi Shinta juga memohon pada ku, supaya mau membantunya. Itupun setelah mereka tahu kalau aku satu sekolah dengan sewaktu SMA.""Aku yang merasa terhutang budi oleh kebaikan Rinata
"Assalamualaikum, Bu." aku mengucapkan salam sembari mengetuk pintu. Belum ada sahutan dari dalam, "apa Ibu sudah tidur" pikirku. Tapi di arloji ku lihat masih menunjukkan pukul sembilan malam. Setelah bertemu Deska tadi aku langsung tancap gas arah pulang, "Assalamualaikum, Ibu." ku ketuk lagi pintunya."Waalaikumsalam," terdengar sahutan salam dari dalam. "Kok malam sekali pulangnya, Nak?" tanya ibu ketika membukakan pintu untukku, terlihat ibu mengernyitkan dahi."Maaf, Bu. Tadi ada urusan dulu. Ibu udah tidur ya tadi?"."Iya, Nak. Ibu ketiduran Nak pas lagi baca buku. Rinjani, sini dulu ibu mau bicara." ibu menepuk-nepuk kasur pertanda aku di suruh duduk di dekatnya.Aku yang tadi sedang merapikan tas, berasa dag dig dug seeerr ketika berjalan ke arah ibu, jantungku berirama tidak stabil memompakan darah. Apa ibu sudah mendengar semua yang terjadi padaku, tentang perselingkuhan Reno dan perceraianku?"Iya, Bu. Mau nanya apa?" tanya ku dengan mengatur posisi duduk dekat ibu."Apa
Aku pergi ke lobi hotel lalu menghampiri meja receptionist. Ku atur nafas, lalu menyeka air mata yang membasahi pipi."Mba, saya pesan kamar satu lagi yah." ucapku pada receptionist."Lho kok pesan lagi, Bu? Bukannya ibu udah mesan kamar yang bagus ya? Apa ibu kurang nyaman di sana, Bu?" tanyanya heran, kupandangi bola matanya terlihat dia sedang memperhatikan wajahku."Enggak, Mba. Saya nyaman kok di sana. Tapi memang lagi butuh tambahan kamar saja." ucapku mengelak."Ibu mau kamarnya berdampingan atau gimana, Bu?""Nggak usah, Mba. Aku pilih kamar yang ada di lantai 10 saja.""Oh, baiklah."Tak lama kemudian, dia menyerahkan kunci kamar padaku. Aku bergegas menuju kamar baru yang telah ku pesan tadi. Bukannya tega meninggalkan ibu sendirian di kamar. Tetapi hati dan logika ku belum terima dengan apa yang sebenarnya terjadi.Ku henyakkan badan ini di peraduan, air mata ku menetes deras benar-benar tak percaya. Aku terasa seperti boneka yang seenaknya mereka memperlakukan ku. Andai ben
Aku dan ibu masih menangis tak lama kemudian ku lepaskan pelukan ibu perlahan, lalu menyeka bulir bening yang membasahi pipinya, pipi yang tidak selentur dulu. Beribu garis halus sudah memenuhi wajahnya.Apa aku tega meratapi nasib dan takdirku di depan ibu? Apa jadinya aku jika mimpi semalam menjadi kenyataan? Apa aku akan tetap punya masa depan? Oh Tuhan, panjangkan umur ibu ku, doaku dalam hati."Bu, jika saat ini aku belum sepenuhnya ikhlas menerima takdir yang ada padaku, ibu jangan memaksaku untuk mengakui bahwa dia adik tiriku. Aku bukan malaikat yang berbesar hati menerima wanita tak berhati seperti dia" ucapku dengan lirih pada ibu."Iya, Nak. Ibu mengerti, maafkan ibu. Ini semua salah ibu, Nak." ibu pun menyeka air mataku, masih berlomba-lomba membasahi pipi.Sebagai manusia biasa ingin ku memberontak sekeras-kerasnya. Ini rasanya tidak adil, ayahku yang berbuat keji mengapa aku dan ibu ikut menuainya. Ini tidak adil, sungguh tidak adil, aku bergumam dengan hati ku sendiri.