"Mana Kang, mana kalau itu memang Ayahku." pungkasku tak percaya pada Kang Eros."Ayahmu dan Bu Ratna sudah dilarikan ke rumah sakit." jawab Pak RT.Mobil yang dikendarai Ayah sudah hangus terbakar, sedangkan para warga menolong memadamkan api dengan peralatan seadanya.Akupun di antar Kang Eros ke rumah sakit menggunakan motor Pak RT. Sedangkan Mak Ecit masih di lokasi kejadian.🐣🐣🐣Sesampainya di rumah sakit aku langsung menuju IGD. Ternyata Ayah dan Bu Ratna sudah ditangani oleh dokter. Aku berjalan mendekati mereka.Kondisi Ayah sungguh memperihatinkan, sekujur tubuhnya penuh darah. Tiba-tiba ada perawat yang menarik ku."Maaf Bu. Tolong menjauh sebentar saja." pungkasnya.Aku pun memilih untuk keluar dari ruangan IGD. Ayah kritis, melihatnya saja bulu kuduk ku sampai merinding."Kang, gimana ceritanya kenapa bisa kecelakaan begitu." tanyaku pada Kang Eros yang sedang berdiri di teras IGD."Akang juga nggak tau, Rin. Tadi udah ramai aja Akang lihat."Sudah setengah jam, dokter
Dia berteriak sekencang-kencangnya. Kini kedua matanya sudah tertutup perban. Aku miris melihat kondisi Ayah.Ku sisir mata melihat sekeliling, semua mata tertuju padaku ataupun Ayah. Entah apa yang mereka pikirkan ketika melihat teriakan histeris Ayah.Aku berdiri lebih mendekat ke ranjang Ayah, "Sabar, Yah" bisikku.Kemudian datang seorang perawat menghampiri kami, volume suaranya tinggi, "Pak, mohon untuk tenang. Di sini juga banyak pasien lain." ucapnya dengan nada yang agak kesal."Mba, tolong peringatin Bapaknya ya." pintanya padaku dengan muka kusut dan jutek.Aku hanya membalas dengan anggukan kecil. Paham dengan sikapnya, mungkin karena di sini banyak pasien yang membutuhkan ketenangan."Yah, yang sabar. Ayah harus tenang." ucapku lagi menenangkan Ayah.Aku mengerti pasti Ayah kaget dan belum siap atas apa yang menimpanya. Aku tahu Ayah pasti rapuh. Tangannya meraba-raba, sepertinya ingin meraih tanganku.Ku sambut tangannya, ku perhatikan dengan seksama di tangan Ayah banya
"Iya, tidak mungkin Akang ninggalin kamu, Rin. Itu tadi kenapa di dalam Rin. Kok terdengar ada yang ribut-ribut." tanya Kang Eros heran, dahinya mengernyit."Itu tadi Ayah sama Bu Ratna bertengkar di dalam Kang. Keluarga pasien yang lain pada marah. Aku juga heran sama Ayah dan Bu Ratna, dalam kondisi begitu masih juga tidak berubah."Oh iya, Rin. Akang tidak tahu mau bilang apa." jawabnya sambil garuk-garuk kepala. Ya mana mungkin Kang Eros ngerti."Yasudah, Kang. Aku mau ke loket administrasi dulu. Akang kalau mau pulang, duluan aja. Nanti aku pakai ojek saja pulangnya.""Tidak apa-apa, Rin. Akang tungguin kamu saja di sini.""Tidak usah, Kang. Aku takut nanti jadi fitnah kan kita bukan muhrim." jawabku lagi. Memang sih Kang Eros belum punya keluarga, tapi aku juga tidak mau warga salah paham.Kalau tidak kondisi kepepet tadi aku juga tidak akan meminta tolong dengan Kang Eros. Nggak mungkin aku balik ke rumah ngambil mobil, sedangkan pikiranku sangat panik mendengar Ayah korban kec
"Assalamualaikum" ucapku memberi salam ketika langkah kaki terhenti di teras rumah."Walaikumsalam." jawab mereka serempak. "Maaf Bu, dengan Ibu Rinjani?" tanya salah satu Pak Pol."Iya, saya Rinjani Pak. Kalau boleh tahu ada perlu apa ya Bapak semua datang ke sini?""Kami bermaksud untuk menahan Ayah dari Ibu Rinjani karena yang bersangkutan sudah lama menjadi buronan kami. Ini surat penangkapannya." jelasnya sambil menyodorkan amplop surat berwarna coklat."Maaf sebelumnya, Pak. Ini sudah memasuki waktu Sholat Magrib. Kalau besok saja kita ketemu di rumah sakit bagaimana? Sekalian Bapak bisa lihat kondisi Ayah saya." tawarku pada Bapak Polisi."Baik, Bu. Mohon maaf sebelumnya. Besok saya akan ke rumah sakit dengan team. Kami permisi. Selamat malam. Assalamualaikum.""Waalaikumsalam."Mereka bertiga berlalu suara mobil menderu hilang dari pendengaranku."Mbak Eca maaf agak menunggu lama. Berapa ongkosnya Mbak?" tanyaku."Dua puluh lima ribu saja, Rin." jawabku."Ini, Mbak." Ku sodork
"Ya Allah Arsy, ternyata kamu nak." sang gadis berusia sepuluh tahun itu memelukku erat. Tangisnya semakin pecah. "Apa yang sudah terjadi Pak kenapa Arsy menangis?" tanyaku heran. Ku elus-elus punggung Arsy memberikan ketenangan."Ibunya Arsy baru saja meninggalkan Rin." ucap Pak Benny."Innalillahi Wainnailaihi Raji'un. Arsy, Ibu turut berduka cita ya Nak. Ku peluk lebih erat sang gadis yang terkenal periang itu. Aku tahu bagaimana hancurnya hati Arsy, aku juga pernah merasakan kehilangan seperti Arsy, setahun yang lalu kepergian Ibu.Setahu ku Ustadzah Renty terakhir bertemu hari Sabtu kemarin sehat-sehat saja. Sekarang malah aku mendengar kabar duka atas kepergiannya."Aku turut berduka cita, Pak. Kalau boleh tahu apa ya hubungan Bapak dengan Ustadzah Renti dan Arsy?" tanyaku lagi."Renty" istri saya, jawabnya rintih. Matanya merah. Raut mukanya kusut dan lesu."Ooohh istri Bapak, saya tidak tahu Pak. Soalnya saya juga baru di pesantren." jawabku. Aku memang baru enam bulan mengab
Sembari berjalan menuju ruang inap Ayah, bathinku selalu bertanya-tanya apa penyebab Ustadzah Renty pergi untuk selama-lamanya. Walaupun baru enam bulan bergabung di Pondok Pesantren Nurul Iman tapi sekalipun tidak pernah terdengar olehku Ustadzah Renty punya sakit yang serius.Apalagi dia aktif dalam kegiatan pondok baik dalam pembelajaran ataupun ekstra kurikuler. Sifat Arsy yang periang itu turunan dari Ustadzah Renty.Ketika langkahku sampai di dekat ruang inap Ayah, terdengar suara agak rame terlihat dari kaca jendela kamar di dalam sudah ada beberapa orang Bapak Polisi."Assalamualaikum." ucapku masuk ke ruangan Ayah, semua mata serempak melihat ke arahku sambil menjawab salam, "Waalaikumsalam.""Rin, bilang sama Bapak-bapak ini. Kalau Ayah tidak mau ikut dengan mereka. Apalagi kondisi Ayah seperti ini. Mana ada orang buta yang ditahan. Belum lagi Ayah masih dalam perawatan."Ku dekati ranjang Ayah, "Ayah tenang dulu." ucapku dengan sedikit berbisik."Maaf, Pak. Tadi saya ada ur
Setelah sepuluh menit menunggu, aku dan Pak Hendro pun masuk ke ruangan Dokter Handoko.Kalau ku tebak kisaran umur sang Dokter berumur 35-40 tahun, masih terbilang muda."Assalamualaikum, Dok" sapaku."Waalaikumsalam." silakan duduk, pintanya."Dok, begini. Perihal Ayah saya pasien yang baru saja kemarin menjadi korban kecelakaan. Itu penyebab kebutaan Ayah saya seperti apa yah, Dok? Soalnya kebetulan Ayah mau dipindahkan ke rumah sakit polisi." jelasku malas. Harusnya dokter tidak perlu tahu jika Ayah adalah tersangka. Tetapi apa boleh buat semuanya harus terbuka secara detail."Begini Bu, soal kondisi Ayah anda, bahwasanya dalam kecelakaan tersebut Ayah anda mengalami benturan yang sangat keras. Akibatnya saraf mata pecah dan didorong salah satunya dari penyakit diabetes yang diderita Ayah anda, sehingga juga menyebabkan kerusakan pada kornea mata. Ini dilihat dari hasil rontsen yang dilakukan tadi malam." jelas Dokter sembari menyerahkan hasil rontsen padaku."Diabetes?" bisik bat
"Umm, dasi Abi yang warna abu-abu tua ditarok dimana?" tanya suamiku dari dalam kamar.Aku yang ketika itu sedang menyiapkan sarapan berhenti sejenak, "Bik, tolong tuangin teh panas ini yah, sama ambilkan piring." pintaku pada Bik Iyem-asisten rumah tanggaku yang usianya tidak begitu jauh dariku. Bik Iyem berusia 50 tahun, walaupun sudah separuh baya dia begitu telaten dan semangat mengerjakan tugasnya."Baik, Nyah." jawabnya sigap ditambah dengan anggukan."Ada Bi, itu udah Ummi tarok di atas ranjang." jawabku sembari menghampirinya ke dalam kamar."Ya Allah Abi, masa dasinya nggak kelihatan sih." keluhku pada suami yang sedang mematut diri di depan cermin."Dimana Umm, udah Abi cari-cari daritadi nggak nemu.""Nih, nyelip di bawah bantal dasinya. Abi mah kebiasaan kalau lagi siap-siap gini, selalu berantakan.""Maaf sayang, di rumah boleh berantakan tapi di kantor kan enggak sayang." dia mencubit pipiku dengan manja. "Umm, pasangin dong dasinya." rengeknya manja.Aku hanya menggelen