Emily mengangguk. Matanya masih berkaca-kaca. Cayden memperhatikan itu. "Ada apa?" Ia menghampiri dan mengusap pundak Emily. Gadis itu menarik napas berat. "Aku hanya tidak menyangka kalau Louis diam-diam sangat peduli padaku. Aku tahu dia peduli, tapi ..... Kupikir kepeduliannya tidak sebesar ini." Cayden tersenyum simpul. "Kau terharu?" Dagu Emily naik mendesak mulut. Anggukannya terlihat lucu. "Aku mendadak rindu masa-masa kecil kami dulu." "Kalau begitu, cepat kembali ke kamarmu dan tidur. Mungkin kau akan kembali ke masa-masa itu lewat mimpimu." Bibir Emily kembali melengkung. "Kau juga akan datang ke mimpiku?" Cayden mengangguk. "Ya, kalau kau tidak keberatan. Tapi kurasa, Louis akan cemburu lagi kepadaku." Ketawa Emily berembus samar. "Dia berani menyebutku bocah. Padahal, dia sendiri juga masih berkelakuan seperti bocah." Kemudian, ia menghampiri Cayden dan memberinya pelukan. "Selamat malam, My Prince. Kutunggu kau di mimpiku." "Hmm .... Selamat tidur, Princess."
Louis sontak mengernyit. "Kau memimpikan adikku?" "Ya, mana mungkin aku memimpikan gadis lain? Dia yang kucinta," gumam Cayden seperti menggerutu. "Tapi kau jangan khawatir. Hanya selimut ini saja yang kotor. Kasur dan bedcover aman. Sekarang pergilah. Aku akan mengurus ini." Louis melirik selimut yang ditepuk-tepuk oleh Cayden. Setelah bergidik, ia berbalik ke luar pintu. Namun, siapa sangka, Frank dan Kara muncul. Wajah mereka risau. Cayden kini tidak berani bernapas. "Louis, kebetulan sekali, kau di sini. Apakah kau melihat adikmu?" tanya Kara lirih. "Emily? Bukankah dia masih tidur?" Kara menggeleng. "Kamarnya kosong." Sementara itu, Frank melirik ke arah Cayden. "Apakah dia di dalam situ?" Tatapannya tajam. Mengerti makna di balik ekspresi sang ayah, Louis menoleh ke belakang. "Apakah kau melihat adikku?" selidiknya dengan mata memicing. Cayden menggeleng secara natural. "Tidak." Meski demikian, Frank tetap melangkah masuk. Ia perhatikan semua sisi kam
Selang satu kedipan, Emily menggeleng kaku. Kilasan memori itu harus segera dibubarkan. Bisa gawat kalau ada yang membaca pikirannya. "Tidak ada apa-apa, Papa. Dia pengawalku saat itu." Emily mengangguk-angguk meyakinkan. "Begitukah?" Frank melipat tangan di depan dada. Dagunya dinaikkan sedikit, sama seperti lengkung alisnya. "Di mana kau menginap begitu tiba di Perancis?" "Di hotel teman Papa." Frank menggeser pandangan ke arah Cayden. Pria itu sejak tadi hanya diam seperti patung. "Di mana kau menginap waktu itu?" Mendapat jawaban yang berbeda, Frank terdiam sejenak. Ia seperti sedang mencocokkan sesuatu dalam benaknya. "Bagaimana dengan malam selanjutnya?" Emily dan Cayden kompak menahan napas. Mereka saling lirik, tak berani menyatakan kebenaran. "Tuan Putri?" Emily mengerjap. Ia sadar kebohongan hanya akan memperburuk keadaan. Yang lain bisa semakin curiga. "Malam itu, aku dikejar oleh orang jahat," akunya. "Malam saat kau meminum obat tidur?" sambung Kara. E
"Jadi, kalian memang sudah tidur bersama," desah Frank dengan sorot mata penuh dendam dan kekecewaan. "Kami memang tidur di ranjang yang sama, tapi Cayden tidak melakukan apa-apa, Pa," tutur Emily lantang. Ia mulai lelah terus dituduh berdusta. Akan tetapi, Frank masih saja tertawa masam. "Kau masih mau membela laki-laki itu?" "Aku bukan membela, tapi mengatakan kebenaran. Cayden hanya memelukku. Itu pun dengan penuh kehati-hatian. Hanya tubuh bagian atas kami saja yang bersentuhan. Aku tahu dia sempat kesulitan menahan diri. Tapi ternyata, dia mampu menekan ego demi menjagaku." Tiba-tiba, Emily melangkah mundur. Ia kembali ke sisi Cayden, menyelipkan tangannya ke dalam genggaman pria itu. Semua yang menyaksikan sontak membeku. Mereka tak menduga bahwa Emily seberani itu. "Sekarang, terserah Papa mau percaya atau tidak. Tapi itulah kenyataannya. Cayden memang sesayang itu padaku. Aku akan terus bersamanya walaupun Papa melarang." Frank termenung meresapi kesaksian itu. M
"Untuk apa membangun rumah sendiri?" tutur Frank dingin. Emily spontan menahan napas. Tangannya menggenggam Cayden lebih kencang. "Papa ... tidak setuju kalau aku bersama Cayden?" tanyanya lirih. Frank menghela napas berat. "Kalau kalian mau, tinggal saja di sini. Rumah ini cukup besar, kecuali kalau kalian sudah punya sepuluh anak nanti. Mungkin rumah ini baru akan terasa sesak." Emily sontak terbelalak. Ia menggeser pandangan berulang kali. Ke arah Cayden, Louis, Kara. Mereka semua menunjukkan respons yang sama. "Apakah itu artinya Papa merestui kami?" tanya Emily dengan nada yang lebih tinggi. Melihat binar di mata sang putri, bibir Frank melengkung tipis. Ia mengangguk sekali. Tawa Emily seketika mengudara. "Terima kasih, Papa. Terima kasih! Papa memang ayah terbaik di seluruh dunia!" Emily melompat memeluk Frank. Frank menyambutnya dengan senyum kecil dan mata terpejam. Hatinya terasa begitu hangat. "Sama-sama, Tuan Putri. Tapi ingat, kalian tetap harus tahu batas. Ja
Cayden meninggikan sudut bibir dan mengangguk. "Ya, Tuan Harper. Saya mengerti. Bagi saya, Emily juga perempuan yang sangat berharga. Saya pasti akan selalu melindungi dan membuatnya bahagia. Saya juga akan selalu ada untuknya." Frank mengangguk kaku. "Bagus. Tolong pegang omonganmu. Jangan kau lupakan satu patah kata pun." "Siap, Tuan." "Sekarang keluarkan buku catatanmu. Kau melakukan apa yang kusuruh sebelum berangkat, kan?" Cayden mengeluarkan sebuah buku kecil dan pulpen dari saku jaketnya. "Saya membawanya." "Bagus. Mulai sekarang, catatlah semua poin penting yang kukatakan." Cayden mengangguk. Ia sempat penasaran dengan apa yang ingin Frank jabarkan. Namun, begitu mendengar hal-hal yang Emily sukai, senyumnya mengembang. Tanpa diminta pun, ia sudah pasti mencatat dengan penuh semangat. *** Sekeluarnya dari ruangan Louis, Emily langsung berbelok menuju lift. Ia sudah tidak sabar ingin pulang, memeriksa apa saja yang telah dilakukan sang kekasih selama bersama Frank.
Seminggu berlalu, baik Emily maupun Cayden, keduanya sibuk mengurus pekerjaan. Apalagi, sesi pemotretan akhirnya tiba. Hasilnya sukses mengguncang media sosial. Cayden dan Louis teramat gagah dan tampan di setiap gambar. Mereka populer bukan hanya di kalangan wanita saja, tetapi juga kalangan pria. Produk yang mereka iklankan langsung terjual habis di hari pertama. Tim produksi sampai harus meningkatkan target mereka. Dengan agenda yang begitu padat, Emily tidak sempat bersantai. Apalagi, ia bersikeras membantu Cayden untuk merintis usaha. Emily baru memiliki waktu senggang dua minggu setelahnya. Salah satu agenda yang ia lakukan untuk bersantai adalah menghubungi sahabat kecilnya. "Bibi Emily, sudah lama sekali kamu tidak menelepon. Kupikir kamu sudah lupa padaku. Bagaimana kabarmu? Kau kelihatan sedikit lebih kurus. Apakah karena pekerjaanmu terlalu banyak? Tapi sekarang kamu sudah lebih santai, kan? Buktinya kamu bisa menelepon kami. Beristirahatlah lebih banyak. Dan jangan
"Apa pentingnya pendapatku? Itu tidak akan membuat Cayden atau Louis menang. Omong-omong, Cayden, kudengar hari ini kau akan pindah ke kantor Savior?" Sky memaksakan senyum. Ia berharap yang lain tidak sadar bahwa ia sedang mencoba untuk mengalihkan pembicaraan. Cayden mengangguk. "Ya, mereka tidak mau membiarkan aku berjuang seorang diri. Setelah kupertimbangkan, akhirnya aku memutuskan untuk bergabung dengan Savior." "Selamat, Paman Cay! Kau akhirnya sekantor dengan Bibi. Kuharap kalian bisa fokus bekerja, bukan berpacaran." Sky cepat-cepat menyikut sang putri. "Summer, ingat umurmu. Kau masih terlalu kecil untuk berkata begitu." "Apa salahnya? Memangnya anak kecil tidak boleh menasihati orang yang lebih tua? Aku ini pintar, Mama. Aku tahu banyak hal yang belum diketahui anak-anak lain seusiaku." Merasa gemas, Emily kembali tertawa. "Baiklah, akan kami ingat baik-baik. Kami akan fokus bekerja setiap berada di kantor." Summer berkacak pinggang dan mengangguk. "Bagus. Sekar