"Sayang … ini mamah, Nak!"
Alea terharu melihat bayi di hadapannya. Dia segera membuka kotak inkubator, lalu mengeluarkan bayinya. Alea menciumi bayinya dengan sayang. Mendekapnya dengan erat. Tidak mau kehilangan bayinya."Nyonya! Hanya ini yang bisa saya lakukan. Pergilah sebelum dokter Kevin datang," tutur perawat itu.Alea terkesiap mendengar nama Kevin disebut. Dia pun yakin, perawat di hadapannya benar-benar ingin membantunya."Dengarkan saya baik-baik, Nyonya. Bayi anda masih dalam pengaruh obat. Dia akan sadar dua jam lagi. Selama itu, anda harus tetap mendekapnya dan membuatnya tetap hangat. Bayi anda sangat lemah, jangan sampai dia kedinginan terlalu lama," tutur perawat seraya mengeluarkan selimut bayi dari dalam kotak inkubator.Alea mengangguk. Tangisnya luruh. Terharu dengan kebaikan orang yang menolongnya. Dia pun membiarkan perawat itu membungkus bayinya dengan selimut."Saya tahu ini tidak akan bertahan lama." Perawat tersebut mengeluarkan sebuah suntikan dan botol kecil dari sakunya. "Ini obat pereda nyeri. Jika anda mau, saya akan menyuntikkannya."Alea sempat ragu. Namun, tidak ada pilihan. Alea sadar, tidak mungkin dirinya kabur dengan membawa rasa nyeri di perutnya."Berikan itu suster!" Alea menyodorkan tangannya.Tanpa ragu, perawat pun menyuntikkan cairan dalam botol ke tubuh Alea."Pergilah! Semoga kalian selamat!""Terima kasih suster," ucap Alea.Hanya kata itu yang bisa Alea ucapkan pada orang tak dikenal yang sudah berbaik hati menolongnya.Alea yakin, perawat itu akan terkena masalah. Tapi, tidak ada waktu untuk memikirkan orang lain. Alea harus segera menyelamatkan dirinya sendiri.Alea pergi menuju tangga darurat. Awalnya, perut Alea nyeri setiap menapaki anak tangga. Namun lama kelamaan, rasa nyerinya semakin berkurang. Dia yakin, obat yang perawat itu berikan mulai bekerja.Sekilas, Alea melirik bayi dalam dekapannya. Dia mengecup bayinya. "Kita akan pergi, Nak! Kita berdua akan selamat. Mamah berjanji, kita berdua akan hidup."Begitu keluar dari pintu keluar, Alea segera pergi menuju jalan raya. Dia terkesiap melihat Carlos berada di depan rumah sakit bersama dengan anak buahnya."Carlos?" gumam Alea. Dia panik, lalu segera pergi. Namun, Carlos malah melihatnya."Alea tunggu! Kamu kamu kemana?" Carlos mengejar istrinya.Sontak, Alea berlari sekencang-kencangnya."Sial! Ayo kejar! Bawa istri dan anakku!" titah Carlos pada anak buahnya, sambil tetap berlari mengejar Alea.Entah sudah berapa jauh Alea berlari, tapi langkahnya mulai terasa lemah, napasnya pun sudah tidak beraturan.Alea menatap sekitar. Saat ini, dia berada di atas jembatan pinggir jalan.Sekilas, Alea melirik ke belakang. Mengecek orang-orang yang mengejarnya. Alea lega saat tidak melihat Carlos ataupun anak buahnya."Apa yang pria itu lakukan?"Alea terkesiap melihat seorang pria berdiri di atas jembatan. Nampak, pria itu bersiap untuk melompat."Bodoh! Apa yang kamu lakukan?"Alea berlari ke arah pria yang hampir jatuh. Dia menarik belakang bajunya dengan kuat. Sontak, pria itu pun jatuh kebelakang. Terduduk di atas jalan.PLAK!Alea menampar wajah pria kumuh di hadapannya dengan keras."KENAPA KAMU INGIN MATI DISAAT ORANG LAIN BERJUANG KERAS UNTUK HIDUP?"Pria itu terkesiap. Namun sedetik kemudian, ekspresi wajahnya berubah datar. Pria itu menatap manik hitam Alea dengan lekat."Hidup dan matiku tidak ada urusannya denganmu," ujar pria itu dengan nada dingin, kemudian berdiri dan berjalan menuju pinggir jembatan.Tangis Alea luruh. Kenapa Tuhan tidak adil? Nyawa Alea dan bayinya terancam, padahal mereka ingin hidup. Sedang pria itu, keadaannya aman, tapi malah ingin menyia-nyiakan hidupnya.Ah! Andai nyawa bisa ditukar. Bisakah pria itu menggantikan Alea mati ditangan Carlos dan Fiona, lalu Alea dan bayinya bisa hidup dengan tenang?"Itu dia! Ayo tangkap?"Alea terkesiap saat mendengar suara teriakan dari kejauhan. Dia menoleh."Tidak! Anak buah Carlos berhasil menyusul," lirih Alea. Dia hendak berdiri, namun kembali jatuh karena rasa sakit yang mendera perutnya. "Tenang nak, kita akan selamat. Mamah akan menyelamatkanmu."Alea mengecupi wajah bayinya yang masih terlelap seraya berusaha berdiri tegak. Dia berusaha melangkah, tapi rasa sakit membuatnya tidak bisa berbuat apa-apa. Alea pun panik melihat segerombolan pria yang semakin mendekat."Tidak bisakah kita saling bertukar nyawa?"Pertanyaan gila itu terlontar. Alea melirik pria yang masih berdiri di atas jembatan.Pria itu menoleh. Menatap Alesha dengan ekspresi datar.Alea terisak seraya mengecupi bayinya."Kami ingin hidup. Aku dan bayiku ingin hidup," ujar Alea dengan wajah berlinang air mata. "Anggap saja, hari ini kamu sudah mati. Tapi tolong, selamatkan kami."Alea menatap wajah pria di hadapannya dengan tatapan memelas. Nampak, keputusasaan dalam sorot matanya."Berikan sisa umurmu pada kami. Selamatkan aku dan bayiku." Alea melirik kebelakang. Nampak, anak buah Carlos mulai berdatangan. "Jangan biarkan mereka menangkap kami."Penawaran Alea lebih mirip sebuah permohonan. Dia menggantungkan hidupnya pada pria asing yang tidak dikenalnya.Tatapan pria itu tertuju pada segerombolan pria di belakang Alea. "Para pria itu mengejar mu?" tanyanya dengan nada datar.Alea mengangguk. Dia mendekap erat bayinya, lalu berusaha kembali melangkah. Namun, perutnya terlalu sakit. Alea tidak kuat bergerak sedikitpun.Tiba-tiba, pria yang Alea mintai tolong berjalan menghampiri, lalu mengambil bayi dalam gendongannya. Sontak, Alea terkejut. Belum sempat Alea marah, pria lebih dulu berjongkok di hadapannya."Naik lah! Aku akan berlari secepat yang aku bisa."Alea menatap ragu punggung pria di hadapannya. Tidak yakin untuk menerima tawarannya. Namun, melihat orang-orang Carlos yang semakin dekat, Alea pun segera naik ke atas punggung pria tersebut."Berpegang dengan erat," tutur pria itu, sebelum berlari dengan kencang.Satu tangan pria tersebut membawa bayi Alea, sedang tangan lainnya menopang tubuh alea agar tidak jatuh.Alea mencengkram bahu pria itu dengan kuat. Dia tidak tahu usahanya menyelamatkan diri akan berhasil atau tidak. Tapi sekecil apapun peluang untuk selamat, Alea tidak akan menyia-nyiakannya. Alea pun memperkuat tautan kakinya pada tubuh pria yang dipeluknya.Pria itu terus berlari, melewati sebuah trotoar hingga memasuki gang. Walau badan pria itu tegap dan terlihat kokoh, tapi tidak mudah baginya berlari dengan menggendong seorang wanita dewasa sambil membawa bayi. Pria itu pun nampak kepayahan."Ada stasiun! Kita masuk ke sana," tunjuk Alea seraya menunjuk ke seberang jalan.Tanpa menjawab, pria itu menyebrang jalan, kemudian masuk ke dalam stasiun yang Alea maksud. Dia terus berlari ke pinggir stasiun. Mencari tempat persembunyian yang aman."Bisakah kita berhenti sebentar? Perutku sakit," pinta Alea dengan suara lemah, ketika rasa sakit di perutnya sudah tidak tertahankan.Pria itu hanya diam. Dia memasuki sebuah gerbong kereta yang sudah tidak terpakai, lalu menurunkan tubuhnya di dekat sebuah kursi."Kamu baik-baik saja?"Pria itu menurunkan Alea dari punggungnya. Dia terkesiap melihat darah yang memenuhi bagian bawah perut wanita di hadapannya."Kamu ... apa kamu baru saja melakukan operasi?"Alea mengangguk lemah. Kepalanya terkulai lemas di atas kursi. Tangan Alea menekan luka di perutnya yang terus mengeluarkan darah."Bayiku," pinta Alea dengan suara lemah.Pria itu segera mendekatkan bayi yang dipegangnya.Alea tersenyum seraya mengambil bayinya."Sayang, mamah menyayangimu Nak."Alea mengecupi kembali bayinya. Air matanya meleleh melihat wajah merah bayinya yang masih terlelap."Kita akan selamat, sayang. Mamah janji."Pria itu menatap datar Alea dan bayinya. Wajahnya tidak menyiratkan emosi apapun."Kita harus secepatnya mengobati lukamu."Pria itu berjongkok di hadapan Alea. Dengan tenangnya, dia membuka kemeja lusuhnya. Kemudian menyingkap bagian bawah gaun pasien Alea, lalu memasukkan tangannya dan menekankan kemejanya pada luka di bagian bawah perut Alea.Argh!Alea meringis. Walau rasa sakitnya tidak berkurang, tapi dia merasa perutnya sedikit nyaman, karena terganjal kemeja pria yang menolongnya."Kita harus pergi ke rumah sakit terdekat. Kamu terlalu banyak mengeluarkan darah."Alea menggeleng cepat. Wajahnya nampak semakin pucat."Kita harus segera pergi dari sini."Alea menggigit bibir menahan sakit. Matanya menatap pria di hadapannya dengan air mata yang menggenang."Apa akan ada kereta yang berhenti?"Pria itu menatap keluar gerbong. Belum sempat pria itu menjawab, terdengar suara kereta dari kejauhan."Kalau perkiraanku tepat. Ini kereta terakhir yang berhenti di stasiun ini."Alea menoleh keluar gerbong, kemudian menatap kembali wajah lusuh milik pria di hadapannya."Ayo kita naiki kereta itu sebelum anak buah Carlos menemukan kita!"Pria dihadapan Alea mengangguk tanpa mengeluarkan suara.Tanpa ragu, Alea memberikan bayinya pada pria itu, kemudian beringsut naik ke atas punggung yang sudah siap menghadapnya."Tekan kain itu ke bagian lukamu. Dengan begitu pendarahan mu akan sedikit berkurang," ujar sang pria sebelum menaikkan tubuhnya untuk berdiri.Alea mengangguk. Dia membenarkan posisi kain kemeja yang ada di perutnya, lalu membelitkan kaki ke tubuh pria yang dipeluknya.Pria kumuh penolong Alea berjalan keluar gerbong. Nampak, kereta berhenti tidak jauh dari tempatnya dan Alea berada. Pria itu pun berjalan menuju kereta."Itu mereka! Cepat kejar!"Alea terkesiap mendengar suara pria di belakangnya. Dia panik. "Bagaimana ini? Ayo lari!"Tanpa di minta dua kali, pria itu berlari. Tapi, tidak secepat saat berlari di jalanan. Batu kerikil yang menghiasi jalan kereta membuatnya kesulitan untuk melangkah. Eaaaa Eaaa! Alea semakin panik mendengar bayinya menangis. Dia menoleh ke belakang. Terlihat anak buah Carlos semakin dekat. "Turunkan aku di sini!" pinta Alea seraya terisak. "Cepat! Turunkan aku!" Pria itu menoleh sedikit. Napasnya tersengal-sengal. "Apa maksudmu?" "Kita tidak akan selamat jika kamu berlari sambil menggendongku. Turunkan aku! Cepat!" Alea meremas bahu pria yang menggendongnya seraya memberontak turun. Sontak, langkah pria yang menggendong Alea pun oleng, hingga membuatnya dan Alea jatuh. Beruntung bayi yang digendongnya selamat. "Bayiku." Alea merangkak meraih bayinya. Dia menatap bayinya lekat-lekat, lalu mengecupi wajahnya. "Ssst! Jangan menangis, Nak! Tidak perlu takut. Mamah akan melindungimu." Air mata Alea luruh tidak terbendung. Berulang kali, dia mengecupi wajah bayinya seraya men
Tiga bulan berlalu, kondisi Alea semakin memburuk. Selama tiga bulan ini, Fiona meminta dokter untuk mencekoki Alea dengan obat halusinogen. Para dokter pun sudah tidak lagi peduli dengan efek samping dari obat yang mereka berikan. Mereka hanya menjalankan perintah dari Fiona yang ingin melihat Alea tersiksa dan mati secara perlahan. "Tidak! Papah … jangan tinggalkan Alea! Jangan pergi!" Alea meraung seraya menangis histeris. Dia mencakar-cakar lantai hingga membuat kuku jarinya terluka dan berdarah. Nampak, rambut Alea acak-acakan dengan luka lebam yang menghiasi wajahnya. Ada beberapa luka sayat di leher dan tangan Alea, serta terdapat kantung mata hitam disekitar matanya yang bengkak, akibat terlalu banyak menangis. Kondisi Alea benar-benar memprihatinkan. Dia sudah benar-benar kehilangan akal. Bayangan saat ayah dan bayinya yang meninggal terus menghantui Alea hingga membuatnya tidak bisa lagi mengenali Carlos sebagai suaminya. "Apa yang sebenarnya terjadi dengan istriku? Ken
Waktu berjalan dengan cepat. Empat bulan berlalu sejak Alea dibawa pulang dari rumah sakit jiwa. Selama itu, Alea dikurung dalam rumah. Fiona menempatkannya di ruang bawah tanah dengan pintu yang selalu terkunci rapat. Karena kesibukan di perusahaan, selama empat bulan ini Carlos mempercayakan penjagaan Alea kepada Fiona. Dia percaya istri keduanya akan menjaga Alea dengan baik. Mengingat Fiona adalah mantan ibu tiri Alea. Namun pada kenyataannya, Alea hanya mendapatkan siksaan dari ibu tirinya. Alea terus dicekoki dengan obat-obatan psikiatri hingga membuatnya ketergantungan. Bahkan, obat-obatan tersebut berpengaruh pada kesuburannya. Alea mengalami gangguan fungsi seksual hingga mengalami penurunan libido dan membuatnya kesakitan setiap kali Carlos menggaulinya. Setiap Carlos pulang ke rumah, Fiona selalu memindahkan Alea ke kamar. Dia bahkan mempersiapkan Alea untuk melayani carlos. Fiona menyadari semua kesakitan yang Alea alami, namun dia tidak peduli. Baginya, yang terpenting
Carlos membuka pintu kamar. Nampak, Alea berdiri di depan jendela sambil bersenandung. Tatapan Carlos tertuju pada bantal yang Alea dekap. Carlos menarik napas. Dadanya sesak. Sedih melihat istrinya yang belum bisa menerima kematian bayinya. "Alea ..." Carlos mendekati Alea, lalu mengecup pipinya dengan sayang. Carlos melingkarkan tangan memeluk pinggang istrinya, namun Alea segera menjauh. 'Ssst! Bayiku sedang tidur," ucap Alea. Dia berjalan menuju tempat tidur, lalu duduk di ujung ranjang. Carlos menatap sendu istrinya. Alea sama sekali tidak menghiraukan dirinya. Carlos menghampiri Alea, lalu duduk di sampingnya. Ditatapnya wajah cantik Alea yang tersenyum sambil bersenandung. Carlos tersenyum getir. Tatapannya meredup. Sudah lama Carlos tidak melihat senyum istrinya. Namun sekarang, senyum itu hanya bisa dilihat saat istrinya sedang bermain bantal. "Sayang, apa kamu tidak merindukanku?" Carlos merapatkan diri pada Alea. Dia merangkul pinggang istrinya dengan sedikit p
Rontaan Alea terhenti. Dia merasakan cairan dingin menjalar ke seluruh tubuhnya. Membekukan jantung dan otaknya. Alea merasa tubuhnya melayang, jiwanya seolah keluar dari raga. Dia merasa terbang. Perasaan Alea terasa ringan. Namun sedetik kemudian, bayangan buruk yang selalu menghantuinya datang. Mata Alea terbeliak, menyaksikan setiap kejadian buruk yang dialami dalam hidupnya. Kejadian saat Carlos dan Fiona bercinta, ayahnya yang terbujur kaku di atas lantai dan bayinya yang pergi dalam ledakan. Alea ingin menjerit. Namun rahangnya kaku tidak bisa digerakkan. Dia pun pasrah saat Carlos membawanya ke tempat tidur. Alea memejamkan mata, berusaha menghilangkan bayangan-bayangan yang bermunculan di pelupuk matanya. Namun sia-sia. Alea hanya bisa menyaksikan setiap adegan buruk yang menyayat hati terus berulang dalam benaknya. "To-long!" Alea mengucapkan kata itu dengan sudah payah. Namun sayang, carlos tidak mendengarnya. Alea harap semua bayangan di kepalanya sirna. Tapi yang ada
Hujan turun dengan sangat lebat. Terdengar suara gemuruh petir dan cahaya kilat menghiasai langit malam yang gelap karena hujan. Di dalam rumah keluarga Rahardja, nampak Laras yang sedang memakaikan mantel pada Alea. Setelah mendengar persetujuan Alea untuk melarikan diri, Laras segera membalut tubuh majikannya dengan mantel dan jas hujan. "Pakai ini! Di luar dingin, sarung tangan ini akan membuat tubuh Anda tetap hangat," ujar Laras. Dengan patuh, Alea mengulurkan tangan. Membiarkan Laras membalut tangannya dengan sarung tangan kulit yang kini sudah terpasang sempurna di kedua tangannya. "Anda sudah siap?" tanya Laras seraya memperhatikan tubuh Alea yang sudah terbungkus mantel dan jas hujan. Alea mengangguk. Nampak, tangan kirinya mendekap bantal dengan erat. Laras tersenyum. "Ayo pergi!" Alea mengangguk berkali-kali seolah tidak sabar ingin segera pergi dari rumahnya sendiri. Laras menggenggam telapak tangan Alea dengan tangan kanannya, sedang tangan kirinya membawa tas yan
BUG! Carlos menendang tubuh Laras tanpa belas kasihan sedikitpun. Nampak, wanita itu meringis kesakitan. Entah sudah berapa pukulan dan tendangan yang Carlos berikan, hingga Laras terlihat begitu mengenaskan dengan luka lebam yang membekas di sekujur tubuhnya. "Dasar wanita sialan! Beraninya kamu mencuri di rumahku dan membawa kabur istriku!" Carlos melayangkan kembali tendangannya hingga mengenai perut Laras. Terlihat darah merah keluar dari mulutnya, namun Carlos tidak peduli. Dia terus melampiaskan amarah dan emosinya pada wanita paruh baya yang sudah terkapar tidak berdaya. "LARAS!" Alea berlari keluar dari rumah. Menghampiri wanita yang selama ini menjaganya. Setelah mengingat kenangan bersama pria tidak dikenalnya, kesadaran Alea kembali. Alea memang sempat pingsan saat Carlos berhasil menangkapnya dan Laras. Namun ketika bangun, Alea mulai mengenali dirinya dan orang-orang di sekitarnya."Hentikan! Kenapa kamu memukuli Laras seperti ini?" Alea memeluk tubuh Laras yang te
Alea membuka mata. Nampak, langit-langit kamar menyapa penglihatannya. Alea sadar, saat ini sedang berada di kamar tidur yang sudah 26 tahun ditempatinya. "Sayang, kamu sudah sadar?" Carlos menyapa Alea yang baru bangun dari pingsan. Dia lega melihat istrinya membuka mata. "Apa ada yang sakit? Atau kamu butuh sesuatu?" tanya pria itu penuh perhatian. Waktu sudah menunjukkan jam 9 pagi, sudah lebih dari tiga jam Alea pingsan. Karena itu Carlos sangat mengkhawatirkan istrinya. Alea diam tidak menimpali. Pandangannya menatap lurus langit-langit kamar yang seolah memperlihatkan bayangan Carlos saat menyiksa Laras. Hati Alea pilu mengingatnya. Tanpa sadar, air mata Alea luruh. "Sayang, kenapa menangis?" Carlos duduk di samping Alea yang masih berbaring. Dia mengusap wajah istrinya dengan sayang. "Jangan bersedih, aku disini bersamamu." Alea mengeratkan kepalan tangannya. Carlos bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. Alea mulai ingat, ternyata dari dulu Carlos memang pandai berpura-p
"Nyonya Alea?" Kening Alea mengernyit. Mendengar seseorang memanggil namanya. Dia perlahan membuka mata, kemudian memutar sedikit kepala untuk melihat orang yang memanggilnya. Alea terkesiap melihat sosok pria yang semalam ditemuinya. Bibir Alea seketika tersenyum, lalu mengedarkan pandangan. Mencari keberadaan anak laki-laki yang semalam sudah berhasil mencuri hatinya. 'Akhirnya, kamu datang juga,' batin Alea. Tanpa mengindahkan keberadaan Liam.Liam mengeratkan rahang begitu melihat senyum di bibir Alea. Reaksi Alea yang tiba-tiba terlihat senang memberitahu Liam tentang Alea yang ingin kembali bertemu Ansel. Liam pun mendengus. Merutuki perbuatan licik yang Alea lakukan. Liam yakin, Alea memang sudah mengambil gantungan kalung milik putranya. "Anda tidak akan mendapatkan apa yang anda inginkan dengan mudah, nyonya," tutur Liam dengan nada dingin. Senyum di wajah Alea memudar. Tatapannya tertuju pada liam yang menatap datar dirinya. Alea sadar, anak laki-laki yang dari semalam
"Siapkan pesawat! Kita pergi menyusul mereka." "Apa?!" Darvin tercengang mendengar perintah atasannya. Tidak menyangka Liam akan repot-repot menyusul Alea dan keluarganya. Padahal, pekerjaan pria itu sangat banyak. Dan tidak biasanya Liam pergi meninggalkan pekerjaannya."Maaf tuan, apa maksud anda kita akan pergi menyusul Nyonya Alea?" tanya Darvin dengan hati-hati. Memastikan perintah yang baru saja didengarnya. Liam melayangkan tatapan dinginnya. "Apa perintahku kurang jelas? Aku tidak suka mengulang perintah." "Ma-maaf Tuan! Saya akan segera menyiapkan pesawat," sahut Darvin seraya menegakkan badan. Gugup mendapatkan tatapan dingin dari Liam. Meski atasannya tersebut tidak terlihat marah, tapi Darvin tahu Liam bukan pria yang banyak berkata. Dia tidak suka menunggu atau mengulang perintah. Pria itu lebih baik kehilangan bawahan dari pada harus mengulang perkataannya. Tidak mau kehilangan pekerjaan yang sudah lima tahun ini dijabatnya, Darvin pun segera undur diri dari hadapa
"Tangisanmu tidak akan berpengaruh pada papah, Ansel. Jangan harap Papah akan memaafkanmu begitu saja." Liam menolak permohonan putranya dengan tegas. Ansel merapatkan bibir. Menahan isakannya agar tidak keluar. Takut Liam akan semakin marah. Aliana menatap kakak dan keponakannya bergantian. Merasa iba pada Ansel. Dia ingin membela keponakannya, namun takut Liam akan berbalik marah padanya. Aliana pun hanya diam tanpa mampu berbuat apa-apa. "Sekarang katakan! Kenapa semalam kamu membuat masalah?" Liam mempertanyakan alasan Ansel kabur dari pesta. Dengan tangan bergetar, Ansel mengambil buku tulisnya dari tangan Liam, lalu mengambil pulpen dari Aliana. Ansel menuliskan sesuatu pada kertas yang terbuka dihadapannya. 'Maaf!' Ansel menunduk seraya memperlihatkan tulisan tersebut. Liam menatap putranya dalam-dalam, jika kata maaf sudah keluar, artinya Ansel tidak akan memberikan penjelasan apapun. "Papah khawatir!" Ansel mendongak mendengar dua kata yang ayahnya ucapkan. Matanya be
Keesokan harinya, terjadi kerusuhan di rumah keluarga Abraham. Ansel, cucu tunggal keluarga Abraham, mogok makan dan tidak mau membuka mulut sedikit pun. Aliana yang sudah Liam percaya untuk menjaga Ansel pun bingung. Dia tidak mau Liam menjauhkan Ansel darinya. "Ansel, tolong jangan membuatku susah. Ayahmu sudah marah padaku karena kejadian semalam, buka mulutmu dan makanlah!" pinta Aliana setengah memelas. Takut kondisi Ansel kembali drop hingga Liam menyalahkannya. Selama ini, Liam sangat protektif pada putranya. Dia tidak membiarkan siapapun berdekatan dengan Ansel, termasuk orangtua dan adiknya. Liam tidak mempercayakan pengawasan Ansel pada orang lain. Namun dua tahun lalu, setelah Aliana membujuk Liam dengan menjanjikan akan membuat Ansel sembuh dari speech delaynya dan tidak akan membiarkan Ansel kekurangan kasih sayang seorang ibu, Liam pun akhirnya mempercayakan pengawasan Ansel pada adiknya, mengingat dirinya yang memang tidak bisa berceloteh banyak seperti yang Aliana l
Beberapa jam berlalu. Begitu Calros dan Fiona pergi ke kamar mandi, Alea membuka mata. Tadi, dia hanya berpura-pura tidur untuk menghindari Carlos. Alea tidak sudi melayani suaminya. Selama empat tahun ini, Alea harus bertahan dengan Calros dan Fiona yang tidak punya malu berhubung badan dihadapannya. Alea muak. Dia ingin menghentikan mereka, namun tidak ada yang bisa Alea lakukan selain menghindar. Biasanya, Alea pura-pura tidur atau mengamuk histeris untuk menghindari sentuhan Carlos. Namun, hal itu kadang tidak berguna jika Carlos ataupun Fiona menggunakan obat perangsang untuk membuatnya terlibat dalam percintaan. Air mata Alea menetes. Menangis tanpa suara. Tidak mudah bertahan hidup dalam kebobrokan moral yang dilakukan oleh suaminya. Carlos sebagai suami tidak memikirkan perasaan Alea yang harus melihat percintaannya dengan wanita lain. Alea sadar, dirinya mulai gila. Bahkan mungkin sudah gila seperti yang sering Fiona katakan. Tapi sayang, sejak empat tahun lalu, kesadara
Alea berjalan menuju rumah dengan langkah anggun. Senyum manis terukir di wajahnya. Tidak dipedulikannya sepatu dan ujung gaunnya yang kotor terkena lumpur, bahkan pakaiannya pun basah karena air hujan."Alea dari mana saja kamu?"Carlos menghampiri Alea dengan wajah cemas. Dia menilik penampilan istrinya. Carlos terkesiap melihat luka di pergelangan tangan Alea."Alea kamu melukai diri sendiri lagi?" Alea menarik tangannya dari genggaman Carlos. Dia menatapnya dengan tatapan dingin. "Jangan sentuh!" Alea menyembunyikan luka di tangannya.Plak! Tiba-tiba, sebuah tamparan mendarat di wajah Alea. Nampak, Fiona berdiri dihadapannya dengan wajah geram."Dasar wanita gila! Bisa-bisanya kamu pergi di tengah pesta. Kamu hampir menghancurkan pesta ulang tahun putraku," teriak Fiona. Dia hendak melayangkan kembali pukulannya, namun Carlos lebih dulu menahan laju tangannya. "Cukup!" cegah Carlos dengan tegas. "Jangan berlebihan!" Fiona mendelik. "Berlebihan? Dia–." "Oma, aku mengangtuk."
Alea menoleh. Nampak, seorang anak laki-laki tengah memperhatikan dirinya. Kesadaran Alea tenggelam dalam manik hitam pekat anak laki-laki tersebut. Kulit putih anak itu membuat Alea kagum. Terpesona pada wajah tampan dihadapannya. Alea sampai tidak sadar saat tangan kecil anak itu mengambil gunting yang dipegangnya. "Siapa kamu?" tanya Alea. Begitu sadar dari keterkejutannya. Anak laki-laki itu tidak menjawab. Tatapannya tertuju pada luka di pergelangan tangan kiri Alea. Kepalanya yang kecil menoleh ke kanan dan ke kiri seolah mencari sesuatu, kemudian dia menghela. Alea terperanjat saat anak kecil itu meraih ujung belakang gaun yang menjuntai ke tanah, lalu memotongnya dengan gunting yang dipegangnya. Anak itu memegang tangan kiri Alea, meniup lukanya kemudian membalutkannya dengan hati-hati. Semua pekerjaan anak itu lakukan dalam diam. Mulut kecilnya tidak mengeluarkan suara sedikitpun. Hanya kadang, bibir mungilnya terbuka saat menarik atau menghembuskan napas. Wajah tampanny
Pesta berjalan dengan sangat meriah. Banyak anak kecil yang berkeliaran di lantai pertama rumah Alea. Mereka ada yang seumuran Barra, bahkan ada yang lebih kecil dan lebih dewasa darinya. Carlos memang mengundang semua kerabat dan rekan bisnisnya yang memiliki anak kecil. Tidak hanya itu, Carlos juga mengundang beberapa orang penting yang tidak memiliki anak. Karena sebenarnya, tujuan utama pesta itu digelar hanya untuk memamerkan Alea. Carlos tidak mau ada lagi orang yang meragukan kebersamaannya dengan Alea. Dia ingin memperlihatkan kalau Alea, dirinya dan Barra hidup bahagia dan baik-baik saja. "Sudah waktunya potong kue. Ayo semua, kita nyanyikan lagu ulang tahun untuk Barra!" himbau Fiona. Dia semangat sekali memeriahkan acara ulang tahun putranya. Berbeda dengan Alea yang hanya diam di samping Barra dan suaminya. Lagu ulang tahun menggema. Barra meniup lilin pada kue ulang tahunnya, kemudian memotong kue. Fiona berharap, potongan kue pertama Barra berikan untuknya, namun it
"Cukup! Hentikan Oma! Kita bisa terlambat. Tidak ada gunanya mengurusi wanita gila itu." Barra menarik pakaian Fiona untuk menghentikan perbuatannya memukuli Alea.Fiona melirik putranya. Wajahnya muram. Tidak suka melihat Barra membela Alea. Selama ini, Barra mengetahui kalau ibunya adalah Alea, sedang Fiona adalah neneknya. Semua karena harta warisan yang belum Fiona dan Carlos dapatkan sepenuhnya. Walau Carlos berhasil menguasai kekayaan Alea dengan surat kuasa yang diperolehnya sebagai suami. Tapi, tidak mudah mengalihkan semua harta Alea atas namanya. Apalagi, perhatian para direksi dan wartawan selalu tertuju pada Alea yang merupakan ahli waris tunggal keluarga Rahardja. Karena itu, dengan liciknya Carlos menjadikan Barra sebagian anak kandung Alea. Dia ingin anak itu menjadi ahli waris keluarga Rahardja selanjutnya. Fiona sempat menentang rencana Carlos. Tidak rela putranya diakui sebagai anak orang lain. Tapi Carlos berhasil meyakinkannya, bahkan Barra langsung di jadikan