Flashback ....***Ketika aku sudah berumur sepuluh tahun Emak memberi tahu, jikalau Abahku sudah meninggal sewaktu aku berumur dua bulan. Dibesarkan dari keluarga tidak berada apalagi hanya Emak yang membanting tulang sebagai tukang cuci pakaian itupun jika ada yang memakai jasa Emak.***"Assalamualaikum." terdengar ucapan salam dari luar, aku yang sedang melipat baju pun menjawab salam itu, "Waalaikumsalam." sembari beranjak lalu membukakan pintu.Ternyata yang datang adalah Bu Ratna, "Silakan masuk, Bu." ucapku."Tidak usah, Ta. Ibu hanya sebentar, bisa panggilkan Emakmu" pintanya. Aku pun mempersilakan dia masuk, tetap Ibu Ratna tidak mau. Ku panggil Emak yang sedang berada di dalam kamar.Emak pun menemui Bu Ratna yang menunggu di depan pintu.Masih ingat dalam ingatan ku, Ibu Ratna memang suka datang ke rumah gubuk ku ini semenjak aku masih berumur kecil. Aku ingat betul akan hal itu. Berjalan waktu seiring dengan perkembangan usia ku, tentunya membuat aku semakin paham memakna
Hari ini adalah sidang putusan yang akan disampaikan oleh majelis setelah dua minggu lalu aku memberikan surat kesimpulan melalui pengacara begitu juga dengan lelaki pengkhianat itu.Sidang kesimpulan dari penggugat ataupun tergugat bisa diwakili oleh pengacara masing-masing. Sidang ini dilaksanakan tiga hari dari kedatangan ku ke rumah kenangan buruk kemarin.Kali ini, selain ditemani Aldy aku juga ditemani oleh Ibu. Alhamdulillah Ibu masih mau menetap di Jakarta walaupun tiap sebentar dia mengatakan sudah rindu dengan kampung halamannya. Bagi ku wajar saja karena sudah lebih kurang sebulan ibu berada di sini.Di depan ku sudah ada tiga orang para hakim yang akan membacakan hasil putusannya berdasarkan rangkaian sidang yang sudah dilewati sebelumnya. Dalam sidang tertutup hari ini Reno hanya ditemani oleh Mami dan pengacaranya, tidak terlihat batang hidung Rinata dan Shinta, apalagi Reno.Pemandangan ini sangat jauh berbeda ketika sidang pembuktian yang dijalani beberapa waktu lalu.
Udara pagi nan sejuk, matahari pun masih malu-malu memancarkan sinarnya karena hujan Subuh tadi. Itu yang kulihat dan rasakan ketika membuka pintu jendela kamar. Aku sekarang sudah berada di desa kelahiran."Rinjani" panggil Ibu sembari mengetuk pintu kamar ku."Iya, Bu. Sebentar." jawabku sembari berjalan membukakan pintu."Kita sarapan dulu, Ibu sudah belikan sarapan kesukaan kamu." ajak Ibu ketika pintu kamar sudah terbuka.Kami duduk berdua di meja makan, wanitaku lalu menuangi sebungkus lontong gulai nangka ke dalam piring. Lalu dia suguhkan padaku.Mungkin selepas Sholat Subuh di mesjid Ibu langsung membeli sarapan yang tidak jauh dari lokasi mesjid. Ini memang lontong gulai langganan ku sedari kecil, buatan Mak Ecit.Masih ingat diingatanku, Ibu membelikan lontong gulai jikalau sudah menerima upah menjadi pembantu. Sekali sebulan lebih tepatnya aku memakan ini. Kalau tidak, ya seperti biasa. Hanya makan nasi dengan lauk seadanya. Tetapi aku tetap bersyukur, apapun itu makanann
"Jika anda kurang puas, silakan lakukan apa yang anda inginkan. Saya sudah kebal dengan tingkah laku bejat anda selama ini." lanjutku kasar."Sudah, Nak. Bagaimanapun dia tetap Ayahmu, Nak." tangisan Ibu pecah, jantung ku masih berdebar kencang, emosi yang selama ini akhirnya tumpah."Aku tidak tahan, Bu. Dia terlalu jahat, mana ada seorang Ayah yang sejahat itu pada keluarganya sendiri." ucapku dengan airmata yang sudah berjatuhan."Jangan seenaknya anda berbuat sesuka hati pada Ibu, mentang-mentang dia sering diam ketika caci maki terlontar dari mulut anda. Ingat, sudah berapa hati yang anda sakiti." teriakku semakin emosi."Kalian terlalu cengeng, pokoknya saya tidak akan tinggal diam. Kamu harus terima resikonya karena telah membuat anak saya Rinata menderita di sana." dia berlalu pergi meninggalkan aku dan Ibu."Silakan, saja." jawabku sinis."Sudah, Nak. Sabar, ayo masuk." Baru saja aku ingin menutup pintu, tampak dua orang wanita paruh baya berdiri di pinggir jalan yang tidak
"Bu, maafkan aku. Maafkan yang terjadi kemarin, aku terbawa emosi dendam pada mereka yang sudah menghancurkan hatiku berkeping-keping. Hingga ku sebarkan semua berita perselingkuhan mereka di media massa dan televisi hingga berita itu begitu viral. Mohon ampun beribu ampun, Bu, jika Ibu yang akhirnya terkorbankan, aku pikir warga di sini paham akan deritaku ternyata tidak. Bahkan mereka berani menghujat Ibu." aku bersujud di kaki Ibu, ejekan, dan cemoohan warga di kampung pada Ibu lebih menyayat hati dan bathinku ketimbang perpisahan rumah tangga yang telah karam di hantam badai perselingkuhan."Berdiri lah, Nak." aku dituntun bangun untuk duduk di samping Ibu. "Kamu dengar, Nak. Tidak perlu kamu meminta maaf sama ibu. Dan kamu tidak perlu juga larut dalam rasa bersalahmu pada Ibu. Bersabarlah agak sebentar, jangan kamu terpancing diri dari omongan warga. Ibu yakin perlahan seiring waktu, hal negatif itu akan luntur.""Tapi, Bu....." belum selesai aku berbicara Ibu sudah memotongnya.
Aku tetap tidak ingin menoleh pada mereka yang sedari tadi memanggil namaku.Kuusap berulang kali nisan Ibu, perlahan hujan turun membasahi bumi di hari yang sudah beranjak sore tapi aku masih bersimpuh di rumah baru Ibuku."Rin, sudah Nak. Ayo kita pulang. Hujannya sudah semakin deras, Nak. Nanti kamu sakit." ajak Ayah sekali lagi.Aku pikir mereka sudah pergi dan tertawa lepas, ternyata dia masih di belakangku.Lagi dan lagi tak ku hiraukan ajakannya, apa pedulinya terhadapku. Bukankah selama ini dia tidak mengakuiku sebagai anak kandungnya. Persetan dengan ucapannya, aku tidak peduli.Waktu kian berjalan, petang pergi menjemput malam, aku bangun dalam simpuh. Berbalik arah, ternyata dua manusia itu masih berdiri mematung di belakang ku. Ayah dan juga Ibu Ratna, entah apa julukan yang pantas untuk mereka berdua.Ku tatap tajam berganti kedua mata mereka, rasa amarahku memuncak, sekalipun mata Ayah dan Bu Ratna terlihat basah, tapi aku tidak merasa simpati akan hal itu.Mereka pandai
Hari ini tepat setahun kepergian Ibu, hatiku perlahan sudah mulai ikhlas menerima takdir yang diberikan Allah.Hari minggu rutinitas seperti biasanya, aku membereskan rumah, mencuci, hingga menyetrika pakaian yang sudah menggunung.Tengah asyik dengan tugas perumahan, tiba-tiba..."Assalamualaikum" terdengar ucapan salam sembari mengetuk pintu. Aku yang tadinya tanpa menggunakan hijab berlari memasuki kamar untuk mengambilnya dan menutupi mahkota ku."Waalaikumsalam" sahutku ketika semua sudah rapi dan mahkota ku sudah tertutupi hijab.Ketika ku buka pintu ...."Ayaah!" teriakku kaget, aku kaget karena melihat kondisi Ayah yang sudah berbeda tidak seperti setahun yang lalu, sewaktu dia datang ke pemakaman Ibu. Memang itu terakhir kalinya aku bertemu dengan Ayah."Silakan masuk, Yah, Bu" ucapku pada Ayah dan Bu Ratna. Mereka mengangguk lalu duduk di kursi ruang tamu.Ketika aku hendak berjalan menuju dapur bermaksud untuk mengambil minuman, tetapi Ayah melarang."Rin, tidak perlu repot
"Anu.. Ka-kalau Bu Ratna dia hanya luka memar saja waktu itu Rin. Itulah Ayah juga bingung, hanya Ayah yang seperti ini. Mungkin karena dosa Ayah terlalu banyak makanya Allah kasih cobaan ini ke Ayah. Ayah ikhlas kok, Rin memang sepantasnya Ayah menerima ini semua." Ayah sedikit gugup menjawab pertanyaanku, hatiku sedikit terenyuh mendengar penuturan Ayah walaupun aku masih curiga apa ini sebenarnya atau tidak. Astagfirullah. Aku mengucap di dalam hati, karena masih berprasangka buruk terhadap Ayah.Mata Ayah ku lihat memang tidak menunjukkan tanda-tanda seperti orang normal. Bisa saja Ayah memang buta, bisa saja Allah menegur dengan cara seperti ini."Tante, juga minta maaf Rinjani dan juga Ibumu. Andai saja Ibumu masih hidup, Tante akan meminta maaf padanya secara langsung." Bu Ratna yang sedari tadi diam, kini ikut mengatakan permintaan maaf, aku juga melihat sendu di wajahnya dan dia pun menyeka air matanya.Apakah dia sama dengan Ayah, sudah benar-benar insyaf? Semoga saja iya, t
Bab 12"Kamu beneran sudah gila ya, Lita! Mama pikir kamu bisa berpikir jernih sedikit, mengalah sedikit, apa kamu beneran nggak takut jadi janda dan hidup melarat?" serang Ririn dengan penuh amarah.Dia memang takut miskin karena mengingat hidupnya yang begitu susah dulunya.Lita mengendikkan bahu dengan angkuhnya."Aku memang sudah gila!""Kan berulang kali aku bilang sama mama, kalau aku nggak peduli. Mau hidup miskin ataupun kaya, terserah kedepannya. Aku capek diatur terus-terusan, aku yang lebih tahu kebahagiaan ku sendiri.""Sebelum Mas Ammar yang ceraikan aku, aku yang lebih dulu ceraikan dia, karena aku akan menikah dengan lelaki pilihanku!" erang Lita hilang kendali."Jangan bertindak bodoh kamu! Pikirkan lagi ucapan kamu itu Lita! Laki-laki itu pasti baru kamu kenal, nggak akan ada laki-laki yang nerima perempuan apalagi janda dengan segampang itu. Kamu nggak mikir efeknya nanti gimana?""Sudahlah, Ma. Aku capek berdebat terus dengan mama. Lagian hutang-hutang mama juga ham
Bab 11[Mas ... dimana? Aku lagi bete nih! Bisa keluar nggak]Lita mengirim pesan pada seseorang beberapa saat setelah menenggak habis minumannya. Tak perlu sepertinya Lita menunggu, selang satu menit, pesannya pun terbalaskan.Seperti tak kenal waktu, padahal sudah menunjukkan pukul satu dini hari.[Kan tadi abis jalan. Kok masih bete sih?] Balas seseorang yang diberi nama Argantara.[Tau gini mending aku nggak pulang tadi.] Balas Lita cepat.[Terus gimana? Mau keluar lagi?][Iya.][Oke. Aku otewe]Sembari menunggu jemputan dari lelaki yang baru dikenalnya selama seminggu ini, Lita menunggu lantai dua untuk mengambil tasnya. Dia berjalan mengendap-endap supaya langkah kakinya tak terdengar oleh Ririn sang mama.Dengan pelan dia menekan handle pintu dan membukanya sedikit saja. Tampak Ririn sudah tidur dengan posisi terlentang. Tak ingin ketahuan, Lita buru-buru menyambar tas yang ada di nakas.[Dimana? Aku udah siapa]Pesan yang dikirim Lita cukup lama dibalas, hingga ... terdengar b
Bab 10"Nggak cuma tanya apa ada yang mau nitip makanan, gue jawab aja langsung enggak.""Ooh ...." Lita sama sekali tak curiga dengan gerak-gerik teman kerjanya itu. Dia kembali berkutat pada ponselnya.[Ta, mama telponin daritadi nggak diangkat-angkat][Mama mau ngasih tau, mertua sama Arumi dan baby sitter kamu keluar dari rumah][Mama sempat nanya, tapi mertua kamu diam aja. Coba deh kamu telpon mertua kamu?]"Mama lebay banget deh ah. Perkara mereka keluar rumah aja pake lapor. Nggak ada apa hal yang lebih penting," ngomel Lita seraya membuka aplikasi lainnya."Masalah lagi?" tanya Dea."Ya biasalah, nyokap gue orang paling lebay. Masa iya, mertua, anak, dan baby sitter keluar rumah pake ngelapor segala ke gue. Kan nggak penting banget ya," jelas Lita dengan suara sedikit tinggi."Yaelah. Gitu aja lu sensi amat. Wajar aja lah emak lu lapor, kan mertua lu bawa anak lu keluar rumah, emangnya lu nggak mikir gimana gitu, khawatir paling tidak," sahut Dea seraya menyunggingkan sedikit
Bab 9"Lita ... Lita ..., bangun kamu! Heh!" Ririn mengguncang tubuh anaknya yang baru saja terlelap."Dasar kebo ya kamu, ditinggal sebentar ke bawah, langsung molor," sengit Ririn."Apa sih, Ma. Orang ngantuk juga." Lita menyentak tubuhnya. Tangan Ririn terlepas."Ammar mau menceraikan kamu!" ucap Ririn tanpa basa-basi."Hah?" Lita terduduk, dengan wajah masih berpoles make up dan rambut acak-acakan. "Jangan bercanda, Ma!" ucapnya tak percaya."Serius, tadi Ammar bilang, kalau kamu tidak berubah, bisa jadi kalian akan bercerai."Seolah seperti orang baru sadar, Lita mengibas angin tepat di depan wajah Ririn."Halah, paling juga ancaman belaka, Ma. Mana mungkin dia akan menceraikan aku. Lagian nih, pasti auto malu lah, dia kan tahu gimana rasanya punya orang tua nggak lengkap. Aku yakin, dia tidak akan melakukan hal itu, kalau dia sayang Arumi, aku yakin dia tidak akan memberikan Arumi orang tua yang tidak lengkap." Begitu percaya dirinya Lita berucap."Jika benar itu terjadi bagaima
Bab 8"Buka mata kamu, Mmar. Apa iya pantas istrimu bicara seperti itu sama bunda?"Viola tak tinggal diam, terasa dipojokkan oleh Lita."Neng Viola harusnya juga buka mata, jangan karena nila setitik rusak susu sebelanga, jangan karena Lita ingin istirahat sebentar, Neng Viola jadikan itu Boomerang," balas Ririn tegas."Kenapa kamu diam, Mmar?""Lihat istrimu Lita, bersimpuh meminta pengertianmu, dia rela meminta maaf atas apa yang sebenarnya tidak dia lakukan secara sengaja. Andai bundamu bisa mengontrol diri, tak akan runyam seperti ini," tambah Ririn.Ammar menundukkan kepalanya, melihat sekejap istrinya yang masih bersimpuh dan tak hentinya menangis. Isakkan tangis Lita pun terdengar semakin keras."Bund, kita turun saja dulu!" ajak Ammar memecahkan keheningan yang tercipta beberapa detik."Yuk, mending kita istirahat," sahut Viola dia menyunggingkan ujung bibirnya pada Ririn."Mas ... Mas ... Please, jangan begitu. Aku sedikitpun tidak ada niat mengutarakan ucapan seperti tadi s
Bab 7"Eh, Bunda. Duduk sini, Bund. Mau ngomong apaan? Serius nih keliatannya," ucap Ammar seraya menurunkan kedua kakinya yang tadinya berada di kursi kosong."Kamu nggak tidur?" tanya Viola memulai pembicaraan, seraya menduduki kursi yang ada di sebelah kanan."Nanti lah, Bund. Bunda kenapa nggak tidur? Udah malam lho, Bund. Apalagi tadi sibuk ngurusin acara Arumi.""Iyaa, bentar lagi bunda tidurnya." Viola menyisir pandangannya, termasuk ke pintu utama yang terbuka dengan lebar."Bunda lagi liatin apa? Katanya tadi mau bicara, bicara apa, Bund?" tanya Ammar mulai penasaran apalagi melihat gelagat bahasa tubuh ibunya yang agak lain."Tadi bunda liat Lita naik ke lantai dua bawa beberapa baju. Emangnya dia mau tidur di atas lagi, Mmar?""Oh itu, iya, Bund. Malam ini dia mau istirahat di kamar lantai atas.""Istirahat gimana? Kalian kan punya kamar? Kenapa pisah kamar lagi kayak kemarin?""Hmm ... cuma malam ini aja kok, Bund. Lita kecapekan kalau tidur di kamar aku, bakalan keganggu
Bab 6Malam ini, untuk pertama kali mereka tidur bertiga. Ammar sangat senang, hal kecil yang diimpikannya terwujud, satu kamar dengan istri dan anak."Mas, makasih ya. Atas sikapku kemarin." Lita kembali mengulangi permintaan maafnya pada Ammar saat mereka sama-sama tengah berbaring di atas ranjang sembari memainkan jambang Ammar yang tampak mulai lebat."Tidak apa, Sayang. Mas paham. Tapi, jangan lagi berkata seperti itu. Kasian Arumi," balas Ammar lembut dan mendaratkan sebuah kecupan di kening Lita."Mas, juga minta maaf sama kamu. Mas yang salah atas semuanya yang terjadi," tambah Ammar kemudian.Cahaya remang, dinginnya suhu AC, dan lelapnya Arumi di ranjangnya sendiri, serta tak bisa dibendung rasa rindu Ammar pada istrinya. Tangan Ammar mulai nakal menjamahi tubuh Lita."Mas, kita tidur yuk! Aku capek," bisik Lita seraya menggeser tangan suaminya dari bagian tubuh yang tersentuh."Yaudah, yuk!"Posisi tidur langsung berubah, Lita membelakangi suaminya. Namun, Ammar sepertinya
Bab 5Ammar seketika berdiri, telinganya terasa semakin panas oleh ucapan Lita yang sama sekali tidak ada rasa peduli padanya."Kamu bisa ngertiin posisi aku nggak?""Kamu juga nggak ngertiin aku, Mas. Kamu nggak ngerti gimana perasaan aku!" Lita tak mau kalah, mau adu nasib dengan suaminya yang siang malam berkejar-kejaran dengan waktu. "Aku kurang ngertiin apalagi coba? Aku akan tetap test DNA, tapi sabar dulu.""Terserah lah, Mas. Kamu egois!" Lita meninggalkan Ammar tanpa belas kasihan sedikitpun, seolah cinta dan kasih sayang yang dia berikan dari awal pernikahan sirna begitu saja."Lita ... Lita ... kamu nggak capek apa kita begini terus!" seru Ammar. Namun, Lita sama sekali tidak memperdulikan ucapan suaminya. Dia terus saja menaiki anak tangga Hari-hari yang dijalani Ammar sekarang selalu banyak masalah. Rumah terasa panas, dia pun sulit berkonsentrasi. Bahkan kerjaan yang sedang dia selesaikan sekarang itu, karena klien protes, dan itu karena Ammar tidak fokus.Viola yang m
Bab 4"Masa Neng Viola tidak tahu alasan saya berkata demikian? Bukannya Neng Viola sudah melihat bayi yang ada di kamar Ammar dan Lita.""Ya, saya sudah melihatnya. Lantas apa hubungannya dengan ucapan Neng Ririn tadi. Itu kan bayi mereka.""Saya tidak yakin, pasti Ammar sudah menjebak Lita. Bisa jadi itu anak orang lain. Saya rasa ad maksud lain dibalik hadirnya bayi itu.""Astaghfirullah, Neng. Jauh sekali pikiranmu. Sampai menuduh Ammar seperti itu. Saya tahu Ammar seperti apa, dia tidak akan berbuat sekonyol itu.""Udahlah, Neng Viola. Nanti saja kita buktikan. Saya akan tinggal di sini, biar tidak terjadi hal-hal buruk.""Sama lah kalau begitu, saya juga tinggal di sini. Kita buktikan saja siapa yang memfitnah."Lita tersentak, dia menatap ibunya, seolah mengode sesuatu."Lho, nggak bisa gitu dong, Neng. Anakmu laki-laki tidak perlu ditemani, beda dengan anakku, perlu penjagaan ketat.""Dia tidak terancam kok di sini, Neng Ririn. Malah, Lita bisa me time sepanjang waktu. Kan yan