"Kenapa Pak Wawan, kok kayak orang dikejar maling aja." ucapku ketika melihat Pak Wawan dengan berlari dengan nafas tersengah-sengah menghampiri ku.Hari ini aku masuk kerja pasca sidang cerai pembuktian yang dilaksanakan kemarin. "Apa jangan-jangan, Pak Wawan shock kali ya abis dengar berita perceraian ku dengan Reno?" gumamku membathin."I-itu, Bu. A-ada ...""Ada siapa, Pak? Bapak tenang dulu, jangan kayak gini. Saya makin bingung." tuturku.Tadi Rendika yang membuat ku heran sekarang Pak Wawan."Jadi gimana, Pak. Ada siapa yang Bapak?" desakku."Ada, Pak Reno, Bu." ujar Pak Wawan sambil mengatir nafasnya.Lobi yang tadinya ramai, lengang seketika. Rendika yang belum berapa lama aku tinggalkan juga tidak nampak batang hidungnya. Ternyata mereka menumpuk di pintu masuk utama. Bersorak bahkan terdengar juga makian."Hoi, dasar lelaki bodoh.""Huuu, nggak punya urat malu, oi.""Bakar aja dia, bakar, bakar.""Mutilasi saja dia.""Hidup Ibu Rinjani.""Dasar tukang selingkuh.""Ayo, Bu."
"Bapak tidak usah takut, kali ini perintah bukan waktunya negosiasi. Bapak seret, lalu lempar dia ke jalanan. Kapan perlu ketika ada mobil lewat lempari.""Pak Wawan ini tongkatnya, kalau dia melawan pukul saja dengan tongkat andalan bapak itu." aku menghasut jangan sampai Pak Wawan kenapa-kenapa karena dia tengah menghadapi orang gila seperti Reno."Maaf Pak Reno saya hanya menjalankan perintah.""Tak perlu minta maaf pada laki-laki tak bermoral seperti dia Pak, ayo seret Pak." cecarku dengan suara lantang."Jangan, Pak. Lepasin saya. Pak, lepasin. Rinjani, tolong Mas" dia berteriak seperti orang tidak waras.Reno berusaha melepaskan diri dari seretan Pak Wawan, tapi tidak berhasil. Dan benar saja, sesampainya di gerbang. Pak Wawan mendorong keras Reno dia tersungkur hampir ke tengah jalan raya."Paling itu hanya ngilu-ngilu sedikit saja." gumamku."Pak Wawan, sini sebentar." ucapku sembari melambaikan tangan ke satpam favorit sekantor."Iya, Bu. Ada yang bisa saya bantu lagi." sahut
"Angkat nggak angkat nggak, Ya Allah." perasaan ku kacau seketika, berjalan ke arah pintu lalu balik lagi ke arah meja, udah kayak setrikaan yang mondar mandir.Tak lama kemudian panggilan tadi terputus."Hhuuuuffftttt, alhamdulillah panggilannya mati." gumamku. Semoga saja tidak di telfon lagi. Oh Tuhan, beri petunjuk.Baru mati beberapa detik, ponselku berbunyi lagi. Yaa Allah, ujian ujian. Ku tarik nafas dalam lalu menghembuskan dengan pelan."Bismillahirrahmanirrahim""Assalamu'alaikum. Ha-hallo, Bu." tergagap ketika mengangkat telfon dari wanita yang telah melahirkan ku. Wajar kan kalau aku seperti ini, rasanya belum siap memberikan kabar duka ada ibu."Waalaikumsalam. Hallo, Nak. Rinjani, Hallo Nak.""Eh iya, Bu. Ibu apa kabar?" "Alhamdulillah ibu sehat, kamu apa kabar juga?""Aku sehat Bu, kok tumben ibu telfon aku?""Iya, Nak. Ibu rindu sama kamu, apalagi kamu udah lama nggak pulang kampung." mataku mulai berair mendengarkan ucapan ibu. Memang aku sudah hampir setahun tidak
"Ibu ke sini saja biar bisa lihat langsung."Di cerna dari nada bicara Pak Wawan mengisyaratkan ada sesuatu yang terjadi di kantor. Apa mungkin ada klien yang marah-marah di kantor? Atau mungkin ..."Rinjani, kamu kenapa? Kok ibu lihat kamu bingung begitu?" ternyata sedari tadi ibu memperhatikan gerak-gerik ku."Bu, aku mau balik ke kantor. Ibu nggak apa-apa kan kalau aku tinggal sendirian di sini? In syaa Allah di sini aman, jika ada yang ngetik pintu jangan dibuka yah, Bu. Aku pamit dulu." sambil mencium punggung tangannya dengan takzim."Iya, Nak. Kamu hati-hati di jalan."Di jalan pulang menuju hotel aku sudah membeli beberapa makanan siap saji. Untung juga tadi sempat mampir ke toko buku. Soalnya ibu ku hobby banget membaca yang berbau islami. Tujuan ku beliin ibu buku, biar ibu nggak bosan di sini sembari aku kerja.***"Hallo Pak Wawan?" "Ibu dimana?" desaknya, dari suaranya feeling ku mengatakan Pak Wawan sedang cemas. Tapi cemas soal apa."Saya masih terjebak macet Pak, kena
Aku yang sempat berjalan mundur tak mampu melarikan diri lebih cepat, akhirnya terjongkok dengan kepala menunduk serta melindungi kepala dengan tangan kedua tanganku. Tapi herannya aku tidak merasakan sakit sama sekali ketika mendengar bunyi pukulan tersebut. Apakah ini hanya mimpi, seperti waktu itu."Aaaaaaauuuuuuuuuuuuuuuu...." suara pekik perempuan menjulang mengudara. Lalu "Baaaaaaaammmmm." bunyi sesuatu yang jatuh.Sontak ku angkat kepala ke arah sumber suara, "Astagfirullah, Rinata." aku melihatnya sudah tertelungkup.Kulihat sekitar tidak ada satupun selain aku dan Rinata. Lantas, siapa yang memukul gundik mantan suamiku ini."Toloooooong..... Tolooooong...." aku berteriak minta tolong, tetapi tidak ada satupun yang datang.Rintik hujan gerimis mulai membasahi bumi, sedangkan Rinata masih tertelungkup, "Rinata, Ta bangun. Rinata bangun." aku mengguncang tubuhnya, tapi tidak ada reaksi apapun. Mana mampu aku mengangkat badannya.Bukankah tadi Pak Wawan menelfon ku, tapi kenapa
"Iya, akibat dia jatuh dalam posisi tertelungkup itu menjadi salah satu faktornya. Saya sarankan, pasien untuk di rontgen dulu guna mengetahui secara jelas. Apalagi bagian punggungnya hanya kelihatan memar, saya takutnya ada luka bagian dalam ataupun patah tulang.""Kalau boleh tahu, Ibu siapa nya pasien?" "Saya orang yang dilukainya Dok." inginku menjawab seperti itu."Saya rekan kerjanya Dok.""Iya, Bu. Untuk sementara pasien di rawat dulu di sini sampai keadaannya membaik."Aku pun permisi dan kembali ke ruangan IGD ingin mengecek kondisi Rinata. Ternyata setelah ku lihat dia belum sadarkan diri, dan kini baju Rinata pun sudah diganti dengan baju untuk pasien yang sudah disediakan oleh pihak rumah sakit. Aku pun memutuskan untuk balik ke kantor. Dan meninggalkan pesan pada perawat jaga.Sesampainya di kantor, aku langsung menuju ruangan. Mau mencari data beberapa tahun lalu, karena ada sesuatu yang penting. Ketika ku cari di lemari ternyata tidak ada. Lanjut aku mencarinya di bran
Kuselesaikan beberapa kerjaan yang cito untuk minggu depan supaya nanti ketika Pak Harjoko masuk beberapa berkas sudah fix diserahkan ke dia. Selang tiga jam kemudian aku memutuskan untuk pulang, belum langsung balik ke hotel tentunya.Sebelum meninggalkan kantor aku berhenti dulu di depan posko satpam memastikan apa Pak Wawan masih ada atau sudah berganti shift dengan satpam yang lain."Pak, pak." teriakku dari dalam mobil. Namun yang keluar adalah Pak Amri, "Iya, Bu. Ada yang bisa saya bantu?" tanyanya."Pak Wawan mana Pak?" ucapku balik bertanya."Pak Wawan udah balik, Bu." pungkasnya."Emang sudah ganti shift, Pak?"Belum sih, Bu, harusnya nanti lepas abis Magrib ganti shiftnya. Tapi Pak Wawan nyuruh saya lebih cepat datangnya, katanya dia tidak enak badan."Ooh gitu ya, Pak. Makasih infonya, saya pulang duluan." ucapku berpamitan dengan Pak Amri.Di atas mobil aku bergumam sendiri keterlaluan juga Rinata sampai menyekap Pak Wawan seperti itu, tapi kenapa bisa, Pak Wawan juga suda
"Ba-baik lah. Ku lanjutkan. Komunikasi ku semakin dengan Rinata sejak kejadian itu. Aku mulai menaruh hati dengannya, hingga akhirnya kami berpacaran. Aku sering berkeluh kesah dengan Rinata tentang kondisi ibu dan juga keadaan ekonomi ku. Aku sudah terasa nyaman dengannya hingga aku berani untuk menceritakan masalah yang telah terjadi pada keluargaku. Sekalian aku juga mau menguji Rinata, apakah dia bisa menerima keadaanku sebagai pendampingnya nanti."Di luar dugaan, di saat aku terpuruk dalam masalah keuangan apalagi uang tabunganku abis membiayai pengobatan ibu. Rinata selalu menolongku, suatu ketika dia curhat pada ku. Soal ibumu yang membuat orang tua kakak sepupunya berpisah. Dia merencanakan supaya kamu berpisah dengan Reno. Sama hal yang terjadi pada tante dan pamannya. Awalnya aku tidak setuju, tetapi Shinta juga memohon pada ku, supaya mau membantunya. Itupun setelah mereka tahu kalau aku satu sekolah dengan sewaktu SMA.""Aku yang merasa terhutang budi oleh kebaikan Rinata
Bab 12"Kamu beneran sudah gila ya, Lita! Mama pikir kamu bisa berpikir jernih sedikit, mengalah sedikit, apa kamu beneran nggak takut jadi janda dan hidup melarat?" serang Ririn dengan penuh amarah.Dia memang takut miskin karena mengingat hidupnya yang begitu susah dulunya.Lita mengendikkan bahu dengan angkuhnya."Aku memang sudah gila!""Kan berulang kali aku bilang sama mama, kalau aku nggak peduli. Mau hidup miskin ataupun kaya, terserah kedepannya. Aku capek diatur terus-terusan, aku yang lebih tahu kebahagiaan ku sendiri.""Sebelum Mas Ammar yang ceraikan aku, aku yang lebih dulu ceraikan dia, karena aku akan menikah dengan lelaki pilihanku!" erang Lita hilang kendali."Jangan bertindak bodoh kamu! Pikirkan lagi ucapan kamu itu Lita! Laki-laki itu pasti baru kamu kenal, nggak akan ada laki-laki yang nerima perempuan apalagi janda dengan segampang itu. Kamu nggak mikir efeknya nanti gimana?""Sudahlah, Ma. Aku capek berdebat terus dengan mama. Lagian hutang-hutang mama juga ham
Bab 11[Mas ... dimana? Aku lagi bete nih! Bisa keluar nggak]Lita mengirim pesan pada seseorang beberapa saat setelah menenggak habis minumannya. Tak perlu sepertinya Lita menunggu, selang satu menit, pesannya pun terbalaskan.Seperti tak kenal waktu, padahal sudah menunjukkan pukul satu dini hari.[Kan tadi abis jalan. Kok masih bete sih?] Balas seseorang yang diberi nama Argantara.[Tau gini mending aku nggak pulang tadi.] Balas Lita cepat.[Terus gimana? Mau keluar lagi?][Iya.][Oke. Aku otewe]Sembari menunggu jemputan dari lelaki yang baru dikenalnya selama seminggu ini, Lita menunggu lantai dua untuk mengambil tasnya. Dia berjalan mengendap-endap supaya langkah kakinya tak terdengar oleh Ririn sang mama.Dengan pelan dia menekan handle pintu dan membukanya sedikit saja. Tampak Ririn sudah tidur dengan posisi terlentang. Tak ingin ketahuan, Lita buru-buru menyambar tas yang ada di nakas.[Dimana? Aku udah siapa]Pesan yang dikirim Lita cukup lama dibalas, hingga ... terdengar b
Bab 10"Nggak cuma tanya apa ada yang mau nitip makanan, gue jawab aja langsung enggak.""Ooh ...." Lita sama sekali tak curiga dengan gerak-gerik teman kerjanya itu. Dia kembali berkutat pada ponselnya.[Ta, mama telponin daritadi nggak diangkat-angkat][Mama mau ngasih tau, mertua sama Arumi dan baby sitter kamu keluar dari rumah][Mama sempat nanya, tapi mertua kamu diam aja. Coba deh kamu telpon mertua kamu?]"Mama lebay banget deh ah. Perkara mereka keluar rumah aja pake lapor. Nggak ada apa hal yang lebih penting," ngomel Lita seraya membuka aplikasi lainnya."Masalah lagi?" tanya Dea."Ya biasalah, nyokap gue orang paling lebay. Masa iya, mertua, anak, dan baby sitter keluar rumah pake ngelapor segala ke gue. Kan nggak penting banget ya," jelas Lita dengan suara sedikit tinggi."Yaelah. Gitu aja lu sensi amat. Wajar aja lah emak lu lapor, kan mertua lu bawa anak lu keluar rumah, emangnya lu nggak mikir gimana gitu, khawatir paling tidak," sahut Dea seraya menyunggingkan sedikit
Bab 9"Lita ... Lita ..., bangun kamu! Heh!" Ririn mengguncang tubuh anaknya yang baru saja terlelap."Dasar kebo ya kamu, ditinggal sebentar ke bawah, langsung molor," sengit Ririn."Apa sih, Ma. Orang ngantuk juga." Lita menyentak tubuhnya. Tangan Ririn terlepas."Ammar mau menceraikan kamu!" ucap Ririn tanpa basa-basi."Hah?" Lita terduduk, dengan wajah masih berpoles make up dan rambut acak-acakan. "Jangan bercanda, Ma!" ucapnya tak percaya."Serius, tadi Ammar bilang, kalau kamu tidak berubah, bisa jadi kalian akan bercerai."Seolah seperti orang baru sadar, Lita mengibas angin tepat di depan wajah Ririn."Halah, paling juga ancaman belaka, Ma. Mana mungkin dia akan menceraikan aku. Lagian nih, pasti auto malu lah, dia kan tahu gimana rasanya punya orang tua nggak lengkap. Aku yakin, dia tidak akan melakukan hal itu, kalau dia sayang Arumi, aku yakin dia tidak akan memberikan Arumi orang tua yang tidak lengkap." Begitu percaya dirinya Lita berucap."Jika benar itu terjadi bagaima
Bab 8"Buka mata kamu, Mmar. Apa iya pantas istrimu bicara seperti itu sama bunda?"Viola tak tinggal diam, terasa dipojokkan oleh Lita."Neng Viola harusnya juga buka mata, jangan karena nila setitik rusak susu sebelanga, jangan karena Lita ingin istirahat sebentar, Neng Viola jadikan itu Boomerang," balas Ririn tegas."Kenapa kamu diam, Mmar?""Lihat istrimu Lita, bersimpuh meminta pengertianmu, dia rela meminta maaf atas apa yang sebenarnya tidak dia lakukan secara sengaja. Andai bundamu bisa mengontrol diri, tak akan runyam seperti ini," tambah Ririn.Ammar menundukkan kepalanya, melihat sekejap istrinya yang masih bersimpuh dan tak hentinya menangis. Isakkan tangis Lita pun terdengar semakin keras."Bund, kita turun saja dulu!" ajak Ammar memecahkan keheningan yang tercipta beberapa detik."Yuk, mending kita istirahat," sahut Viola dia menyunggingkan ujung bibirnya pada Ririn."Mas ... Mas ... Please, jangan begitu. Aku sedikitpun tidak ada niat mengutarakan ucapan seperti tadi s
Bab 7"Eh, Bunda. Duduk sini, Bund. Mau ngomong apaan? Serius nih keliatannya," ucap Ammar seraya menurunkan kedua kakinya yang tadinya berada di kursi kosong."Kamu nggak tidur?" tanya Viola memulai pembicaraan, seraya menduduki kursi yang ada di sebelah kanan."Nanti lah, Bund. Bunda kenapa nggak tidur? Udah malam lho, Bund. Apalagi tadi sibuk ngurusin acara Arumi.""Iyaa, bentar lagi bunda tidurnya." Viola menyisir pandangannya, termasuk ke pintu utama yang terbuka dengan lebar."Bunda lagi liatin apa? Katanya tadi mau bicara, bicara apa, Bund?" tanya Ammar mulai penasaran apalagi melihat gelagat bahasa tubuh ibunya yang agak lain."Tadi bunda liat Lita naik ke lantai dua bawa beberapa baju. Emangnya dia mau tidur di atas lagi, Mmar?""Oh itu, iya, Bund. Malam ini dia mau istirahat di kamar lantai atas.""Istirahat gimana? Kalian kan punya kamar? Kenapa pisah kamar lagi kayak kemarin?""Hmm ... cuma malam ini aja kok, Bund. Lita kecapekan kalau tidur di kamar aku, bakalan keganggu
Bab 6Malam ini, untuk pertama kali mereka tidur bertiga. Ammar sangat senang, hal kecil yang diimpikannya terwujud, satu kamar dengan istri dan anak."Mas, makasih ya. Atas sikapku kemarin." Lita kembali mengulangi permintaan maafnya pada Ammar saat mereka sama-sama tengah berbaring di atas ranjang sembari memainkan jambang Ammar yang tampak mulai lebat."Tidak apa, Sayang. Mas paham. Tapi, jangan lagi berkata seperti itu. Kasian Arumi," balas Ammar lembut dan mendaratkan sebuah kecupan di kening Lita."Mas, juga minta maaf sama kamu. Mas yang salah atas semuanya yang terjadi," tambah Ammar kemudian.Cahaya remang, dinginnya suhu AC, dan lelapnya Arumi di ranjangnya sendiri, serta tak bisa dibendung rasa rindu Ammar pada istrinya. Tangan Ammar mulai nakal menjamahi tubuh Lita."Mas, kita tidur yuk! Aku capek," bisik Lita seraya menggeser tangan suaminya dari bagian tubuh yang tersentuh."Yaudah, yuk!"Posisi tidur langsung berubah, Lita membelakangi suaminya. Namun, Ammar sepertinya
Bab 5Ammar seketika berdiri, telinganya terasa semakin panas oleh ucapan Lita yang sama sekali tidak ada rasa peduli padanya."Kamu bisa ngertiin posisi aku nggak?""Kamu juga nggak ngertiin aku, Mas. Kamu nggak ngerti gimana perasaan aku!" Lita tak mau kalah, mau adu nasib dengan suaminya yang siang malam berkejar-kejaran dengan waktu. "Aku kurang ngertiin apalagi coba? Aku akan tetap test DNA, tapi sabar dulu.""Terserah lah, Mas. Kamu egois!" Lita meninggalkan Ammar tanpa belas kasihan sedikitpun, seolah cinta dan kasih sayang yang dia berikan dari awal pernikahan sirna begitu saja."Lita ... Lita ... kamu nggak capek apa kita begini terus!" seru Ammar. Namun, Lita sama sekali tidak memperdulikan ucapan suaminya. Dia terus saja menaiki anak tangga Hari-hari yang dijalani Ammar sekarang selalu banyak masalah. Rumah terasa panas, dia pun sulit berkonsentrasi. Bahkan kerjaan yang sedang dia selesaikan sekarang itu, karena klien protes, dan itu karena Ammar tidak fokus.Viola yang m
Bab 4"Masa Neng Viola tidak tahu alasan saya berkata demikian? Bukannya Neng Viola sudah melihat bayi yang ada di kamar Ammar dan Lita.""Ya, saya sudah melihatnya. Lantas apa hubungannya dengan ucapan Neng Ririn tadi. Itu kan bayi mereka.""Saya tidak yakin, pasti Ammar sudah menjebak Lita. Bisa jadi itu anak orang lain. Saya rasa ad maksud lain dibalik hadirnya bayi itu.""Astaghfirullah, Neng. Jauh sekali pikiranmu. Sampai menuduh Ammar seperti itu. Saya tahu Ammar seperti apa, dia tidak akan berbuat sekonyol itu.""Udahlah, Neng Viola. Nanti saja kita buktikan. Saya akan tinggal di sini, biar tidak terjadi hal-hal buruk.""Sama lah kalau begitu, saya juga tinggal di sini. Kita buktikan saja siapa yang memfitnah."Lita tersentak, dia menatap ibunya, seolah mengode sesuatu."Lho, nggak bisa gitu dong, Neng. Anakmu laki-laki tidak perlu ditemani, beda dengan anakku, perlu penjagaan ketat.""Dia tidak terancam kok di sini, Neng Ririn. Malah, Lita bisa me time sepanjang waktu. Kan yan