Jefri menatap Dion, menunggu putra sulungnya itu untuk melupakan apa yang dirasakannya."Dion, ayah tidak ingin membela siapapun dalam hal ini. Karena menurut ayah, ayah sudah menempatkan posisi ayah pada tempat yang benar. Aji datang lebih dulu jadi ayah hanya melakukan tugas ayah," ujar Jefri."Tapi, Aji itu masih anak-anak, Yah? Bagaimana bisa ayah berencana menikahkan dia dalam waktu dekat?" tanyanya tidak terima."Kamu seharusnya kenal dengan adikmu, Dion. Apa dia akan meminta sesuatu kalau bukan yang dia inginkan? Lalu, apa dia akan menyia-nyiakan apa yang diinginkannya?" tanya Jefri pada putranya."Tidak, Dion," jawabnya sendiri, "Aji sudah dewasa dengan menentukan pilihannya. Kalau kamu khawatir dengan finansial adikmu, biarkan dia bertanggung jawab pada dirinya sendiri dengan pikirannya.""Sudahlah, ayah memang selalu memanjakan Aji," pungkas Dion. Kemudian berlalu meninggalkan kedua orang tuanya.Dan tersisalah sepasang pasutri itu yang menatap kepergian putra sulung mereka.
'Tidak mau'Aji mendengar itu pun melemah. Rasanya seluruh tubuhnya lepas dari fungsinya masing-masing. Darahnya seakan berhenti beroperasi begitu juga tulang tulangnya yang seperti terlepas dari dagingnya.Bahkan Aji perlahan mengendurkan pegangannya. Meneguk ludahnya sendiri dengan kesulitan. Dan menatap wajah Hana yang tidak berekspresi sekarang."Kamu tidak mau menikah denganku?" tanya Aji lirih.Deg, sekarang jantung Hana yang serasa berhenti. Dia kelabakan sendiri menyadari pertanyaan Aji itu. Dan akhirnya dia menyadari kesalahannya dan berucap."Jangan salah sangka, Aji. Aku tidak mengatakan seperti itu. Aku mau menikah denganmu, sangat mau. Tapi, bolehkah kita menikah sah saja tanpa resepsi," jelas Hana."Kenapa? Kamu malu menikah dengan bocah sepertiku?" Aji berharap bukan itu yang menjadi alasannya."Bukan Aji," tampik Hana. Didekatinya Aji dan mengulurkan tangannya untuk mengusap rahang tegas pemuda yang tingginya jauh di atasnya itu dengan sedikit mendongak."Aku bersyukur
Ijab qobul selesai, sekarang di ruangan tersisa kedua belah keluarga. Mereka sekarang duduk melingkar di ruang makan. Sengaja memang mereka memilih untuk merayakannya secara tertutup.Sebenarnya tidak hanya keluarga, Mawar dan dokter Firman pun ada di sana. Ikut merayakan kebahagiaan Aji dan Hana."Han, nanti malam kerja keras ya. Anak muda itu tenaganya kuat loh, Han," bisik Mawar."Shhhht," ringis Mawar. Mengusap kakinya yang dicubit Hana di bawah meja."Kamu kenapa, War?" tanya ibu Hana khawatir."Enggak kenapa kenapa, Bu," jawabnya sambil tersenyum agar percaya.Melihat itu membuat Hana tersenyum senang. Mengerjai temannya ternyata seru juga. Lumayan membuatnya tidak gugup setelah tadi selesai foto bersama dengan Aji juga keluarga setelah resmi menyandang status baru sebagai seorang istri.Dari senyuman itu, di tempat duduknya, Dion mengepalkan tangan. Rasanya tidak rela harus melihat wanita yang disukainya kini sudah menjadi adik iparnya. Timbul iri hati dan pikiran ingin merebut
Tiada yang indah selain bisa terbangun dengan keadaan masih bernapas. Dan semakin indah saat terbangun dengan di sisi kita ada yang kita cintai. Tertidur damai dalam tidurnya yang nyenyak karena keberadaan kita di sisinya.Begitu juga dengan yang Aji dapatkan, sebelum matahari tinggi dia terbangun lebih dulu. Menatap wajah Hana dan mengusapnya lembut. Merasa bersyukur sekaligus tidak percaya bahwa dirinya telah beristri sekarang. Di usianya yang baru menginjak dua puluh tahunan."Sayang, bangun yuk," ajak Aji.Dikecupnya lembut pipi Hana yang sedikit berisi beberapa kali. Yang mana itu membuat Hana melenguh dan sadar akan keberadaan Aji di sana. Hampir saja Hana teriak tetapi sedetik kemudian ia urungkan niatnya karena ingat mereka sudah sah."Dokter cantikku, masih mengira kita belum menikah ya?" goda Aji dengan senyum di akhirannya."Maaf, aku belum terbiasa." Hana menggigit bibir bawahnya karena malu."Enggak apa-apa, sayang. Nanti juga terbiasa." Aji menyelipkan rambut Hana dengan
Hanya pertanyaan yang Hana simpan dalam batinnya. Seharian dia memikirkan tentang hal yang sama. Apakah Aji mungkin enggan menyentuhnya karena dia bukan yang pertama?Hana mengakhiri sesi konsultasi dengan pasien lebih cepat dari biasanya. Sekarang ini dia tengah duduk di kursi kantin dengan penuh lamunan. Menatap kosong mangkuk soto di hadapannya.Gelas berisi es qteh juga dianggurkan. Beberapa sapaan dari rekannya yang juga datang ke tempat itu tidak dihiraukan. Mereka jadi berpikir abstrak tentang Hana."Dokter cantik," sapa Aji. Ikut duduk di kursi yang tersisa di hadapan Hana.Hana yang dipanggil seperti itu hanya bisa tersenyum. Mencoba berpikiran positif dan melupakan keresahannya seharian ini. "Kenapa enggak dimakan?" tanya Aji melihat mangkuk Hana yang masih penuh."Enggak lapar, Ji," jawab Hana sekenanya."Enggak lapar gimana sih. Sini biar aku suapi," kata Aji tidak terima. Menarik mangkuk Hana dengan paksa."Buka mulutnya." Aji menyodorkan sesendok makanan itu ke arah Han
Setelah perkataan dokter Firman yang hanya membuatnya pusing itu. Sekarang Aji sedang merapikan ruang tempatnya berjaga di UGD. Hari sudah sangat larut dan tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Aji yang fokus dengan pekerjaannya menjadi fokus seseorang."Ji, kamu enggak pulang?" tanya dokter Firman."Gimana ceritanya, Dok. Bukannya tadi pagi bilang suruh Aji di sini buat ikut jaga?" timpal Aji bingung."Iya, juga sih." Dokter Firman menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Kayaknya aman, pergi ngopi yuk Ji."Aji melihat sekitar dan benar yang dikatakan oleh omnya tersebut. Akhirnya Aji menurut saja. Pergi setelah berpamitan pada rekannya yang lain. Mengikuti ke mana dokter Firman melangkah.Keduanya sekarang duduk di kursi panjang yang biasa digunakan pasien untuk menunggu. Dengan gelas berisi kopi panas di tangan masing-masing. Beruntung suasana sepi jadi tidak ada yang berkomentar."Ji," panggil dokter Firman. Sambil melirik ke arah Aji yang sedang meniup gelas kopinya."Boleh om tany
Esok hari datang lebih cepat, setelah menunaikan kewajibannya pada sang pencipta. Kini Hana tengah berkutat di dapur. Senyum terukir di wajahnya yang damai hingga membuatnya terlihat begitu ceria dan bersinar.Benar, pengakuan Aji semalam lewat panggilan yang dokter Firman dan dokter Mawar atur berhasil membuat kepercayaan diri Hana meningkat. Dan sekarang Hana merasa tidak terbebani seperti sebelumnya."Han, aku pergi duluan, ya. Ada barang yang harus kuambil di rumah," pamit Mawar."Iya, hati hati ya, War," jawab Hana dengan nasihatnya.Dokter Mawar terlihat sangat buru-buru, dia hanya melambaikan tangannya ke arah Hana sambil berlalu pergi. Begitu pintu tertutup lagi, Hana keheningan yang ada. Suara penggorengan yang sedang bicara karena fungsinya digunakan."Makanan sudah siap. Sekarang aku harus mandi dan bersiap-siap untuk berangkat," gumam Hana. Dengan yakin melepaskan apron yang dikenakan dan berlari ke arah kamarnya.Hampir setengah jam berlalu dan Hana kembali dengan keadaan
Benar kata Mawar, semua yang terjadi memang sebaiknya dikatakan. Dengan begitu akan lebih mudah menyelesaikannya. Seperti rasa cemburunya pagi tadi pagi Nasya.Awalnya Hana hanya ingin memendamnya saja. Tetapi ternyata begitu menyakitkan untuk ditelan sendiri dalam keadaan bulat-bulat. Dan siang tadi akhirnya Hana mengatakan semuanya.Mengungkapkan isi hatinya pada suaminya. Dan ternyata respon Aji tidak terduga. Suami bocahnya itu justru membuatnya salah tingkah. Dan sekarang semua kembali normal.Seperti yang dikatakan siang tadi saat makan, Hana sekarang tengah menunggu Aji di parkiran. Sebentar lagi malam datang dan dia sudah melepaskan jas dokternya. Hanya kain tipis yang membalut tubuhnya sekarang."Maaf ya membuatmu menunggu lama," ucap Aji dengan napas terengah-engah karena berlari."Kenapa harus lari, aku tidak apa-apa." Hana mengulurkan tangannya mengusap pelipis Aji yang berkeringat."Aku ingin cepat sampai dan menemuimu," jelas Aji. Ditampilkannya senyum manis yang sedikit