Tiga bulan berlalu, kondisi Alea semakin memburuk. Selama tiga bulan ini, Fiona meminta dokter untuk mencekoki Alea dengan obat halusinogen.
Para dokter pun sudah tidak lagi peduli dengan efek samping dari obat yang mereka berikan. Mereka hanya menjalankan perintah dari Fiona yang ingin melihat Alea tersiksa dan mati secara perlahan."Tidak! Papah … jangan tinggalkan Alea! Jangan pergi!"Alea meraung seraya menangis histeris. Dia mencakar-cakar lantai hingga membuat kuku jarinya terluka dan berdarah.Nampak, rambut Alea acak-acakan dengan luka lebam yang menghiasi wajahnya. Ada beberapa luka sayat di leher dan tangan Alea, serta terdapat kantung mata hitam disekitar matanya yang bengkak, akibat terlalu banyak menangis. Kondisi Alea benar-benar memprihatinkan. Dia sudah benar-benar kehilangan akal.Bayangan saat ayah dan bayinya yang meninggal terus menghantui Alea hingga membuatnya tidak bisa lagi mengenali Carlos sebagai suaminya."Apa yang sebenarnya terjadi dengan istriku? Kenapa keadaannya tidak kunjung membaik?"Carlos memperhatikan istrinya dari luar kamar. Tatapannya meredup melihat Alea yang terus melukai diri sendiri. Hampir setiap hari selama tiga bulan, Alea mencoba bunuh diri. Carlos iba melihat tubuh cantik istrinya yang dipenuhi luka."Apa tidak ada cara untuk membuat Alea sembuh?" Carlos berpaling menatap Alex."Kami akan berusaha semaksimal mungkin," jawab Alex seraya menunduk.Tentu saja, pria itu tidak mengatakan hal yang sebenarnya terjadi. Bukannya Alea tidak bisa sembuh. Hanya saja, Alea memang sengaja dibuat gila.Obat yang Alea konsumsi membuatnya terus terbayang dengan kejadian buruk yang menimpanya. Bayangan itu terus berputar dan berulang dalam bentuk halusinasi. Menyiksa Alea secara mental. Sayangnya, Carlos tidak mengetahui hal tersebut."Aku ingin bersama istriku, pergilah!" titah Carlos.Alex mengangguk. Dia pun pergi meninggalkan ruang rawat Alea. Carlos melangkah memasuki ruangan berjeruji besi tempat istrinya berada. Dia menghampiri Alea yang sedang duduk di atas lantai."Sayang … jangan seperti ini. Kamu membuat kuku cantikmu terluka." Carlos meraih tangan Alea yang terus mencakar lantai.Alea menatap Carlos dengan tatapan kosong. Matanya terus mengeluarkan air mata."Bayiku … berikan bayiku! Kenapa kamu menyakiti bayiku?"Tanpa diduga, Alea histeris. Dia memukuli tubuh Carlos tanpa segan. Alea bahkan menggigit tubuh pria itu.Carlos tetap tenang. Sudah biasa menghadapi kemarahan istrinya. Carlos sadar, keadaan Alea disebabkan oleh perbuatannya sendiri, karena sudah melukai hati wanita yang dicintainya."Sayang … aku janji akan membawakan bayi untukmu. Sebentar lagi, dia akan datang. Tenanglah!" bujuk Carlos.Satu hal yang baru Carlos sadari, setelah melihat Alea hidup dalam kegilaan, perasaan cintanya pada Alea.Tidak Carlos pungkiri, tujuan awalnya menikahi Alea karena harta. Tapi cinta sudah tumbuh di hati Carlos tanpa bisa dicegah. Dia pun tidak bisa melepaskan Alea bahkan setelah berhasil mendapatkan hartanya."Tuan, ini bayi yang anda minta."Seorang pria paruh baya berdiri di depan pintu. Nampak, pria itu menggendong seorang bayi laki-laki. Carlos meminta pria paruh baya tersebut untuk mendekat."Sayang, coba lihat! Ini bayi yang kamu inginkan." Carlos memegangi tangan Alea. Berjaga-jaga agar Alea tidak menyerang bayi di hadapannya.Selama dua bulan terakhir, Carlos berusaha memberikan bayi yang Alea inginkan. Dia membawa bayi yang seumuran dengan bayi Alea yang sudah meninggal. Carlos harap, bayi-bayi yang dibawanya akan merangsang kesadaran Alea. Namun sayang, hingga sekarang belum ada satu bayi pun yang Alea suka. Alea menolak bayi-bayi yang Carlos tawarkan."Penipu! Itu bukan bayiku! Kembalikan bayiku! Bayikuuuuu!" Alea semakin histeris.Carlos menatap tajam pria paruh baya di hadapannya. "Dasar tidak berguna! Bawa bayi itu pergi!""Baik Tuan!" Pria paruh baya itu pun keluar dari ruang rawat.Carlos memeluk Alea yang mengamuk. "Sayang, bayi seperti apa yang kamu inginkan? Aku tidak bisa memberikanmu bayi kita karena dia sudah meninggal."Suara Carlos terdengar bergetar. Bingung bagaimana membuat istrinya sadar dari ketidakwarasannya."Bayiku. Berikan bayiku. Dia pasti lapar, aku ingin menyusuinya." Alea meremas-remas dadanya. Nampak, air ASI membasahi baju yang pakainya.Selama tiga bulan ini, walau Alea tidak memberikan ASI-nya. Tapi, air susunya masih tetap keluar. Dan saat dadanya terasa keras, Alea pasti histeris meminta anaknya. Dia ingin memberikan ASI pada bayinya."Sayang, cukup! Jangan begini! Kamu hanya melukai diri sendiri."Carlos menahan tangan Alea yang masih meremasi dada. Rahang Carlos mengeras saat merasakan benda bulat dan kenyal milik Alea yang tersentuh oleh tangannya."Cukup sayang! Jangan meremasnya lagi," cegah Carlos.Napas Carlos memburu melihat pakaian bagian depan istrinya yang semakin basah. Dalam keadaan seperti ini, Carlos selalu tidak bisa mengendalikan diri untuk tidak menyentuh Alea."Cepat bawa bayiku! Aku harus menyusui bayiku!" isak Alea. Hatinya pedih merasakan dadanya yang sakit karena air susunya penuh. Alea yakin, saat ini bayinya sedang kelaparan."Sayang … aku tahu kamu kesakitan. Biar aku membantumu."Carlos membuka kancing baju pasien Alea. Mengeluarkan benda bulat indah milik istrinya. Kemudian menyesapnya secara bergantian, mengosongkan air susu yang seharusnya hanya diberikan pada bayinya."Tidak! Lepas! Jangan!"Alea berontak. Mencoba melepas diri dari Carlos. Namun percuma, birahi Carlos sudah mencapai ubun. Kecantikan Alea membuat Carlos berhasrat pada istri tidak warasnya."Sayang … kali ini aku akan memberimu anak. Kita pasti akan memiliki bayi lagi. Maaf, aku harus memaksamu seperti ini."Tanpa ragu, Carlos mulai melucuti pakaian istrinya. Tidak peduli Alea menolak dan memukulinya, Carlos tetap memaksanya.Satu hal yang Carlos harapkan dari persetubuhannya, Alea hamil. Dan kehamilannya bisa membuat Alea kembali sadar. Carlos tidak peduli walau harus memperkosa istrinya sendiri."Argh! Sakit! Hentikan! TIDAK!"Alea menjerit histeris saat Carlos menyatukan dirinya. Memacu cepat tubuh Alea sambil menikmati air susu yang masih keluar dari pucuk dadanya. Pria itu terlihat menikmati persenggamaannya, berbeda dengan Alea yang terus menjerit kesakitan."Sayang … sedikit lagi!" Carlos hilang akal. Dia memacu tubuhnya semakin kencang.Alea pun hanya bisa menangis sesenggukan dengan tubuh yang terguncang-guncang.Di luar ruangan, banyak orang yang mendengar jerit tangis dan teriakan kesakitan Alea. Namun, tidak ada satupun dari mereka yang menolong. Telinga mereka seakan tuli. Mereka memilih untuk tidak peduli.Kekuasaan Carlos membuat mereka takut. Apalagi mereka tahu Carlos dan Alea suami istri. Akhirnya, mereka memilih diam dan pura-pura tidak mendengar kebiadaban yang Carlos lakukan pada istrinya."Shit! Terima ini sayang. Aku yakin, kali ini kita akan memiliki bayi lagi," erang Carlos saat melepaskan cairan nikmatnya.Menjijikkan. Andai Alea sadar. Dia pasti sudah membunuh suaminya. Namun sayangnya, Alea hanya bisa terisak sambil memeluk tubuh polosnya. Dia bahkan tidak sadar, dirinya sudah dilecehkan."Sakit," lirih Alea, terisak."BRENGSEK! Dasar wanita gila sialan!"Tanpa Carlos dan Alea sadari, Fiona berdiri di depan pintu kamar. Menyaksikan pergumulan mereka. Nampak, perut Fiona membuncit karena kehamilannya yang sudah menginjak usia empat bulan."Kurang ajar! Aku tidak bisa membiarkan ini terus terjadi! Seharusnya, wanita itu yang melihat suaminya bermesraan denganku. Bukan sebaliknya," desis Fiona. Tangannya terkepal erat, marah pada Alea dan suaminya yang sedang memadu cinta."Alex, carikan obat yang bisa mengendalikan wanita itu. Aku ingin membawanya pulang ke rumah. Jika seperti ini, Carlos akan terus pulang ke sini dan melupakan aku yang menunggunya di rumah," titah Fiona.Sebenarnya, tujuan Fiona datang ke rumah sakit untuk menjemput suaminya. Sudah dua hari Carlos tidak pulang ke rumah, karena lebih memilih menemani Alea di rumah sakit jiwa."Tapi nyonya, apa tuan Carlos akan setuju?" Alex ragu dengan permintaan Fiona."Setuju atau tidak setuju. Aku akan membuat wanita itu berada di dekatku. Dengan begitu, aku bisa memantau hubungan mereka." Rahang Fiona mengeras. Giginya bergemeletuk. "Aku tidak akan membiarkan wanita itu hamil, Apalagi memiliki anak dari suamiku."Fiona menyeringai. Matanya menatap Alea dengan penuh kebencian. Tidak ada sedikitpun rasa iba dari Fiona untuk anak tirinya."Carlos, kamu boleh saja menggauli wanita gila itu. Tapi jangan harap, keinginanmu mendapatkan anak dari Alea akan terwujud. Aku akan membuat Alea mandul. Tidak bisa memiliki anak untuk selamanya."Waktu berjalan dengan cepat. Empat bulan berlalu sejak Alea dibawa pulang dari rumah sakit jiwa. Selama itu, Alea dikurung dalam rumah. Fiona menempatkannya di ruang bawah tanah dengan pintu yang selalu terkunci rapat. Karena kesibukan di perusahaan, selama empat bulan ini Carlos mempercayakan penjagaan Alea kepada Fiona. Dia percaya istri keduanya akan menjaga Alea dengan baik. Mengingat Fiona adalah mantan ibu tiri Alea. Namun pada kenyataannya, Alea hanya mendapatkan siksaan dari ibu tirinya. Alea terus dicekoki dengan obat-obatan psikiatri hingga membuatnya ketergantungan. Bahkan, obat-obatan tersebut berpengaruh pada kesuburannya. Alea mengalami gangguan fungsi seksual hingga mengalami penurunan libido dan membuatnya kesakitan setiap kali Carlos menggaulinya. Setiap Carlos pulang ke rumah, Fiona selalu memindahkan Alea ke kamar. Dia bahkan mempersiapkan Alea untuk melayani carlos. Fiona menyadari semua kesakitan yang Alea alami, namun dia tidak peduli. Baginya, yang terpenting
Carlos membuka pintu kamar. Nampak, Alea berdiri di depan jendela sambil bersenandung. Tatapan Carlos tertuju pada bantal yang Alea dekap. Carlos menarik napas. Dadanya sesak. Sedih melihat istrinya yang belum bisa menerima kematian bayinya. "Alea ..." Carlos mendekati Alea, lalu mengecup pipinya dengan sayang. Carlos melingkarkan tangan memeluk pinggang istrinya, namun Alea segera menjauh. 'Ssst! Bayiku sedang tidur," ucap Alea. Dia berjalan menuju tempat tidur, lalu duduk di ujung ranjang. Carlos menatap sendu istrinya. Alea sama sekali tidak menghiraukan dirinya. Carlos menghampiri Alea, lalu duduk di sampingnya. Ditatapnya wajah cantik Alea yang tersenyum sambil bersenandung. Carlos tersenyum getir. Tatapannya meredup. Sudah lama Carlos tidak melihat senyum istrinya. Namun sekarang, senyum itu hanya bisa dilihat saat istrinya sedang bermain bantal. "Sayang, apa kamu tidak merindukanku?" Carlos merapatkan diri pada Alea. Dia merangkul pinggang istrinya dengan sedikit p
Rontaan Alea terhenti. Dia merasakan cairan dingin menjalar ke seluruh tubuhnya. Membekukan jantung dan otaknya. Alea merasa tubuhnya melayang, jiwanya seolah keluar dari raga. Dia merasa terbang. Perasaan Alea terasa ringan. Namun sedetik kemudian, bayangan buruk yang selalu menghantuinya datang. Mata Alea terbeliak, menyaksikan setiap kejadian buruk yang dialami dalam hidupnya. Kejadian saat Carlos dan Fiona bercinta, ayahnya yang terbujur kaku di atas lantai dan bayinya yang pergi dalam ledakan. Alea ingin menjerit. Namun rahangnya kaku tidak bisa digerakkan. Dia pun pasrah saat Carlos membawanya ke tempat tidur. Alea memejamkan mata, berusaha menghilangkan bayangan-bayangan yang bermunculan di pelupuk matanya. Namun sia-sia. Alea hanya bisa menyaksikan setiap adegan buruk yang menyayat hati terus berulang dalam benaknya. "To-long!" Alea mengucapkan kata itu dengan sudah payah. Namun sayang, carlos tidak mendengarnya. Alea harap semua bayangan di kepalanya sirna. Tapi yang ada
Hujan turun dengan sangat lebat. Terdengar suara gemuruh petir dan cahaya kilat menghiasai langit malam yang gelap karena hujan. Di dalam rumah keluarga Rahardja, nampak Laras yang sedang memakaikan mantel pada Alea. Setelah mendengar persetujuan Alea untuk melarikan diri, Laras segera membalut tubuh majikannya dengan mantel dan jas hujan. "Pakai ini! Di luar dingin, sarung tangan ini akan membuat tubuh Anda tetap hangat," ujar Laras. Dengan patuh, Alea mengulurkan tangan. Membiarkan Laras membalut tangannya dengan sarung tangan kulit yang kini sudah terpasang sempurna di kedua tangannya. "Anda sudah siap?" tanya Laras seraya memperhatikan tubuh Alea yang sudah terbungkus mantel dan jas hujan. Alea mengangguk. Nampak, tangan kirinya mendekap bantal dengan erat. Laras tersenyum. "Ayo pergi!" Alea mengangguk berkali-kali seolah tidak sabar ingin segera pergi dari rumahnya sendiri. Laras menggenggam telapak tangan Alea dengan tangan kanannya, sedang tangan kirinya membawa tas yan
BUG! Carlos menendang tubuh Laras tanpa belas kasihan sedikitpun. Nampak, wanita itu meringis kesakitan. Entah sudah berapa pukulan dan tendangan yang Carlos berikan, hingga Laras terlihat begitu mengenaskan dengan luka lebam yang membekas di sekujur tubuhnya. "Dasar wanita sialan! Beraninya kamu mencuri di rumahku dan membawa kabur istriku!" Carlos melayangkan kembali tendangannya hingga mengenai perut Laras. Terlihat darah merah keluar dari mulutnya, namun Carlos tidak peduli. Dia terus melampiaskan amarah dan emosinya pada wanita paruh baya yang sudah terkapar tidak berdaya. "LARAS!" Alea berlari keluar dari rumah. Menghampiri wanita yang selama ini menjaganya. Setelah mengingat kenangan bersama pria tidak dikenalnya, kesadaran Alea kembali. Alea memang sempat pingsan saat Carlos berhasil menangkapnya dan Laras. Namun ketika bangun, Alea mulai mengenali dirinya dan orang-orang di sekitarnya."Hentikan! Kenapa kamu memukuli Laras seperti ini?" Alea memeluk tubuh Laras yang te
Alea membuka mata. Nampak, langit-langit kamar menyapa penglihatannya. Alea sadar, saat ini sedang berada di kamar tidur yang sudah 26 tahun ditempatinya. "Sayang, kamu sudah sadar?" Carlos menyapa Alea yang baru bangun dari pingsan. Dia lega melihat istrinya membuka mata. "Apa ada yang sakit? Atau kamu butuh sesuatu?" tanya pria itu penuh perhatian. Waktu sudah menunjukkan jam 9 pagi, sudah lebih dari tiga jam Alea pingsan. Karena itu Carlos sangat mengkhawatirkan istrinya. Alea diam tidak menimpali. Pandangannya menatap lurus langit-langit kamar yang seolah memperlihatkan bayangan Carlos saat menyiksa Laras. Hati Alea pilu mengingatnya. Tanpa sadar, air mata Alea luruh. "Sayang, kenapa menangis?" Carlos duduk di samping Alea yang masih berbaring. Dia mengusap wajah istrinya dengan sayang. "Jangan bersedih, aku disini bersamamu." Alea mengeratkan kepalan tangannya. Carlos bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. Alea mulai ingat, ternyata dari dulu Carlos memang pandai berpura-p
Perlahan, Alea mengangguk. Dia sadar, tidak ada yang bisa dilakukannya untuk menghidupkan kembali ayah dan bayinya. Tapi setidaknya, Alea masih bisa berbuat sesuatu untuk Laras. Alea tidak mau Laras kehilangan nyawa. Cukup ayah dan bayinya saja yang meninggal karenanya. "Baiklah! Aku setuju." Tanpa ragu, Alea menjawab pertanyaan Fiona. Alea memandang langit-langit kamar. Dia memejamkan mata. Tangannya terkepal meremas sprei dibawahnya. Alea tidak tahu apa yang selanjutnya akan terjadi, tapi Alea berharap Fiona dan Carlos bermurah hati membiarkannya mati. Alea tidak punya lagi semangat hidup setelah kehilangan semua orang yang disayanginya. "Aku ingin bertemu Laras untuk terakhir kali." Alea membuka mata, lalu melirik Fiona.Fiona diam sejenak. Ragu memenuhi permintaan anak tirinya. Namun, keputusasaan yang tersirat dalam mata Alea membuatnya yakin kalau Alea tidak akan berani berbuat macam-macam yang akan mengancam nyawa perawatnya. "Oke! Bersiaplah turun. Kamu boleh menemuinya,"
"Cukup! Hentikan Oma! Kita bisa terlambat. Tidak ada gunanya mengurusi wanita gila itu." Barra menarik pakaian Fiona untuk menghentikan perbuatannya memukuli Alea.Fiona melirik putranya. Wajahnya muram. Tidak suka melihat Barra membela Alea. Selama ini, Barra mengetahui kalau ibunya adalah Alea, sedang Fiona adalah neneknya. Semua karena harta warisan yang belum Fiona dan Carlos dapatkan sepenuhnya. Walau Carlos berhasil menguasai kekayaan Alea dengan surat kuasa yang diperolehnya sebagai suami. Tapi, tidak mudah mengalihkan semua harta Alea atas namanya. Apalagi, perhatian para direksi dan wartawan selalu tertuju pada Alea yang merupakan ahli waris tunggal keluarga Rahardja. Karena itu, dengan liciknya Carlos menjadikan Barra sebagian anak kandung Alea. Dia ingin anak itu menjadi ahli waris keluarga Rahardja selanjutnya. Fiona sempat menentang rencana Carlos. Tidak rela putranya diakui sebagai anak orang lain. Tapi Carlos berhasil meyakinkannya, bahkan Barra langsung di jadikan
"Nyonya Alea?" Kening Alea mengernyit. Mendengar seseorang memanggil namanya. Dia perlahan membuka mata, kemudian memutar sedikit kepala untuk melihat orang yang memanggilnya. Alea terkesiap melihat sosok pria yang semalam ditemuinya. Bibir Alea seketika tersenyum, lalu mengedarkan pandangan. Mencari keberadaan anak laki-laki yang semalam sudah berhasil mencuri hatinya. 'Akhirnya, kamu datang juga,' batin Alea. Tanpa mengindahkan keberadaan Liam.Liam mengeratkan rahang begitu melihat senyum di bibir Alea. Reaksi Alea yang tiba-tiba terlihat senang memberitahu Liam tentang Alea yang ingin kembali bertemu Ansel. Liam pun mendengus. Merutuki perbuatan licik yang Alea lakukan. Liam yakin, Alea memang sudah mengambil gantungan kalung milik putranya. "Anda tidak akan mendapatkan apa yang anda inginkan dengan mudah, nyonya," tutur Liam dengan nada dingin. Senyum di wajah Alea memudar. Tatapannya tertuju pada liam yang menatap datar dirinya. Alea sadar, anak laki-laki yang dari semalam
"Siapkan pesawat! Kita pergi menyusul mereka." "Apa?!" Darvin tercengang mendengar perintah atasannya. Tidak menyangka Liam akan repot-repot menyusul Alea dan keluarganya. Padahal, pekerjaan pria itu sangat banyak. Dan tidak biasanya Liam pergi meninggalkan pekerjaannya."Maaf tuan, apa maksud anda kita akan pergi menyusul Nyonya Alea?" tanya Darvin dengan hati-hati. Memastikan perintah yang baru saja didengarnya. Liam melayangkan tatapan dinginnya. "Apa perintahku kurang jelas? Aku tidak suka mengulang perintah." "Ma-maaf Tuan! Saya akan segera menyiapkan pesawat," sahut Darvin seraya menegakkan badan. Gugup mendapatkan tatapan dingin dari Liam. Meski atasannya tersebut tidak terlihat marah, tapi Darvin tahu Liam bukan pria yang banyak berkata. Dia tidak suka menunggu atau mengulang perintah. Pria itu lebih baik kehilangan bawahan dari pada harus mengulang perkataannya. Tidak mau kehilangan pekerjaan yang sudah lima tahun ini dijabatnya, Darvin pun segera undur diri dari hadapa
"Tangisanmu tidak akan berpengaruh pada papah, Ansel. Jangan harap Papah akan memaafkanmu begitu saja." Liam menolak permohonan putranya dengan tegas. Ansel merapatkan bibir. Menahan isakannya agar tidak keluar. Takut Liam akan semakin marah. Aliana menatap kakak dan keponakannya bergantian. Merasa iba pada Ansel. Dia ingin membela keponakannya, namun takut Liam akan berbalik marah padanya. Aliana pun hanya diam tanpa mampu berbuat apa-apa. "Sekarang katakan! Kenapa semalam kamu membuat masalah?" Liam mempertanyakan alasan Ansel kabur dari pesta. Dengan tangan bergetar, Ansel mengambil buku tulisnya dari tangan Liam, lalu mengambil pulpen dari Aliana. Ansel menuliskan sesuatu pada kertas yang terbuka dihadapannya. 'Maaf!' Ansel menunduk seraya memperlihatkan tulisan tersebut. Liam menatap putranya dalam-dalam, jika kata maaf sudah keluar, artinya Ansel tidak akan memberikan penjelasan apapun. "Papah khawatir!" Ansel mendongak mendengar dua kata yang ayahnya ucapkan. Matanya be
Keesokan harinya, terjadi kerusuhan di rumah keluarga Abraham. Ansel, cucu tunggal keluarga Abraham, mogok makan dan tidak mau membuka mulut sedikit pun. Aliana yang sudah Liam percaya untuk menjaga Ansel pun bingung. Dia tidak mau Liam menjauhkan Ansel darinya. "Ansel, tolong jangan membuatku susah. Ayahmu sudah marah padaku karena kejadian semalam, buka mulutmu dan makanlah!" pinta Aliana setengah memelas. Takut kondisi Ansel kembali drop hingga Liam menyalahkannya. Selama ini, Liam sangat protektif pada putranya. Dia tidak membiarkan siapapun berdekatan dengan Ansel, termasuk orangtua dan adiknya. Liam tidak mempercayakan pengawasan Ansel pada orang lain. Namun dua tahun lalu, setelah Aliana membujuk Liam dengan menjanjikan akan membuat Ansel sembuh dari speech delaynya dan tidak akan membiarkan Ansel kekurangan kasih sayang seorang ibu, Liam pun akhirnya mempercayakan pengawasan Ansel pada adiknya, mengingat dirinya yang memang tidak bisa berceloteh banyak seperti yang Aliana l
Beberapa jam berlalu. Begitu Calros dan Fiona pergi ke kamar mandi, Alea membuka mata. Tadi, dia hanya berpura-pura tidur untuk menghindari Carlos. Alea tidak sudi melayani suaminya. Selama empat tahun ini, Alea harus bertahan dengan Calros dan Fiona yang tidak punya malu berhubung badan dihadapannya. Alea muak. Dia ingin menghentikan mereka, namun tidak ada yang bisa Alea lakukan selain menghindar. Biasanya, Alea pura-pura tidur atau mengamuk histeris untuk menghindari sentuhan Carlos. Namun, hal itu kadang tidak berguna jika Carlos ataupun Fiona menggunakan obat perangsang untuk membuatnya terlibat dalam percintaan. Air mata Alea menetes. Menangis tanpa suara. Tidak mudah bertahan hidup dalam kebobrokan moral yang dilakukan oleh suaminya. Carlos sebagai suami tidak memikirkan perasaan Alea yang harus melihat percintaannya dengan wanita lain. Alea sadar, dirinya mulai gila. Bahkan mungkin sudah gila seperti yang sering Fiona katakan. Tapi sayang, sejak empat tahun lalu, kesadara
Alea berjalan menuju rumah dengan langkah anggun. Senyum manis terukir di wajahnya. Tidak dipedulikannya sepatu dan ujung gaunnya yang kotor terkena lumpur, bahkan pakaiannya pun basah karena air hujan."Alea dari mana saja kamu?"Carlos menghampiri Alea dengan wajah cemas. Dia menilik penampilan istrinya. Carlos terkesiap melihat luka di pergelangan tangan Alea."Alea kamu melukai diri sendiri lagi?" Alea menarik tangannya dari genggaman Carlos. Dia menatapnya dengan tatapan dingin. "Jangan sentuh!" Alea menyembunyikan luka di tangannya.Plak! Tiba-tiba, sebuah tamparan mendarat di wajah Alea. Nampak, Fiona berdiri dihadapannya dengan wajah geram."Dasar wanita gila! Bisa-bisanya kamu pergi di tengah pesta. Kamu hampir menghancurkan pesta ulang tahun putraku," teriak Fiona. Dia hendak melayangkan kembali pukulannya, namun Carlos lebih dulu menahan laju tangannya. "Cukup!" cegah Carlos dengan tegas. "Jangan berlebihan!" Fiona mendelik. "Berlebihan? Dia–." "Oma, aku mengangtuk."
Alea menoleh. Nampak, seorang anak laki-laki tengah memperhatikan dirinya. Kesadaran Alea tenggelam dalam manik hitam pekat anak laki-laki tersebut. Kulit putih anak itu membuat Alea kagum. Terpesona pada wajah tampan dihadapannya. Alea sampai tidak sadar saat tangan kecil anak itu mengambil gunting yang dipegangnya. "Siapa kamu?" tanya Alea. Begitu sadar dari keterkejutannya. Anak laki-laki itu tidak menjawab. Tatapannya tertuju pada luka di pergelangan tangan kiri Alea. Kepalanya yang kecil menoleh ke kanan dan ke kiri seolah mencari sesuatu, kemudian dia menghela. Alea terperanjat saat anak kecil itu meraih ujung belakang gaun yang menjuntai ke tanah, lalu memotongnya dengan gunting yang dipegangnya. Anak itu memegang tangan kiri Alea, meniup lukanya kemudian membalutkannya dengan hati-hati. Semua pekerjaan anak itu lakukan dalam diam. Mulut kecilnya tidak mengeluarkan suara sedikitpun. Hanya kadang, bibir mungilnya terbuka saat menarik atau menghembuskan napas. Wajah tampanny
Pesta berjalan dengan sangat meriah. Banyak anak kecil yang berkeliaran di lantai pertama rumah Alea. Mereka ada yang seumuran Barra, bahkan ada yang lebih kecil dan lebih dewasa darinya. Carlos memang mengundang semua kerabat dan rekan bisnisnya yang memiliki anak kecil. Tidak hanya itu, Carlos juga mengundang beberapa orang penting yang tidak memiliki anak. Karena sebenarnya, tujuan utama pesta itu digelar hanya untuk memamerkan Alea. Carlos tidak mau ada lagi orang yang meragukan kebersamaannya dengan Alea. Dia ingin memperlihatkan kalau Alea, dirinya dan Barra hidup bahagia dan baik-baik saja. "Sudah waktunya potong kue. Ayo semua, kita nyanyikan lagu ulang tahun untuk Barra!" himbau Fiona. Dia semangat sekali memeriahkan acara ulang tahun putranya. Berbeda dengan Alea yang hanya diam di samping Barra dan suaminya. Lagu ulang tahun menggema. Barra meniup lilin pada kue ulang tahunnya, kemudian memotong kue. Fiona berharap, potongan kue pertama Barra berikan untuknya, namun it
"Cukup! Hentikan Oma! Kita bisa terlambat. Tidak ada gunanya mengurusi wanita gila itu." Barra menarik pakaian Fiona untuk menghentikan perbuatannya memukuli Alea.Fiona melirik putranya. Wajahnya muram. Tidak suka melihat Barra membela Alea. Selama ini, Barra mengetahui kalau ibunya adalah Alea, sedang Fiona adalah neneknya. Semua karena harta warisan yang belum Fiona dan Carlos dapatkan sepenuhnya. Walau Carlos berhasil menguasai kekayaan Alea dengan surat kuasa yang diperolehnya sebagai suami. Tapi, tidak mudah mengalihkan semua harta Alea atas namanya. Apalagi, perhatian para direksi dan wartawan selalu tertuju pada Alea yang merupakan ahli waris tunggal keluarga Rahardja. Karena itu, dengan liciknya Carlos menjadikan Barra sebagian anak kandung Alea. Dia ingin anak itu menjadi ahli waris keluarga Rahardja selanjutnya. Fiona sempat menentang rencana Carlos. Tidak rela putranya diakui sebagai anak orang lain. Tapi Carlos berhasil meyakinkannya, bahkan Barra langsung di jadikan