"Papa? Kenapa—" Frank mengangkat telunjuk. Emily spontan menghentikan bicara. Hal itu menimbulkan keresahan yang lebih besar dalam hatinya. "Kenapa Papa menyajikan mahluk mengerikan itu untuk kami? Apakah dia mau menguji Cayden? Mungkinkah ...." Emily terkesiap. Ia teringat bagaimana kakek buyutnya dulu selalu membasmi orang-orang yang mengetahui kelemahan keluarga mereka. Mungkinkah sang ayah juga mau melakukan hal yang sama? Tapi Frank bukanlah orang yang beringas. "Papa—" "Maaf, Tuan. Mengapa Anda menyajikan menu ini? Bukankah Emily alergi udang?" Letupan besar sontak mengguncang hati Emily. Keringat dinginnya mendesak keluar, sama seperti kepanikan yang menyumbat kerongkongannya. Sementara itu, Frank tersenyum miring. "Kau tahu putriku alergi?" Cayden mengangguk tanpa beban. "Saat kami di pesawat, Emily sempat panik karena memakan sesuatu yang mirip udang. Dari situlah saya tahu kalau Emily alergi. Untungnya, itu adalah makanan vegan yang dibuat menyerupai udang." "A
"Kau tidak bisa mengalahkan aku, heh?" bisik Frank, mencoba untuk menggoyahkan lawan. Bukannya terintimidasi, Cayden malah tersenyum kecil. "Tujuan saya bukan untuk mengalahkan Anda, Tuan. Tapi untuk menunjukkan kekuatan saya." Frank tertawa remeh. "Kau tidak akan kurestui kalau kau kalah." Cayden mengangguk. "Aku tahu." Tiba-tiba, Frank mengerahkan seluruh tenaga. Tangan Cayden sontak terdorong mundur. Emily memekik panik di kursinya. "Cayden!" Namun kemudian, tangan mereka kembali ke posisi semula. Emily kini menahan napas. Ia berharap Cayden terus mendorong, tetapi kenyataannya tidak. Kekasihnya itu hanya mengimbangi kekuatan Frank. "Cayden, kubilang jangan mengalah. Cepat selesaikan permainan!" seru Emily lantang. Emosi Frank semakin membara. Ia berusaha menambah kekuatan, tetapi ia sudah mencapai batas maksimal. "Sudah lelah, Tuan?" bisik Cayden, terlihat lebih santai. Frank tidak sanggup menjawab. Ia terlalu fokus mengatur napas. Namun perlahan, Cayden mulai
"Apakah kau setuju? Kau juga berpikir kalau putriku bodoh?" Frank menatap Cayden lekat-lekat. Cayden menggeleng tipis. "Tidak. Menurutku, Emily tidak bodoh. Dia hanya bingung. Beberapa kali kuperhatikan, dia tidak bisa berpikir rasional setiap kali ia menyimpan kekhawatiran terhadap orang-orang yang disayanginya." "Orang itu kamu? Maksudmu, Emily menyayangimu?" Cayden mengangguk sambil tersenyum simpul. "Ya, salah satunya." Frank memiringkan kepalanya sedikit. Matanya agak menyipit. "Emily itu gadis jenius. Dia pandai memecahkan masalah dan menyusun langkah strategis. Akan tetapi, setiap kali dihadapkan pada masalah yang menyangkut keselamatan orang-orang terdekatnya, dia mendadak linglung. Pikirannya seperti tidak bisa bekerja dengan baik. Hasilnya seperti tadi. Dia menjadi terlalu takut dan panik." Sambil kembali menyusun buah catur, Frank tertawa miris. Kepalanya menggeleng tak habis pikir. "Kau tahu apa penyebabnya?" Cayden bergeming. "Apa?" "Dia terlalu sering bergantu
Sebelum kekhawatiran Emily meracuni pikirannya, Cayden menggeleng cepat. Ia genggam kedua tangan sang gadis, mencoba untuk mengirimkan ketenangan. "Tidak, Emily. Kurasa, kau berpikir terlalu jauh. Aku jelas berbeda dari ulat. Membunuh ulat juga berbeda dengan membunuh manusia. Bagaimana mungkin itu bisa disamakan? Dosanya berbeda. Beban dan tekanannya juga. Selain itu ...." Cayden memajukan posisi duduknya sedikit. Jarak pandang mereka lebih rapat sekarang. "Kau bukan tanaman. Bagaimana mungkin kamu bisa membandingkan dirimu dengan makhluk hidup yang tidak berdarah atau bertulang?" "Itu hanya analogi, Cay." "Tetap saja, dua perkara itu tidak bisa dibandingkan. Sekarang jangan terlalu dijadikan beban, hmm? Aku percaya ayahmu bukan orang yang semena-mena. Dia tidak akan membunuh siapa-siapa." Alih-alih mendengarkan, Emily masih kukuh pada pendapatnya. "Tapi, Cay, kita harus menyiapkan kemungkinan terburuk. Antisipasi itu penting." "Tuan Putri, pernahkah kamu mendengar tentang
Emily mengangguk. Matanya masih berkaca-kaca. Cayden memperhatikan itu. "Ada apa?" Ia menghampiri dan mengusap pundak Emily. Gadis itu menarik napas berat. "Aku hanya tidak menyangka kalau Louis diam-diam sangat peduli padaku. Aku tahu dia peduli, tapi ..... Kupikir kepeduliannya tidak sebesar ini." Cayden tersenyum simpul. "Kau terharu?" Dagu Emily naik mendesak mulut. Anggukannya terlihat lucu. "Aku mendadak rindu masa-masa kecil kami dulu." "Kalau begitu, cepat kembali ke kamarmu dan tidur. Mungkin kau akan kembali ke masa-masa itu lewat mimpimu." Bibir Emily kembali melengkung. "Kau juga akan datang ke mimpiku?" Cayden mengangguk. "Ya, kalau kau tidak keberatan. Tapi kurasa, Louis akan cemburu lagi kepadaku." Ketawa Emily berembus samar. "Dia berani menyebutku bocah. Padahal, dia sendiri juga masih berkelakuan seperti bocah." Kemudian, ia menghampiri Cayden dan memberinya pelukan. "Selamat malam, My Prince. Kutunggu kau di mimpiku." "Hmm .... Selamat tidur, Princess."
Louis sontak mengernyit. "Kau memimpikan adikku?" "Ya, mana mungkin aku memimpikan gadis lain? Dia yang kucinta," gumam Cayden seperti menggerutu. "Tapi kau jangan khawatir. Hanya selimut ini saja yang kotor. Kasur dan bedcover aman. Sekarang pergilah. Aku akan mengurus ini." Louis melirik selimut yang ditepuk-tepuk oleh Cayden. Setelah bergidik, ia berbalik ke luar pintu. Namun, siapa sangka, Frank dan Kara muncul. Wajah mereka risau. Cayden kini tidak berani bernapas. "Louis, kebetulan sekali, kau di sini. Apakah kau melihat adikmu?" tanya Kara lirih. "Emily? Bukankah dia masih tidur?" Kara menggeleng. "Kamarnya kosong." Sementara itu, Frank melirik ke arah Cayden. "Apakah dia di dalam situ?" Tatapannya tajam. Mengerti makna di balik ekspresi sang ayah, Louis menoleh ke belakang. "Apakah kau melihat adikku?" selidiknya dengan mata memicing. Cayden menggeleng secara natural. "Tidak." Meski demikian, Frank tetap melangkah masuk. Ia perhatikan semua sisi kam
Selang satu kedipan, Emily menggeleng kaku. Kilasan memori itu harus segera dibubarkan. Bisa gawat kalau ada yang membaca pikirannya. "Tidak ada apa-apa, Papa. Dia pengawalku saat itu." Emily mengangguk-angguk meyakinkan. "Begitukah?" Frank melipat tangan di depan dada. Dagunya dinaikkan sedikit, sama seperti lengkung alisnya. "Di mana kau menginap begitu tiba di Perancis?" "Di hotel teman Papa." Frank menggeser pandangan ke arah Cayden. Pria itu sejak tadi hanya diam seperti patung. "Di mana kau menginap waktu itu?" Mendapat jawaban yang berbeda, Frank terdiam sejenak. Ia seperti sedang mencocokkan sesuatu dalam benaknya. "Bagaimana dengan malam selanjutnya?" Emily dan Cayden kompak menahan napas. Mereka saling lirik, tak berani menyatakan kebenaran. "Tuan Putri?" Emily mengerjap. Ia sadar kebohongan hanya akan memperburuk keadaan. Yang lain bisa semakin curiga. "Malam itu, aku dikejar oleh orang jahat," akunya. "Malam saat kau meminum obat tidur?" sambung Kara. E
"Jadi, kalian memang sudah tidur bersama," desah Frank dengan sorot mata penuh dendam dan kekecewaan. "Kami memang tidur di ranjang yang sama, tapi Cayden tidak melakukan apa-apa, Pa," tutur Emily lantang. Ia mulai lelah terus dituduh berdusta. Akan tetapi, Frank masih saja tertawa masam. "Kau masih mau membela laki-laki itu?" "Aku bukan membela, tapi mengatakan kebenaran. Cayden hanya memelukku. Itu pun dengan penuh kehati-hatian. Hanya tubuh bagian atas kami saja yang bersentuhan. Aku tahu dia sempat kesulitan menahan diri. Tapi ternyata, dia mampu menekan ego demi menjagaku." Tiba-tiba, Emily melangkah mundur. Ia kembali ke sisi Cayden, menyelipkan tangannya ke dalam genggaman pria itu. Semua yang menyaksikan sontak membeku. Mereka tak menduga bahwa Emily seberani itu. "Sekarang, terserah Papa mau percaya atau tidak. Tapi itulah kenyataannya. Cayden memang sesayang itu padaku. Aku akan terus bersamanya walaupun Papa melarang." Frank termenung meresapi kesaksian itu. M
Setibanya di ketinggian 186 meter dari muka jalan, mata Emily langsung berbinar. Ruangan yang baru dimasukinya itu berdinding kaca. Pemandangan kota Auckland terpampang indah di baliknya. "Selamat datang di menara tertinggi di NZ, Paman dan Bibi. Menara ini adalah ikon kota Auckland, dibangun pada tahun 1994 dengan ketinggian total mencapai 328 meter. Dari lantai ini, Paman dan Bibi bisa menikmati pemandangan kota sejauh 360 derajat. Makan malam kalian pasti akan menjadi sangat romantis dan mengesankan," terang Summer dengan penuh antusiasme. Emily tersenyum manis. Sambil merangkul pinggang Cayden, ia berbisik, "Kita tidak salah memilih pemandu." Kemudian, ia kembali menatap si pemandu cilik. "Terima kasih, Nona Hills Kecil. Aku suka sekali tempat ini." Summer mengulum senyum. Rasa bangga memenuhi hatinya. Sambil berkacak pinggang, ia mengangguk mantap. "Kalau begitu, selamat menikmati makan malam, Bibi. Silakan menempati meja yang kami siapkan khusus untuk kalian. Setelah kalian
"Paman Cayden! Bibi Emily!" sapa Summer begitu pengantin baru itu keluar dari gerbang kedatangan. Tangannya yang memegang selembar karton terayun-ayun. Nama Cayden dan Emily yang tertempel di situ nyaris melayang ke udara. Dari kejauhan, Emily melambai ke arahnya. Tawa sang balita pun bergema. Kakinya melompat-lompat girang. Namun, melihat bagaimana si pengantin baru berjalan, keceriaannya berganti menjadi keheranan. "Oh, Mama? Ada apa dengan kaki Bibi? Kenapa dia berjalan seperti itu?" Mendengar celetukan sang putri, Sky mematung. Lengkung bibirnya ikut membeku. "Mama rasa tidak ada yang salah dengan Emily," sangkalnya ragu. "Tidak, Mama. Biasanya Bibi tidak berjalan seperti itu. Dia jadi terlihat aneh. Apakah kakinya masih sakit karena terlalu banyak berdiri di pernikahannya minggu lalu? Atau mungkin, gaunnya terlalu berat? Kakinya jadi kelelahan?" Sky meringis. "Summer, bagaimana kalau kita berhenti membahas itu? Emily adalah seorang perfeksionis. Mood-nya bisa rusak kala
"My Prince, kau yakin tidak akan menyesal pulang ke sini? Kita masih bisa menyewa hotel untuk malam pertama kita kalau kau mau," bisik Emily saat Cayden menggendongnya menuju kamar. Cayden tertawa lirih. Desah napasnya terdengar menggelitik di telinga Emily. "Bukankah ini rumah kita juga? Apa salahnya pulang kemari?" "Memang tidak ada yang salah. Hanya saja," Emily tertunduk menutupi malu, "orang tua dan saudaraku juga tinggal di sini. Apakah tidak masalah kalau kita melakukannya di dekat kamar mereka?" "Kita akan melakukannya di kamar kita sendiri, Emily. Mereka tidak mungkin mengintip. Lagi pula, kita sudah pernah membahas ini, kan? Kau tidak keberatan." Cayden diam-diam merasa gemas pada sang istri. Emily meringis kecil. "Ya, memang. Saat itu, aku tidak berpikir sejauh ini." "Sejauh apa?" Cayden menaikkan alis. Sekarang mereka sudah tiba di lantai atas. Melihat pintu kamar mereka, jantung Emily semakin berdebar. Ia tanpa sadar menelan ludah. "Aku tidak memperhit
"Berbahagialah dalam kehidupan barumu nanti. Jangan cengeng lagi," bisik Louis. "Aku sudah tidak cengeng, Louis," sanggah Emily. "Buktinya kau sekarang menangis." Louis memeriksa mata Emily. "Kau juga menangis." Louis menggeleng. "Aku tidak menangis. Mataku terkena hawa AC." Sementara Emily mendesahkan tawa lagi, seorang staf WO datang menghampiri. "Tuan Harper, waktunya beraksi." Emily tercengang melihat boneka lemon yang diberikan staf itu kepada Louis. "Kenapa Yemon ada di sini?" Louis tersenyum usil. "Bukankah dia boneka kesayanganmu? Dia akan sedih kalau melewatkan momen spesialmu. Jadi, dia juga harus ikut andil." "Ikut andil bagaimana?" Louis mengeluarkan kotak cincin dari sakunya. Setelah menggoyang-goyangkannya sejenak, ia masukkan kedua cincin ke dalam saku rahasia Yemon. "Kantong ajaibnya selalu berguna." Ia kedipkan sebelah mata. Emily mendesah tak percaya. Saat Louis mengenakan kacamata hitamnya dan pergi menjalankan tugas, ia hanya bisa menggeleng-geleng t
"Bagaimana kalau kita menepati janji yang sempat tertunda?" bisik Emily, membuat Cayden mengangkat alis. "Maksudmu NZ?" Emily mengangguk. Cayden pun tersenyum. Ia menoleh ke arah ponsel. "Apakah kau keberatan kalau mengunjungi cacing yang menyala dalam gua lagi, Summer?" tanyanya. "Paman dan Bibi mau berbulan madu di NZ?" Suara Summer semakin ringan. Mendapat anggukan dari kedua calon pengantin, tawanya mengudara. "Aku suka pilihan itu. Paman dan Bibi bisa berfoto bersama cacing yang menyala. Lalu, aku akan mengajak kalian menjelajahi pulau utara dan selatan. Kita bisa rafting, bungee jumping, hiking. Semua hal seru bisa kita lakukan bersama. Maksudku, kalian berdua sedangkan aku dan Mama. Kita lakukan bersama-sama tapi secara terpisah!" Emily tersenyum manis membayangkan keseruan itu. "Oh, aku jadi tidak sabar ingin bulan madu." "Menikah saja dulu, baru pikirkan bulan madu," celetuk Sky geli. "Tapi, kuharap kalian tidak menyesal memilih Summer sebagai pemandu." "Kenapa haru
Begitu giliran Louis yang diinterogasi, Emily bergegas masuk ke mobil. Ia sudah tidak sabar ingin menghubungi Alice. Hatinya tidak tenang semenjak polisi mengatakan bahwa Sky dan Summer tidak jadi terbang. "Nyonya Hills?" Perasaannya semakin tidak karuan saat melihat Alice berada di rumah sakit. "Apa yang terjadi? Di mana Sky dan Summer? Mengapa mereka tidak jadi terbang ke sini?" Alice tersenyum kecil. "Maaf kalau putri dan cucuku terpaksa membatalkan janji. Sesuatu terjadi tadi, tapi kau jangan khawatir. Masa kritisnya sudah lewat." Emily terkesiap. "Siapa yang kritis?" "Summer. Seseorang memberinya susu almond di bandara. Alerginya kambuh. Epipennya mendadak hilang, tapi untunglah, Sky cepat membawanya ke ruang medis. Sekarang dia sedang dirawat di rumah sakit." Emily menutupi mulut dengan sebelah tangan. Dadanya sesak. Air matanya nyaris tumpah. Cayden yang baru saja masuk ke mobil terbelalak melihatnya. Sambil memegangi pundak Emily, ia berbisik, "Ada apa?" Emily pun men
"Berani-beraninya kau melukai calon istriku?" hardik Cayden dengan kebencian yang membara. Seth membalas tatapan Cayden dengan sorot mata yang lebih tajam. Rahangnya berdenyut-denyut. Ia geram rencananya tak satu pun berjalan lancar. "Mengapa nasib tidak pernah berpihak kepadaku? Mengapa?" Putus asa, Seth akhirnya mengeluarkan pistol dari saku. Melihat itu, Cayden dan Emily terkesiap. "Hei? Tolong jangan gegabah. Hukumanmu bisa bertambah berat kalau kau membunuh kami dengan senjata," tutur Cayden sembari mengangkat sebelah tangan ke depan. Tawa Seth semakin terdengar menyeramkan. "Kau pikir aku peduli? Apa bedanya membunuh kalian dengan tongkat, racun, atau peluru? Semuanya sama saja. Semuanya sama-sama bisa mengirim kalian ke neraka!" Seth mengacungkan pistol ke arah Emily. Jarinya sudah siap menekan pelatuk. Menyaksikan hal itu, Cayden menelan ludah. Jaraknya terlalu jauh untuk bisa melindungi Emily. Sekarang, ia hanya bisa berharap kalau Seth membidiknya saja. "Kau pi
Tiba-tiba, Cayden menyentak seluruh badan. Ia berusaha bangkit dari kursi. Sayangnya, tali yang mengikatnya terlalu kuat. "Dasar pengecut! Lawanmu adalah aku, bukan Emily. Kenapa kau terus melibatkan dia dalam urusan kita, heh? Lepaskan dia!" Emily hanya bisa menghela napas iba di tempat persembunyiannya. Sementara itu, Seth yang sempat diam kini tertawa terpingkal-pingkal. "Kau pikir ancamanku selama ini main-main? Menghancurkanmu adalah tujuan hidupku. Aku tidak akan pernah berhenti sampai kau mendapatkan apa yang seharusnya kau dapatkan. Glen ...." Seth melirik rekan kejahatannya. "Biarkan pertunjukan dimulai." "Oke, Bro." Pria berseragam layaknya petugas kebersihan itu kembali mengotak-atik laptop. Napas Cayden semakin menderu dibuatnya. Sementara itu, Seth menempati sofa bekas. Ia sudah siap menyaksikan kemarahan Cayden. Senyum jahatnya terus merekah sampai akhirnya, alis Glen berkerut dan wajah Cayden berubah bingung. "Hei! Apakah ini tayangan yang dijeda? Kenapa ka
Begitu keluar dari lift, Emily langsung menghampiri petugas keamanan. Ia ceritakan kejadian secara singkat, lalu bertanya di mana ruang CCTV. Tim keamanan pun langsung berbagi tugas. Sebagian mengamankan pria yang menyamar sebagai Cayden. Sebagian lagi mulai menyisir area. Sisanya mengawal Emily ke ruang CCTV. "Bagaimana?" tanya Emily yang sudah tak sabar. Orang-orang di situ terlalu lambat. "Maaf, Nona. Semua CCTV di lantai 3 mati. Kami memeriksa CCTV di lantai lain, tapi tidak ada yang mencurigakan." "Bagaimana dengan tangga darurat?" "Maaf, Nona. Kami tidak memasang CCTV di area tersebut." Emily meringis. "Bagaimana dengan tempat parkir di basement? Kalian tidak mungkin membiarkan area itu tidak terpantau, kan?" Petugas itu mengotak-atik lagi. Belum sempat ia menemukan petunjuk, rekannya buka suara. "Nona, saya menemukan kejanggalan." Emily bergeser ke monitor yang ditunjuk petugas yang lebih muda. Dua orang pria sedang mendorong troli yang memuat beberapa plastik sampa