"Kolam air mancur itu menarik sekali, Emily. Apakah dia sudah ada sejak rumah kalian dibangun?" tanya Cayden saat mobil mereka memasuki gerbang. Emily yang sedang melamun spontan mengerjap. "Kolam itu? Papa membuatnya setelah menikah dengan Mama. Sebagai simbol keindahan yang baru datang dalam kehidupannya." "Ayahmu romantis," bisik Cayden. Sengaja. Ia ingin menguraikan ketegangan Emily. "Dan kau tahu? Rumah kalian seperti istana," lanjut Cayden, tidak membiarkan Emily kembali merenung. Emily ikut melihat ke luar jendela. Mereka sedikit lagi tiba di depan pintu rumah. Ia bisa merasakan jantungnya berdebar semakin hebat. Namun, ia enggan mengungkapkannya. "Kau tahu? Itulah yang kukatakan saat pertama kali datang ke sini. Rumah ini adalah istana kami. Papa sebagai raja dan Mama sebagai ratunya." "Lalu kau adalah tuan putri kesayangan semua orang?" Emily tersenyum tipis. "Ya, dan kau tahu Louis sebagai apa?" Mata Cayden memicing. "Pangeran?" "Ksatria terhebat yang memimp
"Papa? Kenapa—" Frank mengangkat telunjuk. Emily spontan menghentikan bicara. Hal itu menimbulkan keresahan yang lebih besar dalam hatinya. "Kenapa Papa menyajikan mahluk mengerikan itu untuk kami? Apakah dia mau menguji Cayden? Mungkinkah ...." Emily terkesiap. Ia teringat bagaimana kakek buyutnya dulu selalu membasmi orang-orang yang mengetahui kelemahan keluarga mereka. Mungkinkah sang ayah juga mau melakukan hal yang sama? Tapi Frank bukanlah orang yang beringas. "Papa—" "Maaf, Tuan. Mengapa Anda menyajikan menu ini? Bukankah Emily alergi udang?" Letupan besar sontak mengguncang hati Emily. Keringat dinginnya mendesak keluar, sama seperti kepanikan yang menyumbat kerongkongannya. Sementara itu, Frank tersenyum miring. "Kau tahu putriku alergi?" Cayden mengangguk tanpa beban. "Saat kami di pesawat, Emily sempat panik karena memakan sesuatu yang mirip udang. Dari situlah saya tahu kalau Emily alergi. Untungnya, itu adalah makanan vegan yang dibuat menyerupai udang." "A
"Kau tidak bisa mengalahkan aku, heh?" bisik Frank, mencoba untuk menggoyahkan lawan. Bukannya terintimidasi, Cayden malah tersenyum kecil. "Tujuan saya bukan untuk mengalahkan Anda, Tuan. Tapi untuk menunjukkan kekuatan saya." Frank tertawa remeh. "Kau tidak akan kurestui kalau kau kalah." Cayden mengangguk. "Aku tahu." Tiba-tiba, Frank mengerahkan seluruh tenaga. Tangan Cayden sontak terdorong mundur. Emily memekik panik di kursinya. "Cayden!" Namun kemudian, tangan mereka kembali ke posisi semula. Emily kini menahan napas. Ia berharap Cayden terus mendorong, tetapi kenyataannya tidak. Kekasihnya itu hanya mengimbangi kekuatan Frank. "Cayden, kubilang jangan mengalah. Cepat selesaikan permainan!" seru Emily lantang. Emosi Frank semakin membara. Ia berusaha menambah kekuatan, tetapi ia sudah mencapai batas maksimal. "Sudah lelah, Tuan?" bisik Cayden, terlihat lebih santai. Frank tidak sanggup menjawab. Ia terlalu fokus mengatur napas. Namun perlahan, Cayden mulai
"Apakah kau setuju? Kau juga berpikir kalau putriku bodoh?" Frank menatap Cayden lekat-lekat. Cayden menggeleng tipis. "Tidak. Menurutku, Emily tidak bodoh. Dia hanya bingung. Beberapa kali kuperhatikan, dia tidak bisa berpikir rasional setiap kali ia menyimpan kekhawatiran terhadap orang-orang yang disayanginya." "Orang itu kamu? Maksudmu, Emily menyayangimu?" Cayden mengangguk sambil tersenyum simpul. "Ya, salah satunya." Frank memiringkan kepalanya sedikit. Matanya agak menyipit. "Emily itu gadis jenius. Dia pandai memecahkan masalah dan menyusun langkah strategis. Akan tetapi, setiap kali dihadapkan pada masalah yang menyangkut keselamatan orang-orang terdekatnya, dia mendadak linglung. Pikirannya seperti tidak bisa bekerja dengan baik. Hasilnya seperti tadi. Dia menjadi terlalu takut dan panik." Sambil kembali menyusun buah catur, Frank tertawa miris. Kepalanya menggeleng tak habis pikir. "Kau tahu apa penyebabnya?" Cayden bergeming. "Apa?" "Dia terlalu sering bergantu
Sebelum kekhawatiran Emily meracuni pikirannya, Cayden menggeleng cepat. Ia genggam kedua tangan sang gadis, mencoba untuk mengirimkan ketenangan. "Tidak, Emily. Kurasa, kau berpikir terlalu jauh. Aku jelas berbeda dari ulat. Membunuh ulat juga berbeda dengan membunuh manusia. Bagaimana mungkin itu bisa disamakan? Dosanya berbeda. Beban dan tekanannya juga. Selain itu ...." Cayden memajukan posisi duduknya sedikit. Jarak pandang mereka lebih rapat sekarang. "Kau bukan tanaman. Bagaimana mungkin kamu bisa membandingkan dirimu dengan makhluk hidup yang tidak berdarah atau bertulang?" "Itu hanya analogi, Cay." "Tetap saja, dua perkara itu tidak bisa dibandingkan. Sekarang jangan terlalu dijadikan beban, hmm? Aku percaya ayahmu bukan orang yang semena-mena. Dia tidak akan membunuh siapa-siapa." Alih-alih mendengarkan, Emily masih kukuh pada pendapatnya. "Tapi, Cay, kita harus menyiapkan kemungkinan terburuk. Antisipasi itu penting." "Tuan Putri, pernahkah kamu mendengar tentang
Emily mengangguk. Matanya masih berkaca-kaca. Cayden memperhatikan itu. "Ada apa?" Ia menghampiri dan mengusap pundak Emily. Gadis itu menarik napas berat. "Aku hanya tidak menyangka kalau Louis diam-diam sangat peduli padaku. Aku tahu dia peduli, tapi ..... Kupikir kepeduliannya tidak sebesar ini." Cayden tersenyum simpul. "Kau terharu?" Dagu Emily naik mendesak mulut. Anggukannya terlihat lucu. "Aku mendadak rindu masa-masa kecil kami dulu." "Kalau begitu, cepat kembali ke kamarmu dan tidur. Mungkin kau akan kembali ke masa-masa itu lewat mimpimu." Bibir Emily kembali melengkung. "Kau juga akan datang ke mimpiku?" Cayden mengangguk. "Ya, kalau kau tidak keberatan. Tapi kurasa, Louis akan cemburu lagi kepadaku." Ketawa Emily berembus samar. "Dia berani menyebutku bocah. Padahal, dia sendiri juga masih berkelakuan seperti bocah." Kemudian, ia menghampiri Cayden dan memberinya pelukan. "Selamat malam, My Prince. Kutunggu kau di mimpiku." "Hmm .... Selamat tidur, Princess."
Louis sontak mengernyit. "Kau memimpikan adikku?" "Ya, mana mungkin aku memimpikan gadis lain? Dia yang kucinta," gumam Cayden seperti menggerutu. "Tapi kau jangan khawatir. Hanya selimut ini saja yang kotor. Kasur dan bedcover aman. Sekarang pergilah. Aku akan mengurus ini." Louis melirik selimut yang ditepuk-tepuk oleh Cayden. Setelah bergidik, ia berbalik ke luar pintu. Namun, siapa sangka, Frank dan Kara muncul. Wajah mereka risau. Cayden kini tidak berani bernapas. "Louis, kebetulan sekali, kau di sini. Apakah kau melihat adikmu?" tanya Kara lirih. "Emily? Bukankah dia masih tidur?" Kara menggeleng. "Kamarnya kosong." Sementara itu, Frank melirik ke arah Cayden. "Apakah dia di dalam situ?" Tatapannya tajam. Mengerti makna di balik ekspresi sang ayah, Louis menoleh ke belakang. "Apakah kau melihat adikku?" selidiknya dengan mata memicing. Cayden menggeleng secara natural. "Tidak." Meski demikian, Frank tetap melangkah masuk. Ia perhatikan semua sisi kam
Selang satu kedipan, Emily menggeleng kaku. Kilasan memori itu harus segera dibubarkan. Bisa gawat kalau ada yang membaca pikirannya. "Tidak ada apa-apa, Papa. Dia pengawalku saat itu." Emily mengangguk-angguk meyakinkan. "Begitukah?" Frank melipat tangan di depan dada. Dagunya dinaikkan sedikit, sama seperti lengkung alisnya. "Di mana kau menginap begitu tiba di Perancis?" "Di hotel teman Papa." Frank menggeser pandangan ke arah Cayden. Pria itu sejak tadi hanya diam seperti patung. "Di mana kau menginap waktu itu?" Mendapat jawaban yang berbeda, Frank terdiam sejenak. Ia seperti sedang mencocokkan sesuatu dalam benaknya. "Bagaimana dengan malam selanjutnya?" Emily dan Cayden kompak menahan napas. Mereka saling lirik, tak berani menyatakan kebenaran. "Tuan Putri?" Emily mengerjap. Ia sadar kebohongan hanya akan memperburuk keadaan. Yang lain bisa semakin curiga. "Malam itu, aku dikejar oleh orang jahat," akunya. "Malam saat kau meminum obat tidur?" sambung Kara. E