Waktu berjalan dengan cepat. Empat bulan berlalu sejak Alea dibawa pulang dari rumah sakit jiwa. Selama itu, Alea dikurung dalam rumah. Fiona menempatkannya di ruang bawah tanah dengan pintu yang selalu terkunci rapat.
Karena kesibukan di perusahaan, selama empat bulan ini Carlos mempercayakan penjagaan Alea kepada Fiona. Dia percaya istri keduanya akan menjaga Alea dengan baik. Mengingat Fiona adalah mantan ibu tiri Alea. Namun pada kenyataannya, Alea hanya mendapatkan siksaan dari ibu tirinya.Alea terus dicekoki dengan obat-obatan psikiatri hingga membuatnya ketergantungan. Bahkan, obat-obatan tersebut berpengaruh pada kesuburannya. Alea mengalami gangguan fungsi seksual hingga mengalami penurunan libido dan membuatnya kesakitan setiap kali Carlos menggaulinya.Setiap Carlos pulang ke rumah, Fiona selalu memindahkan Alea ke kamar. Dia bahkan mempersiapkan Alea untuk melayani carlos. Fiona menyadari semua kesakitan yang Alea alami, namun dia tidak peduli. Baginya, yang terpenting dirinya dan Carlos puas bermain bersama Alea.Selama empat bulan ini, Carlos dan Fiona bahkan tidak segan lagi walau harus bermain bertiga. Carlos lebih bersemangat setiap menyentuh Alea dan Fiona mendapatkan keuntungan dari itu."Laras, pindahkan Alea ke kamarnya. Dandani dia! Carlos akan pulang sore ini," titah Fiona pada Larasati, perawat yang bertugas mengurus Alea."Baik nyonya," jawab Laras. Dia pergi ke ruang bawah tanah untuk membebaskan Alea."Nyonya, kenapa duduk di bawah?" Laras menghampiri Alea yang duduk di pojok ruangan seraya memeluk bantal yang dibungkus dengan kemeja biru yang terlihat lusuh."Ssst! Kamu membuat bayiku bangun," desis Alea seraya menyimpan telunjuk di bibir. Alea berdiri meninabobokan bantal yang didekapnya. Mengira bantal itu adalah bayinya.Laras menatap Alea dengan iba. Dia sedih melihat keadaan Alea yang berubah gila. Larasati adalah perawat yang membantu Alea dan bayinya kabur dari rumah sakit beberapa bulan lalu. Laras tidak pernah menyangka, keputusannya membantu Alea kabur malam itu akan membuat keadaan Alea semakin memburuk. Alea kehilangan bayinya dan dia menjadi gila.Masih teringat dalam ingatan Laras kejadian empat bulan lalu, saat Laras hendak memberitahu Kevin tentang Alea yang baru sadar setelah operasi. Tanpa sengaja, Laras mendengar percakapan Kevin dan Fiona tentang rencana pembunuhan bayi Alea yang gagal.Keadaan bayi Alea yang terlahir prematur dan lemah menyebabkannya harus dirawat di ruang NICU, sehingga dokter anak harus menangani bayi itu secara langsung. Kevin dan Fiona pun tidak bisa menyentuh bayi tersebut.Namun, betapa kagetnya Laras saat mendengar mereka ingin melenyapkan bayi itu dengan menyuruh orang. Karena itu, Laras nekad membantu Alea kabur dari rumah sakit.Empat bulan lalu, setelah mendengar bayi Alea kecelakaan hingga membuat Alea mengalami depresi. Laras memutuskan melamar kerja di rumah keluarga Rahardja sebagai perawat. Dia ingin menebus rasa bersalahnya dengan menjaga Alea. Namun, tidak banyak yang bisa Laras lakukan untuk Alea, kerena Fiona terus membuat keadaan Alea semakin memburuk."Nyonya, malam ini tuan Carlos akan pulang. Nyonya besar meminta anda untuk pindah ke kamar.""Tidak!" Alea menggeleng keras. Dia mulai terisak. "Tidak mau. Sakit!"Laras memeluk Alea yang menangis ketakutan. Sungguh! Dia iba melihat majikannya.Empat bulan bekerja merawat Alea, membuat Laras tahu tentang kekejian yang Carlos dan Fiona lakukan. Termasuk kelakuan Fiona, Kevin dan Alex yang memberikan obat terlarang untuk mengendalikan Alea.Selama ini, Laras diam-diam mengurangi dosis obat yang Alea minum. Walau tidak bisa terlalu sering karena takut Fiona mengetahuinya."Anda harus bersikap tenang agar nyonya besar tidak memberi anda obat lagi," bujuk Laras.Alea tetap menangis. Dia menyusupkan kepala dalam dekapan Laras seolah meminta perlindungan."Nyonya, saya berjanji akan mencari cara agar anda bisa terbebas dari siksaan mereka. Tapi untuk saat ini, anda harus bersabar lebih dulu." Laras mengelus punggung Alea.Pelukan Laras membuat Alea nyaman. Dia pun mulai tenang. Dalam rumahnya sendiri, Alea diperlakukan seperti kotoran, hanya Laras yang menyayanginya dengan tulus.Setelah berhasil menenangkan Alea, Laras membawa Alea ke kamarnya. Dia memandikan Alea, menyisir rambutnya dan membubuhkan bedak di wajahnya. Penampilan Alea pun terlihat cantik. Tidak ada sedikitpun kesan tidak waras dalam dirinya."Bayiku?"Alea melirik box bayi ketika Laras selesai menyematkan jepitan rambut di poninya. Melihat itu, Laras buru-buru membawa bantal berselimut kemeja lusuh dari keranjang bayi, kemudian memberikannya pada Alea."Ternyata kamu masih tidur, Nak." Alea tersenyum seraya memainkan permukaan bantal dengan telunjuknya seolah sedang memainkan hidung bayinya.Laras berjongkok di hadapan Alea. "Nyonya, sebentar lagi nyonya besar akan kesini. Anda harus mengingat apa yang saya katakan. Tolong, jangan minum obat apapun yang nyonya besar berikan."Alea tidak menjawab. Dia malah sibuk bermain dengan bayinya. Laras memegang tangan Alea. Meminta perhatian."Nyonya … putra anda akan marah jika anda tidak menuruti kata-kata saya," ujar Laras. Nada bicaranya terdengar lembut tapi tegas."Marah? Bayiku?" Alea menatap Laras dengan mata berkaca-kaca.Laras mengangguk. Caranya mencuri perhatian Alea memang tidak masuk akal. Namun, ancaman seperti itu bisa membuat Alea memberi perhatian padanya."Bayi anda akan menangis jika anda sampai meminum obat yang nyonya besar berikan. Karena itu, berusahalah untuk membuangnya," tutur Laras. Tidak mau Alea terus dicekoki obat perangsang oleh ibu tirinya.Alea mengangguk. Dia mengecupi bantal yang dipeluknya. "Mamah tidak akan membiarkan kamu menangis, Nak. Mamah akan melindungimu."Laras tersenyum.Beberapa menit kemudian.Seperti dugaan Laras, Fiona datang ke kamar Alea. Dia membawa segelas air dan obat pada nampan yang dibawanya."Keluar!" Fiona mengusir Laras.Tanpa diminta dua kali, Laras pergi dari kamar Alea. Fiona menyimpan nampan di atas meja rias. Sekilas, tatapannya tertuju pada bantal yang Alea pegang."Dasar wanita gila!" cibir Fiona. Dia memberikan air dan sebutir obat pada Alea. "Minum obat ini! Kamu harus bersiap. Malam ini kita bertiga akan bersenang-senang. Kamu harus bisa memuaskan kami."Alea menatap gelas dan obat di hadapannya, lalu melirik bayinya. Dia teringat dengan kata-kata Laras. "Cepat minum atau aku akan memaksamu menelannya!" Fiona kesal melihat Alea yang hanya diam. Tidak mau membuka mulut.Alea memeluk bayinya. Suara Fiona begitu keras. Dia tidak mau bayinya terbangun. Alea pun mengambil gelas dan obat yang Fiona berikan, lalu meneguknya bersamaan."Pahit!" keluh Alea.Fiona tersenyum melihat Alea sudah meminum obatnya. Dia yakin, sebentar lagi pengaruh obat itu muncul dan Alea siap diajak bermain."Carlos datang!" seru Fiona saat mendengar suara mobil berhenti di depan rumah. Buru-buru, Fiona pergi menyambut suaminya.Begitu Fiona keluar kamar, Alea mengeluarkan obat yang dia sembunyikan di balik lidah. Kemudian, membuangnya keluar jendela. Alea tersenyum sambil menatap bantal di pangkuannya."Mamah pintarkan, sayang?"Di lantai bawah. Fiona tersenyum sumringah menyambut kepulangan suaminya. Dia berjalan menghampiri Carlos."Dimana Alea?" tanya Carlos. Langsung menanyakan istri pertamanya.Senyum Fiona memudar. Hatinya kesal. Namun, Fiona berusaha meredam emosinya. Walau Carlos sudah menikahinya dan sebentar lagi akan memiliki anak darinya. Tapi Fiona sadar, hati dan cinta Carlos tetap tertambat pada Alea. Karena itu, sampai saat ini Carlos tidak mengumbar pernikahan keduanya. Dihadapan semua orang, Carlos tetap menantu Fiona dan Fiona adalah ibu tiri Alea, janda dari Andrean."Sayang, apa kamu tidak merindukan aku? Kamu bahkan belum menyapa bayimu."Fiona bergelayut manja di lengan Carlos. Berusaha menarik perhatiannya. Namun, Carlos dengan tegas menolak kemanjaannya. Dia menjauhkan Fiona dari tubuhnya."Alea di kamarnya?" Carlos melangkah menuju tangga.Fiona menggeram pelan. "Ya. Dia di kamar. Aku yakin, dia sudah siap menyambutmu."Langkah Carlos terhenti. Dia tersenyum senang. Tangannya terulur mengusap kepala Fiona."Kerja bagus! Kamu memang bisa diandalkan."Dengan tidak sabar, Carlos melangkah menuju kamar. Ingin segera menumpahkan kerinduannya pada Alea yang sudah lima hari tidak ditemuinya."Sial! Selalu saja wanita itu yang menjadi prioritas utamamu, Carlos."Fiona mengeluarkan sebuah botol kecil dari sakunya. Dia menatap botol tersebut seraya tersenyum miring."Lihat saja! Malam ini aku akan membuat Alea tersiksa. Obat ini akan membuat Alea menderita."Carlos membuka pintu kamar. Nampak, Alea berdiri di depan jendela sambil bersenandung. Tatapan Carlos tertuju pada bantal yang Alea dekap. Carlos menarik napas. Dadanya sesak. Sedih melihat istrinya yang belum bisa menerima kematian bayinya. "Alea ..." Carlos mendekati Alea, lalu mengecup pipinya dengan sayang. Carlos melingkarkan tangan memeluk pinggang istrinya, namun Alea segera menjauh. 'Ssst! Bayiku sedang tidur," ucap Alea. Dia berjalan menuju tempat tidur, lalu duduk di ujung ranjang. Carlos menatap sendu istrinya. Alea sama sekali tidak menghiraukan dirinya. Carlos menghampiri Alea, lalu duduk di sampingnya. Ditatapnya wajah cantik Alea yang tersenyum sambil bersenandung. Carlos tersenyum getir. Tatapannya meredup. Sudah lama Carlos tidak melihat senyum istrinya. Namun sekarang, senyum itu hanya bisa dilihat saat istrinya sedang bermain bantal. "Sayang, apa kamu tidak merindukanku?" Carlos merapatkan diri pada Alea. Dia merangkul pinggang istrinya dengan sedikit p
Rontaan Alea terhenti. Dia merasakan cairan dingin menjalar ke seluruh tubuhnya. Membekukan jantung dan otaknya. Alea merasa tubuhnya melayang, jiwanya seolah keluar dari raga. Dia merasa terbang. Perasaan Alea terasa ringan. Namun sedetik kemudian, bayangan buruk yang selalu menghantuinya datang. Mata Alea terbeliak, menyaksikan setiap kejadian buruk yang dialami dalam hidupnya. Kejadian saat Carlos dan Fiona bercinta, ayahnya yang terbujur kaku di atas lantai dan bayinya yang pergi dalam ledakan. Alea ingin menjerit. Namun rahangnya kaku tidak bisa digerakkan. Dia pun pasrah saat Carlos membawanya ke tempat tidur. Alea memejamkan mata, berusaha menghilangkan bayangan-bayangan yang bermunculan di pelupuk matanya. Namun sia-sia. Alea hanya bisa menyaksikan setiap adegan buruk yang menyayat hati terus berulang dalam benaknya. "To-long!" Alea mengucapkan kata itu dengan sudah payah. Namun sayang, carlos tidak mendengarnya. Alea harap semua bayangan di kepalanya sirna. Tapi yang ada
Hujan turun dengan sangat lebat. Terdengar suara gemuruh petir dan cahaya kilat menghiasai langit malam yang gelap karena hujan. Di dalam rumah keluarga Rahardja, nampak Laras yang sedang memakaikan mantel pada Alea. Setelah mendengar persetujuan Alea untuk melarikan diri, Laras segera membalut tubuh majikannya dengan mantel dan jas hujan. "Pakai ini! Di luar dingin, sarung tangan ini akan membuat tubuh Anda tetap hangat," ujar Laras. Dengan patuh, Alea mengulurkan tangan. Membiarkan Laras membalut tangannya dengan sarung tangan kulit yang kini sudah terpasang sempurna di kedua tangannya. "Anda sudah siap?" tanya Laras seraya memperhatikan tubuh Alea yang sudah terbungkus mantel dan jas hujan. Alea mengangguk. Nampak, tangan kirinya mendekap bantal dengan erat. Laras tersenyum. "Ayo pergi!" Alea mengangguk berkali-kali seolah tidak sabar ingin segera pergi dari rumahnya sendiri. Laras menggenggam telapak tangan Alea dengan tangan kanannya, sedang tangan kirinya membawa tas yan
BUG! Carlos menendang tubuh Laras tanpa belas kasihan sedikitpun. Nampak, wanita itu meringis kesakitan. Entah sudah berapa pukulan dan tendangan yang Carlos berikan, hingga Laras terlihat begitu mengenaskan dengan luka lebam yang membekas di sekujur tubuhnya. "Dasar wanita sialan! Beraninya kamu mencuri di rumahku dan membawa kabur istriku!" Carlos melayangkan kembali tendangannya hingga mengenai perut Laras. Terlihat darah merah keluar dari mulutnya, namun Carlos tidak peduli. Dia terus melampiaskan amarah dan emosinya pada wanita paruh baya yang sudah terkapar tidak berdaya. "LARAS!" Alea berlari keluar dari rumah. Menghampiri wanita yang selama ini menjaganya. Setelah mengingat kenangan bersama pria tidak dikenalnya, kesadaran Alea kembali. Alea memang sempat pingsan saat Carlos berhasil menangkapnya dan Laras. Namun ketika bangun, Alea mulai mengenali dirinya dan orang-orang di sekitarnya."Hentikan! Kenapa kamu memukuli Laras seperti ini?" Alea memeluk tubuh Laras yang te
Alea membuka mata. Nampak, langit-langit kamar menyapa penglihatannya. Alea sadar, saat ini sedang berada di kamar tidur yang sudah 26 tahun ditempatinya. "Sayang, kamu sudah sadar?" Carlos menyapa Alea yang baru bangun dari pingsan. Dia lega melihat istrinya membuka mata. "Apa ada yang sakit? Atau kamu butuh sesuatu?" tanya pria itu penuh perhatian. Waktu sudah menunjukkan jam 9 pagi, sudah lebih dari tiga jam Alea pingsan. Karena itu Carlos sangat mengkhawatirkan istrinya. Alea diam tidak menimpali. Pandangannya menatap lurus langit-langit kamar yang seolah memperlihatkan bayangan Carlos saat menyiksa Laras. Hati Alea pilu mengingatnya. Tanpa sadar, air mata Alea luruh. "Sayang, kenapa menangis?" Carlos duduk di samping Alea yang masih berbaring. Dia mengusap wajah istrinya dengan sayang. "Jangan bersedih, aku disini bersamamu." Alea mengeratkan kepalan tangannya. Carlos bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. Alea mulai ingat, ternyata dari dulu Carlos memang pandai berpura-p
Perlahan, Alea mengangguk. Dia sadar, tidak ada yang bisa dilakukannya untuk menghidupkan kembali ayah dan bayinya. Tapi setidaknya, Alea masih bisa berbuat sesuatu untuk Laras. Alea tidak mau Laras kehilangan nyawa. Cukup ayah dan bayinya saja yang meninggal karenanya. "Baiklah! Aku setuju." Tanpa ragu, Alea menjawab pertanyaan Fiona. Alea memandang langit-langit kamar. Dia memejamkan mata. Tangannya terkepal meremas sprei dibawahnya. Alea tidak tahu apa yang selanjutnya akan terjadi, tapi Alea berharap Fiona dan Carlos bermurah hati membiarkannya mati. Alea tidak punya lagi semangat hidup setelah kehilangan semua orang yang disayanginya. "Aku ingin bertemu Laras untuk terakhir kali." Alea membuka mata, lalu melirik Fiona.Fiona diam sejenak. Ragu memenuhi permintaan anak tirinya. Namun, keputusasaan yang tersirat dalam mata Alea membuatnya yakin kalau Alea tidak akan berani berbuat macam-macam yang akan mengancam nyawa perawatnya. "Oke! Bersiaplah turun. Kamu boleh menemuinya,"
"Cukup! Hentikan Oma! Kita bisa terlambat. Tidak ada gunanya mengurusi wanita gila itu." Barra menarik pakaian Fiona untuk menghentikan perbuatannya memukuli Alea.Fiona melirik putranya. Wajahnya muram. Tidak suka melihat Barra membela Alea. Selama ini, Barra mengetahui kalau ibunya adalah Alea, sedang Fiona adalah neneknya. Semua karena harta warisan yang belum Fiona dan Carlos dapatkan sepenuhnya. Walau Carlos berhasil menguasai kekayaan Alea dengan surat kuasa yang diperolehnya sebagai suami. Tapi, tidak mudah mengalihkan semua harta Alea atas namanya. Apalagi, perhatian para direksi dan wartawan selalu tertuju pada Alea yang merupakan ahli waris tunggal keluarga Rahardja. Karena itu, dengan liciknya Carlos menjadikan Barra sebagian anak kandung Alea. Dia ingin anak itu menjadi ahli waris keluarga Rahardja selanjutnya. Fiona sempat menentang rencana Carlos. Tidak rela putranya diakui sebagai anak orang lain. Tapi Carlos berhasil meyakinkannya, bahkan Barra langsung di jadikan
Pesta berjalan dengan sangat meriah. Banyak anak kecil yang berkeliaran di lantai pertama rumah Alea. Mereka ada yang seumuran Barra, bahkan ada yang lebih kecil dan lebih dewasa darinya. Carlos memang mengundang semua kerabat dan rekan bisnisnya yang memiliki anak kecil. Tidak hanya itu, Carlos juga mengundang beberapa orang penting yang tidak memiliki anak. Karena sebenarnya, tujuan utama pesta itu digelar hanya untuk memamerkan Alea. Carlos tidak mau ada lagi orang yang meragukan kebersamaannya dengan Alea. Dia ingin memperlihatkan kalau Alea, dirinya dan Barra hidup bahagia dan baik-baik saja. "Sudah waktunya potong kue. Ayo semua, kita nyanyikan lagu ulang tahun untuk Barra!" himbau Fiona. Dia semangat sekali memeriahkan acara ulang tahun putranya. Berbeda dengan Alea yang hanya diam di samping Barra dan suaminya. Lagu ulang tahun menggema. Barra meniup lilin pada kue ulang tahunnya, kemudian memotong kue. Fiona berharap, potongan kue pertama Barra berikan untuknya, namun it
"Nyonya Alea?" Kening Alea mengernyit. Mendengar seseorang memanggil namanya. Dia perlahan membuka mata, kemudian memutar sedikit kepala untuk melihat orang yang memanggilnya. Alea terkesiap melihat sosok pria yang semalam ditemuinya. Bibir Alea seketika tersenyum, lalu mengedarkan pandangan. Mencari keberadaan anak laki-laki yang semalam sudah berhasil mencuri hatinya. 'Akhirnya, kamu datang juga,' batin Alea. Tanpa mengindahkan keberadaan Liam.Liam mengeratkan rahang begitu melihat senyum di bibir Alea. Reaksi Alea yang tiba-tiba terlihat senang memberitahu Liam tentang Alea yang ingin kembali bertemu Ansel. Liam pun mendengus. Merutuki perbuatan licik yang Alea lakukan. Liam yakin, Alea memang sudah mengambil gantungan kalung milik putranya. "Anda tidak akan mendapatkan apa yang anda inginkan dengan mudah, nyonya," tutur Liam dengan nada dingin. Senyum di wajah Alea memudar. Tatapannya tertuju pada liam yang menatap datar dirinya. Alea sadar, anak laki-laki yang dari semalam
"Siapkan pesawat! Kita pergi menyusul mereka." "Apa?!" Darvin tercengang mendengar perintah atasannya. Tidak menyangka Liam akan repot-repot menyusul Alea dan keluarganya. Padahal, pekerjaan pria itu sangat banyak. Dan tidak biasanya Liam pergi meninggalkan pekerjaannya."Maaf tuan, apa maksud anda kita akan pergi menyusul Nyonya Alea?" tanya Darvin dengan hati-hati. Memastikan perintah yang baru saja didengarnya. Liam melayangkan tatapan dinginnya. "Apa perintahku kurang jelas? Aku tidak suka mengulang perintah." "Ma-maaf Tuan! Saya akan segera menyiapkan pesawat," sahut Darvin seraya menegakkan badan. Gugup mendapatkan tatapan dingin dari Liam. Meski atasannya tersebut tidak terlihat marah, tapi Darvin tahu Liam bukan pria yang banyak berkata. Dia tidak suka menunggu atau mengulang perintah. Pria itu lebih baik kehilangan bawahan dari pada harus mengulang perkataannya. Tidak mau kehilangan pekerjaan yang sudah lima tahun ini dijabatnya, Darvin pun segera undur diri dari hadapa
"Tangisanmu tidak akan berpengaruh pada papah, Ansel. Jangan harap Papah akan memaafkanmu begitu saja." Liam menolak permohonan putranya dengan tegas. Ansel merapatkan bibir. Menahan isakannya agar tidak keluar. Takut Liam akan semakin marah. Aliana menatap kakak dan keponakannya bergantian. Merasa iba pada Ansel. Dia ingin membela keponakannya, namun takut Liam akan berbalik marah padanya. Aliana pun hanya diam tanpa mampu berbuat apa-apa. "Sekarang katakan! Kenapa semalam kamu membuat masalah?" Liam mempertanyakan alasan Ansel kabur dari pesta. Dengan tangan bergetar, Ansel mengambil buku tulisnya dari tangan Liam, lalu mengambil pulpen dari Aliana. Ansel menuliskan sesuatu pada kertas yang terbuka dihadapannya. 'Maaf!' Ansel menunduk seraya memperlihatkan tulisan tersebut. Liam menatap putranya dalam-dalam, jika kata maaf sudah keluar, artinya Ansel tidak akan memberikan penjelasan apapun. "Papah khawatir!" Ansel mendongak mendengar dua kata yang ayahnya ucapkan. Matanya be
Keesokan harinya, terjadi kerusuhan di rumah keluarga Abraham. Ansel, cucu tunggal keluarga Abraham, mogok makan dan tidak mau membuka mulut sedikit pun. Aliana yang sudah Liam percaya untuk menjaga Ansel pun bingung. Dia tidak mau Liam menjauhkan Ansel darinya. "Ansel, tolong jangan membuatku susah. Ayahmu sudah marah padaku karena kejadian semalam, buka mulutmu dan makanlah!" pinta Aliana setengah memelas. Takut kondisi Ansel kembali drop hingga Liam menyalahkannya. Selama ini, Liam sangat protektif pada putranya. Dia tidak membiarkan siapapun berdekatan dengan Ansel, termasuk orangtua dan adiknya. Liam tidak mempercayakan pengawasan Ansel pada orang lain. Namun dua tahun lalu, setelah Aliana membujuk Liam dengan menjanjikan akan membuat Ansel sembuh dari speech delaynya dan tidak akan membiarkan Ansel kekurangan kasih sayang seorang ibu, Liam pun akhirnya mempercayakan pengawasan Ansel pada adiknya, mengingat dirinya yang memang tidak bisa berceloteh banyak seperti yang Aliana l
Beberapa jam berlalu. Begitu Calros dan Fiona pergi ke kamar mandi, Alea membuka mata. Tadi, dia hanya berpura-pura tidur untuk menghindari Carlos. Alea tidak sudi melayani suaminya. Selama empat tahun ini, Alea harus bertahan dengan Calros dan Fiona yang tidak punya malu berhubung badan dihadapannya. Alea muak. Dia ingin menghentikan mereka, namun tidak ada yang bisa Alea lakukan selain menghindar. Biasanya, Alea pura-pura tidur atau mengamuk histeris untuk menghindari sentuhan Carlos. Namun, hal itu kadang tidak berguna jika Carlos ataupun Fiona menggunakan obat perangsang untuk membuatnya terlibat dalam percintaan. Air mata Alea menetes. Menangis tanpa suara. Tidak mudah bertahan hidup dalam kebobrokan moral yang dilakukan oleh suaminya. Carlos sebagai suami tidak memikirkan perasaan Alea yang harus melihat percintaannya dengan wanita lain. Alea sadar, dirinya mulai gila. Bahkan mungkin sudah gila seperti yang sering Fiona katakan. Tapi sayang, sejak empat tahun lalu, kesadara
Alea berjalan menuju rumah dengan langkah anggun. Senyum manis terukir di wajahnya. Tidak dipedulikannya sepatu dan ujung gaunnya yang kotor terkena lumpur, bahkan pakaiannya pun basah karena air hujan."Alea dari mana saja kamu?"Carlos menghampiri Alea dengan wajah cemas. Dia menilik penampilan istrinya. Carlos terkesiap melihat luka di pergelangan tangan Alea."Alea kamu melukai diri sendiri lagi?" Alea menarik tangannya dari genggaman Carlos. Dia menatapnya dengan tatapan dingin. "Jangan sentuh!" Alea menyembunyikan luka di tangannya.Plak! Tiba-tiba, sebuah tamparan mendarat di wajah Alea. Nampak, Fiona berdiri dihadapannya dengan wajah geram."Dasar wanita gila! Bisa-bisanya kamu pergi di tengah pesta. Kamu hampir menghancurkan pesta ulang tahun putraku," teriak Fiona. Dia hendak melayangkan kembali pukulannya, namun Carlos lebih dulu menahan laju tangannya. "Cukup!" cegah Carlos dengan tegas. "Jangan berlebihan!" Fiona mendelik. "Berlebihan? Dia–." "Oma, aku mengangtuk."
Alea menoleh. Nampak, seorang anak laki-laki tengah memperhatikan dirinya. Kesadaran Alea tenggelam dalam manik hitam pekat anak laki-laki tersebut. Kulit putih anak itu membuat Alea kagum. Terpesona pada wajah tampan dihadapannya. Alea sampai tidak sadar saat tangan kecil anak itu mengambil gunting yang dipegangnya. "Siapa kamu?" tanya Alea. Begitu sadar dari keterkejutannya. Anak laki-laki itu tidak menjawab. Tatapannya tertuju pada luka di pergelangan tangan kiri Alea. Kepalanya yang kecil menoleh ke kanan dan ke kiri seolah mencari sesuatu, kemudian dia menghela. Alea terperanjat saat anak kecil itu meraih ujung belakang gaun yang menjuntai ke tanah, lalu memotongnya dengan gunting yang dipegangnya. Anak itu memegang tangan kiri Alea, meniup lukanya kemudian membalutkannya dengan hati-hati. Semua pekerjaan anak itu lakukan dalam diam. Mulut kecilnya tidak mengeluarkan suara sedikitpun. Hanya kadang, bibir mungilnya terbuka saat menarik atau menghembuskan napas. Wajah tampanny
Pesta berjalan dengan sangat meriah. Banyak anak kecil yang berkeliaran di lantai pertama rumah Alea. Mereka ada yang seumuran Barra, bahkan ada yang lebih kecil dan lebih dewasa darinya. Carlos memang mengundang semua kerabat dan rekan bisnisnya yang memiliki anak kecil. Tidak hanya itu, Carlos juga mengundang beberapa orang penting yang tidak memiliki anak. Karena sebenarnya, tujuan utama pesta itu digelar hanya untuk memamerkan Alea. Carlos tidak mau ada lagi orang yang meragukan kebersamaannya dengan Alea. Dia ingin memperlihatkan kalau Alea, dirinya dan Barra hidup bahagia dan baik-baik saja. "Sudah waktunya potong kue. Ayo semua, kita nyanyikan lagu ulang tahun untuk Barra!" himbau Fiona. Dia semangat sekali memeriahkan acara ulang tahun putranya. Berbeda dengan Alea yang hanya diam di samping Barra dan suaminya. Lagu ulang tahun menggema. Barra meniup lilin pada kue ulang tahunnya, kemudian memotong kue. Fiona berharap, potongan kue pertama Barra berikan untuknya, namun it
"Cukup! Hentikan Oma! Kita bisa terlambat. Tidak ada gunanya mengurusi wanita gila itu." Barra menarik pakaian Fiona untuk menghentikan perbuatannya memukuli Alea.Fiona melirik putranya. Wajahnya muram. Tidak suka melihat Barra membela Alea. Selama ini, Barra mengetahui kalau ibunya adalah Alea, sedang Fiona adalah neneknya. Semua karena harta warisan yang belum Fiona dan Carlos dapatkan sepenuhnya. Walau Carlos berhasil menguasai kekayaan Alea dengan surat kuasa yang diperolehnya sebagai suami. Tapi, tidak mudah mengalihkan semua harta Alea atas namanya. Apalagi, perhatian para direksi dan wartawan selalu tertuju pada Alea yang merupakan ahli waris tunggal keluarga Rahardja. Karena itu, dengan liciknya Carlos menjadikan Barra sebagian anak kandung Alea. Dia ingin anak itu menjadi ahli waris keluarga Rahardja selanjutnya. Fiona sempat menentang rencana Carlos. Tidak rela putranya diakui sebagai anak orang lain. Tapi Carlos berhasil meyakinkannya, bahkan Barra langsung di jadikan