Tiada yang indah selain bisa terbangun dengan keadaan masih bernapas. Dan semakin indah saat terbangun dengan di sisi kita ada yang kita cintai. Tertidur damai dalam tidurnya yang nyenyak karena keberadaan kita di sisinya.Begitu juga dengan yang Aji dapatkan, sebelum matahari tinggi dia terbangun lebih dulu. Menatap wajah Hana dan mengusapnya lembut. Merasa bersyukur sekaligus tidak percaya bahwa dirinya telah beristri sekarang. Di usianya yang baru menginjak dua puluh tahunan."Sayang, bangun yuk," ajak Aji.Dikecupnya lembut pipi Hana yang sedikit berisi beberapa kali. Yang mana itu membuat Hana melenguh dan sadar akan keberadaan Aji di sana. Hampir saja Hana teriak tetapi sedetik kemudian ia urungkan niatnya karena ingat mereka sudah sah."Dokter cantikku, masih mengira kita belum menikah ya?" goda Aji dengan senyum di akhirannya."Maaf, aku belum terbiasa." Hana menggigit bibir bawahnya karena malu."Enggak apa-apa, sayang. Nanti juga terbiasa." Aji menyelipkan rambut Hana dengan
Hanya pertanyaan yang Hana simpan dalam batinnya. Seharian dia memikirkan tentang hal yang sama. Apakah Aji mungkin enggan menyentuhnya karena dia bukan yang pertama?Hana mengakhiri sesi konsultasi dengan pasien lebih cepat dari biasanya. Sekarang ini dia tengah duduk di kursi kantin dengan penuh lamunan. Menatap kosong mangkuk soto di hadapannya.Gelas berisi es qteh juga dianggurkan. Beberapa sapaan dari rekannya yang juga datang ke tempat itu tidak dihiraukan. Mereka jadi berpikir abstrak tentang Hana."Dokter cantik," sapa Aji. Ikut duduk di kursi yang tersisa di hadapan Hana.Hana yang dipanggil seperti itu hanya bisa tersenyum. Mencoba berpikiran positif dan melupakan keresahannya seharian ini. "Kenapa enggak dimakan?" tanya Aji melihat mangkuk Hana yang masih penuh."Enggak lapar, Ji," jawab Hana sekenanya."Enggak lapar gimana sih. Sini biar aku suapi," kata Aji tidak terima. Menarik mangkuk Hana dengan paksa."Buka mulutnya." Aji menyodorkan sesendok makanan itu ke arah Han
Setelah perkataan dokter Firman yang hanya membuatnya pusing itu. Sekarang Aji sedang merapikan ruang tempatnya berjaga di UGD. Hari sudah sangat larut dan tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Aji yang fokus dengan pekerjaannya menjadi fokus seseorang."Ji, kamu enggak pulang?" tanya dokter Firman."Gimana ceritanya, Dok. Bukannya tadi pagi bilang suruh Aji di sini buat ikut jaga?" timpal Aji bingung."Iya, juga sih." Dokter Firman menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Kayaknya aman, pergi ngopi yuk Ji."Aji melihat sekitar dan benar yang dikatakan oleh omnya tersebut. Akhirnya Aji menurut saja. Pergi setelah berpamitan pada rekannya yang lain. Mengikuti ke mana dokter Firman melangkah.Keduanya sekarang duduk di kursi panjang yang biasa digunakan pasien untuk menunggu. Dengan gelas berisi kopi panas di tangan masing-masing. Beruntung suasana sepi jadi tidak ada yang berkomentar."Ji," panggil dokter Firman. Sambil melirik ke arah Aji yang sedang meniup gelas kopinya."Boleh om tany
Esok hari datang lebih cepat, setelah menunaikan kewajibannya pada sang pencipta. Kini Hana tengah berkutat di dapur. Senyum terukir di wajahnya yang damai hingga membuatnya terlihat begitu ceria dan bersinar.Benar, pengakuan Aji semalam lewat panggilan yang dokter Firman dan dokter Mawar atur berhasil membuat kepercayaan diri Hana meningkat. Dan sekarang Hana merasa tidak terbebani seperti sebelumnya."Han, aku pergi duluan, ya. Ada barang yang harus kuambil di rumah," pamit Mawar."Iya, hati hati ya, War," jawab Hana dengan nasihatnya.Dokter Mawar terlihat sangat buru-buru, dia hanya melambaikan tangannya ke arah Hana sambil berlalu pergi. Begitu pintu tertutup lagi, Hana keheningan yang ada. Suara penggorengan yang sedang bicara karena fungsinya digunakan."Makanan sudah siap. Sekarang aku harus mandi dan bersiap-siap untuk berangkat," gumam Hana. Dengan yakin melepaskan apron yang dikenakan dan berlari ke arah kamarnya.Hampir setengah jam berlalu dan Hana kembali dengan keadaan
Benar kata Mawar, semua yang terjadi memang sebaiknya dikatakan. Dengan begitu akan lebih mudah menyelesaikannya. Seperti rasa cemburunya pagi tadi pagi Nasya.Awalnya Hana hanya ingin memendamnya saja. Tetapi ternyata begitu menyakitkan untuk ditelan sendiri dalam keadaan bulat-bulat. Dan siang tadi akhirnya Hana mengatakan semuanya.Mengungkapkan isi hatinya pada suaminya. Dan ternyata respon Aji tidak terduga. Suami bocahnya itu justru membuatnya salah tingkah. Dan sekarang semua kembali normal.Seperti yang dikatakan siang tadi saat makan, Hana sekarang tengah menunggu Aji di parkiran. Sebentar lagi malam datang dan dia sudah melepaskan jas dokternya. Hanya kain tipis yang membalut tubuhnya sekarang."Maaf ya membuatmu menunggu lama," ucap Aji dengan napas terengah-engah karena berlari."Kenapa harus lari, aku tidak apa-apa." Hana mengulurkan tangannya mengusap pelipis Aji yang berkeringat."Aku ingin cepat sampai dan menemuimu," jelas Aji. Ditampilkannya senyum manis yang sedikit
Pagi hari datang setelah malam yang panjang. Hana tengah mempersiapkan sarapannya setelah selesai mandi dan menunaikan kewajibannya.Senyum tercetak apik di sudut bibirnya dan enggan luntur. Hana terus saja menatap ke arah pintu kamar yang mana ada Aji di sana. Kebahagiaan Hana memang pantas diagungkan karena setiap perlakuan kecil Aji yang dia suka.Drtttt drtttt drttttHana yang masih mengiris bawang pun harus meletakkan pisaunya mendengar ponselnya bergetar. Panggilan masuk terlihat di sana. Nama Mawar terlihat pada layar yang menyala."Angkat saja, biar aku yang kerjakan," kata Aji.Hana tidak sadar Aji keluar dari kamar sejak kapan. Tetapi melihat niat baik Aji mau membantunya membuat Hana senang. Pisau berganti dengan ponsel, Hana meninggalkan Aji di dapur untuk menerima panggilan."Hallo, War. Ada apa?" tanya Hana to the points."Han, jawab jujur! Kamu habis unboxing ya sama Aji." Terdengar suara di seberang sana yang membuat Hana tertunduk malu."Cie, diem," goda Mawar lagi, "
Istirahat, sepertinya Hana tidak bisa menyebut hari liburnya kali ini sebagai istirahat. Karena nyatanya dia tidak istirahat sama sekali. Seharian ini dia terus berkeringat dan harus bekerja di atas ranjang.Tidak! Tidak! Aji tidak sekejam itu. Dia masih ingat dengan waktu. Siang ini keduanya terbangun dengan keadaan tubuh yang lebih segar. Setelah permainan yang mereka ciptakan.Mandi adalah salah satu cara penyelesaian dari rasa lengket yang ada di tubuh. Keduanya sudah selesai dengan itu dan dengan rambut yang basah Hana menggosokkan handuk ke kepalanya."Sini, biar aku keringkan," kata Aji. Sambil menepuk space kosong di sebelahnya."Memangnya kamu bisa?" tanya Hana."Sudah percaya sama suamimu ini," balas Aji santai.Hana akhirnya duduk dan membiarkan Aji melakukan apa yang dia mau. Pengering rambut menyala dan Aji mulai mengarahkannya pada kepala Hana.Sungguh Hana tidak bisa menjelaskan apa yang dirasakannya. Perhatian Aji membuatnya semakin melayang hingga ke awan. Hana menutu
Melihat raut wajah Hana yang menakutkan membuat dokter Firman dan Mawar hanya menurut. Selama makan keduanya hanya saling menatap satu sama lain. Berharap kebingungan mereka terjawab.Namun, sepertinya itu harus menjadi angan-angan untuk sementara. Setelah selesai makan pun Hana tidak menjelaskan apapun lagi. Dia justru pergi meninggalkan keduanya begitu saja.Sampai keduanya melihat Aji dan Nasya yang sedang mendorong troli dengan beberapa peralatan medis di sana. Membuat dokter Firman dan dokter Mawar seperti mengerti. Dihampirinya kedua anak tersebut dan menyapanya, "Ji, Nasya.""Dokter," balas keduanya dan berhenti."Kalian ditugaskan bersama?" tanya dokter Firman."Iya, Dok. Sistem sekarang dengan dokter Nada harus bekerjasama," jawab Aji."Ternyata begitu ya," timpal dokter Firman."Jadi selama beberapa bulan ke depan kalian harus sama sama begitu?" terka dokter Mawar. Yang diangguki keduanya membenarkan. "Temanku yang malang."Aji dan Nasya yang tidak tahu apa apa pun menoleh k