"Siapkan pesawat! Kita pergi menyusul mereka." "Apa?!" Darvin tercengang mendengar perintah atasannya. Tidak menyangka Liam akan repot-repot menyusul Alea dan keluarganya. Padahal, pekerjaan pria itu sangat banyak. Dan tidak biasanya Liam pergi meninggalkan pekerjaannya."Maaf tuan, apa maksud anda kita akan pergi menyusul Nyonya Alea?" tanya Darvin dengan hati-hati. Memastikan perintah yang baru saja didengarnya. Liam melayangkan tatapan dinginnya. "Apa perintahku kurang jelas? Aku tidak suka mengulang perintah." "Ma-maaf Tuan! Saya akan segera menyiapkan pesawat," sahut Darvin seraya menegakkan badan. Gugup mendapatkan tatapan dingin dari Liam. Meski atasannya tersebut tidak terlihat marah, tapi Darvin tahu Liam bukan pria yang banyak berkata. Dia tidak suka menunggu atau mengulang perintah. Pria itu lebih baik kehilangan bawahan dari pada harus mengulang perkataannya. Tidak mau kehilangan pekerjaan yang sudah lima tahun ini dijabatnya, Darvin pun segera undur diri dari hadapa
"Nyonya Alea?" Kening Alea mengernyit. Mendengar seseorang memanggil namanya. Dia perlahan membuka mata, kemudian memutar sedikit kepala untuk melihat orang yang memanggilnya. Alea terkesiap melihat sosok pria yang semalam ditemuinya. Bibir Alea seketika tersenyum, lalu mengedarkan pandangan. Mencari keberadaan anak laki-laki yang semalam sudah berhasil mencuri hatinya. 'Akhirnya, kamu datang juga,' batin Alea. Tanpa mengindahkan keberadaan Liam.Liam mengeratkan rahang begitu melihat senyum di bibir Alea. Reaksi Alea yang tiba-tiba terlihat senang memberitahu Liam tentang Alea yang ingin kembali bertemu Ansel. Liam pun mendengus. Merutuki perbuatan licik yang Alea lakukan. Liam yakin, Alea memang sudah mengambil gantungan kalung milik putranya. "Anda tidak akan mendapatkan apa yang anda inginkan dengan mudah, nyonya," tutur Liam dengan nada dingin. Senyum di wajah Alea memudar. Tatapannya tertuju pada liam yang menatap datar dirinya. Alea sadar, anak laki-laki yang dari semalam
Angin malam berhembus membawa udara dingin. Alea Rahardja terjaga saat rasa dingin menyergap tubuhnya. Alea berbalik. Merapatkan selimut seraya mengulurkan tangan. Mencari keberadaan suaminya. Namun ternyata, tempat tidur di sebelahnya kosong.Dengan rasa kantuk yang mendera, Alea bangkit seraya membuka paksa matanya yang masih rapat. "Carlos?" panggil Alea. Menyebut nama suaminya. Manik hitamnya bergerak, menyusuri sekeliling kamar. Namun, dia tidak menemukan sosok yang dicarinya. "Apa Carlos masih berada di ruang kerja?" gumam Alea. Berbicara pada dirinya sendiri. Sekilas, wanita muda itu melirik jam yang menunjukkan pukul 23.15. Waktu sudah hampir tengah malam, namun suaminya belum juga masuk kamar. Akhir-akhir ini, Alea memang sering tidur lebih awal. Pada usia kehamilannya yang menginjak trimester ketiga, kandungan Alea mengalami masalah. Alea mengalami solusio plasenta. Karena itu, dokter mengharuskannya mengkonsumsi obat khusus yang membuatnya cepat mengantuk. "Carlos ter
"Berbagi suami?" Alea menggeleng. Tidak habis pikir dengan pemikiran Fiona. Bagaimana bisa Alea berbagi suami dengan ibu tirinya sendiri. Sungguh! Fiona wanita tidak tahu malu. Alea melepaskan pelukan suaminya, lalu menatap ibunya dengan tajam. "Ambil saja Carlos untukmu! Aku tidak sudi berbagi pria ataupun menerima pria bekasmu." Fiona mengerutkan kening, begitupun dengan carlos. Tatapan Alea beralih pada suaminya. "Aku minta cerai! Hubungan kita berakhir." Fiona tersenyum lebar. Dengan sisa tenaganya, Alea beringsut. Turun dari tempat tidur. Namun, Carlos menahannya. Nampak, wajah pria itu berubah pucat. "Tidak Alea! Aku tidak akan menceraikanmu. Aku mencintaimu." Carlos memeluk istrinya seraya mengecupi bahunya. Alea memberontak, tapi Carlos tidak memperdulikannya. "Ingat Alea, bayi kita akan segera lahir. Dia membutuhkan kita!" "Bayi kita?" bentak Alea. Dia mendorong Carlos. Melepaskan diri dari pelukan pria itu. Alea memejamkan mata. Mengusap bayi dalam perutnya.
"Aku harus mengurus pemakaman. Jaga Alea dan bayiku baik-baik!" Alea mendengar suara langkah kaki Carlos menghilang seiring pintu ruangan yang tertutup. "Apa yang harus kita lakukan sekarang?" Alea merasakan napas seseorang menerpa wajahnya. "Kamu akan membiarkan anak ini tetap hidup?" "Tidak ada cara lain. Aku tidak mau kehilangan Carlos dan harta yang didapatnya." Sejenak, suasana terdengar hening. "Untuk berjaga-jaga, bunuh saja bayinya. Aku tidak mau bayiku mempunyai saingan dalam mendapatkan kasih sayang ayahnya. Buat itu seperti kecelakaan!" Alea tersentak. Dia panik. "Serahkan padaku! Obat ini akan membuat rahimnya berkontraksi, dan bayinya akan lahir prematur. Aku yakin, bayi itu tidak akan selamat." 'Tidak! Jangan sakiti bayiku! Jangan sentuh dia!' jerit Alea. Kening Alea mengernyit saat sebuah suntikan menembus kulitnya. 'Tolong! Siapapun, tolong aku. Jangan biarkan mereka menyakiti bayiku. To-long!' Kesadaran Alea menghilang. Dia kembali pingsan. ***A
"Sayang … ini mamah, Nak!" Alea terharu melihat bayi di hadapannya. Dia segera membuka kotak inkubator, lalu mengeluarkan bayinya. Alea menciumi bayinya dengan sayang. Mendekapnya dengan erat. Tidak mau kehilangan bayinya. "Nyonya! Hanya ini yang bisa saya lakukan. Pergilah sebelum dokter Kevin datang," tutur perawat itu. Alea terkesiap mendengar nama Kevin disebut. Dia pun yakin, perawat di hadapannya benar-benar ingin membantunya. "Dengarkan saya baik-baik, Nyonya. Bayi anda masih dalam pengaruh obat. Dia akan sadar dua jam lagi. Selama itu, anda harus tetap mendekapnya dan membuatnya tetap hangat. Bayi anda sangat lemah, jangan sampai dia kedinginan terlalu lama," tutur perawat seraya mengeluarkan selimut bayi dari dalam kotak inkubator. Alea mengangguk. Tangisnya luruh. Terharu dengan kebaikan orang yang menolongnya. Dia pun membiarkan perawat itu membungkus bayinya dengan selimut. "Saya tahu ini tidak akan bertahan lama." Perawat tersebut mengeluarkan sebuah suntikan dan bot
Tanpa di minta dua kali, pria itu berlari. Tapi, tidak secepat saat berlari di jalanan. Batu kerikil yang menghiasi jalan kereta membuatnya kesulitan untuk melangkah. Eaaaa Eaaa! Alea semakin panik mendengar bayinya menangis. Dia menoleh ke belakang. Terlihat anak buah Carlos semakin dekat. "Turunkan aku di sini!" pinta Alea seraya terisak. "Cepat! Turunkan aku!" Pria itu menoleh sedikit. Napasnya tersengal-sengal. "Apa maksudmu?" "Kita tidak akan selamat jika kamu berlari sambil menggendongku. Turunkan aku! Cepat!" Alea meremas bahu pria yang menggendongnya seraya memberontak turun. Sontak, langkah pria yang menggendong Alea pun oleng, hingga membuatnya dan Alea jatuh. Beruntung bayi yang digendongnya selamat. "Bayiku." Alea merangkak meraih bayinya. Dia menatap bayinya lekat-lekat, lalu mengecupi wajahnya. "Ssst! Jangan menangis, Nak! Tidak perlu takut. Mamah akan melindungimu." Air mata Alea luruh tidak terbendung. Berulang kali, dia mengecupi wajah bayinya seraya men
Tiga bulan berlalu, kondisi Alea semakin memburuk. Selama tiga bulan ini, Fiona meminta dokter untuk mencekoki Alea dengan obat halusinogen. Para dokter pun sudah tidak lagi peduli dengan efek samping dari obat yang mereka berikan. Mereka hanya menjalankan perintah dari Fiona yang ingin melihat Alea tersiksa dan mati secara perlahan. "Tidak! Papah … jangan tinggalkan Alea! Jangan pergi!" Alea meraung seraya menangis histeris. Dia mencakar-cakar lantai hingga membuat kuku jarinya terluka dan berdarah. Nampak, rambut Alea acak-acakan dengan luka lebam yang menghiasi wajahnya. Ada beberapa luka sayat di leher dan tangan Alea, serta terdapat kantung mata hitam disekitar matanya yang bengkak, akibat terlalu banyak menangis. Kondisi Alea benar-benar memprihatinkan. Dia sudah benar-benar kehilangan akal. Bayangan saat ayah dan bayinya yang meninggal terus menghantui Alea hingga membuatnya tidak bisa lagi mengenali Carlos sebagai suaminya. "Apa yang sebenarnya terjadi dengan istriku? Ken