Hari ini tepat setahun kepergian Ibu, hatiku perlahan sudah mulai ikhlas menerima takdir yang diberikan Allah.Hari minggu rutinitas seperti biasanya, aku membereskan rumah, mencuci, hingga menyetrika pakaian yang sudah menggunung.Tengah asyik dengan tugas perumahan, tiba-tiba..."Assalamualaikum" terdengar ucapan salam sembari mengetuk pintu. Aku yang tadinya tanpa menggunakan hijab berlari memasuki kamar untuk mengambilnya dan menutupi mahkota ku."Waalaikumsalam" sahutku ketika semua sudah rapi dan mahkota ku sudah tertutupi hijab.Ketika ku buka pintu ...."Ayaah!" teriakku kaget, aku kaget karena melihat kondisi Ayah yang sudah berbeda tidak seperti setahun yang lalu, sewaktu dia datang ke pemakaman Ibu. Memang itu terakhir kalinya aku bertemu dengan Ayah."Silakan masuk, Yah, Bu" ucapku pada Ayah dan Bu Ratna. Mereka mengangguk lalu duduk di kursi ruang tamu.Ketika aku hendak berjalan menuju dapur bermaksud untuk mengambil minuman, tetapi Ayah melarang."Rin, tidak perlu repot
"Anu.. Ka-kalau Bu Ratna dia hanya luka memar saja waktu itu Rin. Itulah Ayah juga bingung, hanya Ayah yang seperti ini. Mungkin karena dosa Ayah terlalu banyak makanya Allah kasih cobaan ini ke Ayah. Ayah ikhlas kok, Rin memang sepantasnya Ayah menerima ini semua." Ayah sedikit gugup menjawab pertanyaanku, hatiku sedikit terenyuh mendengar penuturan Ayah walaupun aku masih curiga apa ini sebenarnya atau tidak. Astagfirullah. Aku mengucap di dalam hati, karena masih berprasangka buruk terhadap Ayah.Mata Ayah ku lihat memang tidak menunjukkan tanda-tanda seperti orang normal. Bisa saja Ayah memang buta, bisa saja Allah menegur dengan cara seperti ini."Tante, juga minta maaf Rinjani dan juga Ibumu. Andai saja Ibumu masih hidup, Tante akan meminta maaf padanya secara langsung." Bu Ratna yang sedari tadi diam, kini ikut mengatakan permintaan maaf, aku juga melihat sendu di wajahnya dan dia pun menyeka air matanya.Apakah dia sama dengan Ayah, sudah benar-benar insyaf? Semoga saja iya, t
Aku mengikuti mereka dari belakang dan melepaskan kepulangan mereka di depan pintu. Ayah dan Bu Ratna pun masuk ke dalam mobil. Bu Ratna sendiri yang menyetir mobil. Perlahan mereka pun hilang di pelupuk mataku."Mak Ecit, maaf agak menunggu lama. Tapi bolehkah aku bersiap-siap sebentar" tawarku pada Mak Ecit."Iya, Rin. Mak tunggu."Lebih kurang lima belas menit aku pun menemui Mak Ecit, sudah rapi tentunya."Maaf, Mak jadi menunggu lama""Iya, Rin. Tidak apa-apa. Kita jalan sekarang, keburu telat nanti dengar pengajiannya."Kami berjalan kaki menuju Masjid yang tidak jauh dari rumahku, karena jaraknya tidak begitu jauh makanya aku tidak menggunakan mobil. Lagian lebih sehat rasanya jalan kaki ketimbang pakai mobil. Hitung-hitung membakar lemak. Beginilah salah satu aktivitas ku di hari Minggu mengikuti pengajian. Siraman rohani inilah yang membuat hatiku semakin kuat akan Iman. Apa yang terjadi di masa lalu yang penuh pengkhianatan itu, mengantarkan aku menjadi sosok yang lebih bai
"Mana Kang, mana kalau itu memang Ayahku." pungkasku tak percaya pada Kang Eros."Ayahmu dan Bu Ratna sudah dilarikan ke rumah sakit." jawab Pak RT.Mobil yang dikendarai Ayah sudah hangus terbakar, sedangkan para warga menolong memadamkan api dengan peralatan seadanya.Akupun di antar Kang Eros ke rumah sakit menggunakan motor Pak RT. Sedangkan Mak Ecit masih di lokasi kejadian.🐣🐣🐣Sesampainya di rumah sakit aku langsung menuju IGD. Ternyata Ayah dan Bu Ratna sudah ditangani oleh dokter. Aku berjalan mendekati mereka.Kondisi Ayah sungguh memperihatinkan, sekujur tubuhnya penuh darah. Tiba-tiba ada perawat yang menarik ku."Maaf Bu. Tolong menjauh sebentar saja." pungkasnya.Aku pun memilih untuk keluar dari ruangan IGD. Ayah kritis, melihatnya saja bulu kuduk ku sampai merinding."Kang, gimana ceritanya kenapa bisa kecelakaan begitu." tanyaku pada Kang Eros yang sedang berdiri di teras IGD."Akang juga nggak tau, Rin. Tadi udah ramai aja Akang lihat."Sudah setengah jam, dokter
Dia berteriak sekencang-kencangnya. Kini kedua matanya sudah tertutup perban. Aku miris melihat kondisi Ayah.Ku sisir mata melihat sekeliling, semua mata tertuju padaku ataupun Ayah. Entah apa yang mereka pikirkan ketika melihat teriakan histeris Ayah.Aku berdiri lebih mendekat ke ranjang Ayah, "Sabar, Yah" bisikku.Kemudian datang seorang perawat menghampiri kami, volume suaranya tinggi, "Pak, mohon untuk tenang. Di sini juga banyak pasien lain." ucapnya dengan nada yang agak kesal."Mba, tolong peringatin Bapaknya ya." pintanya padaku dengan muka kusut dan jutek.Aku hanya membalas dengan anggukan kecil. Paham dengan sikapnya, mungkin karena di sini banyak pasien yang membutuhkan ketenangan."Yah, yang sabar. Ayah harus tenang." ucapku lagi menenangkan Ayah.Aku mengerti pasti Ayah kaget dan belum siap atas apa yang menimpanya. Aku tahu Ayah pasti rapuh. Tangannya meraba-raba, sepertinya ingin meraih tanganku.Ku sambut tangannya, ku perhatikan dengan seksama di tangan Ayah banya
"Iya, tidak mungkin Akang ninggalin kamu, Rin. Itu tadi kenapa di dalam Rin. Kok terdengar ada yang ribut-ribut." tanya Kang Eros heran, dahinya mengernyit."Itu tadi Ayah sama Bu Ratna bertengkar di dalam Kang. Keluarga pasien yang lain pada marah. Aku juga heran sama Ayah dan Bu Ratna, dalam kondisi begitu masih juga tidak berubah."Oh iya, Rin. Akang tidak tahu mau bilang apa." jawabnya sambil garuk-garuk kepala. Ya mana mungkin Kang Eros ngerti."Yasudah, Kang. Aku mau ke loket administrasi dulu. Akang kalau mau pulang, duluan aja. Nanti aku pakai ojek saja pulangnya.""Tidak apa-apa, Rin. Akang tungguin kamu saja di sini.""Tidak usah, Kang. Aku takut nanti jadi fitnah kan kita bukan muhrim." jawabku lagi. Memang sih Kang Eros belum punya keluarga, tapi aku juga tidak mau warga salah paham.Kalau tidak kondisi kepepet tadi aku juga tidak akan meminta tolong dengan Kang Eros. Nggak mungkin aku balik ke rumah ngambil mobil, sedangkan pikiranku sangat panik mendengar Ayah korban kec
"Assalamualaikum" ucapku memberi salam ketika langkah kaki terhenti di teras rumah."Walaikumsalam." jawab mereka serempak. "Maaf Bu, dengan Ibu Rinjani?" tanya salah satu Pak Pol."Iya, saya Rinjani Pak. Kalau boleh tahu ada perlu apa ya Bapak semua datang ke sini?""Kami bermaksud untuk menahan Ayah dari Ibu Rinjani karena yang bersangkutan sudah lama menjadi buronan kami. Ini surat penangkapannya." jelasnya sambil menyodorkan amplop surat berwarna coklat."Maaf sebelumnya, Pak. Ini sudah memasuki waktu Sholat Magrib. Kalau besok saja kita ketemu di rumah sakit bagaimana? Sekalian Bapak bisa lihat kondisi Ayah saya." tawarku pada Bapak Polisi."Baik, Bu. Mohon maaf sebelumnya. Besok saya akan ke rumah sakit dengan team. Kami permisi. Selamat malam. Assalamualaikum.""Waalaikumsalam."Mereka bertiga berlalu suara mobil menderu hilang dari pendengaranku."Mbak Eca maaf agak menunggu lama. Berapa ongkosnya Mbak?" tanyaku."Dua puluh lima ribu saja, Rin." jawabku."Ini, Mbak." Ku sodork
"Ya Allah Arsy, ternyata kamu nak." sang gadis berusia sepuluh tahun itu memelukku erat. Tangisnya semakin pecah. "Apa yang sudah terjadi Pak kenapa Arsy menangis?" tanyaku heran. Ku elus-elus punggung Arsy memberikan ketenangan."Ibunya Arsy baru saja meninggalkan Rin." ucap Pak Benny."Innalillahi Wainnailaihi Raji'un. Arsy, Ibu turut berduka cita ya Nak. Ku peluk lebih erat sang gadis yang terkenal periang itu. Aku tahu bagaimana hancurnya hati Arsy, aku juga pernah merasakan kehilangan seperti Arsy, setahun yang lalu kepergian Ibu.Setahu ku Ustadzah Renty terakhir bertemu hari Sabtu kemarin sehat-sehat saja. Sekarang malah aku mendengar kabar duka atas kepergiannya."Aku turut berduka cita, Pak. Kalau boleh tahu apa ya hubungan Bapak dengan Ustadzah Renti dan Arsy?" tanyaku lagi."Renty" istri saya, jawabnya rintih. Matanya merah. Raut mukanya kusut dan lesu."Ooohh istri Bapak, saya tidak tahu Pak. Soalnya saya juga baru di pesantren." jawabku. Aku memang baru enam bulan mengab