#pengkhianatanmu_awal_kebahagiaanku
Charter II***"Astagfirullah Mas, ini anakmu, Rinjani anakmu." rintih Ibu."Aku tak percaya omong kosong kau Ratih, bisa saja kau membohongiku lagi." serang Ayah.Ayah, jangan Ayah jangan. Jangan pukuli Ibu.. Ibuuuuu...Kriing... Kriing... Kriing...Jam weker berbunyi dengan sangat keras. Aku terjaga. Astagfirullah, lagi dan lagi aku bermimpi. Mimpi yang pernah nyata sebelumnya.Setelah menunaikan kewajiban Sholat Subuh, ku ambil gawai di atas nakas, menghabiskan waktu menunggu pagi menjelang. Banyak icon aplikasiku yang berwarna merah, tetapi mata ku tertuju pada icon amplop surat ada angka tiga berwarna merah, pertanda ada tiga pesan masuk. Ini sungguh hal yang tak biasa.[Hai Rinjani, selamat ya atas status jandamu. Saya bahagia melihat kau menderita][Loh, kok pesanku tak dibalas? Hmm, pasti lagi nangis darah ya?][Hancurkan kau sekarang, Rinjani Haseena Putri! Hahahaha]Nomor yang tidak dikenal? Siapa lagi ini? Kenapa dia tahu kondisi rumah tanggaku? Kenapa dia tahu nama lengkapku? Atau jangan-jangan....."Aaarrggghhh." ku lempar gawai dalam genggaman ke atas kasur.Emosi ku meledak, belum selesai masalah semalam, sekarang diteror dari nomor yang tidak dikenal. Ragaku semakin tak bernyawa rasanya. Kalau tidak ada meeting hari ini dengan klien penting, mungkin aku sudah mengambil cuti untuk tidak masuk kantor.***Melaju dengan kecepatan santai, mood ku masih berantakan. Tak ada semangat pergi kerja pagi ini. Kampung tengah pun belum ku isi dengan apapun.Tak mungkin kubiarkan tubuh ini lebih tersiksa lagi, untung masih ada beberapa kewarasan otakku. Kedai Lontong Gulai Padang Uni Yenna menjadi pilihan. Sambil menunggu pesanan, mataku membeliak melihat sosok lelaki yang telah menalakku semalam sedang berduaan di kafe seberang jalan dengan seorang perempuanPosisi duduknya yang mengarah ke jalanan, kupastikan tidak salah orang. Terlihat dia tertawa kecil. Sepertinya dia menggenggam tangan wanita itu. Lalu siapa perempuan yang sedang bersama mantan suamiku itu? Iya, sekarang dia sudah menjadi mantan suami walaupun secara negara masih sah berstatus suami istri."Oooooo, jadi ini alasan kamu, Mas! Haa!" hardikkuDengan sigap dia melepaskan tangan yang tadinya saling bertaut. "Diam kau. Tak usah banyak bicara di sini. Lebih baik kau pergi!" bentaknya."Ih mba siapa? Nongol-nongol langsung marah-marah." perempuan ini ikut menyela."Lu jangan ikut campur!" Harusnya gue yang nanya lu siapa!" hardikku.Mas Reno seketika berdiri tepat di depanku, tangan kanannya yang melayang hampir mengenai mukaku. Aku berlari ke mobil dan melaju dengan kecepatan tidak stabil. Emosiku semakin tidak terkontrol.***"Halo, iya Pak, baik Pak."Ya ampun apalagi ini, belum juga duduk lima menit Pak Harjoko menyuruhku ke ruangannya. Dia adalah pimpinan di perusahaan tempat aku bekerja."Bapak memanggil saya?" tanyaku."Iya, silakan duduk!" perintahnya."Hmm, ada apa ya Pak?" lirihku"Kamu masih bertanya ada apa? Presentasi murahan apa tadi? Jangan bikin malu saya di depan klien, Rinjani!" bentaknya."Maaf, Pak. Saya tidak ada maksud seperti itu. Hanya saja saya kurang enak badan." aku berusaha membela diri."Sebagai hukumannya hari ini kamu harus lembur, saya tidak mau tau proposal proyek untuk sebulan ke depan harus beres hari ini juga!" bentaknya.Ta-tapi, Pak...""Tidak ada tapi-tapian. Saya rasa urusan kita sudah selesai, kamu silakan keluar dari ruangan saya!" perintahnya.Kuhempaskan pantat ini di kursi kerja. Persoalan hari ini benar-benar menguras tenagaku. Oh Tuhan, kenapa beruntun seperti ini.Ting...Gawaiku berbunyi, lagi dan lagi pesan dari nomor yang tidak dikenal.[Rinjani, bagaimana kabar kamu hari ini? Saya bahagia melihat kau menderita]Ini siapa lagi? Apa ini orang yang sama? Apa maksud dan tujuannya?Kalau saja gue lagi tidak banyak di kantor, akan gue selidiki kau (nomor yang tidak dikenal).***"Rinata, kamu ke ruangan saya sekarang!" pintaku.Tak lama terdengar ada yang mengetuk pintu ruangan ku. Ternyata Rinata, dia sekretaris pribadiku"Ada apa yaa Ibu memanggil saya?" tanyanya sambil melihat ke bawah."Kenapa kamu tak melihatku, Rinata? Sikapmu aneh, seperti ada sesuatu yang sedang disembunyikan." Aku balik bertanya."Eh, tidak ada apa-apa, Bu. Ada apa Ibu memanggil saya?" tanyanya lagi."Tolong kamu bawakan proposal proyek khusus bulan ini.""Baik, Bu."Tanpa banyak bicara Rinata langsung meninggalkan ruanganku. Sangat aneh dan tak biasanya bertingkah seperti itu. Atau dia sedang ada masalah?Ah, sudahlah. Ngapain mikirin dia, masalah ku saja belum selesai.Sebelah kanan layar komputer ku ada foto berhiasi figura pink, ada fotoku dan Ibu terpampang di sana. Oh Ibu betapa sekarang ku sangat ingin di dekatmu. Berkeluh kesah masalah yang tengah di hadapi.Sudah setengah jam lebih aku menunggu, Renata tak kunjung mengantarkan proposal yang aku minta tadi. Kuputuskan untuk menemuinya, tepat didepan pintu."Iya, lu tenang saja semua berjalan sesuai rencana kita. Terus Pak Reno gimana?"Terdengar samar dia memanggil nama mantan suamiku itu."Ri-Rinata." panggilkuRinata membalikkan badannya ke arahku, dia tercengang melihat aku sudah berdiri di depan pintu ruangannya. Dan dengan tangan gemetar dia meletakan gawainya di atas meja."Eh, iya B-bu. Kok I-ibu ke ruangan saya? Tanyanya gagap."Proposal yang saya minta tadi mana"? Tanyaku balik sambil menyodorkan tangan.Spontan dia kocar-kacir mencari berkas yang kuminta seperti menyembunyikan sesuatu."I-ini B-bu berkasnya." sambil menyodorkan berkas yang kuminta. Tangannya masih gemetar ketika menyerahkan proposal proyek itu."Kamu kenapa, Ri? Apa ada masalah?""Hmm, ti-tidak Bu, tidak ada masalah apa-apa." jawabnya ragu"Oke, baiklah."Sepanjang perjalanan dari ruangan Rinata ke ruanganku, bathinku bertanya-tanya ada apa dengan dia. Kenapa tadi aku seperti mendengar dia menyebut nama mantan suamiku.Matahari Sabtu kali ini masih malu-malu memancarkan sinarnya. Walau sudah pukul 11.00 siang namun hawanya masih seperti pukul 07.00 pagi. Weekend pertama tanpa Mas Reno. Entah dimana dia, setiap detik rasanya masih memikirkan lelaki berhidung mancung itu.Hari ini malas sekali rasanya berkegiatan. Ku ambil gawai di atas nakas, yang dari semalam sepulang kerja tak kusentuh. Ku buka aplikasi icon berwarna hijau sambil berselonjoran di tempat tidur, banyak chat yang masuk mulai group SD, SMP, SMA, kuliah, sampai group kantor, dan ada beberapa chat pribadi. Tetapi, mata ku tertuju pada pesan dari sosok yang selalu dikangenin. Dia Reisya.[Rin, Sabtu ini ada acara nggak? Ketemuan yuk, mumpung aku lagi di Jakarta!] Duh Reisya, kok kamu selalu ada di saat yang tepat sih. Ku balas pesan darinya.[Haa! Lu di Jakarta? Oke, kita ketemunya di tempat biasa aja yah Rei, sekitaran pukul 14.00 aja ketemuannya][Iye, sampai ketemu nanti yah] balasnya lagiReisya adalah teman seperjuanganku sewaktu ma
"Deska." dengan murka, kutarik tangan yang sempat mengulur tadi, buat apa juga bersalaman dengan orang seperti dia."Rinjani, kok kamu di sini?" keningnya mengerut rupanya Deska juga terkejut melihat aku berdiri di depannya dan dia seperti kebingungan mengapa aku ada bersama Reisya.Reisya yang melihat ekspresi ku dan Deska pun ikut heran, "Kalian sudah saling kenal? Kok bisa?" tampak bola matanya melirik ke arah ku dan Deska."Rei, gue pamit ya ada urusan penting." kutarik kasar tas di atas meja lalu pergi meninggalkan mereka."Rin, Rinjani, tunggu Rin.""Lepasin aku Rei." Reisya yang sempat menahan dengan memegang lengan dan terpaksa ku sentak.Ada perasaan bersalah sama Reisya karena meninggalkannya begitu saja tanpa penjelasan. Tapi menurutku, ini bukan waktu yang tepat. Tidak tahu juga apa yang terjadi di antara Reisya dan Deska. Semoga mereka baik-baik saja.Ku harap Reisya mengerti dengan posisi ku walaupun dia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tetapi, mengapa harus Deska
Kutarik nafas lalu dihembuskan perlahan, mengatur emosi yang benar-benar menguras tenaga dan pikiran. Permasalahan yang ada harus diselesaikan satu per satu. Tak perlu lagi aku meratapi, tentang apa yang sudah terjadi. Mungkin ini yang dinamakan takdir. Dan mungkin ini jalan terbaik. Mencoba ikhlas dan rela tentu takkan mudah. Tapi kalo menurut Yang Kuasa aku mampu menjalani, ya sudah berbesar hati saja. Aku kuat demi diri sendiri dan Ibu, itu saja saat ini.Ku pandangi satu per satu foto yang berderet di atas nakas. Sungguh indah memang untuk dikenang, tak ada yang menyangka rumah tangga yang ku harap hanya sekali seumur hidup berakhir dengan persoalan yang menurutku itu konyol.***Malam harinya ku kemas satu per satu baju dan perlengkapan pribadi, rasanya semakin sesak jika aku tetap tinggal di rumah penuh kenangan ini. Sewaktu mau menutup pintu kamar. Tiba-tiba bell berbunyi, sembari ucapan salam dari luar."Assalamualaikum, Rinjani, buka pintunya!" suara yang tak asing lagi, dia
Aku menelusuri lobi dengan pelan, menuju arah tempat duduk Rinata dengan Mas Reno tadi. Kali ini lobi sudah agak mulai sepi. Kulihat jam dinding yang menempel di dekat meja receptionist tadi, rupanya sudah menunjukkan pukul 23.00 WIB. Wajar saja sudah mulai agak sepi.Ku putar bola mata dan badan memastikan satpam yang menyergapkan ku tadi juga tidak berada di sekitar lobi. Kalau sampai dia melihat ku lagi bisa kacau semua rencanaku. Dan, keadaan aman sesuai dengan yang aku harapkan.Aku berdiri di dekat tonggak, di tonggak yang sama. Kujulurkan kepala perlahan dan ternyata benar mereka masih ada di sana. Tapi yang ku lihat hanya Mas Reno dan seorang perempuan sepertinya masih perempuan yang tadi kulihat, karena pakaiannya sama persis. Tetapi aku tak mengenal sosok perempuan berambut panjang itu.Mas Reno sedang merangkul perempuan itu, terlihatnya mesra sekali. Dadaku terasa sesak, nafasku mulai tak beraturan, dan ingin sekali ku menampar mantan suamiku itu. Beranjak dari posisiku b
Senin yang begitu cerah, matahari pun menjadi saksi betapa bagusnya cuaca hari ini. Berjalan menuju lobi kantor, kali ini aku agak berenergi untuk memasuki gedung yang terdiri dari dua puluh lantai ini, aura yang kurasakan sudah membaik dari beberapa hari belakangan."Pagi, Bu" sapa seorang satpam bernama Pak Wawan, kita saling berpas-pasan di lobi kantor. Aku sambut hangat sapaannya."Pagi juga Pak Wawan, semangat bekerja ya." balasku dengan sedikit senyuman, Pak Wawan pun membalasnya dengan sikap hormat grak.Agak lucu memang, dia memang terkenal satpam humoris di antara satpam-satpam lainnya. Dan juga, dia mengabdi di perusahaan ini sudah lebih dari 15 tahun lamanya. Bukan waktu yang sebentar pastinya.Memberikan senyum dan sapaan yang hangat untuk karyawan lain. Hal ini sudah biasa aku lakukan sejak bergabung di kantor ini. Bagi ku pribadi tidak ada perbedaan strata apalagi jabatan karena di sini kita sama-sama mencari rezeki selagi itu halal.Ketika pintu lift mau tertutup, tiba-
Urusan dengan Pak Harjoko nanti saja ku pikirkan. Pasti nanti dia akan bertanya kenapa Rinata juga ikut dalam perjalanan dinas kali ini. Sekarang biar ku booking tiket buat sekretaris polos ku itu, nggak apa-apa kalau harus mengeluarkan uang pribadi, yang penting aku bisa mencari tahu tentangnya.***Dalam perjalanan menuju bandara aku hanya diam membisu, terasa berat mulut ku berbicara dengan dia. Rinata pun entah mengapa juga tak mengeluarkan suaranya. Hmm, mungkin masih merasa kesal dengan ku.Dan benar saja dugaan ku, Pak Bos terkejut dengan ada Rinata di samping ku. Pak Harjoko sudah lebih dahulu keluar dari kantor. Mungkin ada keperluan lain."Lho Rin, Rinata i...." Pak Harjoko melihat ke arah ku dan Rinata secara bergantian."Yuk kita check-in Pak, nanti keburu antri lama." dengan sigap aku memotong ucapan Pak Harjoko, supaya Rinata tidak menaruh curiga terhadap ku.Untung saja Pak Harjoko, tidak meneruskan pertanyaanya lagi. Kali ini, Pak Bos bisa diajak berkompromi. Padahal a
POV Reno 1***Sekali kekhilafan yang ku lakukan, membawa deras rasa bersalah ku terhadap Rinjani, istriku. Berkhianat di belakangnya, sejak dua tahun yang lalu. Aku tidak ingat kapan memulai hubungan secara serius dengan Rinata.***Meraih cinta Rinjani, sejujurnya begitu sulit kudapatkan. Masih ingat di benakku. Aku yang sedari kuliah sudah menaruh hati kepadanya. Sosoknya yang unik itu yang menjadi daya tarik untukku, ketika pertama kali bertemu di kampus.Apalagi fashionnya tidak seperti wanita kebanyakan, yang sibuk dengan printilan dari ujung kaki hingga ujung rambut. Gayanya yang sederhana itu semakin membuat rasa penasaran ku bertambah. Kehidupan ku dengan Rinjani sangat berbanding terbalik, sekalipun begitu aku tetap saja terpikat olehnya. Kita satu angkatan, satu jurusan, tetapi beda kelas. Pada semester kedua, aku sampe bela-belain pindah kelas, agar bisa sekelas dengan Rinjani. Dan, saat itu aku mulai berkenalan dengan perempuan bermata sipit itu.***Tiga tahun silam ..
Sebelum memutuskan untuk melanjutkan ke pernikahan, aku dan Rinjani sudah berdiskusi tentang siapa yang harus mengundurkan diri. Waktu itu kami membicarakannya usai pulang kerja. Nongkrong di cafe sambil makan malam."Rin, kalau menurut ku, biar aku saja yang resign kamu tetap di situ saja." bujukku."Aku saja yang resign Mas, kamu kan laki-laki yang bakal jadi kepala keluarga untuk menghidupi aku dan anak-anak kita nanti." kali ini terdengar agak tegas ucapan dari Rinjani. Dia memang tidak setuju kalau aku yang mengundurkan diri."Rin, kali ini jangan keras kepala bisa? Aku laki-laki in syaa Allah akan mudah mendapatkan pekerjaan lagi, beda sama kamu. Perempuan jika sudah memasuki usia dewasa dan apalagi mau menikah sangat jarang perusahaan dengan mudah menerima kondisi seperti itu." ku coba membujuknya."Ta-tapi, Mas..""Sekarang kamu pilih, aku yang resign dan kamu tetap bekerja atau aku tetap di perusahaan ini dengan catatan kamu di rumah saja, biar aku yang bekerja!" belum sempat