Senin yang begitu cerah, matahari pun menjadi saksi betapa bagusnya cuaca hari ini. Berjalan menuju lobi kantor, kali ini aku agak berenergi untuk memasuki gedung yang terdiri dari dua puluh lantai ini, aura yang kurasakan sudah membaik dari beberapa hari belakangan."Pagi, Bu" sapa seorang satpam bernama Pak Wawan, kita saling berpas-pasan di lobi kantor. Aku sambut hangat sapaannya."Pagi juga Pak Wawan, semangat bekerja ya." balasku dengan sedikit senyuman, Pak Wawan pun membalasnya dengan sikap hormat grak.Agak lucu memang, dia memang terkenal satpam humoris di antara satpam-satpam lainnya. Dan juga, dia mengabdi di perusahaan ini sudah lebih dari 15 tahun lamanya. Bukan waktu yang sebentar pastinya.Memberikan senyum dan sapaan yang hangat untuk karyawan lain. Hal ini sudah biasa aku lakukan sejak bergabung di kantor ini. Bagi ku pribadi tidak ada perbedaan strata apalagi jabatan karena di sini kita sama-sama mencari rezeki selagi itu halal.Ketika pintu lift mau tertutup, tiba-
Urusan dengan Pak Harjoko nanti saja ku pikirkan. Pasti nanti dia akan bertanya kenapa Rinata juga ikut dalam perjalanan dinas kali ini. Sekarang biar ku booking tiket buat sekretaris polos ku itu, nggak apa-apa kalau harus mengeluarkan uang pribadi, yang penting aku bisa mencari tahu tentangnya.***Dalam perjalanan menuju bandara aku hanya diam membisu, terasa berat mulut ku berbicara dengan dia. Rinata pun entah mengapa juga tak mengeluarkan suaranya. Hmm, mungkin masih merasa kesal dengan ku.Dan benar saja dugaan ku, Pak Bos terkejut dengan ada Rinata di samping ku. Pak Harjoko sudah lebih dahulu keluar dari kantor. Mungkin ada keperluan lain."Lho Rin, Rinata i...." Pak Harjoko melihat ke arah ku dan Rinata secara bergantian."Yuk kita check-in Pak, nanti keburu antri lama." dengan sigap aku memotong ucapan Pak Harjoko, supaya Rinata tidak menaruh curiga terhadap ku.Untung saja Pak Harjoko, tidak meneruskan pertanyaanya lagi. Kali ini, Pak Bos bisa diajak berkompromi. Padahal a
POV Reno 1***Sekali kekhilafan yang ku lakukan, membawa deras rasa bersalah ku terhadap Rinjani, istriku. Berkhianat di belakangnya, sejak dua tahun yang lalu. Aku tidak ingat kapan memulai hubungan secara serius dengan Rinata.***Meraih cinta Rinjani, sejujurnya begitu sulit kudapatkan. Masih ingat di benakku. Aku yang sedari kuliah sudah menaruh hati kepadanya. Sosoknya yang unik itu yang menjadi daya tarik untukku, ketika pertama kali bertemu di kampus.Apalagi fashionnya tidak seperti wanita kebanyakan, yang sibuk dengan printilan dari ujung kaki hingga ujung rambut. Gayanya yang sederhana itu semakin membuat rasa penasaran ku bertambah. Kehidupan ku dengan Rinjani sangat berbanding terbalik, sekalipun begitu aku tetap saja terpikat olehnya. Kita satu angkatan, satu jurusan, tetapi beda kelas. Pada semester kedua, aku sampe bela-belain pindah kelas, agar bisa sekelas dengan Rinjani. Dan, saat itu aku mulai berkenalan dengan perempuan bermata sipit itu.***Tiga tahun silam ..
Sebelum memutuskan untuk melanjutkan ke pernikahan, aku dan Rinjani sudah berdiskusi tentang siapa yang harus mengundurkan diri. Waktu itu kami membicarakannya usai pulang kerja. Nongkrong di cafe sambil makan malam."Rin, kalau menurut ku, biar aku saja yang resign kamu tetap di situ saja." bujukku."Aku saja yang resign Mas, kamu kan laki-laki yang bakal jadi kepala keluarga untuk menghidupi aku dan anak-anak kita nanti." kali ini terdengar agak tegas ucapan dari Rinjani. Dia memang tidak setuju kalau aku yang mengundurkan diri."Rin, kali ini jangan keras kepala bisa? Aku laki-laki in syaa Allah akan mudah mendapatkan pekerjaan lagi, beda sama kamu. Perempuan jika sudah memasuki usia dewasa dan apalagi mau menikah sangat jarang perusahaan dengan mudah menerima kondisi seperti itu." ku coba membujuknya."Ta-tapi, Mas..""Sekarang kamu pilih, aku yang resign dan kamu tetap bekerja atau aku tetap di perusahaan ini dengan catatan kamu di rumah saja, biar aku yang bekerja!" belum sempat
Sekitar dua bulan setelah aku pindah kerja ke tempat yang baru. Aku yang saat itu baru selesai telfonan dengan Rinjani, ketika mau meletakkan gawai, dering pesan Whatsapp berbunyi. Ketika ku buka, ternyata pesan dari nomor baru.[Pak, jangan sampai telat makan siangnya, nanti sakit. Salam rindu dari Rinata]Salam rindu? Oh, mungkin dia rindu sebagai teman kali yah, pikirku. Hmm, teman? Mengobrol saja aku tidak pernah. Ah, sudahlah tak perlu juga ku tanggapi dia.Aku tetap cuek, tak mengubris sama sekali. Sekalipun di awal bertemu aku sempat terkesima olehnya. Ku hapus pesannya itu, karena bisa jadi masalah kalau di simpan. Sampai berbulan-bulan lamanya, Rinata selalu mengirimi ku pesan. Tibalah waktu itu, siang yang mendung bersamaan dengan suasana otakku yang sedang berantakan karena banyak targetku yang meleset akan kemajuan perusahaan bukannya menghubungi Rinjani, aku malah mengirim pesan ke Rinata. Jujur, seminggu belakangan wajahnya selalu terbayang di pelupuk mata ku. [Ketemu
"Enggak sayang, aku nggak bohong sama kamu.""Besok-besok kabari aku ya, Mas! Aku cemas takut kamu kenapa-kenapa."Lalu kami berangkulan menuju kamar. Satu harapan ku saat itu, semoga saja Rinjani tidak curiga. ***"Yang, aku hari Sabtu mau keluar kota, ada janji ketemu sama klien." ucapku sembari menikmati nasi goreng buatan Rinjani.Rinjani yang tengah menuangkan air teh hangat untukku pun berhenti seketika, lalu memandangi ku dengan dahi mengernyit dan tatapannya agak tajam."Keluar kota Mas? Tumben perginya weekend?" nadanya penuh penekanan, membuat jantungku berdebar tak karuan."Nah itu dia Yang, klien ini cuma bisa ketemu pas weekend. Maklum ajalah, namanya orang penting." aku berusaha menjawab sesantai mungkin, walaupun mataku tak berani menatapnya, meminimalisir kegugupan ku fokuskan pandangan pada sepiring nasi goreng tentunya pura-pura menyantap dengan lahap."Sabtu kapan kamu berangkatnya? Nggak Sabtu ini kan Mas?" "Sabtu ini Yang." jawabku singkat."Yah, aku pikir kamu
Ranjang ku dengan ranjang Rinata letaknya berdampingan. Mata ku tertuju pada gawainya, terletak manis di atas ranjang. Aku berjalan perlahan, mencoba mendekati ponsel pipih milik sekretaris pribadi ku itu. Mana tauan ada informasi yang bisa kudapatkan.Bukan bermaksud lancang, pikiran untuk memeriksa handphonenya saat ini adalah kesempatan, aku hanya tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan yang ada. Membalikkan badan ke arah pintu kamar mandi, memutar bola mata memantau kondisi, jangan sampai Rinata memergoki ku, bisa fatal dan berantakan nantinya.Ketika handphonenya sudah berada di tangan. Ku ketuk dua kali dan terlihat beberapa pemberitahuan tampak di layar gawai pipihnya itu.Ku pandangi dengan seksama satu per satu pesan yang masuk, sembari memperhatikan keadaan sekitar. Apakah Mas Reno menghubungi Rinata atau tidak? Dan ternyata hmm... benar sesuai dengan dugaan ku ada pesan Whatsapp dari Mas Reno."Sayang kamu udah sampai?" pemberitahuan isi pesan dari Mas Reno. Ingin ku banting
Untung saja, Pak Harjoko memainkan ponselnya ketika aku men-skak Rinata. Kondisi sekarang lagi berpihak kepadaku. Semoga sampai seterusnya. Tentu itu harapanku.Aku yang kala itu sedang beristirahat di kamar menikmati suasana senja. Tampak langit yang tadinya cerah mulai berwarna jingga. Petang menjemput malam. Tiba-tiba ada ketikan pintu kamar ku, ketiku menoleh ternyata Rinata. Dia berjalan menghampiri ku."Bu, aku, hmm.. Nanti izin mmm ...." dia gugup entah apa yang ingin disampaikan aku tak paham."Kamu ngomong apa Ta? Jelas-jelas ngomongnya? Atur nafas dulu jangan kayak orang yang lagi nyembuin sesuatu." mati kamu Rinata, jangan bermain-main denganku, cukup aku melunak selama menjadi bos kamu selama ini.Dia terlihat mengatur nafas, "Gini Bu, kebetulan hari ini kan senggang nggak ada jadwal malam juga. Aku lepas magrib izin keluar yah, Bu mau ke rumah keluarga. Kebetulan juga mumpung di Bali, sayang aja engga mampir Bu." ucapnya sambil memainkan jemari tangan kecilnya itu."Oh b