#pengkhianatanmu_awal_kebahagiaanku
Chapter I"Mulai hari ini aku talak kamu, dan terhitung mulai sekarang kau bukan istriku lagi!" suara lantang, tangan mengepal dan muka memerah saat suami tercintaku melontar kata talak untuk wanita yang sudah tiga tahun menemaninya."Tidak Mas, ini hanya salah paham harusnya kamu dengerin dulu penjelasan aku." berusaha meyakinkan Mas Reno, sembari memegang tangannya berharap dia mau mendengarkan penjelasanku."Cukup Rinjani, tak perlu kau menjelaskan apa-apa lagi. Apa yang ku lihat di restoran tadi sudah cukup jelas, kau berselingkuh di belakangku!" tanganku di sentak hingga terpental ke tempat tidur."Tega kamu, Mas!""Kau dan Ibumu ternyata sama, sama-sama tukang selingkuh." cecarnya."Hei, jaga ucapanmu Mas, urusan Ibuku itu bukan urusanmu!" hardikku.Dia berlalu keluar kamar dan pergi entah kemana.Aku membeku disudut ranjang, bulir- bulir bening mulai membasahi pipi. Suami yang aku cintai sekarang sudah menalak wanita yang katanya paling dia sayang.Tega kamu Mas, hanya kejadian salah paham di restoran tadi semua jadi seperti ini. Air mata ini tak bisa dibendung, malah semakin berlomba-lomba berjatuhan."Ini hanya salah paham Maaaaaaaassss." aku menjerit sejadi-jadinya, karena tak terima diceraikan.Ah, buat apa aku menangisi dia yang secara tidak langsung sudah menghina Ibuku.Terpesona ku pada pandangan pertamaaa dan tak......... (suara nada panggilan gawaiku)Kusapu air mata, lalu mengambil gawai di atas nakas. Terlihat di layar mengedip-ngedip terpampang nama Deska. Ada apalagi dia menelfonku. Tak cukupkah dia sudah menghancurkan rumah tanggaku. Icon telefon warna merah menjadi pilihan.Berbaringan di peraduan, air mataku masih enggan untuk berhenti. Mengalir deras bagaikan air pancuran. Mataku pun sembab.***"Hai Rinjani sayang, gimana tadi presentasinya sukses?" Reno menggodaku sambil menghenyakkan pantatnya di atas meja kerja.Manusia satu ini memang tak ada sopan-sopannya, masuk ruangan tanpa ngetuk pintu, malah nyelonong tanpa permisi dan mengucap salam."Wooiii, lu kalo mau masuk ruangan gue ketuk dulu itu pintu, punya tangan nggak lu?" Mataku membelalak ke arah Reno sambil menepuk punggung lelaki berkulit kuning langsat itu."Eeehh,,, eehhh santai aja Neng, nggak usah sewot begitu. Ntar nggak laku-laku lho" Reno melentikkan telunjuknya ke daguku."Iissshh, apaan sih lu!" dengan sigap Rinjani langsung menghadang tangan lelaki separuh buaya darat itu dan mendorongnya keluar, hingga Reno terjatuh ke lantai."Duuuhhh, parah banget sih lu. Jadi cewek nggak ada lembut-lembutnya. Pantes aja dari zaman kuliah sampai sekarang lu nggak punya pacar." Reno mencibir Rinjani seakan mengejek, kalau perempuan langsing itu tidak laku."Idiiiiiih, apa urusan lu. Suka-suka gue donk. Ngapain lu yang sewot."Rinjani mendorong paksa tubuh Reno, hingga pas di depan pintu badannya terpental ke lantai.***Ting... Tung... Ting... Tung... Ting... Tung...Suara bel membangunkanku yang tengah bermimpi. Rasanya lucu sekali mengingat masa-masa dulu. Aku dan Reno adalah teman sekantor, bahkan kami satu almamater, satu jurusan, dan satu angkatan sewaktu zaman kuliah dulu.Siapa lagi yang datang tengah malam begini. Kulihat jam dinding menunjukkan pukul 03.00 pagi. Apa itu kamu Mas. Aku berlari ke pintu dimana suara bel itu berasal. Dan benar, pas kubuka pintu ada Mas Reno.Belum sempat aku menyapa untuk menyambut kedatangannya. Dia sudah mengumpat duluan."Lama sekali kau membuka pintunya, oh aku tau apa pria yang di restoran tadi ada di rumah ini! Wah, wah cepat sekali pergerakan kau Rinjani!" tuduhnya."Tidak Mas, aku tadi tidur. Tak usahlah kamu berpikiran yang aneh-aneh" ucapku melunak sambil merangkul tangannya."Lepaskan tanganmu, ingat, kau bukan istriku lagi. Dan jangan berharap kau bisa kembali kepadaku, Rinjani." lagi dan lagi tanganku disentak keras.Mas Reno masuk ke kamar mengambil koper di atas lemari dan memasukkan beberapa helai baju."Mas, kamu mau kemana? Kenapa baju-bajunya dibawa?" aku berusaha melarangnya."Diam kau, tak usah ikut campur urusanku. Ingat, urusanku bukan urusanmu lagi. Cam kan itu." bentaknya.Pintu utama dihempaskannya dan dia berlalu pergi entah kemana, akupun tidak tahu.Aku terus meratapi, masih terngiang di telinga kata talak yang diucapkan suamiku itu. Malam kian larut, mataku enggan terpejam. Dada ini masih serasa sesak, isak tangis ku pun masih terdengar.Ku coba membaringkan tubuh ini di peraduan, berharap ada energi esok hari.***"Mau apa kau sekarang, tak usah bersujud kepadaku. Jadi majikan itu selingkuhan mu. Hebat sekali kau bersandiwara selama ini Ratih!"Ayah mendorong Ibu hingga jatuh ke lantai, aku yang berdiri di dekat pintu langsung lari menghampiri ibu. Ku peluk Ibu dengan sangat erat. Tangisku pecah."Mas, aku tidak hubungan apa-apa dengan Pak Haddy." Ibu membela diri sambil menangis."Alaaaahh, tak perlu kau membela diri. Atau jangan-jangan Rinjani anak si Tua Bangka itu dan bukan darah dagingku."Astagfirullah Mas, ini anakmu, Rinjani anakmu." rintih Ibu."Aku tak percaya omong kosong kau Ratih, bisa saja kau membohongiku lagi." serang Ayah.Ayah, jangan Ayah jangan. Jangan pukuli Ibu.. Ibuuuuu...Terima kasih reader ku udah sempatin baca, subscribe, dan kasih komentar buat tulisan aku. Jangan lupa baca bab selanjutnya yaa, tentu penasaran kan?Jangan lupa juga buat baca dan subscribe tulisan aku yang lainnya. Tinggalkan pesan di kolom komentar tentang buku yang kalian tulis. Biar aku bisa baca juga, supaya kita saling support.#pengkhianatanmu_awal_kebahagiaankuCharter II***"Astagfirullah Mas, ini anakmu, Rinjani anakmu." rintih Ibu."Aku tak percaya omong kosong kau Ratih, bisa saja kau membohongiku lagi." serang Ayah.Ayah, jangan Ayah jangan. Jangan pukuli Ibu.. Ibuuuuu... Kriing... Kriing... Kriing...Jam weker berbunyi dengan sangat keras. Aku terjaga. Astagfirullah, lagi dan lagi aku bermimpi. Mimpi yang pernah nyata sebelumnya. Setelah menunaikan kewajiban Sholat Subuh, ku ambil gawai di atas nakas, menghabiskan waktu menunggu pagi menjelang. Banyak icon aplikasiku yang berwarna merah, tetapi mata ku tertuju pada icon amplop surat ada angka tiga berwarna merah, pertanda ada tiga pesan masuk. Ini sungguh hal yang tak biasa. [Hai Rinjani, selamat ya atas status jandamu. Saya bahagia melihat kau menderita] [Loh, kok pesanku tak dibalas? Hmm, pasti lagi nangis darah ya?][Hancurkan kau sekarang, Rinjani Haseena Putri! Hahahaha]Nomor yang tidak dikenal? Siapa lagi ini? Kenapa dia tahu kondisi ruma
Matahari Sabtu kali ini masih malu-malu memancarkan sinarnya. Walau sudah pukul 11.00 siang namun hawanya masih seperti pukul 07.00 pagi. Weekend pertama tanpa Mas Reno. Entah dimana dia, setiap detik rasanya masih memikirkan lelaki berhidung mancung itu.Hari ini malas sekali rasanya berkegiatan. Ku ambil gawai di atas nakas, yang dari semalam sepulang kerja tak kusentuh. Ku buka aplikasi icon berwarna hijau sambil berselonjoran di tempat tidur, banyak chat yang masuk mulai group SD, SMP, SMA, kuliah, sampai group kantor, dan ada beberapa chat pribadi. Tetapi, mata ku tertuju pada pesan dari sosok yang selalu dikangenin. Dia Reisya.[Rin, Sabtu ini ada acara nggak? Ketemuan yuk, mumpung aku lagi di Jakarta!] Duh Reisya, kok kamu selalu ada di saat yang tepat sih. Ku balas pesan darinya.[Haa! Lu di Jakarta? Oke, kita ketemunya di tempat biasa aja yah Rei, sekitaran pukul 14.00 aja ketemuannya][Iye, sampai ketemu nanti yah] balasnya lagiReisya adalah teman seperjuanganku sewaktu ma
"Deska." dengan murka, kutarik tangan yang sempat mengulur tadi, buat apa juga bersalaman dengan orang seperti dia."Rinjani, kok kamu di sini?" keningnya mengerut rupanya Deska juga terkejut melihat aku berdiri di depannya dan dia seperti kebingungan mengapa aku ada bersama Reisya.Reisya yang melihat ekspresi ku dan Deska pun ikut heran, "Kalian sudah saling kenal? Kok bisa?" tampak bola matanya melirik ke arah ku dan Deska."Rei, gue pamit ya ada urusan penting." kutarik kasar tas di atas meja lalu pergi meninggalkan mereka."Rin, Rinjani, tunggu Rin.""Lepasin aku Rei." Reisya yang sempat menahan dengan memegang lengan dan terpaksa ku sentak.Ada perasaan bersalah sama Reisya karena meninggalkannya begitu saja tanpa penjelasan. Tapi menurutku, ini bukan waktu yang tepat. Tidak tahu juga apa yang terjadi di antara Reisya dan Deska. Semoga mereka baik-baik saja.Ku harap Reisya mengerti dengan posisi ku walaupun dia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tetapi, mengapa harus Deska
Kutarik nafas lalu dihembuskan perlahan, mengatur emosi yang benar-benar menguras tenaga dan pikiran. Permasalahan yang ada harus diselesaikan satu per satu. Tak perlu lagi aku meratapi, tentang apa yang sudah terjadi. Mungkin ini yang dinamakan takdir. Dan mungkin ini jalan terbaik. Mencoba ikhlas dan rela tentu takkan mudah. Tapi kalo menurut Yang Kuasa aku mampu menjalani, ya sudah berbesar hati saja. Aku kuat demi diri sendiri dan Ibu, itu saja saat ini.Ku pandangi satu per satu foto yang berderet di atas nakas. Sungguh indah memang untuk dikenang, tak ada yang menyangka rumah tangga yang ku harap hanya sekali seumur hidup berakhir dengan persoalan yang menurutku itu konyol.***Malam harinya ku kemas satu per satu baju dan perlengkapan pribadi, rasanya semakin sesak jika aku tetap tinggal di rumah penuh kenangan ini. Sewaktu mau menutup pintu kamar. Tiba-tiba bell berbunyi, sembari ucapan salam dari luar."Assalamualaikum, Rinjani, buka pintunya!" suara yang tak asing lagi, dia
Aku menelusuri lobi dengan pelan, menuju arah tempat duduk Rinata dengan Mas Reno tadi. Kali ini lobi sudah agak mulai sepi. Kulihat jam dinding yang menempel di dekat meja receptionist tadi, rupanya sudah menunjukkan pukul 23.00 WIB. Wajar saja sudah mulai agak sepi.Ku putar bola mata dan badan memastikan satpam yang menyergapkan ku tadi juga tidak berada di sekitar lobi. Kalau sampai dia melihat ku lagi bisa kacau semua rencanaku. Dan, keadaan aman sesuai dengan yang aku harapkan.Aku berdiri di dekat tonggak, di tonggak yang sama. Kujulurkan kepala perlahan dan ternyata benar mereka masih ada di sana. Tapi yang ku lihat hanya Mas Reno dan seorang perempuan sepertinya masih perempuan yang tadi kulihat, karena pakaiannya sama persis. Tetapi aku tak mengenal sosok perempuan berambut panjang itu.Mas Reno sedang merangkul perempuan itu, terlihatnya mesra sekali. Dadaku terasa sesak, nafasku mulai tak beraturan, dan ingin sekali ku menampar mantan suamiku itu. Beranjak dari posisiku b
Senin yang begitu cerah, matahari pun menjadi saksi betapa bagusnya cuaca hari ini. Berjalan menuju lobi kantor, kali ini aku agak berenergi untuk memasuki gedung yang terdiri dari dua puluh lantai ini, aura yang kurasakan sudah membaik dari beberapa hari belakangan."Pagi, Bu" sapa seorang satpam bernama Pak Wawan, kita saling berpas-pasan di lobi kantor. Aku sambut hangat sapaannya."Pagi juga Pak Wawan, semangat bekerja ya." balasku dengan sedikit senyuman, Pak Wawan pun membalasnya dengan sikap hormat grak.Agak lucu memang, dia memang terkenal satpam humoris di antara satpam-satpam lainnya. Dan juga, dia mengabdi di perusahaan ini sudah lebih dari 15 tahun lamanya. Bukan waktu yang sebentar pastinya.Memberikan senyum dan sapaan yang hangat untuk karyawan lain. Hal ini sudah biasa aku lakukan sejak bergabung di kantor ini. Bagi ku pribadi tidak ada perbedaan strata apalagi jabatan karena di sini kita sama-sama mencari rezeki selagi itu halal.Ketika pintu lift mau tertutup, tiba-
Urusan dengan Pak Harjoko nanti saja ku pikirkan. Pasti nanti dia akan bertanya kenapa Rinata juga ikut dalam perjalanan dinas kali ini. Sekarang biar ku booking tiket buat sekretaris polos ku itu, nggak apa-apa kalau harus mengeluarkan uang pribadi, yang penting aku bisa mencari tahu tentangnya.***Dalam perjalanan menuju bandara aku hanya diam membisu, terasa berat mulut ku berbicara dengan dia. Rinata pun entah mengapa juga tak mengeluarkan suaranya. Hmm, mungkin masih merasa kesal dengan ku.Dan benar saja dugaan ku, Pak Bos terkejut dengan ada Rinata di samping ku. Pak Harjoko sudah lebih dahulu keluar dari kantor. Mungkin ada keperluan lain."Lho Rin, Rinata i...." Pak Harjoko melihat ke arah ku dan Rinata secara bergantian."Yuk kita check-in Pak, nanti keburu antri lama." dengan sigap aku memotong ucapan Pak Harjoko, supaya Rinata tidak menaruh curiga terhadap ku.Untung saja Pak Harjoko, tidak meneruskan pertanyaanya lagi. Kali ini, Pak Bos bisa diajak berkompromi. Padahal a
POV Reno 1***Sekali kekhilafan yang ku lakukan, membawa deras rasa bersalah ku terhadap Rinjani, istriku. Berkhianat di belakangnya, sejak dua tahun yang lalu. Aku tidak ingat kapan memulai hubungan secara serius dengan Rinata.***Meraih cinta Rinjani, sejujurnya begitu sulit kudapatkan. Masih ingat di benakku. Aku yang sedari kuliah sudah menaruh hati kepadanya. Sosoknya yang unik itu yang menjadi daya tarik untukku, ketika pertama kali bertemu di kampus.Apalagi fashionnya tidak seperti wanita kebanyakan, yang sibuk dengan printilan dari ujung kaki hingga ujung rambut. Gayanya yang sederhana itu semakin membuat rasa penasaran ku bertambah. Kehidupan ku dengan Rinjani sangat berbanding terbalik, sekalipun begitu aku tetap saja terpikat olehnya. Kita satu angkatan, satu jurusan, tetapi beda kelas. Pada semester kedua, aku sampe bela-belain pindah kelas, agar bisa sekelas dengan Rinjani. Dan, saat itu aku mulai berkenalan dengan perempuan bermata sipit itu.***Tiga tahun silam ..