Hari ini adalah sidang putusan yang akan disampaikan oleh majelis setelah dua minggu lalu aku memberikan surat kesimpulan melalui pengacara begitu juga dengan lelaki pengkhianat itu.Sidang kesimpulan dari penggugat ataupun tergugat bisa diwakili oleh pengacara masing-masing. Sidang ini dilaksanakan tiga hari dari kedatangan ku ke rumah kenangan buruk kemarin.Kali ini, selain ditemani Aldy aku juga ditemani oleh Ibu. Alhamdulillah Ibu masih mau menetap di Jakarta walaupun tiap sebentar dia mengatakan sudah rindu dengan kampung halamannya. Bagi ku wajar saja karena sudah lebih kurang sebulan ibu berada di sini.Di depan ku sudah ada tiga orang para hakim yang akan membacakan hasil putusannya berdasarkan rangkaian sidang yang sudah dilewati sebelumnya. Dalam sidang tertutup hari ini Reno hanya ditemani oleh Mami dan pengacaranya, tidak terlihat batang hidung Rinata dan Shinta, apalagi Reno.Pemandangan ini sangat jauh berbeda ketika sidang pembuktian yang dijalani beberapa waktu lalu.
Udara pagi nan sejuk, matahari pun masih malu-malu memancarkan sinarnya karena hujan Subuh tadi. Itu yang kulihat dan rasakan ketika membuka pintu jendela kamar. Aku sekarang sudah berada di desa kelahiran."Rinjani" panggil Ibu sembari mengetuk pintu kamar ku."Iya, Bu. Sebentar." jawabku sembari berjalan membukakan pintu."Kita sarapan dulu, Ibu sudah belikan sarapan kesukaan kamu." ajak Ibu ketika pintu kamar sudah terbuka.Kami duduk berdua di meja makan, wanitaku lalu menuangi sebungkus lontong gulai nangka ke dalam piring. Lalu dia suguhkan padaku.Mungkin selepas Sholat Subuh di mesjid Ibu langsung membeli sarapan yang tidak jauh dari lokasi mesjid. Ini memang lontong gulai langganan ku sedari kecil, buatan Mak Ecit.Masih ingat diingatanku, Ibu membelikan lontong gulai jikalau sudah menerima upah menjadi pembantu. Sekali sebulan lebih tepatnya aku memakan ini. Kalau tidak, ya seperti biasa. Hanya makan nasi dengan lauk seadanya. Tetapi aku tetap bersyukur, apapun itu makanann
"Jika anda kurang puas, silakan lakukan apa yang anda inginkan. Saya sudah kebal dengan tingkah laku bejat anda selama ini." lanjutku kasar."Sudah, Nak. Bagaimanapun dia tetap Ayahmu, Nak." tangisan Ibu pecah, jantung ku masih berdebar kencang, emosi yang selama ini akhirnya tumpah."Aku tidak tahan, Bu. Dia terlalu jahat, mana ada seorang Ayah yang sejahat itu pada keluarganya sendiri." ucapku dengan airmata yang sudah berjatuhan."Jangan seenaknya anda berbuat sesuka hati pada Ibu, mentang-mentang dia sering diam ketika caci maki terlontar dari mulut anda. Ingat, sudah berapa hati yang anda sakiti." teriakku semakin emosi."Kalian terlalu cengeng, pokoknya saya tidak akan tinggal diam. Kamu harus terima resikonya karena telah membuat anak saya Rinata menderita di sana." dia berlalu pergi meninggalkan aku dan Ibu."Silakan, saja." jawabku sinis."Sudah, Nak. Sabar, ayo masuk." Baru saja aku ingin menutup pintu, tampak dua orang wanita paruh baya berdiri di pinggir jalan yang tidak
"Bu, maafkan aku. Maafkan yang terjadi kemarin, aku terbawa emosi dendam pada mereka yang sudah menghancurkan hatiku berkeping-keping. Hingga ku sebarkan semua berita perselingkuhan mereka di media massa dan televisi hingga berita itu begitu viral. Mohon ampun beribu ampun, Bu, jika Ibu yang akhirnya terkorbankan, aku pikir warga di sini paham akan deritaku ternyata tidak. Bahkan mereka berani menghujat Ibu." aku bersujud di kaki Ibu, ejekan, dan cemoohan warga di kampung pada Ibu lebih menyayat hati dan bathinku ketimbang perpisahan rumah tangga yang telah karam di hantam badai perselingkuhan."Berdiri lah, Nak." aku dituntun bangun untuk duduk di samping Ibu. "Kamu dengar, Nak. Tidak perlu kamu meminta maaf sama ibu. Dan kamu tidak perlu juga larut dalam rasa bersalahmu pada Ibu. Bersabarlah agak sebentar, jangan kamu terpancing diri dari omongan warga. Ibu yakin perlahan seiring waktu, hal negatif itu akan luntur.""Tapi, Bu....." belum selesai aku berbicara Ibu sudah memotongnya.
Aku tetap tidak ingin menoleh pada mereka yang sedari tadi memanggil namaku.Kuusap berulang kali nisan Ibu, perlahan hujan turun membasahi bumi di hari yang sudah beranjak sore tapi aku masih bersimpuh di rumah baru Ibuku."Rin, sudah Nak. Ayo kita pulang. Hujannya sudah semakin deras, Nak. Nanti kamu sakit." ajak Ayah sekali lagi.Aku pikir mereka sudah pergi dan tertawa lepas, ternyata dia masih di belakangku.Lagi dan lagi tak ku hiraukan ajakannya, apa pedulinya terhadapku. Bukankah selama ini dia tidak mengakuiku sebagai anak kandungnya. Persetan dengan ucapannya, aku tidak peduli.Waktu kian berjalan, petang pergi menjemput malam, aku bangun dalam simpuh. Berbalik arah, ternyata dua manusia itu masih berdiri mematung di belakang ku. Ayah dan juga Ibu Ratna, entah apa julukan yang pantas untuk mereka berdua.Ku tatap tajam berganti kedua mata mereka, rasa amarahku memuncak, sekalipun mata Ayah dan Bu Ratna terlihat basah, tapi aku tidak merasa simpati akan hal itu.Mereka pandai
Hari ini tepat setahun kepergian Ibu, hatiku perlahan sudah mulai ikhlas menerima takdir yang diberikan Allah.Hari minggu rutinitas seperti biasanya, aku membereskan rumah, mencuci, hingga menyetrika pakaian yang sudah menggunung.Tengah asyik dengan tugas perumahan, tiba-tiba..."Assalamualaikum" terdengar ucapan salam sembari mengetuk pintu. Aku yang tadinya tanpa menggunakan hijab berlari memasuki kamar untuk mengambilnya dan menutupi mahkota ku."Waalaikumsalam" sahutku ketika semua sudah rapi dan mahkota ku sudah tertutupi hijab.Ketika ku buka pintu ...."Ayaah!" teriakku kaget, aku kaget karena melihat kondisi Ayah yang sudah berbeda tidak seperti setahun yang lalu, sewaktu dia datang ke pemakaman Ibu. Memang itu terakhir kalinya aku bertemu dengan Ayah."Silakan masuk, Yah, Bu" ucapku pada Ayah dan Bu Ratna. Mereka mengangguk lalu duduk di kursi ruang tamu.Ketika aku hendak berjalan menuju dapur bermaksud untuk mengambil minuman, tetapi Ayah melarang."Rin, tidak perlu repot
"Anu.. Ka-kalau Bu Ratna dia hanya luka memar saja waktu itu Rin. Itulah Ayah juga bingung, hanya Ayah yang seperti ini. Mungkin karena dosa Ayah terlalu banyak makanya Allah kasih cobaan ini ke Ayah. Ayah ikhlas kok, Rin memang sepantasnya Ayah menerima ini semua." Ayah sedikit gugup menjawab pertanyaanku, hatiku sedikit terenyuh mendengar penuturan Ayah walaupun aku masih curiga apa ini sebenarnya atau tidak. Astagfirullah. Aku mengucap di dalam hati, karena masih berprasangka buruk terhadap Ayah.Mata Ayah ku lihat memang tidak menunjukkan tanda-tanda seperti orang normal. Bisa saja Ayah memang buta, bisa saja Allah menegur dengan cara seperti ini."Tante, juga minta maaf Rinjani dan juga Ibumu. Andai saja Ibumu masih hidup, Tante akan meminta maaf padanya secara langsung." Bu Ratna yang sedari tadi diam, kini ikut mengatakan permintaan maaf, aku juga melihat sendu di wajahnya dan dia pun menyeka air matanya.Apakah dia sama dengan Ayah, sudah benar-benar insyaf? Semoga saja iya, t
Aku mengikuti mereka dari belakang dan melepaskan kepulangan mereka di depan pintu. Ayah dan Bu Ratna pun masuk ke dalam mobil. Bu Ratna sendiri yang menyetir mobil. Perlahan mereka pun hilang di pelupuk mataku."Mak Ecit, maaf agak menunggu lama. Tapi bolehkah aku bersiap-siap sebentar" tawarku pada Mak Ecit."Iya, Rin. Mak tunggu."Lebih kurang lima belas menit aku pun menemui Mak Ecit, sudah rapi tentunya."Maaf, Mak jadi menunggu lama""Iya, Rin. Tidak apa-apa. Kita jalan sekarang, keburu telat nanti dengar pengajiannya."Kami berjalan kaki menuju Masjid yang tidak jauh dari rumahku, karena jaraknya tidak begitu jauh makanya aku tidak menggunakan mobil. Lagian lebih sehat rasanya jalan kaki ketimbang pakai mobil. Hitung-hitung membakar lemak. Beginilah salah satu aktivitas ku di hari Minggu mengikuti pengajian. Siraman rohani inilah yang membuat hatiku semakin kuat akan Iman. Apa yang terjadi di masa lalu yang penuh pengkhianatan itu, mengantarkan aku menjadi sosok yang lebih bai