Pertengkaran ku dengan Rinata masih berlangsung selepas Rinjani pergi."Mas, kamu harus tanggun jawab sama janin yang ku kandung" ucap Rinata berlari ke arah ku yang tidak sempat mengejar Rinajani."Cukup. Ternyata kamu tidak sebaik yang ku pikir. Aku menyesal telah tergoda oleh mu Rinata. Bisa-bisanya kamu tidur dengan lelaki lain. Bahkan mengandung anaknya.""Tidak Mas, ini bukan seperti yang ada dalam rekaman itu. Aku sudah difitnah. Kamu tahu Deska teman sekolahnya Rinjani, ini pasti jebakan dia supaya aku dan kamu tidak bersatu." Rinata terus menangis dan berulang kali mencium kakiku, aku tidak percaya wanita yang perjuangkan dan meninggalkan Rinjani sebejat ini."Simpan omong kosongmu, aku tidak akan percaya lagi." ku sentak keras kaki yang dia pegang. Tapi langkah ku terhalang ketika hendak menuju mobil."Reno, jangan percaya begitu saja dengan Rinjani. Mana mungkin kami sejauh itu mempermainkan kamu. Mana mungkin kami ada bersekutu dengan Deska. Sedangkan jelas-jelas Deska mema
Flashback ....***Ketika aku sudah berumur sepuluh tahun Emak memberi tahu, jikalau Abahku sudah meninggal sewaktu aku berumur dua bulan. Dibesarkan dari keluarga tidak berada apalagi hanya Emak yang membanting tulang sebagai tukang cuci pakaian itupun jika ada yang memakai jasa Emak.***"Assalamualaikum." terdengar ucapan salam dari luar, aku yang sedang melipat baju pun menjawab salam itu, "Waalaikumsalam." sembari beranjak lalu membukakan pintu.Ternyata yang datang adalah Bu Ratna, "Silakan masuk, Bu." ucapku."Tidak usah, Ta. Ibu hanya sebentar, bisa panggilkan Emakmu" pintanya. Aku pun mempersilakan dia masuk, tetap Ibu Ratna tidak mau. Ku panggil Emak yang sedang berada di dalam kamar.Emak pun menemui Bu Ratna yang menunggu di depan pintu.Masih ingat dalam ingatan ku, Ibu Ratna memang suka datang ke rumah gubuk ku ini semenjak aku masih berumur kecil. Aku ingat betul akan hal itu. Berjalan waktu seiring dengan perkembangan usia ku, tentunya membuat aku semakin paham memakna
Hari ini adalah sidang putusan yang akan disampaikan oleh majelis setelah dua minggu lalu aku memberikan surat kesimpulan melalui pengacara begitu juga dengan lelaki pengkhianat itu.Sidang kesimpulan dari penggugat ataupun tergugat bisa diwakili oleh pengacara masing-masing. Sidang ini dilaksanakan tiga hari dari kedatangan ku ke rumah kenangan buruk kemarin.Kali ini, selain ditemani Aldy aku juga ditemani oleh Ibu. Alhamdulillah Ibu masih mau menetap di Jakarta walaupun tiap sebentar dia mengatakan sudah rindu dengan kampung halamannya. Bagi ku wajar saja karena sudah lebih kurang sebulan ibu berada di sini.Di depan ku sudah ada tiga orang para hakim yang akan membacakan hasil putusannya berdasarkan rangkaian sidang yang sudah dilewati sebelumnya. Dalam sidang tertutup hari ini Reno hanya ditemani oleh Mami dan pengacaranya, tidak terlihat batang hidung Rinata dan Shinta, apalagi Reno.Pemandangan ini sangat jauh berbeda ketika sidang pembuktian yang dijalani beberapa waktu lalu.
Udara pagi nan sejuk, matahari pun masih malu-malu memancarkan sinarnya karena hujan Subuh tadi. Itu yang kulihat dan rasakan ketika membuka pintu jendela kamar. Aku sekarang sudah berada di desa kelahiran."Rinjani" panggil Ibu sembari mengetuk pintu kamar ku."Iya, Bu. Sebentar." jawabku sembari berjalan membukakan pintu."Kita sarapan dulu, Ibu sudah belikan sarapan kesukaan kamu." ajak Ibu ketika pintu kamar sudah terbuka.Kami duduk berdua di meja makan, wanitaku lalu menuangi sebungkus lontong gulai nangka ke dalam piring. Lalu dia suguhkan padaku.Mungkin selepas Sholat Subuh di mesjid Ibu langsung membeli sarapan yang tidak jauh dari lokasi mesjid. Ini memang lontong gulai langganan ku sedari kecil, buatan Mak Ecit.Masih ingat diingatanku, Ibu membelikan lontong gulai jikalau sudah menerima upah menjadi pembantu. Sekali sebulan lebih tepatnya aku memakan ini. Kalau tidak, ya seperti biasa. Hanya makan nasi dengan lauk seadanya. Tetapi aku tetap bersyukur, apapun itu makanann
"Jika anda kurang puas, silakan lakukan apa yang anda inginkan. Saya sudah kebal dengan tingkah laku bejat anda selama ini." lanjutku kasar."Sudah, Nak. Bagaimanapun dia tetap Ayahmu, Nak." tangisan Ibu pecah, jantung ku masih berdebar kencang, emosi yang selama ini akhirnya tumpah."Aku tidak tahan, Bu. Dia terlalu jahat, mana ada seorang Ayah yang sejahat itu pada keluarganya sendiri." ucapku dengan airmata yang sudah berjatuhan."Jangan seenaknya anda berbuat sesuka hati pada Ibu, mentang-mentang dia sering diam ketika caci maki terlontar dari mulut anda. Ingat, sudah berapa hati yang anda sakiti." teriakku semakin emosi."Kalian terlalu cengeng, pokoknya saya tidak akan tinggal diam. Kamu harus terima resikonya karena telah membuat anak saya Rinata menderita di sana." dia berlalu pergi meninggalkan aku dan Ibu."Silakan, saja." jawabku sinis."Sudah, Nak. Sabar, ayo masuk." Baru saja aku ingin menutup pintu, tampak dua orang wanita paruh baya berdiri di pinggir jalan yang tidak
"Bu, maafkan aku. Maafkan yang terjadi kemarin, aku terbawa emosi dendam pada mereka yang sudah menghancurkan hatiku berkeping-keping. Hingga ku sebarkan semua berita perselingkuhan mereka di media massa dan televisi hingga berita itu begitu viral. Mohon ampun beribu ampun, Bu, jika Ibu yang akhirnya terkorbankan, aku pikir warga di sini paham akan deritaku ternyata tidak. Bahkan mereka berani menghujat Ibu." aku bersujud di kaki Ibu, ejekan, dan cemoohan warga di kampung pada Ibu lebih menyayat hati dan bathinku ketimbang perpisahan rumah tangga yang telah karam di hantam badai perselingkuhan."Berdiri lah, Nak." aku dituntun bangun untuk duduk di samping Ibu. "Kamu dengar, Nak. Tidak perlu kamu meminta maaf sama ibu. Dan kamu tidak perlu juga larut dalam rasa bersalahmu pada Ibu. Bersabarlah agak sebentar, jangan kamu terpancing diri dari omongan warga. Ibu yakin perlahan seiring waktu, hal negatif itu akan luntur.""Tapi, Bu....." belum selesai aku berbicara Ibu sudah memotongnya.
Aku tetap tidak ingin menoleh pada mereka yang sedari tadi memanggil namaku.Kuusap berulang kali nisan Ibu, perlahan hujan turun membasahi bumi di hari yang sudah beranjak sore tapi aku masih bersimpuh di rumah baru Ibuku."Rin, sudah Nak. Ayo kita pulang. Hujannya sudah semakin deras, Nak. Nanti kamu sakit." ajak Ayah sekali lagi.Aku pikir mereka sudah pergi dan tertawa lepas, ternyata dia masih di belakangku.Lagi dan lagi tak ku hiraukan ajakannya, apa pedulinya terhadapku. Bukankah selama ini dia tidak mengakuiku sebagai anak kandungnya. Persetan dengan ucapannya, aku tidak peduli.Waktu kian berjalan, petang pergi menjemput malam, aku bangun dalam simpuh. Berbalik arah, ternyata dua manusia itu masih berdiri mematung di belakang ku. Ayah dan juga Ibu Ratna, entah apa julukan yang pantas untuk mereka berdua.Ku tatap tajam berganti kedua mata mereka, rasa amarahku memuncak, sekalipun mata Ayah dan Bu Ratna terlihat basah, tapi aku tidak merasa simpati akan hal itu.Mereka pandai
Hari ini tepat setahun kepergian Ibu, hatiku perlahan sudah mulai ikhlas menerima takdir yang diberikan Allah.Hari minggu rutinitas seperti biasanya, aku membereskan rumah, mencuci, hingga menyetrika pakaian yang sudah menggunung.Tengah asyik dengan tugas perumahan, tiba-tiba..."Assalamualaikum" terdengar ucapan salam sembari mengetuk pintu. Aku yang tadinya tanpa menggunakan hijab berlari memasuki kamar untuk mengambilnya dan menutupi mahkota ku."Waalaikumsalam" sahutku ketika semua sudah rapi dan mahkota ku sudah tertutupi hijab.Ketika ku buka pintu ...."Ayaah!" teriakku kaget, aku kaget karena melihat kondisi Ayah yang sudah berbeda tidak seperti setahun yang lalu, sewaktu dia datang ke pemakaman Ibu. Memang itu terakhir kalinya aku bertemu dengan Ayah."Silakan masuk, Yah, Bu" ucapku pada Ayah dan Bu Ratna. Mereka mengangguk lalu duduk di kursi ruang tamu.Ketika aku hendak berjalan menuju dapur bermaksud untuk mengambil minuman, tetapi Ayah melarang."Rin, tidak perlu repot