Dia melangkah tertatih, terjeda beberapa detik saat hendak membuka pintu. Rapuh? Sepertinya iya, tapi bukankah aku yang harusnya lebih rapuh dalam skenario busuknya. Saat dia membalik badan dan berjalan ke arah pintu, ku perhatikan dari ujung kaki sampai ujung kepala tidak ada tempelan perban, memar, atau semacam tanda lainnya yang menandakan dia abis kecelakaan.Apa ada skenario lagi yang sedang dia jalankan? Dahiku mengernyit memikirkannya, tapi entahlah, yang jelas sekarang ada kelegaan yang dirasakan, berhasil menyingkirkan Rinata dari perusahaan ini, tapi menurut ku dipecat seperti ini belum sesakit yang dia goreskan kepadaku, terlebih dia berani menghina ibuku. Mungkin kalau hanya sebatas menyakitiku saja, masih bisa aku tolerir, tetapi setelah mendengar apa yang dikatakannya sungguh membuat darahku naik pitam. Shinta dan Mas Reno akan dapat juga semburan permainan cantik dari ku. Kalian bersiap saja, semoga aku masih diberi kesempatan.Selepas Rinata pergi, aku pun berpamitan.
"Iya, kamu tahu dari mana?""Tadi aku ketemu dia di lift sambil nangis gitu, terus dia bilang dipecat sama Pak Harjoko.""Terus kamu tanya kenapa dia di pecat?" tanyaku balik dengan nada penuh penekanan."Hmm, tanya sih Bu. Ka-kata Rinata tadi di-dia dipecat karena, maaf bu." ucap Rendika dengan terbata-bata."Karena apa?" tanyaku lagi."Katanya karena ibu memfitnah dia." ucapnya sambil menunduk."Rendika, saya sekarang nggak mau jelasin dulu kenapa. Nanti kamu akan tahu juga kebenarannya seperti apa." jawabku, kali intonasi bicaraku merendah."Iya Bu, maaf sebelumnya.""Iya, nggak apa-apa. Saya jalan dulu." pamitku dan Rendika pun mengangguk.Seharusnya, orang-orang kantor tak perlu tahu apa yang tengah terjadi. Tapi mau bagaimana, Rinata yang memulai semua dengan memfitnah ku di depan arjoko. Sekalipun lambat laun nanti mereka akan tahu Rinata berselingkuh dengan mantan suamiku. Mungkin aku lebih malu, masih memperjuangkan lelaki seperti Mas Reno untuk tetap hidup bersama. Dan bahka
POV Reno***Semalam aku bermimpi, berperang dengan seseorang dalam kegelapan, belum usai bagaimana akhirnya aku terjaga dalam mimpi buruk itu. Nafas sesak, tubuhku basah, seakan mimpi itu menjadi nyata. Aku melirik ke arah Rinjani yang tertidur dengan pulasnya. Tidur saja dia sangat cantik. Aku berdosa telah menyia-nyiakan bidadari selembut dia.Esok harinya aku mengajak Rinata bertemu pada malam hari, kami janjian di salah satu kafe yang jelas jauh dari rumah ku dan kantor Rinjani, dengan maksud supaya tidak ada yang memergoki kami sedang berduaan.Ku tatap tajam kedua netra Rinata, bersinar dan hangat, "Ta, sebelumnya aku minta maaf." ucapku lirih sembari mengenggam tangannya."Mas, kamu kenapa? Kenapa menatapku seperti itu?"Hatiku nyeri, tetapi mau tak mau aku harus mengambil sikap atas apa yang telah berjalan selama ini."Aku mau kita berhenti seperti ini.""Berhenti ngumpet-ngumpet gini Mas? Apa kamu mau nikahin aku?" tanyanya penuh harap."Bukan Ta, aku ingin kita berhenti den
Penglihatan ku kelam seketika.Entah berapa lama waktu berjalan setelah kelam menerpa.Bam, sebuah tamparan mendarat di pipiku, sangat keras sehingga membuat ku beranjak beberapa sentimeter dari tempat semula."Mau apa kau sekarang Rinjani? Hah?" erangnya, ku tatap, ternyata Shinta berdiri di depan ku matanya melotot tajam, tangannya menggeram. "Masih kurang sakit tamparan tadi? Itu belum seberapa dengan tamparanmu pada Rinata." cecarnya.Aku masih meringis kesakitan, sangat sulit untukku berbicara, berusaha menelaah, mungkin ini hanya mimpi, tapi tamparan itu terasa begitu sakit, berarti ini nyata."Sini kau" Shinta mengangkat dengan paksa lalu dia mendorong ku dengan keras ke dinding. Braak, tubuh ku terpelanting, persendian tulangku berbunyi seakan memberi pertanda betapa kuat dorongannya. Mengapa tidak, ukuran badan Shinta tiga kali melebihi ukuran tubuhku."Cu-cukup Shin." aku tergagap sembari menahan sakit, "percuma saja kau menaruh dendam padaku." lanjutku, aku berusaha berdiri
"Harusnya saya yang nanya sama ibu, ibu kenapa teriak teriak." tanyanya heran."Kapan saya teriak Pak?" tanyaku balik, aku pun heran dengan pertanyaan Pak Wawan"Saya sedang memeriksa seluruh kondisi ruangan, terus saya melihat ibu tertidur sambil teriak-teriak minta tolong. Ibu sedang bermimpi?""Mimpi, Pak. Astagfirullah saya ketiduran berarti tadi Pak, mungkin iya mimpi tapi saya merasa seperti nyata, ah sudahlah Pak, tak perlu di bahas, sudah pukul berapa sekarang?" tanyaku cepat."Pukul sepuluh malam, Bu.""Ya Allah, saya pulang dulu Pak." aku pamit tak peduli apa yang dipikirkan oleh Pak Wawan.Aku menelusuri parkiran dengan hati-hati jangan sampai Rinata dan Shinta muncul dengan tiba-tiba seperti di mimpi ku tadi. Apalagi Pak Wawan masih ada di dalam entah di lantai berapa aku pun tidak tahu. Suasana kantor sunyi sepi dan sepertinya tinggal aku saja karyawan yang belum pulang.Setelah memasuki mobil, lalu mencap pedal gas dengan kecepatan tinggi. Hati ku masih gulana terbayang
Esok harinya."Permisi, Pak" ucapku sambil mengetuk pintu ruangan kerja Pak Harjoko."Iya, silakan masuk""Oh kamu Rinjani, ada apa?" Pak Bos mengalihkan pandangannya sebentar ke arah ku lalu berkutat lagi di depan layar komputer, terlihat sibuk."Hmm, saya izin telat balik ke kantor abis istirahat boleh yah Pak, soalnya ada urusan penting ke luar sebentar." jelasku tanpa basa basi. Dahinya tampak mengernyit menatap ku pun penuh dengan ketajaman, layaknya pisau yang baru selesai diasah, gelagat tak memberi izin pun agak tercium, tapi aku berharap kali ini Pak Harjoko bisa mengerti dengan kondisiku."Izin terus Rin, kapan kamu fokus kerjanya. Saya nggak mau karena gara-gara masalah pribadi, reputasi perusahaan jadi taruhannya. Lagian baru beberapa hari cuti, sekarang udah izin aja." nah lho kan bener feeling ku, Pak Bos mulai protes."Iya, Pak maaf banget. Tapi ini penting, sangat penting malahan demi kelangsungan hidupku." jawabku dengan muka memelas penuh harap. "Sekali ini aja, Pak.
"Jangan asal nuduh kamu, Mas. Emang punya bukti?"tantangku."Nggak usah ngelak kamu, saya cemburu kan dengan Rinata sampai bikin berita samp*h seperti itu. Aku nggak mau tau, gimana caranya berita itu lenyap dari sosial media."Kumatikan sambungan telepon sepihak, biar saja dia semakin emosi, paling juga gundiknya yang mengadu. Mana mungkin aku menyuruh Dinar untuk menarik kembali berita itu, malahan aku akan menyuruh Dinar membuat lebih banyak. dan memviralkan lagi dengan cepat. ***Pagi ini Jakarta sedikit mendung, hujan menemani dari Subuh tadi, sampai mau berangkat kerja pun belum berhenti. Jantung ku sudah tidak karuan ketika memasuki kantor, otakku masih memikirkan alasan apalagi yang akan aku suguhkan pada Pak Harjoko.Baru saja mehenyakkan pantat di kursi kerja ruangan ku, masih pagi handphone ku sudah berbunyi. Ku ambil dari dalam tas, ternyata panggilan masuk dari Pak Harjoko."Lebay banget, kenapa mesti pagi-pagi gini dia nelfon, apa dia sudah mencium aroma alasanku lagi."
"Hallo Rin. Besok kita ketemunya langsung di lokasi aja ya." ajak Aldy dalam telepon."Iya, Al. Boleh, sekitar jam 09.00 udah sampai di sana ya.""Oke Al." tutup ku sebelum mematikan sambungan telepon.Besok hari yang paling ku tunggu-tunggu sebulan belakang. Lanjutan sidang cerai talak yang diajukan oleh mantan suamiku. Sidang besok akan menjawab semua tuduhan yang diperuntukkan untukku.Perputaran waktu yang ku tunggu dari semalam hingga menjelang pagi terasa begitu lama. Bahkan terasa 2 x 24 jam belum lagi dengan mata ku yang susah untuk terpejam. Bayangan situasi sidang melayang di benakku.Kulihat jam di layar ponselku sudah menunjukkan pukul 02.00 dini hari tetapi tanganku masih mengotak-ngatik gawai pipih. Ku buka galeri, lalu menscroll ke bawah sangat banyak bukti visual bersama lelaki yang pernah ku pilih menjadi imam dalam mengarungi bahtera suci masih ada, belum ada satupun foto itu yang kuhapus. Aku memang membencinya, tetapi entah kenapa masih ada rasa berdebar ketika mel