Untung saja, Pak Harjoko memainkan ponselnya ketika aku men-skak Rinata. Kondisi sekarang lagi berpihak kepadaku. Semoga sampai seterusnya. Tentu itu harapanku.Aku yang kala itu sedang beristirahat di kamar menikmati suasana senja. Tampak langit yang tadinya cerah mulai berwarna jingga. Petang menjemput malam. Tiba-tiba ada ketikan pintu kamar ku, ketiku menoleh ternyata Rinata. Dia berjalan menghampiri ku."Bu, aku, hmm.. Nanti izin mmm ...." dia gugup entah apa yang ingin disampaikan aku tak paham."Kamu ngomong apa Ta? Jelas-jelas ngomongnya? Atur nafas dulu jangan kayak orang yang lagi nyembuin sesuatu." mati kamu Rinata, jangan bermain-main denganku, cukup aku melunak selama menjadi bos kamu selama ini.Dia terlihat mengatur nafas, "Gini Bu, kebetulan hari ini kan senggang nggak ada jadwal malam juga. Aku lepas magrib izin keluar yah, Bu mau ke rumah keluarga. Kebetulan juga mumpung di Bali, sayang aja engga mampir Bu." ucapnya sambil memainkan jemari tangan kecilnya itu."Oh b
Dilihat dari tinggi badannya, bidang bodynya, dan gaya berpakaiannya, aku seperti mengenal sosok dia. Ini harus ku selidiki, beranjak dari persembunyian, lalu berjalan menuju teras lobi. Aku menoleh ke kanan ke kiri mencari taxi, biasanya ada beberapa taxi yang mangkal pelataran parkir tumben kali ini tidak ada satu pun.Oh Tuhan bantu aku.Selang beberapa menit, pucuk di cinta ulam pun tiba, ternyata aku tak perlu menunggu lama, ada taxi masuk ke pelataran parkir hotel dan lalu berhenti tepat di depan ku.Ketika mau membuka pintu taxi bagian belakang, aku dikejutkan dengan seseorang yang keluar dari taxi tersebut. Kupikir taxi tadi kosong ternyata berisi penumpang."Buru-buru banget, Mba. Sabar dikit, nanti malah nabrak lagi." ujar laki-laki bersuara oktaf.Betapa kaget dan netraku terbelalak di buatnya. Lelaki yang tak sengaja pernah ku tabrak waktu itu. Aduh, ngapain juga ketemu di sini dengan kondisi kayak gini pula. Ish, mengesalkan."Iya, Pak. Maaf, saya lagi buru-buru." memasuk
Dan percakapan mereka sangat jelas di telinga ku...."Ta, kamu yakin Rinjani tidak curiga? Aku takut lho kalau ketahuan." Deska sedikit berbisik tetapi aku mempunyai telinga yang cukup nyaring, jadi terdengar jelas."Apaan sih Des? Kamu kok aneh deh. Sekalipun itu si kerempeng tahu aku jalan sama kamu ya nggak masalah. Kan kamu pacar aku yang sesungguhnya." Rinata berdecah ketus."Bukan, bukan itu maksud ku. Maksud ku soal Reno, dia nggak curiga kan kalau kamu yang bikin Reno berpaling dari Rinjani? Dia nggak tahu kan kalau kamu selingkuhannya Reno?""Ya enggak lah, aku udah atur semuanya. Dan itu sesuai dengan apa yang kita rencanain. Jadi kamu tenang saja. Udahlah, biarin aja aku malas bahas mereka." Deska tak berkutik setelah itu, karena wajah Rinata semakin tak bersahabat.Hebat, hebat. Permainan dan skenario yang sangat hebat. Di luar nalar tapi itu fakta adanya. Aku berdiri lalu menghampiri mereka dan tak lupa aku membuka masker."Wah saya salut dengan kalian berdua. Kamu Rinat
"Rin, kamu mau kan menikah dengan ku?" Reno bersimpuh dengan menyuguhkan sebuah cincin dan sekuntum bunga mawar berwarna putih.Dia melamarku ketika kami sedang makan malam. Aku sebenarnya agak curiga, karena makan malam kali ini berasa ada yang aneh. Di meja makan ada lilin dan taburan bunga mawar merah. Belum lagi temanya yang outdor menambah romantis suasana malam itu."Ren, hmm aku... Tapi aku belum siap untuk menikah. Apa ini tidak terlalu cepat, lagian kita juga baru pacaran enam bulan. Dan aku juga takut, takut kalau kamu suatu hari nanti kamu seperti lelaki kebanyakan yang nggak bisa setia?"Reno yang tadinya bersimpuh beranjak lalu berdiri tepat di hadapan ku, dan menggenggam erat kedua tangan ini, "Rin, tolong percaya sama diriku. Lagian kamu sudah kenal aku dari kita kuliah.""Karena aku tahu kamu, makanya takut Ren. Aku merasa belum mengenal kamu seutuhnya. Apa nggak sebaiknya dipikirkan lagi matang-matang?""Jangan hukum aku akan masa lalu dulu, Rin. Itu hanya cinta monye
"Baik, Bu."Kulihat jam yang menempel di dinding sudah menunjukkan pukul 23.00 malam. Aku nggak tahu udah berapa lama pingsan. Baru kali ini aku merasakan pingsan seumur hidup.Berusaha mengingat apa yang sudah terjadi, badan terasa lemes, dan persendian masih terasa nyeri apalagi kepalaku masih terasa pusing.Baru ingat, kalau tadi aku sempat melabrak Deska dan Rinata. Kemana mereka? Tidak mungkin manusia tak bermoral itu tidak tahu kalau aku pingsan. Sungguh manusia tidak punya perasaan kalian.Tak lama kemudian, perempuan tadi yang ku mintai tolong untuk memesan ojek online pun datang. Dia menatah ku masuk ke mobil. Ku ucapkan terima kasih banyak dan memberikan sedikit tip untuknya.Setengah jam perjalanan akhirnya aku sampai di hotel tempat menginap. Berjalan tertatih menuju kamar. Sesampainya di kamar aku tidak menemukan apa-apa, keadaan begitu sunyi sepi.Aku juga tidak tahu dimana keberadaannya. Ah sudahlah, tak perlu ku hiraukan. Biarkan saja, terserah dia mau berbuat apa, ngg
Kemudian Pak Harjoko duduk berseberangan dengan ku yang dibatasi oleh sebuah meja tamu berbentuk persegi panjang, sedangkan lelaki itu terlihat seperti mengekor, dan dia pun duduk di sebelah bosku. Kenapa dia duduk disitu? Apakah mereka saling kenal? Ah rasanya tak mungkin."Rin, maaf nunggu lama. Tadi saya sakit perut, lupa ngabarin kamu kalau agak telat" ujar Pak Harjoko sembari memegang gawainya."Iya, Pak. Nggak apa-apa, lagian saya juga belum lama nunggunya. Yaudah Pak, yuk berangkat! Kita ketemu kliennya dimana Pak? Di restoran atau dimana?" ajakku yang perlahan bangkit dari tempat duduk."Duduk dulu Rin, nggak usah terburu-buru, kliennya udah di sini kok?" jawabnya santai."Di sini gimana maksudnya Pak?" Mulai heran dengan tingkahnya ku lihat dari ujung mata tampak lelaki itu senyum-senyum sendiri, dasar aneh."Iya, ini kenalin Pak Benny klien kita yang baru." aku ternganga dibuatnya, duh Pak Bos masa iya dia klien ku sekarang, pantas saja sikap lelaki itu mencurigakan dari tad
Masih dari nomor yang tidak dikenal. Apa Rinata yang menerorku? Ketika dia masih menginap di sini tak pernah ku terima pesan teror seperti ini. Malah ketika dia nggak di sini aku di teror lagi. Bukan lagi, bukan salah lagi. Ini pasti kamu Rinata.Muka ku memanas menahan amarah yang belum bisa aku hempaskan. Ku coba tarik nafas dalam dan melepaskannya pelan-pelan, lalu beristigfar, Astagfirullah. Ya Allah berikan kesabaran lebih padaku.Ku lanjutkan mengemasi barang-barang. Setelah semuanya beres, lalu merebahkan badan di peraduan. Semoga tertidur dengan lelap.***Dari bandara aku langsung ke rumah, karena sudah check out di hotel tempat aku menginap kemarin sebelum berangkat ke Bali. Di jam istirahat aku sempat ke hotel mengambil semua barang-barang dan balik lagi ke kantor waktu itu.Ketika memasuki perkarangan rumah, tampak terparkir mobil Mas Reno di garasi. Syukurlah kalau kamu nginap di rumah Mas.Ada rasa rindu bergejolak di hatiku. Apalagi setelah mengetahui semua kebusukan Rin
Berjalan tertatih hingga terduduk di bangku yang ada di dekat taman halaman rumah. Dengan tangan bergetar ku ambil gawai di dalam tas kecil yang sedari tadi tidak lepas dari sandangan. Biar sementara nginap di hotel lagi, sebelum aku mendapatkan rumah yang baru.Adzan magrib pun berkumandang, senja telah pergi tetapi tidak dengan lukaku. Tak lama kemudian taxi online yang ku pesan pun datang. Selang menempuh perjalanan satu jam akhirnya aku sampai di hotel. Sengaja ku pilih yang di dekat kantor, supaya lebih dekat pergi kerja. Apalagi mobil ku masih terparkir di kantor karena pergi ke Bali kemarin.***Memasuki kamar lalu meletakkan koper, ku berwudhu dan setelah sholat bermunajat kepada Sang Ilahi, meminta untuk diberikan kekuatan lahir dan bathin dari apa yang tengah ku hadapi.Sembari berbaring di tempat tidur, merenungi tentang apa yang terjadi. Apa kurangnya diriku dimata Mas Reno sehingga dia tega mengkhianati ku dengan cara murahan seperti ini."Sayang, aku lembur hari ini. Ag
Bab 12"Kamu beneran sudah gila ya, Lita! Mama pikir kamu bisa berpikir jernih sedikit, mengalah sedikit, apa kamu beneran nggak takut jadi janda dan hidup melarat?" serang Ririn dengan penuh amarah.Dia memang takut miskin karena mengingat hidupnya yang begitu susah dulunya.Lita mengendikkan bahu dengan angkuhnya."Aku memang sudah gila!""Kan berulang kali aku bilang sama mama, kalau aku nggak peduli. Mau hidup miskin ataupun kaya, terserah kedepannya. Aku capek diatur terus-terusan, aku yang lebih tahu kebahagiaan ku sendiri.""Sebelum Mas Ammar yang ceraikan aku, aku yang lebih dulu ceraikan dia, karena aku akan menikah dengan lelaki pilihanku!" erang Lita hilang kendali."Jangan bertindak bodoh kamu! Pikirkan lagi ucapan kamu itu Lita! Laki-laki itu pasti baru kamu kenal, nggak akan ada laki-laki yang nerima perempuan apalagi janda dengan segampang itu. Kamu nggak mikir efeknya nanti gimana?""Sudahlah, Ma. Aku capek berdebat terus dengan mama. Lagian hutang-hutang mama juga ham
Bab 11[Mas ... dimana? Aku lagi bete nih! Bisa keluar nggak]Lita mengirim pesan pada seseorang beberapa saat setelah menenggak habis minumannya. Tak perlu sepertinya Lita menunggu, selang satu menit, pesannya pun terbalaskan.Seperti tak kenal waktu, padahal sudah menunjukkan pukul satu dini hari.[Kan tadi abis jalan. Kok masih bete sih?] Balas seseorang yang diberi nama Argantara.[Tau gini mending aku nggak pulang tadi.] Balas Lita cepat.[Terus gimana? Mau keluar lagi?][Iya.][Oke. Aku otewe]Sembari menunggu jemputan dari lelaki yang baru dikenalnya selama seminggu ini, Lita menunggu lantai dua untuk mengambil tasnya. Dia berjalan mengendap-endap supaya langkah kakinya tak terdengar oleh Ririn sang mama.Dengan pelan dia menekan handle pintu dan membukanya sedikit saja. Tampak Ririn sudah tidur dengan posisi terlentang. Tak ingin ketahuan, Lita buru-buru menyambar tas yang ada di nakas.[Dimana? Aku udah siapa]Pesan yang dikirim Lita cukup lama dibalas, hingga ... terdengar b
Bab 10"Nggak cuma tanya apa ada yang mau nitip makanan, gue jawab aja langsung enggak.""Ooh ...." Lita sama sekali tak curiga dengan gerak-gerik teman kerjanya itu. Dia kembali berkutat pada ponselnya.[Ta, mama telponin daritadi nggak diangkat-angkat][Mama mau ngasih tau, mertua sama Arumi dan baby sitter kamu keluar dari rumah][Mama sempat nanya, tapi mertua kamu diam aja. Coba deh kamu telpon mertua kamu?]"Mama lebay banget deh ah. Perkara mereka keluar rumah aja pake lapor. Nggak ada apa hal yang lebih penting," ngomel Lita seraya membuka aplikasi lainnya."Masalah lagi?" tanya Dea."Ya biasalah, nyokap gue orang paling lebay. Masa iya, mertua, anak, dan baby sitter keluar rumah pake ngelapor segala ke gue. Kan nggak penting banget ya," jelas Lita dengan suara sedikit tinggi."Yaelah. Gitu aja lu sensi amat. Wajar aja lah emak lu lapor, kan mertua lu bawa anak lu keluar rumah, emangnya lu nggak mikir gimana gitu, khawatir paling tidak," sahut Dea seraya menyunggingkan sedikit
Bab 9"Lita ... Lita ..., bangun kamu! Heh!" Ririn mengguncang tubuh anaknya yang baru saja terlelap."Dasar kebo ya kamu, ditinggal sebentar ke bawah, langsung molor," sengit Ririn."Apa sih, Ma. Orang ngantuk juga." Lita menyentak tubuhnya. Tangan Ririn terlepas."Ammar mau menceraikan kamu!" ucap Ririn tanpa basa-basi."Hah?" Lita terduduk, dengan wajah masih berpoles make up dan rambut acak-acakan. "Jangan bercanda, Ma!" ucapnya tak percaya."Serius, tadi Ammar bilang, kalau kamu tidak berubah, bisa jadi kalian akan bercerai."Seolah seperti orang baru sadar, Lita mengibas angin tepat di depan wajah Ririn."Halah, paling juga ancaman belaka, Ma. Mana mungkin dia akan menceraikan aku. Lagian nih, pasti auto malu lah, dia kan tahu gimana rasanya punya orang tua nggak lengkap. Aku yakin, dia tidak akan melakukan hal itu, kalau dia sayang Arumi, aku yakin dia tidak akan memberikan Arumi orang tua yang tidak lengkap." Begitu percaya dirinya Lita berucap."Jika benar itu terjadi bagaima
Bab 8"Buka mata kamu, Mmar. Apa iya pantas istrimu bicara seperti itu sama bunda?"Viola tak tinggal diam, terasa dipojokkan oleh Lita."Neng Viola harusnya juga buka mata, jangan karena nila setitik rusak susu sebelanga, jangan karena Lita ingin istirahat sebentar, Neng Viola jadikan itu Boomerang," balas Ririn tegas."Kenapa kamu diam, Mmar?""Lihat istrimu Lita, bersimpuh meminta pengertianmu, dia rela meminta maaf atas apa yang sebenarnya tidak dia lakukan secara sengaja. Andai bundamu bisa mengontrol diri, tak akan runyam seperti ini," tambah Ririn.Ammar menundukkan kepalanya, melihat sekejap istrinya yang masih bersimpuh dan tak hentinya menangis. Isakkan tangis Lita pun terdengar semakin keras."Bund, kita turun saja dulu!" ajak Ammar memecahkan keheningan yang tercipta beberapa detik."Yuk, mending kita istirahat," sahut Viola dia menyunggingkan ujung bibirnya pada Ririn."Mas ... Mas ... Please, jangan begitu. Aku sedikitpun tidak ada niat mengutarakan ucapan seperti tadi s
Bab 7"Eh, Bunda. Duduk sini, Bund. Mau ngomong apaan? Serius nih keliatannya," ucap Ammar seraya menurunkan kedua kakinya yang tadinya berada di kursi kosong."Kamu nggak tidur?" tanya Viola memulai pembicaraan, seraya menduduki kursi yang ada di sebelah kanan."Nanti lah, Bund. Bunda kenapa nggak tidur? Udah malam lho, Bund. Apalagi tadi sibuk ngurusin acara Arumi.""Iyaa, bentar lagi bunda tidurnya." Viola menyisir pandangannya, termasuk ke pintu utama yang terbuka dengan lebar."Bunda lagi liatin apa? Katanya tadi mau bicara, bicara apa, Bund?" tanya Ammar mulai penasaran apalagi melihat gelagat bahasa tubuh ibunya yang agak lain."Tadi bunda liat Lita naik ke lantai dua bawa beberapa baju. Emangnya dia mau tidur di atas lagi, Mmar?""Oh itu, iya, Bund. Malam ini dia mau istirahat di kamar lantai atas.""Istirahat gimana? Kalian kan punya kamar? Kenapa pisah kamar lagi kayak kemarin?""Hmm ... cuma malam ini aja kok, Bund. Lita kecapekan kalau tidur di kamar aku, bakalan keganggu
Bab 6Malam ini, untuk pertama kali mereka tidur bertiga. Ammar sangat senang, hal kecil yang diimpikannya terwujud, satu kamar dengan istri dan anak."Mas, makasih ya. Atas sikapku kemarin." Lita kembali mengulangi permintaan maafnya pada Ammar saat mereka sama-sama tengah berbaring di atas ranjang sembari memainkan jambang Ammar yang tampak mulai lebat."Tidak apa, Sayang. Mas paham. Tapi, jangan lagi berkata seperti itu. Kasian Arumi," balas Ammar lembut dan mendaratkan sebuah kecupan di kening Lita."Mas, juga minta maaf sama kamu. Mas yang salah atas semuanya yang terjadi," tambah Ammar kemudian.Cahaya remang, dinginnya suhu AC, dan lelapnya Arumi di ranjangnya sendiri, serta tak bisa dibendung rasa rindu Ammar pada istrinya. Tangan Ammar mulai nakal menjamahi tubuh Lita."Mas, kita tidur yuk! Aku capek," bisik Lita seraya menggeser tangan suaminya dari bagian tubuh yang tersentuh."Yaudah, yuk!"Posisi tidur langsung berubah, Lita membelakangi suaminya. Namun, Ammar sepertinya
Bab 5Ammar seketika berdiri, telinganya terasa semakin panas oleh ucapan Lita yang sama sekali tidak ada rasa peduli padanya."Kamu bisa ngertiin posisi aku nggak?""Kamu juga nggak ngertiin aku, Mas. Kamu nggak ngerti gimana perasaan aku!" Lita tak mau kalah, mau adu nasib dengan suaminya yang siang malam berkejar-kejaran dengan waktu. "Aku kurang ngertiin apalagi coba? Aku akan tetap test DNA, tapi sabar dulu.""Terserah lah, Mas. Kamu egois!" Lita meninggalkan Ammar tanpa belas kasihan sedikitpun, seolah cinta dan kasih sayang yang dia berikan dari awal pernikahan sirna begitu saja."Lita ... Lita ... kamu nggak capek apa kita begini terus!" seru Ammar. Namun, Lita sama sekali tidak memperdulikan ucapan suaminya. Dia terus saja menaiki anak tangga Hari-hari yang dijalani Ammar sekarang selalu banyak masalah. Rumah terasa panas, dia pun sulit berkonsentrasi. Bahkan kerjaan yang sedang dia selesaikan sekarang itu, karena klien protes, dan itu karena Ammar tidak fokus.Viola yang m
Bab 4"Masa Neng Viola tidak tahu alasan saya berkata demikian? Bukannya Neng Viola sudah melihat bayi yang ada di kamar Ammar dan Lita.""Ya, saya sudah melihatnya. Lantas apa hubungannya dengan ucapan Neng Ririn tadi. Itu kan bayi mereka.""Saya tidak yakin, pasti Ammar sudah menjebak Lita. Bisa jadi itu anak orang lain. Saya rasa ad maksud lain dibalik hadirnya bayi itu.""Astaghfirullah, Neng. Jauh sekali pikiranmu. Sampai menuduh Ammar seperti itu. Saya tahu Ammar seperti apa, dia tidak akan berbuat sekonyol itu.""Udahlah, Neng Viola. Nanti saja kita buktikan. Saya akan tinggal di sini, biar tidak terjadi hal-hal buruk.""Sama lah kalau begitu, saya juga tinggal di sini. Kita buktikan saja siapa yang memfitnah."Lita tersentak, dia menatap ibunya, seolah mengode sesuatu."Lho, nggak bisa gitu dong, Neng. Anakmu laki-laki tidak perlu ditemani, beda dengan anakku, perlu penjagaan ketat.""Dia tidak terancam kok di sini, Neng Ririn. Malah, Lita bisa me time sepanjang waktu. Kan yan