Setelah itu keduanya kembali pulang. Entah karena lelah atau karena apa sekarang Hana terlelap di kursinya. Aji yang menggantikan mobilnya pun mengerti dan menunggu.Selama itu, Aji gunakan waktu untuk mengagumi paras ayu dari wanita yang dia idamkan. Bibir berbentuk hati dengan gigi yang sedikit terlihat karena terbuka. Ditambah dengan bulu mata lentik dan beberapa spot cantik seperti rasi bintang di wajahnya membuat Aji semakin kagum."Bagaimana Allah menciptakan manusia secantik kamu di dunia ini, dokter Hana?" tanya Aji lirih. Sambil ditatapnya dalam wajah Hana yang damai."Aku berjanji akan menikahimu dan menjadikanmu wanitaku satu-satunya yang paling bahagia dengan memilikiku," imbuhnya."Semoga orang tuamu tidak syok mengetahuimu sudah bercerai dari suamimu," harap Aji.Biarkan Aji bercerita dengan semestanya. Biarkan dia mengaguminya untuk sesaat dan membuatnya semakin yakin akan pilihannya. Sadar atau tidak Aji sudah mulai berubah seiring waktu berjalan. Apalagi sekarang saat
Niat awal Hana pun terhenti. Sekarang ini dia tengah duduk kembali dengan seseorang di sampingnya. Orang yang sama yang mengulurkan sebotol minuman untuknya.Udara mungkin terasa segar tetapi tidak bagi Hana. Karena rasanya ada yang aneh saat dirinya tengah duduk bersama dengan Dion di taman rumah sakit. Keduanya tidak saling menatap dan hanya diam."Kamu sedang ada masalah?" tanya Dion."Tidak ada," jawab Hana."Lalu, kenapa matamu merah seperti habis menangis?" tanyanya lagi.Sekarang Hana harus menjawab apa? Haruskah dia bilang kalau semua ini karena dia memikirkan bocah tengik yang sudah memporak-porandakan dinding hatinya? Haruskah Hana katakan bahwa dirinya sedang merindukan sosok itu sekarang?Atau, mungkinkah Hana harus meminta bantuan pada pihak berwajib untuk menyeret Aji. Menemukannya dan membawakan ke hadapan Hana? Astaga, kenapa Hana bisa selemah ini padanya. Katakan kalau Hana sudah terhipnotis dengan pesona tengil bocah yang selalu bersikap seenaknya itu."Aku hanya men
Setelah pernyataan yang membuat Hana semakin tidak percaya. Sekarang wanita itu sedang fokus dengan benda di telinganya. Apa lagi kalau bukan ponselnya.Aji sendiri hanya duduk di tempatnya memerhatikan wajah Hana dari kejauhan. Ya, benar. Hana menjaga jarak agar tidak didengar oleh Aji. Karena dirinya sedang menghubungi orang tuanya.Ada rasa kasihan melihat raut wajah Hana yang berubah sendu. Mungkin dia sedang dinasehati atau apa karena membuatnya sampai menitihkan air matanya. Karena tidak tahan melihat itu dari jauh, Aji perlahan mendekati Hana."Maaf, Pa. Hana bukan bermaksud menyembunyikannya. Hana hanya tidak mau Papa khawatir," kata Hana.Grepp, Aji memeluknya dari belakang. Menaruh dagunya di pundak Hana yang lebih rendah. Membuat Hana terkejut bukan main dan merasa jantungnya berpacu seperti pacuan kuda. Sangat berisik dan tidak terkendali."A ... Aji? Jadi dia benar datang ke sana?" tanya Hana begitu nama bocah tengik yang tengah memeluknya itu disebut."Apa? Bersama orang
Ceklek, pintu terbuka. Hana terperanjat dan menatap siapa yang datang ke ruangannya. Tetapi apa boleh buat, saat Hana hendak berdiri Aji menariknya lagi dan kembali duduk di pangkuannya."Ahhhhhh!" pekik Mawar, "mataku!"Mawar pura-pura menutup matanya padahal dia suka melihat pemandangan di hadapannya. Menurutnya jarang jarang melihat Hana malu-malu begitu dan tidak menolak afeksi dari seseorang. Terlebih lagi keduanya belum sah dalam ikatan pernikahan."War, ini enggak seperti yang kamu bayangkan," jelas Hana, "Aji cuma ngasih makanan doang kok.""Iya 'kan, Ji?" tanya Hana meminta pertimbangan, "jawab dong, Ji."Hana memelas dan berusaha melepaskan diri dari pangkuan Aji. Sampai akhirnya Aji menyerah dan melepaskannya. Sementara Mawar menyimak pembicaraan mereka dengan senyum manis sarat akan makna."Iya," jawab Aji akhirnya."Tuh, War. Dengar sendiri 'kan?" Hana menatap Mawar agar temannya itu percaya."Aku percaya, Han. Ya, sudah kalian makan saja. Nanti aku datang lagi. Bye, Hana
Hana menatap dalam ke manik mata bocah tengik di hadapannya. Menyelam di sana dan ditarik untuk lebih dalam lagi. Sampai Hana mengulurkan tangannya mengusap lembut pipi Aji."Aku sudah tahu," kata Hana.Deg, Aji merasa dentuman keras menyerang jantungnya. Rasanya tidak percaya. Hingga dia merotasikan matanya mencari jawaban di kedua mata indah milik Hana."Kamu tahu dia kakakku atau tahu dia menyukaimu?" tanya Aji. Jujur dia penasaran, Hana tahu akan masalah yang mana."Keduanya," jawab Hana santai."Kenapa bisa?" tanya Aji lebih terkejut.Hana terkekeh kecil melihat ekspresi wajah Aji. Menurut Hana, ekspresi seperti ini jarang sekali Aji tunjukkan. Dan baru kali ini dia melihat wajahnya dengan ekspresi yang menarik. Karena biasanya hanya bersikap cool dan sok jutek."Maaf, aku tidak sengaja mendengar pembicaraan kalian dan setelah kucari tahu ayahmu adalah ayahnya Pak Dion juga," jelas Hana."Sejak kapan kamu mengetahui hubungan kami?" tanya Aji."Sejak kamu cedera waktu itu," jelas
Jefri menatap Dion, menunggu putra sulungnya itu untuk melupakan apa yang dirasakannya."Dion, ayah tidak ingin membela siapapun dalam hal ini. Karena menurut ayah, ayah sudah menempatkan posisi ayah pada tempat yang benar. Aji datang lebih dulu jadi ayah hanya melakukan tugas ayah," ujar Jefri."Tapi, Aji itu masih anak-anak, Yah? Bagaimana bisa ayah berencana menikahkan dia dalam waktu dekat?" tanyanya tidak terima."Kamu seharusnya kenal dengan adikmu, Dion. Apa dia akan meminta sesuatu kalau bukan yang dia inginkan? Lalu, apa dia akan menyia-nyiakan apa yang diinginkannya?" tanya Jefri pada putranya."Tidak, Dion," jawabnya sendiri, "Aji sudah dewasa dengan menentukan pilihannya. Kalau kamu khawatir dengan finansial adikmu, biarkan dia bertanggung jawab pada dirinya sendiri dengan pikirannya.""Sudahlah, ayah memang selalu memanjakan Aji," pungkas Dion. Kemudian berlalu meninggalkan kedua orang tuanya.Dan tersisalah sepasang pasutri itu yang menatap kepergian putra sulung mereka.
'Tidak mau'Aji mendengar itu pun melemah. Rasanya seluruh tubuhnya lepas dari fungsinya masing-masing. Darahnya seakan berhenti beroperasi begitu juga tulang tulangnya yang seperti terlepas dari dagingnya.Bahkan Aji perlahan mengendurkan pegangannya. Meneguk ludahnya sendiri dengan kesulitan. Dan menatap wajah Hana yang tidak berekspresi sekarang."Kamu tidak mau menikah denganku?" tanya Aji lirih.Deg, sekarang jantung Hana yang serasa berhenti. Dia kelabakan sendiri menyadari pertanyaan Aji itu. Dan akhirnya dia menyadari kesalahannya dan berucap."Jangan salah sangka, Aji. Aku tidak mengatakan seperti itu. Aku mau menikah denganmu, sangat mau. Tapi, bolehkah kita menikah sah saja tanpa resepsi," jelas Hana."Kenapa? Kamu malu menikah dengan bocah sepertiku?" Aji berharap bukan itu yang menjadi alasannya."Bukan Aji," tampik Hana. Didekatinya Aji dan mengulurkan tangannya untuk mengusap rahang tegas pemuda yang tingginya jauh di atasnya itu dengan sedikit mendongak."Aku bersyukur
Ijab qobul selesai, sekarang di ruangan tersisa kedua belah keluarga. Mereka sekarang duduk melingkar di ruang makan. Sengaja memang mereka memilih untuk merayakannya secara tertutup.Sebenarnya tidak hanya keluarga, Mawar dan dokter Firman pun ada di sana. Ikut merayakan kebahagiaan Aji dan Hana."Han, nanti malam kerja keras ya. Anak muda itu tenaganya kuat loh, Han," bisik Mawar."Shhhht," ringis Mawar. Mengusap kakinya yang dicubit Hana di bawah meja."Kamu kenapa, War?" tanya ibu Hana khawatir."Enggak kenapa kenapa, Bu," jawabnya sambil tersenyum agar percaya.Melihat itu membuat Hana tersenyum senang. Mengerjai temannya ternyata seru juga. Lumayan membuatnya tidak gugup setelah tadi selesai foto bersama dengan Aji juga keluarga setelah resmi menyandang status baru sebagai seorang istri.Dari senyuman itu, di tempat duduknya, Dion mengepalkan tangan. Rasanya tidak rela harus melihat wanita yang disukainya kini sudah menjadi adik iparnya. Timbul iri hati dan pikiran ingin merebut