Ibu ketua hakim pun melihat rekaman yang aku suguhkan, sembari ketua hakim melihat dengan seksama akupun menjelaskan semua yang terjadi. Salah satu alasan ku menyuguhkan bukti itu, mana tahuan para hakim berpikir aku merekayasa semua rekaman-rekaman sebelumnya."Di situ bisa ibu lihat rekaman CCTV di ruangan pimpinan saya di kantor. Dalam rekaman itu sekretaris saya yang bernama Rinata, memfitnah, hingga memberikan foto-foto rekaan yang sudah direncanakan. Mengapa dalam sidang ini saya menjadi rekaman itu sebagai bukti, karena hampir saja saya kehilangan pekerjaan atas fitnah yang disampaikan Rinata selingkuhannya mantan suami saya." ketua hakim tampak seksama melihat rekaman tersebut."Selanjutnya bisa ibu ketua hakim scroll lagi, di situ ada rekaman CCTV perbincangan karyawan restoran yang di Bali bertemu langsung dengan pimpinan saya untuk menjelaskan kronologi foto tersebut. Pimpinan saya meminta untuk memberikan saksi atas kebenaran yang terjadi karena beliau tidak mau perusahaan
"Ya terserah kamu sajalah, kalau memang tidak percaya tak perlu juga mengikuti ku ke sini." ucapku dengan gaya angkuh dagu naik ke atas."Sudahlah, Mas. Nggak perlu juga bicara sama mantan istrimu ini. Kamu itu pasti menang sayang." ucapnya sambil bergelayut di tangan Reno. Menjijikan."Oh iya, Rinata itu sempurna di mata ku, tidak seperti kau. Title aja yang tinggi tapi mandul. Kasih selamat dong sama kami. Soalnya Rinata sedang mengandung buah hatiku." ucap Reno dengan senyum merekah lalu mengelus-elus perut Rinata."Hei Rinjani, kau nggak akan menang, kita lihat saja nanti. Dasar wanita mandul." tantang Shinta. "Sudahlah Reno, Rinata kita balik aja." ajak Shinta sambil mendengkus.Aku hanya diam menyaksikan tingkah mereka tentu saja dengan tersenyum lebar menatap mereka."Bu, Rinjani. Saya tekan kan sama Ibu ya, bukti tadi itu tidak akan berpengaruh pada kami. Ibu itu licik, makanya ibu bisa jadi seorang manager. Pinter ngejilat apalagi. Dan ibu juga wanita mandul. Lepas cerai deng
Wah, muka badaknya muncul sehingga tak mempedulikan gundiknya yang masih duduk tertunduk di belakangnya, ditambah isak tangis yang masih tersisa."Lepaskan tangan kotor mu itu dari kaki ku, aku tak sudi di sentuh sama lelaki macam kau." hardikku.Reno menarik tangannya yang tadi sempat memegang kaki ku. Aku mundur satu langkah, jijik? Iya, sangat jijik malahan. Selain itu, aku takut tertular penyakit tak bermoral yang ada pada lelaki pengkhianat itu."Oh iya, kamu bilang apa tadi, Mas? Coba ulangi lagi." ejek ku, wajahnya tertunduk bagai pelayan sedang meminta maaf pada majikan. Memalukan."Mas, minta maaf sayang. Mas khilaf telah mengkhianati kamu." suaranya rintih terdengar, aku yakin itu hanya akting saja."Brrraaaaakkk." sebuah tendangan mendarat mengenai tubuhnya, dia terpental ke belakang beberapa langkah dari tempat sujud semula, "Baaammm" mungkin hilang kendali hingga kepalanya mengenai batu sebesar kepala anak usia lima tahun."Aauuuuuu" terdengar pekikannya.Sakit? Ku rasa t
"Wah, akhirnya kau bersuara juga Rinata. Silakan saja, saya terima tantangan mu pela .... Ah sudahlah, monyet pun tau berapa nilai harga dirimu, Ta. Oh iya, bagaimana rasanya di dorong sama kekasihmu? Syahdu bukan? Malang nasib mu, sudah bunting malah dikasari seperti ini. Belum lagi tamparan syahdu dari Shinta. Aku gemesh melihat keakraban kalian berdua." sindirku sembari memberikan senyuman terindah di hadapan mereka bertiga.Untung saja Reno dan Shinta memberikan 'surprise' indah padamu jadi aku tak perlu repot-repot mengotori jari-jemari ku yang suci ini. Semua sudah terwakilkan khusus untuk hari ini. Dan perlakuan buruk yang kalian tanam kemarin, akan kalian tuai mulai hari ini, dan untuk kedepannya."Dan kau Reno, jadi lelaki jangan gampangan, terlalu murah "senjatamu" keluar masuk lubang, yang kau pikir itu surga."Sudahlah, waktu ku terlalu berharga untuk melayani kekocakan kalian seperti tadi.Aku melangkah ke arah mobil dan melaju meninggalkan mereka, dari spion atas tampak
"Kenapa Pak Wawan, kok kayak orang dikejar maling aja." ucapku ketika melihat Pak Wawan dengan berlari dengan nafas tersengah-sengah menghampiri ku.Hari ini aku masuk kerja pasca sidang cerai pembuktian yang dilaksanakan kemarin. "Apa jangan-jangan, Pak Wawan shock kali ya abis dengar berita perceraian ku dengan Reno?" gumamku membathin."I-itu, Bu. A-ada ...""Ada siapa, Pak? Bapak tenang dulu, jangan kayak gini. Saya makin bingung." tuturku.Tadi Rendika yang membuat ku heran sekarang Pak Wawan."Jadi gimana, Pak. Ada siapa yang Bapak?" desakku."Ada, Pak Reno, Bu." ujar Pak Wawan sambil mengatir nafasnya.Lobi yang tadinya ramai, lengang seketika. Rendika yang belum berapa lama aku tinggalkan juga tidak nampak batang hidungnya. Ternyata mereka menumpuk di pintu masuk utama. Bersorak bahkan terdengar juga makian."Hoi, dasar lelaki bodoh.""Huuu, nggak punya urat malu, oi.""Bakar aja dia, bakar, bakar.""Mutilasi saja dia.""Hidup Ibu Rinjani.""Dasar tukang selingkuh.""Ayo, Bu."
"Bapak tidak usah takut, kali ini perintah bukan waktunya negosiasi. Bapak seret, lalu lempar dia ke jalanan. Kapan perlu ketika ada mobil lewat lempari.""Pak Wawan ini tongkatnya, kalau dia melawan pukul saja dengan tongkat andalan bapak itu." aku menghasut jangan sampai Pak Wawan kenapa-kenapa karena dia tengah menghadapi orang gila seperti Reno."Maaf Pak Reno saya hanya menjalankan perintah.""Tak perlu minta maaf pada laki-laki tak bermoral seperti dia Pak, ayo seret Pak." cecarku dengan suara lantang."Jangan, Pak. Lepasin saya. Pak, lepasin. Rinjani, tolong Mas" dia berteriak seperti orang tidak waras.Reno berusaha melepaskan diri dari seretan Pak Wawan, tapi tidak berhasil. Dan benar saja, sesampainya di gerbang. Pak Wawan mendorong keras Reno dia tersungkur hampir ke tengah jalan raya."Paling itu hanya ngilu-ngilu sedikit saja." gumamku."Pak Wawan, sini sebentar." ucapku sembari melambaikan tangan ke satpam favorit sekantor."Iya, Bu. Ada yang bisa saya bantu lagi." sahut
"Angkat nggak angkat nggak, Ya Allah." perasaan ku kacau seketika, berjalan ke arah pintu lalu balik lagi ke arah meja, udah kayak setrikaan yang mondar mandir.Tak lama kemudian panggilan tadi terputus."Hhuuuuffftttt, alhamdulillah panggilannya mati." gumamku. Semoga saja tidak di telfon lagi. Oh Tuhan, beri petunjuk.Baru mati beberapa detik, ponselku berbunyi lagi. Yaa Allah, ujian ujian. Ku tarik nafas dalam lalu menghembuskan dengan pelan."Bismillahirrahmanirrahim""Assalamu'alaikum. Ha-hallo, Bu." tergagap ketika mengangkat telfon dari wanita yang telah melahirkan ku. Wajar kan kalau aku seperti ini, rasanya belum siap memberikan kabar duka ada ibu."Waalaikumsalam. Hallo, Nak. Rinjani, Hallo Nak.""Eh iya, Bu. Ibu apa kabar?" "Alhamdulillah ibu sehat, kamu apa kabar juga?""Aku sehat Bu, kok tumben ibu telfon aku?""Iya, Nak. Ibu rindu sama kamu, apalagi kamu udah lama nggak pulang kampung." mataku mulai berair mendengarkan ucapan ibu. Memang aku sudah hampir setahun tidak
"Ibu ke sini saja biar bisa lihat langsung."Di cerna dari nada bicara Pak Wawan mengisyaratkan ada sesuatu yang terjadi di kantor. Apa mungkin ada klien yang marah-marah di kantor? Atau mungkin ..."Rinjani, kamu kenapa? Kok ibu lihat kamu bingung begitu?" ternyata sedari tadi ibu memperhatikan gerak-gerik ku."Bu, aku mau balik ke kantor. Ibu nggak apa-apa kan kalau aku tinggal sendirian di sini? In syaa Allah di sini aman, jika ada yang ngetik pintu jangan dibuka yah, Bu. Aku pamit dulu." sambil mencium punggung tangannya dengan takzim."Iya, Nak. Kamu hati-hati di jalan."Di jalan pulang menuju hotel aku sudah membeli beberapa makanan siap saji. Untung juga tadi sempat mampir ke toko buku. Soalnya ibu ku hobby banget membaca yang berbau islami. Tujuan ku beliin ibu buku, biar ibu nggak bosan di sini sembari aku kerja.***"Hallo Pak Wawan?" "Ibu dimana?" desaknya, dari suaranya feeling ku mengatakan Pak Wawan sedang cemas. Tapi cemas soal apa."Saya masih terjebak macet Pak, kena