Ku atur nafas, sembari beristighfar, semoga Allah selalu memberikan kesabaran selama menjalani persidangan ini dikarenakan kuping ku sudah memanas sejak mendengar suara Mas Reno dan Deska berbicara."Baik, Saudara Deska, jika benar anda memiliki hubungan terlarang dengan tergugat sejak kapan hubungan itu terjalin?" tanya ketua hakim dengan lantang."Hubungan kami sudah berlangsung selama dua tahun dan sebenarnya Rinjani ingin mengakui hubungan terlarang ini dan akan menggugat cerai Bapak Reno karena ingin menghalalkan ikatan suci dengan saya tetapi rencana itu tidak terjadi karena sudah keduluan kami kepergok sama Bapak Reno saat berada di sebuah restoran, seperti yang terlihat dalam bukti foto tadi." jelasnya tanpa ada tampang berdosa."Deska, Deska, aku juga tidak abis pikir kau mau saja terlibat dalam bagian sandiwara yang tak berbobot ini. Apa jadinya kalau aku beri tahu ibumu di kampung. Melihat anak kesayangan yang selalu dibanggakan ibunya ke sekiling kampung karena ketampanan
Mereka saling berpandangan, tampak memberi tersirat ada titik terang yang mulai ditemui. Kenapa mengapa jantungku berdebar kencang, karena saat menatap ketua hakim apa mereka akan cukup percaya dengan bukti yang aku berikan."Baiklah, sebelum mendalami bukti yang sudah diberikan oleh saudari Rinjani, saya ingin menanyakan lagi kepada saudara Reno, apakah masih ada bukti yang saudara temui untuk prasangka yang dituduhkan pada saudari Rinjani?" tanya ketua hakim lagi.""Baiklah, selanjutnya saya beralih kepada saudara Reno apakah masih ada bukti yang ingin saudara perlihatkan atas yang disangkakan?" lanjut ketua hakim."Tentu saja ada Bu, karena saya masih tidak percaya atas penjelasan yang dia berikan tadi. Bisa saja semua sudah di rekayasa disusun sedemikian rupa, bahkan bisa jadi orang yang disebut-sebut manager itu malah saksi bayaran saudari Rinjani." ya ampun Mas, bentar lagi udah mau kepergok masih juga kamu ngelas. "Jadi mana saksi dan bukti yang saudara temui selanjutnya." de
"Malam jumat ketika semua kegiatan pekerjaan di Bali sudah rampung semua. Rinata meminta izin kepada saya dikarenakan dia ingin mengunjungi keluarganya yang ada di Bali. Awalnya saya tidak curiga dan tentu saja saya memberi izin. Tetapi, ketika saya perhatikan saat dia sibuk memilih baju di situ muncul kecurigaan saya. Mana ada perempuan yang ribet dalam menentukan pakaian apa yang akan dipakai ketika ingin berkunjung ke rumah sanak saudaranya. Setau saya hal itu biasa dilakukan wanita jika ingin pergi bersama teman laki-laki nya yang tentu saja spesial. Maka dari itu, saya mengikutinya. Ketika sampai di teras lobi hotel, Rinata dijemput oleh seorang laki-laki, memang wajahnya tidak begitu jelas. Lantas saya mengikuti mereka dengan taxi dari belakang. Ketika itu hampir saja saya kehilangan jejak mereka. Tapi alhamdulillah karena Allah memberikan jalan, akhirnya saya menemukan mereka.""Di tangan pengacara saya sudah ada bukti rekaman CCTV mulai dari hotel dan rekaman CCTV restoran." l
Ibu ketua hakim pun melihat rekaman yang aku suguhkan, sembari ketua hakim melihat dengan seksama akupun menjelaskan semua yang terjadi. Salah satu alasan ku menyuguhkan bukti itu, mana tahuan para hakim berpikir aku merekayasa semua rekaman-rekaman sebelumnya."Di situ bisa ibu lihat rekaman CCTV di ruangan pimpinan saya di kantor. Dalam rekaman itu sekretaris saya yang bernama Rinata, memfitnah, hingga memberikan foto-foto rekaan yang sudah direncanakan. Mengapa dalam sidang ini saya menjadi rekaman itu sebagai bukti, karena hampir saja saya kehilangan pekerjaan atas fitnah yang disampaikan Rinata selingkuhannya mantan suami saya." ketua hakim tampak seksama melihat rekaman tersebut."Selanjutnya bisa ibu ketua hakim scroll lagi, di situ ada rekaman CCTV perbincangan karyawan restoran yang di Bali bertemu langsung dengan pimpinan saya untuk menjelaskan kronologi foto tersebut. Pimpinan saya meminta untuk memberikan saksi atas kebenaran yang terjadi karena beliau tidak mau perusahaan
"Ya terserah kamu sajalah, kalau memang tidak percaya tak perlu juga mengikuti ku ke sini." ucapku dengan gaya angkuh dagu naik ke atas."Sudahlah, Mas. Nggak perlu juga bicara sama mantan istrimu ini. Kamu itu pasti menang sayang." ucapnya sambil bergelayut di tangan Reno. Menjijikan."Oh iya, Rinata itu sempurna di mata ku, tidak seperti kau. Title aja yang tinggi tapi mandul. Kasih selamat dong sama kami. Soalnya Rinata sedang mengandung buah hatiku." ucap Reno dengan senyum merekah lalu mengelus-elus perut Rinata."Hei Rinjani, kau nggak akan menang, kita lihat saja nanti. Dasar wanita mandul." tantang Shinta. "Sudahlah Reno, Rinata kita balik aja." ajak Shinta sambil mendengkus.Aku hanya diam menyaksikan tingkah mereka tentu saja dengan tersenyum lebar menatap mereka."Bu, Rinjani. Saya tekan kan sama Ibu ya, bukti tadi itu tidak akan berpengaruh pada kami. Ibu itu licik, makanya ibu bisa jadi seorang manager. Pinter ngejilat apalagi. Dan ibu juga wanita mandul. Lepas cerai deng
Wah, muka badaknya muncul sehingga tak mempedulikan gundiknya yang masih duduk tertunduk di belakangnya, ditambah isak tangis yang masih tersisa."Lepaskan tangan kotor mu itu dari kaki ku, aku tak sudi di sentuh sama lelaki macam kau." hardikku.Reno menarik tangannya yang tadi sempat memegang kaki ku. Aku mundur satu langkah, jijik? Iya, sangat jijik malahan. Selain itu, aku takut tertular penyakit tak bermoral yang ada pada lelaki pengkhianat itu."Oh iya, kamu bilang apa tadi, Mas? Coba ulangi lagi." ejek ku, wajahnya tertunduk bagai pelayan sedang meminta maaf pada majikan. Memalukan."Mas, minta maaf sayang. Mas khilaf telah mengkhianati kamu." suaranya rintih terdengar, aku yakin itu hanya akting saja."Brrraaaaakkk." sebuah tendangan mendarat mengenai tubuhnya, dia terpental ke belakang beberapa langkah dari tempat sujud semula, "Baaammm" mungkin hilang kendali hingga kepalanya mengenai batu sebesar kepala anak usia lima tahun."Aauuuuuu" terdengar pekikannya.Sakit? Ku rasa t
"Wah, akhirnya kau bersuara juga Rinata. Silakan saja, saya terima tantangan mu pela .... Ah sudahlah, monyet pun tau berapa nilai harga dirimu, Ta. Oh iya, bagaimana rasanya di dorong sama kekasihmu? Syahdu bukan? Malang nasib mu, sudah bunting malah dikasari seperti ini. Belum lagi tamparan syahdu dari Shinta. Aku gemesh melihat keakraban kalian berdua." sindirku sembari memberikan senyuman terindah di hadapan mereka bertiga.Untung saja Reno dan Shinta memberikan 'surprise' indah padamu jadi aku tak perlu repot-repot mengotori jari-jemari ku yang suci ini. Semua sudah terwakilkan khusus untuk hari ini. Dan perlakuan buruk yang kalian tanam kemarin, akan kalian tuai mulai hari ini, dan untuk kedepannya."Dan kau Reno, jadi lelaki jangan gampangan, terlalu murah "senjatamu" keluar masuk lubang, yang kau pikir itu surga."Sudahlah, waktu ku terlalu berharga untuk melayani kekocakan kalian seperti tadi.Aku melangkah ke arah mobil dan melaju meninggalkan mereka, dari spion atas tampak
"Kenapa Pak Wawan, kok kayak orang dikejar maling aja." ucapku ketika melihat Pak Wawan dengan berlari dengan nafas tersengah-sengah menghampiri ku.Hari ini aku masuk kerja pasca sidang cerai pembuktian yang dilaksanakan kemarin. "Apa jangan-jangan, Pak Wawan shock kali ya abis dengar berita perceraian ku dengan Reno?" gumamku membathin."I-itu, Bu. A-ada ...""Ada siapa, Pak? Bapak tenang dulu, jangan kayak gini. Saya makin bingung." tuturku.Tadi Rendika yang membuat ku heran sekarang Pak Wawan."Jadi gimana, Pak. Ada siapa yang Bapak?" desakku."Ada, Pak Reno, Bu." ujar Pak Wawan sambil mengatir nafasnya.Lobi yang tadinya ramai, lengang seketika. Rendika yang belum berapa lama aku tinggalkan juga tidak nampak batang hidungnya. Ternyata mereka menumpuk di pintu masuk utama. Bersorak bahkan terdengar juga makian."Hoi, dasar lelaki bodoh.""Huuu, nggak punya urat malu, oi.""Bakar aja dia, bakar, bakar.""Mutilasi saja dia.""Hidup Ibu Rinjani.""Dasar tukang selingkuh.""Ayo, Bu."
Bab 12"Kamu beneran sudah gila ya, Lita! Mama pikir kamu bisa berpikir jernih sedikit, mengalah sedikit, apa kamu beneran nggak takut jadi janda dan hidup melarat?" serang Ririn dengan penuh amarah.Dia memang takut miskin karena mengingat hidupnya yang begitu susah dulunya.Lita mengendikkan bahu dengan angkuhnya."Aku memang sudah gila!""Kan berulang kali aku bilang sama mama, kalau aku nggak peduli. Mau hidup miskin ataupun kaya, terserah kedepannya. Aku capek diatur terus-terusan, aku yang lebih tahu kebahagiaan ku sendiri.""Sebelum Mas Ammar yang ceraikan aku, aku yang lebih dulu ceraikan dia, karena aku akan menikah dengan lelaki pilihanku!" erang Lita hilang kendali."Jangan bertindak bodoh kamu! Pikirkan lagi ucapan kamu itu Lita! Laki-laki itu pasti baru kamu kenal, nggak akan ada laki-laki yang nerima perempuan apalagi janda dengan segampang itu. Kamu nggak mikir efeknya nanti gimana?""Sudahlah, Ma. Aku capek berdebat terus dengan mama. Lagian hutang-hutang mama juga ham
Bab 11[Mas ... dimana? Aku lagi bete nih! Bisa keluar nggak]Lita mengirim pesan pada seseorang beberapa saat setelah menenggak habis minumannya. Tak perlu sepertinya Lita menunggu, selang satu menit, pesannya pun terbalaskan.Seperti tak kenal waktu, padahal sudah menunjukkan pukul satu dini hari.[Kan tadi abis jalan. Kok masih bete sih?] Balas seseorang yang diberi nama Argantara.[Tau gini mending aku nggak pulang tadi.] Balas Lita cepat.[Terus gimana? Mau keluar lagi?][Iya.][Oke. Aku otewe]Sembari menunggu jemputan dari lelaki yang baru dikenalnya selama seminggu ini, Lita menunggu lantai dua untuk mengambil tasnya. Dia berjalan mengendap-endap supaya langkah kakinya tak terdengar oleh Ririn sang mama.Dengan pelan dia menekan handle pintu dan membukanya sedikit saja. Tampak Ririn sudah tidur dengan posisi terlentang. Tak ingin ketahuan, Lita buru-buru menyambar tas yang ada di nakas.[Dimana? Aku udah siapa]Pesan yang dikirim Lita cukup lama dibalas, hingga ... terdengar b
Bab 10"Nggak cuma tanya apa ada yang mau nitip makanan, gue jawab aja langsung enggak.""Ooh ...." Lita sama sekali tak curiga dengan gerak-gerik teman kerjanya itu. Dia kembali berkutat pada ponselnya.[Ta, mama telponin daritadi nggak diangkat-angkat][Mama mau ngasih tau, mertua sama Arumi dan baby sitter kamu keluar dari rumah][Mama sempat nanya, tapi mertua kamu diam aja. Coba deh kamu telpon mertua kamu?]"Mama lebay banget deh ah. Perkara mereka keluar rumah aja pake lapor. Nggak ada apa hal yang lebih penting," ngomel Lita seraya membuka aplikasi lainnya."Masalah lagi?" tanya Dea."Ya biasalah, nyokap gue orang paling lebay. Masa iya, mertua, anak, dan baby sitter keluar rumah pake ngelapor segala ke gue. Kan nggak penting banget ya," jelas Lita dengan suara sedikit tinggi."Yaelah. Gitu aja lu sensi amat. Wajar aja lah emak lu lapor, kan mertua lu bawa anak lu keluar rumah, emangnya lu nggak mikir gimana gitu, khawatir paling tidak," sahut Dea seraya menyunggingkan sedikit
Bab 9"Lita ... Lita ..., bangun kamu! Heh!" Ririn mengguncang tubuh anaknya yang baru saja terlelap."Dasar kebo ya kamu, ditinggal sebentar ke bawah, langsung molor," sengit Ririn."Apa sih, Ma. Orang ngantuk juga." Lita menyentak tubuhnya. Tangan Ririn terlepas."Ammar mau menceraikan kamu!" ucap Ririn tanpa basa-basi."Hah?" Lita terduduk, dengan wajah masih berpoles make up dan rambut acak-acakan. "Jangan bercanda, Ma!" ucapnya tak percaya."Serius, tadi Ammar bilang, kalau kamu tidak berubah, bisa jadi kalian akan bercerai."Seolah seperti orang baru sadar, Lita mengibas angin tepat di depan wajah Ririn."Halah, paling juga ancaman belaka, Ma. Mana mungkin dia akan menceraikan aku. Lagian nih, pasti auto malu lah, dia kan tahu gimana rasanya punya orang tua nggak lengkap. Aku yakin, dia tidak akan melakukan hal itu, kalau dia sayang Arumi, aku yakin dia tidak akan memberikan Arumi orang tua yang tidak lengkap." Begitu percaya dirinya Lita berucap."Jika benar itu terjadi bagaima
Bab 8"Buka mata kamu, Mmar. Apa iya pantas istrimu bicara seperti itu sama bunda?"Viola tak tinggal diam, terasa dipojokkan oleh Lita."Neng Viola harusnya juga buka mata, jangan karena nila setitik rusak susu sebelanga, jangan karena Lita ingin istirahat sebentar, Neng Viola jadikan itu Boomerang," balas Ririn tegas."Kenapa kamu diam, Mmar?""Lihat istrimu Lita, bersimpuh meminta pengertianmu, dia rela meminta maaf atas apa yang sebenarnya tidak dia lakukan secara sengaja. Andai bundamu bisa mengontrol diri, tak akan runyam seperti ini," tambah Ririn.Ammar menundukkan kepalanya, melihat sekejap istrinya yang masih bersimpuh dan tak hentinya menangis. Isakkan tangis Lita pun terdengar semakin keras."Bund, kita turun saja dulu!" ajak Ammar memecahkan keheningan yang tercipta beberapa detik."Yuk, mending kita istirahat," sahut Viola dia menyunggingkan ujung bibirnya pada Ririn."Mas ... Mas ... Please, jangan begitu. Aku sedikitpun tidak ada niat mengutarakan ucapan seperti tadi s
Bab 7"Eh, Bunda. Duduk sini, Bund. Mau ngomong apaan? Serius nih keliatannya," ucap Ammar seraya menurunkan kedua kakinya yang tadinya berada di kursi kosong."Kamu nggak tidur?" tanya Viola memulai pembicaraan, seraya menduduki kursi yang ada di sebelah kanan."Nanti lah, Bund. Bunda kenapa nggak tidur? Udah malam lho, Bund. Apalagi tadi sibuk ngurusin acara Arumi.""Iyaa, bentar lagi bunda tidurnya." Viola menyisir pandangannya, termasuk ke pintu utama yang terbuka dengan lebar."Bunda lagi liatin apa? Katanya tadi mau bicara, bicara apa, Bund?" tanya Ammar mulai penasaran apalagi melihat gelagat bahasa tubuh ibunya yang agak lain."Tadi bunda liat Lita naik ke lantai dua bawa beberapa baju. Emangnya dia mau tidur di atas lagi, Mmar?""Oh itu, iya, Bund. Malam ini dia mau istirahat di kamar lantai atas.""Istirahat gimana? Kalian kan punya kamar? Kenapa pisah kamar lagi kayak kemarin?""Hmm ... cuma malam ini aja kok, Bund. Lita kecapekan kalau tidur di kamar aku, bakalan keganggu
Bab 6Malam ini, untuk pertama kali mereka tidur bertiga. Ammar sangat senang, hal kecil yang diimpikannya terwujud, satu kamar dengan istri dan anak."Mas, makasih ya. Atas sikapku kemarin." Lita kembali mengulangi permintaan maafnya pada Ammar saat mereka sama-sama tengah berbaring di atas ranjang sembari memainkan jambang Ammar yang tampak mulai lebat."Tidak apa, Sayang. Mas paham. Tapi, jangan lagi berkata seperti itu. Kasian Arumi," balas Ammar lembut dan mendaratkan sebuah kecupan di kening Lita."Mas, juga minta maaf sama kamu. Mas yang salah atas semuanya yang terjadi," tambah Ammar kemudian.Cahaya remang, dinginnya suhu AC, dan lelapnya Arumi di ranjangnya sendiri, serta tak bisa dibendung rasa rindu Ammar pada istrinya. Tangan Ammar mulai nakal menjamahi tubuh Lita."Mas, kita tidur yuk! Aku capek," bisik Lita seraya menggeser tangan suaminya dari bagian tubuh yang tersentuh."Yaudah, yuk!"Posisi tidur langsung berubah, Lita membelakangi suaminya. Namun, Ammar sepertinya
Bab 5Ammar seketika berdiri, telinganya terasa semakin panas oleh ucapan Lita yang sama sekali tidak ada rasa peduli padanya."Kamu bisa ngertiin posisi aku nggak?""Kamu juga nggak ngertiin aku, Mas. Kamu nggak ngerti gimana perasaan aku!" Lita tak mau kalah, mau adu nasib dengan suaminya yang siang malam berkejar-kejaran dengan waktu. "Aku kurang ngertiin apalagi coba? Aku akan tetap test DNA, tapi sabar dulu.""Terserah lah, Mas. Kamu egois!" Lita meninggalkan Ammar tanpa belas kasihan sedikitpun, seolah cinta dan kasih sayang yang dia berikan dari awal pernikahan sirna begitu saja."Lita ... Lita ... kamu nggak capek apa kita begini terus!" seru Ammar. Namun, Lita sama sekali tidak memperdulikan ucapan suaminya. Dia terus saja menaiki anak tangga Hari-hari yang dijalani Ammar sekarang selalu banyak masalah. Rumah terasa panas, dia pun sulit berkonsentrasi. Bahkan kerjaan yang sedang dia selesaikan sekarang itu, karena klien protes, dan itu karena Ammar tidak fokus.Viola yang m
Bab 4"Masa Neng Viola tidak tahu alasan saya berkata demikian? Bukannya Neng Viola sudah melihat bayi yang ada di kamar Ammar dan Lita.""Ya, saya sudah melihatnya. Lantas apa hubungannya dengan ucapan Neng Ririn tadi. Itu kan bayi mereka.""Saya tidak yakin, pasti Ammar sudah menjebak Lita. Bisa jadi itu anak orang lain. Saya rasa ad maksud lain dibalik hadirnya bayi itu.""Astaghfirullah, Neng. Jauh sekali pikiranmu. Sampai menuduh Ammar seperti itu. Saya tahu Ammar seperti apa, dia tidak akan berbuat sekonyol itu.""Udahlah, Neng Viola. Nanti saja kita buktikan. Saya akan tinggal di sini, biar tidak terjadi hal-hal buruk.""Sama lah kalau begitu, saya juga tinggal di sini. Kita buktikan saja siapa yang memfitnah."Lita tersentak, dia menatap ibunya, seolah mengode sesuatu."Lho, nggak bisa gitu dong, Neng. Anakmu laki-laki tidak perlu ditemani, beda dengan anakku, perlu penjagaan ketat.""Dia tidak terancam kok di sini, Neng Ririn. Malah, Lita bisa me time sepanjang waktu. Kan yan