Angin malam berhembus membawa udara dingin.
Alea Rahardja terjaga saat rasa dingin menyergap tubuhnya. Alea berbalik. Merapatkan selimut seraya mengulurkan tangan. Mencari keberadaan suaminya. Namun ternyata, tempat tidur di sebelahnya kosong.Dengan rasa kantuk yang mendera, Alea bangkit seraya membuka paksa matanya yang masih rapat. "Carlos?" panggil Alea. Menyebut nama suaminya. Manik hitamnya bergerak, menyusuri sekeliling kamar. Namun, dia tidak menemukan sosok yang dicarinya. "Apa Carlos masih berada di ruang kerja?" gumam Alea. Berbicara pada dirinya sendiri. Sekilas, wanita muda itu melirik jam yang menunjukkan pukul 23.15. Waktu sudah hampir tengah malam, namun suaminya belum juga masuk kamar. Akhir-akhir ini, Alea memang sering tidur lebih awal. Pada usia kehamilannya yang menginjak trimester ketiga, kandungan Alea mengalami masalah. Alea mengalami solusio plasenta. Karena itu, dokter mengharuskannya mengkonsumsi obat khusus yang membuatnya cepat mengantuk. "Carlos terlalu giat bekerja." Alea beringsut menuruni tempat tidur. Sejenak, dia duduk di sisi ranjang. Mengelus perutnya yang membuncit. Alea meringis saat merasakan gerakan kecil yang dibuat bayinya. Setelah rasa ngilu dalam perutnya hilang, Alea bangkit lalu berjalan keluar kamar. "Dia tidak di ruang kerja?" Kening Alea berkerut melihat lampu di ruang kerja suaminya yang tidak menyala. Menandakan tidak ada orang di dalamnya. Alea pun beranjak menuruni tangga. "Mamah ... Carlos? APA YANG KALIAN LAKUKAN?!" Alea terbeliak melihat dua tubuh polos yang sedang bersenggama di atas sofa. Nampak, tubuh polos Fiona, ibu Alea, sedang menunggangi tubuh polos Carlos, menantunya sendiri. Air mata Alea menetes. Kakinya lemas seolah tanpa tulang. Alea kaget sekaligus shock melihat pengkhianatan yang dilakukan ibu dan suaminya. "BIADAB KALIAN!" Dua insan tanpa busana itu terperanjat mendengar teriakan Alea. Carlos segera mendorong Fiona, lalu menyambar jubah tidur untuk menutupi kepolosannya. Sedang Fiona, dengan santainya meraih tisu, lalu mengusap cairan kental yang keluar dari selangkangannya. "Sayang, aku bisa jelaskan." Carlos mendatangi Alea dengan terburu-buru. Alea memalingkan wajah, tidak kuasa melihat sisa percintaan yang melekat di tubuh suaminya. Hatinya hancur. Menyaksikan bagian inti pria yang dicintainya mengkilap dipenuhi cairan cinta ibu mertuanya sendiri. "Papah?" lirih Alea. Hatinya pilu kala tatapannya menangkap sosok pria tua yang duduk pada kursi roda di pojok ruangan. Dengan teganya, Carlos dan Fiona membiarkan Andrean, ayah Fiona yang cacat dan tidak bisa apa-apa, menyaksikan pergumulan mereka. "BIADAB kalian! Dasar Binatang!" Alea menerjang tubuh Carlos, lalu memukulinya dengan membabi buta. Tidak di pedulikannya perkataan Carlos yang memintanya untuk tenang. "Bajingan! Aku membencimu!" Tangis Alea pecah seiring pukulan yang mendarat di tubuh suaminya. Carlos pun tidak tinggal diam, dia mencengkram tangan Alea, lalu memeluk tubuh istrinya dengan erat. "Tenang sayang! Aku bisa menjelaskan semuanya. Tolong jangan seperti ini!" Carlos mencoba menenangkan istrinya, namun Alea berontak. Berusaha melepaskan diri. "Lepas! Kamu sangat menjijikkan Carlos! Kamu menjijikkan!" Plak!Satu tamparan mendarat di wajah Alea. Tubuh Alea pun terhuyung, lalu terdiam mematung. Alea kaget dengan pukulan yang diterimanya. "Mamah?" Alea menatap nanar Fiona yang sudah menamparnya. "Dasar anak kurang ajar! Beraninya kamu mengganggu kenikmatanku dan memukul tubuh kekasihku," pekik Fiona. Menatap nyalang putrinya. Mulut Alea terkatup. Kakinya melangkah mundur. Dia tidak menyangka, wanita yang selama lima tahun ini sangat dihormati dan sudah dianggapnya sebagai ibu kandung, tega memukulnya. Fiona bukan ibu kandung Alea. Dia hanya ibu tiri. Lima tahun lalu, Andrean menikah dengan Fiona setelah Arumi, ibu kandung Alea, meninggal dunia. Dan tidak lama dari itu, Andrean mengalami kecelakaan hingga membuatnya lumpuh permanen. Carlos yang baru sadar, mendekati istrinya, namun Alea melarangnya mendekat. "Menjauh! Jangan dekati aku!" Alea mengangkat tangan ke hadapan suaminya. Nampak, air mata memenuhi wajahnya. "Alea tenang! Aku akan menjelaskan semuanya. Ini tidak seperti yang kamu lihat, aku dan mamah–." "Kamu tidak perlu menjelaskan apapun Carlos!" sela Fiona. Wanita itu menatap Alea dengan tatapan mengejek, lalu mendekati Carlos seraya menempelkan tubuh setengah polosnya pada pria itu. "Biarkan istrimu tahu, betapa panas dan ganasnya permainan kita setiap malam ketika dia sedang tidur." Mata Alea terbeliak melihat Fiona yang tanpa malu meraup wajah Carlos, lalu mencium bibir menantunya dengan bringas. Nampak, Carlos mencoba menghindar. Namun, nafsu Fiona terlalu besar hingga membuatnya kewalahan. "Dasar Biadab! Binatang kalian!" Alea luruh ke atas lantai. Tidak kuasa menopang berat badannya. Kepala Alea pusing, matanya berkunang-kunang. Semuanya terasa berat bagi Alea. Sebelum kegelapan melahap kesadarannya, Alea melirik ke ujung ruangan. Terlihat Andrean menangis seraya menatap sedih ke arahnya. "Pa-pah." ***Alea sadar saat suara pecahan barang memekakkan telinganya. Dia memaksakan diri untuk membuka mata sambil menahan sakit kepala yang mengerikan. Prang!Terdengar suara pecahan barang yang di banting "Aku akan bercerai dari tua bangka itu, Carlos. Dan kamu juga harus bercerai dari istrimu!" Kesadaran Alea semakin jelas saat telinganya menangkap perdebatan dari dua orang yang sudah membuatnya pingsan. "Kamu gila Fiona! Aku tidak akan pernah menceraikan Alea! Urusan kita berakhir setelah bayi itu lahir." Bagai dipukul palu godam, dada Alea nyeri. Sesak mendengar kata-kata suaminya. Alea mencoba bangkit, melihat apa yang terjadi. Nampak, Fiona dan Carlos berdiri tidak jauh dari tempatnya berbaring. "Tidak! Aku tidak akan membiarkan kamu pergi dariku, Carlos. Aku dan bayi ini membutuhkanmu." Tangis Alea luruh. Hatinya teremas nyeri. Dari perdebatan mereka, Alea menyimpulkan kalau saat ini ibunya sedang hamil. Mengerikan! Berapa banyak lagi kejutan menyakitkan yang harus Alea ketahui dari hubungan terlarang suami dan ibunya. "Kalian menjijikkan!" desis Alea, terisak. Carlos dan Fiona menoleh bersamaan. Menatap Alea yang memperhatikan mereka. "Sayang! Kamu sudah bangun?" Carlos menghampiri Alea. Namun, Alea beringsut mundur. Menghindari sentuhan suaminya. "Jangan sentuh aku!" Alea menepis tangan Carlos. "Kamu pengkhianat Carlos!" "Tidak sayang! Aku bisa menjelaskan semuanya. Tolong jangan begini! Beri aku kesempatan untuk bicara." Suara Carlos bergetar. Pria itu memeluk Alea untuk menenangkannya. Namun Alea memberontak. Alea merasa jijik disentuh suaminya sendiri. "Lepas! Jangan menyentuhku! Kamu kotor! Menjijikkan!" Melihat kekasihnya memeluk wanita lain, Fiona pun berang. Dia berjalan mendekati Alea, lalu melemparkan testpack yang dipegangnya. "Bagus lah kamu bangun!" Alea menatap nanar benda putih panjang yang mendarat dihadapannya. Nampak, dua garis merah tertera pada benda tersebut. "Asal kamu tahu, Mamah hamil anak Carlos. Dokter bilang, usia kandungan mamah sudah genap delapan minggu. Jadi, bersiaplah berbagi suami denganku. Carlos akan menjadi ayah dari bayi kita." Hati Alea perih. Pilu bagai disayat sembilu. Tiga tahun menikah dengan Carlos, baru tahun ketiga Alea hamil. Lalu, berapa lama hubungan Carlos dan Fiona sudah berjalan, sampai-sampai, saat ini Fiona mengandung anak dari pria itu?"Berbagi suami?" Alea menggeleng. Tidak habis pikir dengan pemikiran Fiona. Bagaimana bisa Alea berbagi suami dengan ibu tirinya sendiri. Sungguh! Fiona wanita tidak tahu malu. Alea melepaskan pelukan suaminya, lalu menatap ibunya dengan tajam. "Ambil saja Carlos untukmu! Aku tidak sudi berbagi pria ataupun menerima pria bekasmu." Fiona mengerutkan kening, begitupun dengan carlos. Tatapan Alea beralih pada suaminya. "Aku minta cerai! Hubungan kita berakhir." Fiona tersenyum lebar. Dengan sisa tenaganya, Alea beringsut. Turun dari tempat tidur. Namun, Carlos menahannya. Nampak, wajah pria itu berubah pucat. "Tidak Alea! Aku tidak akan menceraikanmu. Aku mencintaimu." Carlos memeluk istrinya seraya mengecupi bahunya. Alea memberontak, tapi Carlos tidak memperdulikannya. "Ingat Alea, bayi kita akan segera lahir. Dia membutuhkan kita!" "Bayi kita?" bentak Alea. Dia mendorong Carlos. Melepaskan diri dari pelukan pria itu. Alea memejamkan mata. Mengusap bayi dalam perutnya.
"Aku harus mengurus pemakaman. Jaga Alea dan bayiku baik-baik!" Alea mendengar suara langkah kaki Carlos menghilang seiring pintu ruangan yang tertutup. "Apa yang harus kita lakukan sekarang?" Alea merasakan napas seseorang menerpa wajahnya. "Kamu akan membiarkan anak ini tetap hidup?" "Tidak ada cara lain. Aku tidak mau kehilangan Carlos dan harta yang didapatnya." Sejenak, suasana terdengar hening. "Untuk berjaga-jaga, bunuh saja bayinya. Aku tidak mau bayiku mempunyai saingan dalam mendapatkan kasih sayang ayahnya. Buat itu seperti kecelakaan!" Alea tersentak. Dia panik. "Serahkan padaku! Obat ini akan membuat rahimnya berkontraksi, dan bayinya akan lahir prematur. Aku yakin, bayi itu tidak akan selamat." 'Tidak! Jangan sakiti bayiku! Jangan sentuh dia!' jerit Alea. Kening Alea mengernyit saat sebuah suntikan menembus kulitnya. 'Tolong! Siapapun, tolong aku. Jangan biarkan mereka menyakiti bayiku. To-long!' Kesadaran Alea menghilang. Dia kembali pingsan. ***A
"Sayang … ini mamah, Nak!" Alea terharu melihat bayi di hadapannya. Dia segera membuka kotak inkubator, lalu mengeluarkan bayinya. Alea menciumi bayinya dengan sayang. Mendekapnya dengan erat. Tidak mau kehilangan bayinya. "Nyonya! Hanya ini yang bisa saya lakukan. Pergilah sebelum dokter Kevin datang," tutur perawat itu. Alea terkesiap mendengar nama Kevin disebut. Dia pun yakin, perawat di hadapannya benar-benar ingin membantunya. "Dengarkan saya baik-baik, Nyonya. Bayi anda masih dalam pengaruh obat. Dia akan sadar dua jam lagi. Selama itu, anda harus tetap mendekapnya dan membuatnya tetap hangat. Bayi anda sangat lemah, jangan sampai dia kedinginan terlalu lama," tutur perawat seraya mengeluarkan selimut bayi dari dalam kotak inkubator. Alea mengangguk. Tangisnya luruh. Terharu dengan kebaikan orang yang menolongnya. Dia pun membiarkan perawat itu membungkus bayinya dengan selimut. "Saya tahu ini tidak akan bertahan lama." Perawat tersebut mengeluarkan sebuah suntikan dan bot
Tanpa di minta dua kali, pria itu berlari. Tapi, tidak secepat saat berlari di jalanan. Batu kerikil yang menghiasi jalan kereta membuatnya kesulitan untuk melangkah. Eaaaa Eaaa! Alea semakin panik mendengar bayinya menangis. Dia menoleh ke belakang. Terlihat anak buah Carlos semakin dekat. "Turunkan aku di sini!" pinta Alea seraya terisak. "Cepat! Turunkan aku!" Pria itu menoleh sedikit. Napasnya tersengal-sengal. "Apa maksudmu?" "Kita tidak akan selamat jika kamu berlari sambil menggendongku. Turunkan aku! Cepat!" Alea meremas bahu pria yang menggendongnya seraya memberontak turun. Sontak, langkah pria yang menggendong Alea pun oleng, hingga membuatnya dan Alea jatuh. Beruntung bayi yang digendongnya selamat. "Bayiku." Alea merangkak meraih bayinya. Dia menatap bayinya lekat-lekat, lalu mengecupi wajahnya. "Ssst! Jangan menangis, Nak! Tidak perlu takut. Mamah akan melindungimu." Air mata Alea luruh tidak terbendung. Berulang kali, dia mengecupi wajah bayinya seraya men
Tiga bulan berlalu, kondisi Alea semakin memburuk. Selama tiga bulan ini, Fiona meminta dokter untuk mencekoki Alea dengan obat halusinogen. Para dokter pun sudah tidak lagi peduli dengan efek samping dari obat yang mereka berikan. Mereka hanya menjalankan perintah dari Fiona yang ingin melihat Alea tersiksa dan mati secara perlahan. "Tidak! Papah … jangan tinggalkan Alea! Jangan pergi!" Alea meraung seraya menangis histeris. Dia mencakar-cakar lantai hingga membuat kuku jarinya terluka dan berdarah. Nampak, rambut Alea acak-acakan dengan luka lebam yang menghiasi wajahnya. Ada beberapa luka sayat di leher dan tangan Alea, serta terdapat kantung mata hitam disekitar matanya yang bengkak, akibat terlalu banyak menangis. Kondisi Alea benar-benar memprihatinkan. Dia sudah benar-benar kehilangan akal. Bayangan saat ayah dan bayinya yang meninggal terus menghantui Alea hingga membuatnya tidak bisa lagi mengenali Carlos sebagai suaminya. "Apa yang sebenarnya terjadi dengan istriku? Ken
Waktu berjalan dengan cepat. Empat bulan berlalu sejak Alea dibawa pulang dari rumah sakit jiwa. Selama itu, Alea dikurung dalam rumah. Fiona menempatkannya di ruang bawah tanah dengan pintu yang selalu terkunci rapat. Karena kesibukan di perusahaan, selama empat bulan ini Carlos mempercayakan penjagaan Alea kepada Fiona. Dia percaya istri keduanya akan menjaga Alea dengan baik. Mengingat Fiona adalah mantan ibu tiri Alea. Namun pada kenyataannya, Alea hanya mendapatkan siksaan dari ibu tirinya. Alea terus dicekoki dengan obat-obatan psikiatri hingga membuatnya ketergantungan. Bahkan, obat-obatan tersebut berpengaruh pada kesuburannya. Alea mengalami gangguan fungsi seksual hingga mengalami penurunan libido dan membuatnya kesakitan setiap kali Carlos menggaulinya. Setiap Carlos pulang ke rumah, Fiona selalu memindahkan Alea ke kamar. Dia bahkan mempersiapkan Alea untuk melayani carlos. Fiona menyadari semua kesakitan yang Alea alami, namun dia tidak peduli. Baginya, yang terpenting
Carlos membuka pintu kamar. Nampak, Alea berdiri di depan jendela sambil bersenandung. Tatapan Carlos tertuju pada bantal yang Alea dekap. Carlos menarik napas. Dadanya sesak. Sedih melihat istrinya yang belum bisa menerima kematian bayinya. "Alea ..." Carlos mendekati Alea, lalu mengecup pipinya dengan sayang. Carlos melingkarkan tangan memeluk pinggang istrinya, namun Alea segera menjauh. 'Ssst! Bayiku sedang tidur," ucap Alea. Dia berjalan menuju tempat tidur, lalu duduk di ujung ranjang. Carlos menatap sendu istrinya. Alea sama sekali tidak menghiraukan dirinya. Carlos menghampiri Alea, lalu duduk di sampingnya. Ditatapnya wajah cantik Alea yang tersenyum sambil bersenandung. Carlos tersenyum getir. Tatapannya meredup. Sudah lama Carlos tidak melihat senyum istrinya. Namun sekarang, senyum itu hanya bisa dilihat saat istrinya sedang bermain bantal. "Sayang, apa kamu tidak merindukanku?" Carlos merapatkan diri pada Alea. Dia merangkul pinggang istrinya dengan sedikit p
Rontaan Alea terhenti. Dia merasakan cairan dingin menjalar ke seluruh tubuhnya. Membekukan jantung dan otaknya. Alea merasa tubuhnya melayang, jiwanya seolah keluar dari raga. Dia merasa terbang. Perasaan Alea terasa ringan. Namun sedetik kemudian, bayangan buruk yang selalu menghantuinya datang. Mata Alea terbeliak, menyaksikan setiap kejadian buruk yang dialami dalam hidupnya. Kejadian saat Carlos dan Fiona bercinta, ayahnya yang terbujur kaku di atas lantai dan bayinya yang pergi dalam ledakan. Alea ingin menjerit. Namun rahangnya kaku tidak bisa digerakkan. Dia pun pasrah saat Carlos membawanya ke tempat tidur. Alea memejamkan mata, berusaha menghilangkan bayangan-bayangan yang bermunculan di pelupuk matanya. Namun sia-sia. Alea hanya bisa menyaksikan setiap adegan buruk yang menyayat hati terus berulang dalam benaknya. "To-long!" Alea mengucapkan kata itu dengan sudah payah. Namun sayang, carlos tidak mendengarnya. Alea harap semua bayangan di kepalanya sirna. Tapi yang ada
"Nyonya Alea?" Kening Alea mengernyit. Mendengar seseorang memanggil namanya. Dia perlahan membuka mata, kemudian memutar sedikit kepala untuk melihat orang yang memanggilnya. Alea terkesiap melihat sosok pria yang semalam ditemuinya. Bibir Alea seketika tersenyum, lalu mengedarkan pandangan. Mencari keberadaan anak laki-laki yang semalam sudah berhasil mencuri hatinya. 'Akhirnya, kamu datang juga,' batin Alea. Tanpa mengindahkan keberadaan Liam.Liam mengeratkan rahang begitu melihat senyum di bibir Alea. Reaksi Alea yang tiba-tiba terlihat senang memberitahu Liam tentang Alea yang ingin kembali bertemu Ansel. Liam pun mendengus. Merutuki perbuatan licik yang Alea lakukan. Liam yakin, Alea memang sudah mengambil gantungan kalung milik putranya. "Anda tidak akan mendapatkan apa yang anda inginkan dengan mudah, nyonya," tutur Liam dengan nada dingin. Senyum di wajah Alea memudar. Tatapannya tertuju pada liam yang menatap datar dirinya. Alea sadar, anak laki-laki yang dari semalam
"Siapkan pesawat! Kita pergi menyusul mereka." "Apa?!" Darvin tercengang mendengar perintah atasannya. Tidak menyangka Liam akan repot-repot menyusul Alea dan keluarganya. Padahal, pekerjaan pria itu sangat banyak. Dan tidak biasanya Liam pergi meninggalkan pekerjaannya."Maaf tuan, apa maksud anda kita akan pergi menyusul Nyonya Alea?" tanya Darvin dengan hati-hati. Memastikan perintah yang baru saja didengarnya. Liam melayangkan tatapan dinginnya. "Apa perintahku kurang jelas? Aku tidak suka mengulang perintah." "Ma-maaf Tuan! Saya akan segera menyiapkan pesawat," sahut Darvin seraya menegakkan badan. Gugup mendapatkan tatapan dingin dari Liam. Meski atasannya tersebut tidak terlihat marah, tapi Darvin tahu Liam bukan pria yang banyak berkata. Dia tidak suka menunggu atau mengulang perintah. Pria itu lebih baik kehilangan bawahan dari pada harus mengulang perkataannya. Tidak mau kehilangan pekerjaan yang sudah lima tahun ini dijabatnya, Darvin pun segera undur diri dari hadapa
"Tangisanmu tidak akan berpengaruh pada papah, Ansel. Jangan harap Papah akan memaafkanmu begitu saja." Liam menolak permohonan putranya dengan tegas. Ansel merapatkan bibir. Menahan isakannya agar tidak keluar. Takut Liam akan semakin marah. Aliana menatap kakak dan keponakannya bergantian. Merasa iba pada Ansel. Dia ingin membela keponakannya, namun takut Liam akan berbalik marah padanya. Aliana pun hanya diam tanpa mampu berbuat apa-apa. "Sekarang katakan! Kenapa semalam kamu membuat masalah?" Liam mempertanyakan alasan Ansel kabur dari pesta. Dengan tangan bergetar, Ansel mengambil buku tulisnya dari tangan Liam, lalu mengambil pulpen dari Aliana. Ansel menuliskan sesuatu pada kertas yang terbuka dihadapannya. 'Maaf!' Ansel menunduk seraya memperlihatkan tulisan tersebut. Liam menatap putranya dalam-dalam, jika kata maaf sudah keluar, artinya Ansel tidak akan memberikan penjelasan apapun. "Papah khawatir!" Ansel mendongak mendengar dua kata yang ayahnya ucapkan. Matanya be
Keesokan harinya, terjadi kerusuhan di rumah keluarga Abraham. Ansel, cucu tunggal keluarga Abraham, mogok makan dan tidak mau membuka mulut sedikit pun. Aliana yang sudah Liam percaya untuk menjaga Ansel pun bingung. Dia tidak mau Liam menjauhkan Ansel darinya. "Ansel, tolong jangan membuatku susah. Ayahmu sudah marah padaku karena kejadian semalam, buka mulutmu dan makanlah!" pinta Aliana setengah memelas. Takut kondisi Ansel kembali drop hingga Liam menyalahkannya. Selama ini, Liam sangat protektif pada putranya. Dia tidak membiarkan siapapun berdekatan dengan Ansel, termasuk orangtua dan adiknya. Liam tidak mempercayakan pengawasan Ansel pada orang lain. Namun dua tahun lalu, setelah Aliana membujuk Liam dengan menjanjikan akan membuat Ansel sembuh dari speech delaynya dan tidak akan membiarkan Ansel kekurangan kasih sayang seorang ibu, Liam pun akhirnya mempercayakan pengawasan Ansel pada adiknya, mengingat dirinya yang memang tidak bisa berceloteh banyak seperti yang Aliana l
Beberapa jam berlalu. Begitu Calros dan Fiona pergi ke kamar mandi, Alea membuka mata. Tadi, dia hanya berpura-pura tidur untuk menghindari Carlos. Alea tidak sudi melayani suaminya. Selama empat tahun ini, Alea harus bertahan dengan Calros dan Fiona yang tidak punya malu berhubung badan dihadapannya. Alea muak. Dia ingin menghentikan mereka, namun tidak ada yang bisa Alea lakukan selain menghindar. Biasanya, Alea pura-pura tidur atau mengamuk histeris untuk menghindari sentuhan Carlos. Namun, hal itu kadang tidak berguna jika Carlos ataupun Fiona menggunakan obat perangsang untuk membuatnya terlibat dalam percintaan. Air mata Alea menetes. Menangis tanpa suara. Tidak mudah bertahan hidup dalam kebobrokan moral yang dilakukan oleh suaminya. Carlos sebagai suami tidak memikirkan perasaan Alea yang harus melihat percintaannya dengan wanita lain. Alea sadar, dirinya mulai gila. Bahkan mungkin sudah gila seperti yang sering Fiona katakan. Tapi sayang, sejak empat tahun lalu, kesadara
Alea berjalan menuju rumah dengan langkah anggun. Senyum manis terukir di wajahnya. Tidak dipedulikannya sepatu dan ujung gaunnya yang kotor terkena lumpur, bahkan pakaiannya pun basah karena air hujan."Alea dari mana saja kamu?"Carlos menghampiri Alea dengan wajah cemas. Dia menilik penampilan istrinya. Carlos terkesiap melihat luka di pergelangan tangan Alea."Alea kamu melukai diri sendiri lagi?" Alea menarik tangannya dari genggaman Carlos. Dia menatapnya dengan tatapan dingin. "Jangan sentuh!" Alea menyembunyikan luka di tangannya.Plak! Tiba-tiba, sebuah tamparan mendarat di wajah Alea. Nampak, Fiona berdiri dihadapannya dengan wajah geram."Dasar wanita gila! Bisa-bisanya kamu pergi di tengah pesta. Kamu hampir menghancurkan pesta ulang tahun putraku," teriak Fiona. Dia hendak melayangkan kembali pukulannya, namun Carlos lebih dulu menahan laju tangannya. "Cukup!" cegah Carlos dengan tegas. "Jangan berlebihan!" Fiona mendelik. "Berlebihan? Dia–." "Oma, aku mengangtuk."
Alea menoleh. Nampak, seorang anak laki-laki tengah memperhatikan dirinya. Kesadaran Alea tenggelam dalam manik hitam pekat anak laki-laki tersebut. Kulit putih anak itu membuat Alea kagum. Terpesona pada wajah tampan dihadapannya. Alea sampai tidak sadar saat tangan kecil anak itu mengambil gunting yang dipegangnya. "Siapa kamu?" tanya Alea. Begitu sadar dari keterkejutannya. Anak laki-laki itu tidak menjawab. Tatapannya tertuju pada luka di pergelangan tangan kiri Alea. Kepalanya yang kecil menoleh ke kanan dan ke kiri seolah mencari sesuatu, kemudian dia menghela. Alea terperanjat saat anak kecil itu meraih ujung belakang gaun yang menjuntai ke tanah, lalu memotongnya dengan gunting yang dipegangnya. Anak itu memegang tangan kiri Alea, meniup lukanya kemudian membalutkannya dengan hati-hati. Semua pekerjaan anak itu lakukan dalam diam. Mulut kecilnya tidak mengeluarkan suara sedikitpun. Hanya kadang, bibir mungilnya terbuka saat menarik atau menghembuskan napas. Wajah tampanny
Pesta berjalan dengan sangat meriah. Banyak anak kecil yang berkeliaran di lantai pertama rumah Alea. Mereka ada yang seumuran Barra, bahkan ada yang lebih kecil dan lebih dewasa darinya. Carlos memang mengundang semua kerabat dan rekan bisnisnya yang memiliki anak kecil. Tidak hanya itu, Carlos juga mengundang beberapa orang penting yang tidak memiliki anak. Karena sebenarnya, tujuan utama pesta itu digelar hanya untuk memamerkan Alea. Carlos tidak mau ada lagi orang yang meragukan kebersamaannya dengan Alea. Dia ingin memperlihatkan kalau Alea, dirinya dan Barra hidup bahagia dan baik-baik saja. "Sudah waktunya potong kue. Ayo semua, kita nyanyikan lagu ulang tahun untuk Barra!" himbau Fiona. Dia semangat sekali memeriahkan acara ulang tahun putranya. Berbeda dengan Alea yang hanya diam di samping Barra dan suaminya. Lagu ulang tahun menggema. Barra meniup lilin pada kue ulang tahunnya, kemudian memotong kue. Fiona berharap, potongan kue pertama Barra berikan untuknya, namun it
"Cukup! Hentikan Oma! Kita bisa terlambat. Tidak ada gunanya mengurusi wanita gila itu." Barra menarik pakaian Fiona untuk menghentikan perbuatannya memukuli Alea.Fiona melirik putranya. Wajahnya muram. Tidak suka melihat Barra membela Alea. Selama ini, Barra mengetahui kalau ibunya adalah Alea, sedang Fiona adalah neneknya. Semua karena harta warisan yang belum Fiona dan Carlos dapatkan sepenuhnya. Walau Carlos berhasil menguasai kekayaan Alea dengan surat kuasa yang diperolehnya sebagai suami. Tapi, tidak mudah mengalihkan semua harta Alea atas namanya. Apalagi, perhatian para direksi dan wartawan selalu tertuju pada Alea yang merupakan ahli waris tunggal keluarga Rahardja. Karena itu, dengan liciknya Carlos menjadikan Barra sebagian anak kandung Alea. Dia ingin anak itu menjadi ahli waris keluarga Rahardja selanjutnya. Fiona sempat menentang rencana Carlos. Tidak rela putranya diakui sebagai anak orang lain. Tapi Carlos berhasil meyakinkannya, bahkan Barra langsung di jadikan