Setelah pernyataan yang membuat Hana semakin tidak percaya. Sekarang wanita itu sedang fokus dengan benda di telinganya. Apa lagi kalau bukan ponselnya.Aji sendiri hanya duduk di tempatnya memerhatikan wajah Hana dari kejauhan. Ya, benar. Hana menjaga jarak agar tidak didengar oleh Aji. Karena dirinya sedang menghubungi orang tuanya.Ada rasa kasihan melihat raut wajah Hana yang berubah sendu. Mungkin dia sedang dinasehati atau apa karena membuatnya sampai menitihkan air matanya. Karena tidak tahan melihat itu dari jauh, Aji perlahan mendekati Hana."Maaf, Pa. Hana bukan bermaksud menyembunyikannya. Hana hanya tidak mau Papa khawatir," kata Hana.Grepp, Aji memeluknya dari belakang. Menaruh dagunya di pundak Hana yang lebih rendah. Membuat Hana terkejut bukan main dan merasa jantungnya berpacu seperti pacuan kuda. Sangat berisik dan tidak terkendali."A ... Aji? Jadi dia benar datang ke sana?" tanya Hana begitu nama bocah tengik yang tengah memeluknya itu disebut."Apa? Bersama orang
Ceklek, pintu terbuka. Hana terperanjat dan menatap siapa yang datang ke ruangannya. Tetapi apa boleh buat, saat Hana hendak berdiri Aji menariknya lagi dan kembali duduk di pangkuannya."Ahhhhhh!" pekik Mawar, "mataku!"Mawar pura-pura menutup matanya padahal dia suka melihat pemandangan di hadapannya. Menurutnya jarang jarang melihat Hana malu-malu begitu dan tidak menolak afeksi dari seseorang. Terlebih lagi keduanya belum sah dalam ikatan pernikahan."War, ini enggak seperti yang kamu bayangkan," jelas Hana, "Aji cuma ngasih makanan doang kok.""Iya 'kan, Ji?" tanya Hana meminta pertimbangan, "jawab dong, Ji."Hana memelas dan berusaha melepaskan diri dari pangkuan Aji. Sampai akhirnya Aji menyerah dan melepaskannya. Sementara Mawar menyimak pembicaraan mereka dengan senyum manis sarat akan makna."Iya," jawab Aji akhirnya."Tuh, War. Dengar sendiri 'kan?" Hana menatap Mawar agar temannya itu percaya."Aku percaya, Han. Ya, sudah kalian makan saja. Nanti aku datang lagi. Bye, Hana
Hana menatap dalam ke manik mata bocah tengik di hadapannya. Menyelam di sana dan ditarik untuk lebih dalam lagi. Sampai Hana mengulurkan tangannya mengusap lembut pipi Aji."Aku sudah tahu," kata Hana.Deg, Aji merasa dentuman keras menyerang jantungnya. Rasanya tidak percaya. Hingga dia merotasikan matanya mencari jawaban di kedua mata indah milik Hana."Kamu tahu dia kakakku atau tahu dia menyukaimu?" tanya Aji. Jujur dia penasaran, Hana tahu akan masalah yang mana."Keduanya," jawab Hana santai."Kenapa bisa?" tanya Aji lebih terkejut.Hana terkekeh kecil melihat ekspresi wajah Aji. Menurut Hana, ekspresi seperti ini jarang sekali Aji tunjukkan. Dan baru kali ini dia melihat wajahnya dengan ekspresi yang menarik. Karena biasanya hanya bersikap cool dan sok jutek."Maaf, aku tidak sengaja mendengar pembicaraan kalian dan setelah kucari tahu ayahmu adalah ayahnya Pak Dion juga," jelas Hana."Sejak kapan kamu mengetahui hubungan kami?" tanya Aji."Sejak kamu cedera waktu itu," jelas
Jefri menatap Dion, menunggu putra sulungnya itu untuk melupakan apa yang dirasakannya."Dion, ayah tidak ingin membela siapapun dalam hal ini. Karena menurut ayah, ayah sudah menempatkan posisi ayah pada tempat yang benar. Aji datang lebih dulu jadi ayah hanya melakukan tugas ayah," ujar Jefri."Tapi, Aji itu masih anak-anak, Yah? Bagaimana bisa ayah berencana menikahkan dia dalam waktu dekat?" tanyanya tidak terima."Kamu seharusnya kenal dengan adikmu, Dion. Apa dia akan meminta sesuatu kalau bukan yang dia inginkan? Lalu, apa dia akan menyia-nyiakan apa yang diinginkannya?" tanya Jefri pada putranya."Tidak, Dion," jawabnya sendiri, "Aji sudah dewasa dengan menentukan pilihannya. Kalau kamu khawatir dengan finansial adikmu, biarkan dia bertanggung jawab pada dirinya sendiri dengan pikirannya.""Sudahlah, ayah memang selalu memanjakan Aji," pungkas Dion. Kemudian berlalu meninggalkan kedua orang tuanya.Dan tersisalah sepasang pasutri itu yang menatap kepergian putra sulung mereka.
'Tidak mau'Aji mendengar itu pun melemah. Rasanya seluruh tubuhnya lepas dari fungsinya masing-masing. Darahnya seakan berhenti beroperasi begitu juga tulang tulangnya yang seperti terlepas dari dagingnya.Bahkan Aji perlahan mengendurkan pegangannya. Meneguk ludahnya sendiri dengan kesulitan. Dan menatap wajah Hana yang tidak berekspresi sekarang."Kamu tidak mau menikah denganku?" tanya Aji lirih.Deg, sekarang jantung Hana yang serasa berhenti. Dia kelabakan sendiri menyadari pertanyaan Aji itu. Dan akhirnya dia menyadari kesalahannya dan berucap."Jangan salah sangka, Aji. Aku tidak mengatakan seperti itu. Aku mau menikah denganmu, sangat mau. Tapi, bolehkah kita menikah sah saja tanpa resepsi," jelas Hana."Kenapa? Kamu malu menikah dengan bocah sepertiku?" Aji berharap bukan itu yang menjadi alasannya."Bukan Aji," tampik Hana. Didekatinya Aji dan mengulurkan tangannya untuk mengusap rahang tegas pemuda yang tingginya jauh di atasnya itu dengan sedikit mendongak."Aku bersyukur
Ijab qobul selesai, sekarang di ruangan tersisa kedua belah keluarga. Mereka sekarang duduk melingkar di ruang makan. Sengaja memang mereka memilih untuk merayakannya secara tertutup.Sebenarnya tidak hanya keluarga, Mawar dan dokter Firman pun ada di sana. Ikut merayakan kebahagiaan Aji dan Hana."Han, nanti malam kerja keras ya. Anak muda itu tenaganya kuat loh, Han," bisik Mawar."Shhhht," ringis Mawar. Mengusap kakinya yang dicubit Hana di bawah meja."Kamu kenapa, War?" tanya ibu Hana khawatir."Enggak kenapa kenapa, Bu," jawabnya sambil tersenyum agar percaya.Melihat itu membuat Hana tersenyum senang. Mengerjai temannya ternyata seru juga. Lumayan membuatnya tidak gugup setelah tadi selesai foto bersama dengan Aji juga keluarga setelah resmi menyandang status baru sebagai seorang istri.Dari senyuman itu, di tempat duduknya, Dion mengepalkan tangan. Rasanya tidak rela harus melihat wanita yang disukainya kini sudah menjadi adik iparnya. Timbul iri hati dan pikiran ingin merebut
Tiada yang indah selain bisa terbangun dengan keadaan masih bernapas. Dan semakin indah saat terbangun dengan di sisi kita ada yang kita cintai. Tertidur damai dalam tidurnya yang nyenyak karena keberadaan kita di sisinya.Begitu juga dengan yang Aji dapatkan, sebelum matahari tinggi dia terbangun lebih dulu. Menatap wajah Hana dan mengusapnya lembut. Merasa bersyukur sekaligus tidak percaya bahwa dirinya telah beristri sekarang. Di usianya yang baru menginjak dua puluh tahunan."Sayang, bangun yuk," ajak Aji.Dikecupnya lembut pipi Hana yang sedikit berisi beberapa kali. Yang mana itu membuat Hana melenguh dan sadar akan keberadaan Aji di sana. Hampir saja Hana teriak tetapi sedetik kemudian ia urungkan niatnya karena ingat mereka sudah sah."Dokter cantikku, masih mengira kita belum menikah ya?" goda Aji dengan senyum di akhirannya."Maaf, aku belum terbiasa." Hana menggigit bibir bawahnya karena malu."Enggak apa-apa, sayang. Nanti juga terbiasa." Aji menyelipkan rambut Hana dengan
Hanya pertanyaan yang Hana simpan dalam batinnya. Seharian dia memikirkan tentang hal yang sama. Apakah Aji mungkin enggan menyentuhnya karena dia bukan yang pertama?Hana mengakhiri sesi konsultasi dengan pasien lebih cepat dari biasanya. Sekarang ini dia tengah duduk di kursi kantin dengan penuh lamunan. Menatap kosong mangkuk soto di hadapannya.Gelas berisi es qteh juga dianggurkan. Beberapa sapaan dari rekannya yang juga datang ke tempat itu tidak dihiraukan. Mereka jadi berpikir abstrak tentang Hana."Dokter cantik," sapa Aji. Ikut duduk di kursi yang tersisa di hadapan Hana.Hana yang dipanggil seperti itu hanya bisa tersenyum. Mencoba berpikiran positif dan melupakan keresahannya seharian ini. "Kenapa enggak dimakan?" tanya Aji melihat mangkuk Hana yang masih penuh."Enggak lapar, Ji," jawab Hana sekenanya."Enggak lapar gimana sih. Sini biar aku suapi," kata Aji tidak terima. Menarik mangkuk Hana dengan paksa."Buka mulutnya." Aji menyodorkan sesendok makanan itu ke arah Han
Lagi, entah keberapa kalinya hidup Arya harus dibelenggu. Pupusnya biduk rumah tangganya dengan Hana telah menjadi satu kegagalannya. Dan sekarang masalah lain di rumah tangganya dengan Susan kembali dalam masalah.Arya tidak ingin perceraian kembali melanda rumah tangganya. Tetapi kata-kata Susan begitu keterlaluan di telinga. bagaimana bisa dirinya yang rela mengakhiri rumah tangganya sebelumnya sekarang harus menerima kenyataan sebagai alat baginya."Ayo," ajak Aminah pergi meninggalkan Susan, "biarkan wanita jalang ini di sini sendiri.""Ya, pergi sana! Aku tidak peduli!"Aminah semakin murka dan menarik tangan anaknya dengan lebih keras. Hingga Arya dengan tatapan kecewanya meninggalkan ruangan Susan. Kesadarannya sementara berada di awang-awang karena belum siap menerima kenyataan."Wanita sialan, berani sekali memperdayai putraku," gerutu Aminah sambil berjalan pergi.Arya menghentikan langkahnya yang membuat Aminah bingung dengannya. Melihat gelagat Arya, Aminah pun hendak men
Pertengkaran tidak terelakkan lagi. Arya bingung harus memilih siapa untuk dibelanya. Di satu sisi ia adalah seorang putra dan di sisi lain dia menjadi seorang suami."Berhenti!" bentak Arya."Kalian bisa diam tidak. Susan kamu masih dalam masa pemulihan jangan seperti ini. Dan Mama jangan seperti ini pada Susan, nanti pasti akan ada waktunya kita kembali normal lagi.""Dengan gaya hidupnya yang mewah apa yang bisa kita pertahankan, Arya?" tanya Aminah setengah menyinggung."Oh, jadi gitu?" tantang Susan, "Mama pikir aku mau menikah cuma buat hidup susah gitu?"Sebagai seorang mama mertua yang selalu memperlakukannya dengan sangat baik, harga diri Aminah sedang dipertaruhkan sekarang. Ia sadar dengan ucapan Susan yang bermaksud pada pernikahannya semata-mata karena harta.Jika Aminah memasang mode waspada, Susan justru terlihat begitu menantang. Entah apa yang diinginkannya sekarang. Mengapa dia begitu terus terang menunjukkan dirinya yang seperti itu. Bukannya itu justru akan membuat
Di kantin rumah sakit, di saat jam makan siang memang selalu ramai. Tidak hanya para dokter dan staf tetapi pasien juga. Tetapi pusat perhatian kali ini adalah Hana.Dokter wanita yang tengah mengandung itu terlihat sedang asik menyantap makanannya. Tidak sendiri Hana bersama dengan dokter Mawar yang juga ikut serta. Keduanya tampak sangat asik bercerita pasal kehamilan."Han," panggil Aji yang tiba-tiba muncul entah dari mana."Heh!" bentak dokter Mawar, "kalau manggil jangan sembarangan, ya!""Ikut campur aja sih, terserahlah aku mau manggil apa," bantah Aji."Yang mesra gitu panggil istrinya. Sayang, my love, honey, sweety gitu. Ini main panggil Han Han aja," tutur dokter Mawar."Kalau itu juga tahu, dokter. Enggak usah protes melulu deh," bantah Aji lagi.Akhirnya Mawar sendiri yang menyerah. Sedangkan Aji sudah duduk lebih dulu di hadapan istrinya yang menertawakan pertengkaran suami dan sahabatnya. "Makannya belepotan banget sih." Aji mengulurkan tangannya mengusap bibir Hana d
Di rumah sakit itu siapa yang tidak mengenal Hana? Hampir semua kenal dengannya termasuk pasiennya yang selalu menjadi prioritasnya. Sebab itulah di dalam toilet sekarang ini ada yang tengah membicarakannya.Suaranya sedikit terdengar sampai Aminah yang lewat pun mendengar. Menghentikan langkahnya begitu nama Hana disebut. Memperhatikan dengan baik bagaimana seseorang membicarakan mantan menantunya itu di dalam sana."Iya, dokter Hana itu sekarang sedang hamil. Sudah dua bulan dan dia masih bekerja dengan baik.""Benar, aku jadi iri dengannya. Selain mual parfum sepertinya dokter Hana tidak terganggu dengan yang lain.""Lucu sekali kalau mengigit itu, suaminya sampai minta diganti partner karena tidak mau didekati karena bau parfum perempuan."Terdengar kekehan setelah itu. Sekaligus menjadi saat untuk Aminah pergi dari sana. Sambil berjalan menyusuri lorong, orang tua itu terus berpikir. Tentunya tentang apa yang didengarnya tadi."Bagaimana Hana bisa hamil?" tanya Aminah pada diriny
Begitu notifikasi masuk ke ponsel Hana dan dia membacanya. Wanita yang baru mengandung itu sontak melebarkan kedua matanya. Melihat nominal yang dikirimkan Aji membuatnya syok."Ji, kenapa dikirim ke aku semua?" tanya Hana bingung."Kok tanyanya begitu?" Aji merengkuh tubuh istrinya dan melihat ponsel Hana yang diarahkan padanya."Ya, kamu kenapa dikirim semuanya ke aku?" ulang Hana penuh penekanan."Di sini yang jadi istri aku 'kan kamu, sayang. Kalau enggak ke kamu terus ke siapa?""Tapi, Ji ... kenapa harus semuanya? Emangnya kamu enggak pegang?" tanya Hana masih protes.Sekarang Aji yang bingung. Kenapa istrinya malah bertanya perihal nominal yang diberikan padanya. Dan masalahnya apa sampai membuatnya terus bertanya.Aji memegang kedua pundak Hana dan membuat mereka berhadapan. Dia menatap istrinya dalam dan teduh tentunya. Membuat Hana merasakan cinta yang Aji berikan seutuhnya padanya."Han, aku itu suami kamu. Jadi mulai sekarang yang akan memegang keuanganku ya kamu. Kamu eng
"lagi?" Arya seolah tidak percaya mendengar perkataan Aminah.Aminah sendiri sampai tidak bisa menahan keterkejutannya. Wajah Arya pun membuat Aminah seperti kebingungan."Iya, memangnya kenapa kamu sampai terkejut seperti itu?""Ma, bukannya kemarin sudah Arya berikan, ya?" tanya Arya."Yang kemarin sudah habis, Nak. Kamu tahu sendiri 'kan istrimu bahkan tidak mau makan makanan yang murah," jelas Aminah.Benar, Arya tahu satu hal itu. Dia juga tidak menyangka jika setelah menikah Susan telah banyak berubah. Gaya hidupnya yang terlihat sekarang begitu wah.Mulai dari makanan saja harus sekelas makanan di hotel. Gaya berpakaiannya juga tidak main-main, sebelum kandungannya sebesar sekarang ini dia sering menghamburkan uang untuk pergi belanja keperluan yang tidak perlu.Kalau Arya tidak melarangnya pasti Susan masih melakukannya sampai sekarang. Berhubung sekarang Arya memiliki tabungan yang sedikit menipis, ia melarang Susan untuk berfoya-foya."Kalau kamu tidak bisa mengirimkan uang,
Setelah mengetahui kebenaran bahwa dirinya hamil, Hana terlihat sangat berhati-hati sekali. Makanan yang dimakannya pun harus dipastikan kandungan gizi di dalamnya. Tidak seperti dulu yang asal makan penting kenyang.Sekarang Hana jadi lebih sering memasak makanannya sendiri dan hidup sehat. Dia dibantu Aji tentunya karena keduanya benar benar antusias menjaga bayi mereka yang belum lahir. Dan sejauh ini Hana tidak begitu tersiksa. Dia hanya akan merasa mual jika Aji dekat dengan Nasya dan parfumnya menempel.Selebihnya tidak begitu, Hana masih bisa mengontrol dirinya sendiri. Bahkan keadaannya tidak membuatnya kesulitan dalam menjalani pekerjaannya. Karena banyak yang perhatian padanya dan selalu mendukungnya juga.Jadwalnya pun sedikit dikurangi karena sebagai seorang yang tengah mengandung tentunya tidak boleh kelelahan. Ia bahkan hanya diperbolehkan menangani operasi kecil saja. Untuk operasi besar dilempar pada rekannya yang lain."Bosen banget rasanya," gumam Hana. Dengan helaan
"ehemm," dehem Dion yang ada di belakang.Aji dan Hana sontak melepaskan pelukan mereka. Dan keduanya baru menyadari adanya Dion di sana. Hana sedikit malu karena hal tersebut tetapi sepertinya tidak dengan Aji.Bocah, suami Hana itu mendekat dengan merentangkan kedua tangannya ke arah Dion. Memeluk kakaknya dengan perasaan yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Hanya ada haru dan bahagia yang bercampur jadi satu."Kak, aku bakal jadi ayah, Kak," ucap Aji terlewat senang."Kakak bakal jadi paman," katanya antusias."Jangan lupa, Kak. Kamu pernah janji bakal jadiin anakku anak kesayangan kamu juga," imbuhnya lagi."Selamat, Ji. Semoga aja dia enggak kayak kamu yang bandelnya minta ampun. Aku bakalan jadi Om yang sayang banget sama dia. Kamu enggak usah khawatir meskipun aku benci dengan sikap kamu tapi aku pastikan tidak dengan anakmu. Dia bakal dapet ap
Bagaimana perasaanmu jika harus menunggu? Pasti rasanya gelisah, gugup, dan penuh harap. Ya, semua itu yang sedang dokter Mawar rasakan setelah Hana masuk ke dalam kamar mandi.Di dalam ruangan yang udara dingin tersedia pun seolah tidak berguna. Semua rasa penasarannya membuat seluruh tubuhnya merespon lain."Seharusnya Hana sudah keluar 'kan?" batin dokter Mawar bertanya."Aku susul aja kali ya?" Dokter Mawar sepertinya yakin untuk keluar dan menyusul Hana ke toilet.Baru saja melangkah beberapa langkah dan pintu sudah terbuka. Hana masuk ke dalam dan tanpa aba-aba berhambur memeluknya. Menenggelamkan wajahnya di pelukan dokter Mawar kemudian menangis sejadi jadinya.Dokter Mawar yang seolah tahu bagaimana rasa sedihnya pun mengelus surai Hana dengan penuh sayang. Memberinya penguatan agar temannya tidak begitu larut dalam sedih. Sepertinya dia ikut hancur melihat Hana yang seperti ini.Menyesal, harusnya itu juga yang dokter Mawar rasakan. Dia yang melihat Hana hancur merasa iba ka