Aku pergi ke lobi hotel lalu menghampiri meja receptionist. Ku atur nafas, lalu menyeka air mata yang membasahi pipi."Mba, saya pesan kamar satu lagi yah." ucapku pada receptionist."Lho kok pesan lagi, Bu? Bukannya ibu udah mesan kamar yang bagus ya? Apa ibu kurang nyaman di sana, Bu?" tanyanya heran, kupandangi bola matanya terlihat dia sedang memperhatikan wajahku."Enggak, Mba. Saya nyaman kok di sana. Tapi memang lagi butuh tambahan kamar saja." ucapku mengelak."Ibu mau kamarnya berdampingan atau gimana, Bu?""Nggak usah, Mba. Aku pilih kamar yang ada di lantai 10 saja.""Oh, baiklah."Tak lama kemudian, dia menyerahkan kunci kamar padaku. Aku bergegas menuju kamar baru yang telah ku pesan tadi. Bukannya tega meninggalkan ibu sendirian di kamar. Tetapi hati dan logika ku belum terima dengan apa yang sebenarnya terjadi.Ku henyakkan badan ini di peraduan, air mata ku menetes deras benar-benar tak percaya. Aku terasa seperti boneka yang seenaknya mereka memperlakukan ku. Andai ben
Aku dan ibu masih menangis tak lama kemudian ku lepaskan pelukan ibu perlahan, lalu menyeka bulir bening yang membasahi pipinya, pipi yang tidak selentur dulu. Beribu garis halus sudah memenuhi wajahnya.Apa aku tega meratapi nasib dan takdirku di depan ibu? Apa jadinya aku jika mimpi semalam menjadi kenyataan? Apa aku akan tetap punya masa depan? Oh Tuhan, panjangkan umur ibu ku, doaku dalam hati."Bu, jika saat ini aku belum sepenuhnya ikhlas menerima takdir yang ada padaku, ibu jangan memaksaku untuk mengakui bahwa dia adik tiriku. Aku bukan malaikat yang berbesar hati menerima wanita tak berhati seperti dia" ucapku dengan lirih pada ibu."Iya, Nak. Ibu mengerti, maafkan ibu. Ini semua salah ibu, Nak." ibu pun menyeka air mataku, masih berlomba-lomba membasahi pipi.Sebagai manusia biasa ingin ku memberontak sekeras-kerasnya. Ini rasanya tidak adil, ayahku yang berbuat keji mengapa aku dan ibu ikut menuainya. Ini tidak adil, sungguh tidak adil, aku bergumam dengan hati ku sendiri.
"Apa, Mi? Mami nyuruh aku rujuk dengan anak mami yang pengkhianat ini? Tidak, aku tidak akan pernah sudi untuk hidup bersama dengannya lagi." suara ku menjulang tinggi, siapa yang tidak naik pitam mendengar ucapan itu. Dari samping ibu menenangkan dengan memegang lenganku."Rin, Mas minta maaf. Mas khilaf, semua terjadi begitu saja." seperti biasa Reno membela diri."Sudahlah, Mi. Kalau hanya untuk membahas ini. Lebih baik aku pulang." berdiri sekejap dari tempat duduk. "Ayo, Bu kita pulang saja.""Dasar anak kurang ajar, tidak ada etika sama sekali." ucap mami kasar.Langkahku terhenti mendengar ocehan murahan yang dia katakan, "Siapa yang lebih kurang ajar? Anak mami atau aku. Coba mami di posisiku. Masih mau kah hidup dengan laki-laki yang sudah tidur dengan wanita lain." ucapku ketika membalikkan badan, ku tatap tajam netra mantan mertua ku itu."Itu semua bisa diperbaiki, anggap saja ini ujian rumah tangga kalian. Lagian ini juga salahmu, mengapa terlalu sibuk dengan prestasi mu
Pertengkaran ku dengan Rinata masih berlangsung selepas Rinjani pergi."Mas, kamu harus tanggun jawab sama janin yang ku kandung" ucap Rinata berlari ke arah ku yang tidak sempat mengejar Rinajani."Cukup. Ternyata kamu tidak sebaik yang ku pikir. Aku menyesal telah tergoda oleh mu Rinata. Bisa-bisanya kamu tidur dengan lelaki lain. Bahkan mengandung anaknya.""Tidak Mas, ini bukan seperti yang ada dalam rekaman itu. Aku sudah difitnah. Kamu tahu Deska teman sekolahnya Rinjani, ini pasti jebakan dia supaya aku dan kamu tidak bersatu." Rinata terus menangis dan berulang kali mencium kakiku, aku tidak percaya wanita yang perjuangkan dan meninggalkan Rinjani sebejat ini."Simpan omong kosongmu, aku tidak akan percaya lagi." ku sentak keras kaki yang dia pegang. Tapi langkah ku terhalang ketika hendak menuju mobil."Reno, jangan percaya begitu saja dengan Rinjani. Mana mungkin kami sejauh itu mempermainkan kamu. Mana mungkin kami ada bersekutu dengan Deska. Sedangkan jelas-jelas Deska mema
Flashback ....***Ketika aku sudah berumur sepuluh tahun Emak memberi tahu, jikalau Abahku sudah meninggal sewaktu aku berumur dua bulan. Dibesarkan dari keluarga tidak berada apalagi hanya Emak yang membanting tulang sebagai tukang cuci pakaian itupun jika ada yang memakai jasa Emak.***"Assalamualaikum." terdengar ucapan salam dari luar, aku yang sedang melipat baju pun menjawab salam itu, "Waalaikumsalam." sembari beranjak lalu membukakan pintu.Ternyata yang datang adalah Bu Ratna, "Silakan masuk, Bu." ucapku."Tidak usah, Ta. Ibu hanya sebentar, bisa panggilkan Emakmu" pintanya. Aku pun mempersilakan dia masuk, tetap Ibu Ratna tidak mau. Ku panggil Emak yang sedang berada di dalam kamar.Emak pun menemui Bu Ratna yang menunggu di depan pintu.Masih ingat dalam ingatan ku, Ibu Ratna memang suka datang ke rumah gubuk ku ini semenjak aku masih berumur kecil. Aku ingat betul akan hal itu. Berjalan waktu seiring dengan perkembangan usia ku, tentunya membuat aku semakin paham memakna
Hari ini adalah sidang putusan yang akan disampaikan oleh majelis setelah dua minggu lalu aku memberikan surat kesimpulan melalui pengacara begitu juga dengan lelaki pengkhianat itu.Sidang kesimpulan dari penggugat ataupun tergugat bisa diwakili oleh pengacara masing-masing. Sidang ini dilaksanakan tiga hari dari kedatangan ku ke rumah kenangan buruk kemarin.Kali ini, selain ditemani Aldy aku juga ditemani oleh Ibu. Alhamdulillah Ibu masih mau menetap di Jakarta walaupun tiap sebentar dia mengatakan sudah rindu dengan kampung halamannya. Bagi ku wajar saja karena sudah lebih kurang sebulan ibu berada di sini.Di depan ku sudah ada tiga orang para hakim yang akan membacakan hasil putusannya berdasarkan rangkaian sidang yang sudah dilewati sebelumnya. Dalam sidang tertutup hari ini Reno hanya ditemani oleh Mami dan pengacaranya, tidak terlihat batang hidung Rinata dan Shinta, apalagi Reno.Pemandangan ini sangat jauh berbeda ketika sidang pembuktian yang dijalani beberapa waktu lalu.
Udara pagi nan sejuk, matahari pun masih malu-malu memancarkan sinarnya karena hujan Subuh tadi. Itu yang kulihat dan rasakan ketika membuka pintu jendela kamar. Aku sekarang sudah berada di desa kelahiran."Rinjani" panggil Ibu sembari mengetuk pintu kamar ku."Iya, Bu. Sebentar." jawabku sembari berjalan membukakan pintu."Kita sarapan dulu, Ibu sudah belikan sarapan kesukaan kamu." ajak Ibu ketika pintu kamar sudah terbuka.Kami duduk berdua di meja makan, wanitaku lalu menuangi sebungkus lontong gulai nangka ke dalam piring. Lalu dia suguhkan padaku.Mungkin selepas Sholat Subuh di mesjid Ibu langsung membeli sarapan yang tidak jauh dari lokasi mesjid. Ini memang lontong gulai langganan ku sedari kecil, buatan Mak Ecit.Masih ingat diingatanku, Ibu membelikan lontong gulai jikalau sudah menerima upah menjadi pembantu. Sekali sebulan lebih tepatnya aku memakan ini. Kalau tidak, ya seperti biasa. Hanya makan nasi dengan lauk seadanya. Tetapi aku tetap bersyukur, apapun itu makanann
"Jika anda kurang puas, silakan lakukan apa yang anda inginkan. Saya sudah kebal dengan tingkah laku bejat anda selama ini." lanjutku kasar."Sudah, Nak. Bagaimanapun dia tetap Ayahmu, Nak." tangisan Ibu pecah, jantung ku masih berdebar kencang, emosi yang selama ini akhirnya tumpah."Aku tidak tahan, Bu. Dia terlalu jahat, mana ada seorang Ayah yang sejahat itu pada keluarganya sendiri." ucapku dengan airmata yang sudah berjatuhan."Jangan seenaknya anda berbuat sesuka hati pada Ibu, mentang-mentang dia sering diam ketika caci maki terlontar dari mulut anda. Ingat, sudah berapa hati yang anda sakiti." teriakku semakin emosi."Kalian terlalu cengeng, pokoknya saya tidak akan tinggal diam. Kamu harus terima resikonya karena telah membuat anak saya Rinata menderita di sana." dia berlalu pergi meninggalkan aku dan Ibu."Silakan, saja." jawabku sinis."Sudah, Nak. Sabar, ayo masuk." Baru saja aku ingin menutup pintu, tampak dua orang wanita paruh baya berdiri di pinggir jalan yang tidak