Disetujui gak niih?
"Untuk apa membangun rumah sendiri?" tutur Frank dingin. Emily spontan menahan napas. Tangannya menggenggam Cayden lebih kencang. "Papa ... tidak setuju kalau aku bersama Cayden?" tanyanya lirih. Frank menghela napas berat. "Kalau kalian mau, tinggal saja di sini. Rumah ini cukup besar, kecuali kalau kalian sudah punya sepuluh anak nanti. Mungkin rumah ini baru akan terasa sesak." Emily sontak terbelalak. Ia menggeser pandangan berulang kali. Ke arah Cayden, Louis, Kara. Mereka semua menunjukkan respons yang sama. "Apakah itu artinya Papa merestui kami?" tanya Emily dengan nada yang lebih tinggi. Melihat binar di mata sang putri, bibir Frank melengkung tipis. Ia mengangguk sekali. Tawa Emily seketika mengudara. "Terima kasih, Papa. Terima kasih! Papa memang ayah terbaik di seluruh dunia!" Emily melompat memeluk Frank. Frank menyambutnya dengan senyum kecil dan mata terpejam. Hatinya terasa begitu hangat. "Sama-sama, Tuan Putri. Tapi ingat, kalian tetap harus tahu batas. Ja
Cayden meninggikan sudut bibir dan mengangguk. "Ya, Tuan Harper. Saya mengerti. Bagi saya, Emily juga perempuan yang sangat berharga. Saya pasti akan selalu melindungi dan membuatnya bahagia. Saya juga akan selalu ada untuknya." Frank mengangguk kaku. "Bagus. Tolong pegang omonganmu. Jangan kau lupakan satu patah kata pun." "Siap, Tuan." "Sekarang keluarkan buku catatanmu. Kau melakukan apa yang kusuruh sebelum berangkat, kan?" Cayden mengeluarkan sebuah buku kecil dan pulpen dari saku jaketnya. "Saya membawanya." "Bagus. Mulai sekarang, catatlah semua poin penting yang kukatakan." Cayden mengangguk. Ia sempat penasaran dengan apa yang ingin Frank jabarkan. Namun, begitu mendengar hal-hal yang Emily sukai, senyumnya mengembang. Tanpa diminta pun, ia sudah pasti mencatat dengan penuh semangat. *** Sekeluarnya dari ruangan Louis, Emily langsung berbelok menuju lift. Ia sudah tidak sabar ingin pulang, memeriksa apa saja yang telah dilakukan sang kekasih selama bersama Frank.
Seminggu berlalu, baik Emily maupun Cayden, keduanya sibuk mengurus pekerjaan. Apalagi, sesi pemotretan akhirnya tiba. Hasilnya sukses mengguncang media sosial. Cayden dan Louis teramat gagah dan tampan di setiap gambar. Mereka populer bukan hanya di kalangan wanita saja, tetapi juga kalangan pria. Produk yang mereka iklankan langsung terjual habis di hari pertama. Tim produksi sampai harus meningkatkan target mereka. Dengan agenda yang begitu padat, Emily tidak sempat bersantai. Apalagi, ia bersikeras membantu Cayden untuk merintis usaha. Emily baru memiliki waktu senggang dua minggu setelahnya. Salah satu agenda yang ia lakukan untuk bersantai adalah menghubungi sahabat kecilnya. "Bibi Emily, sudah lama sekali kamu tidak menelepon. Kupikir kamu sudah lupa padaku. Bagaimana kabarmu? Kau kelihatan sedikit lebih kurus. Apakah karena pekerjaanmu terlalu banyak? Tapi sekarang kamu sudah lebih santai, kan? Buktinya kamu bisa menelepon kami. Beristirahatlah lebih banyak. Dan jangan
"Apa pentingnya pendapatku? Itu tidak akan membuat Cayden atau Louis menang. Omong-omong, Cayden, kudengar hari ini kau akan pindah ke kantor Savior?" Sky memaksakan senyum. Ia berharap yang lain tidak sadar bahwa ia sedang mencoba untuk mengalihkan pembicaraan. Cayden mengangguk. "Ya, mereka tidak mau membiarkan aku berjuang seorang diri. Setelah kupertimbangkan, akhirnya aku memutuskan untuk bergabung dengan Savior." "Selamat, Paman Cay! Kau akhirnya sekantor dengan Bibi. Kuharap kalian bisa fokus bekerja, bukan berpacaran." Sky cepat-cepat menyikut sang putri. "Summer, ingat umurmu. Kau masih terlalu kecil untuk berkata begitu." "Apa salahnya? Memangnya anak kecil tidak boleh menasihati orang yang lebih tua? Aku ini pintar, Mama. Aku tahu banyak hal yang belum diketahui anak-anak lain seusiaku." Merasa gemas, Emily kembali tertawa. "Baiklah, akan kami ingat baik-baik. Kami akan fokus bekerja setiap berada di kantor." Summer berkacak pinggang dan mengangguk. "Bagus. Sekar
"Apakah kau panik melihatku tidak ada di mana-mana?" bisik Emily sebelum memasang tampang memelas. "Maaf. Aku tidak bermaksud membuatmu panik. Aku hanya ingin memberimu kejutan ini." Emily merentangkan sebelah tangan. Pandangannya beredar mengelilingi tirai foto yang memenuhi rooftop barat. Saat matanya kembali ke titik semula, Cayden menggeleng samar. "Kejutan apa yang kau siapkan ini, Tuan Putri?" Emily kembali tersenyum simpul. "Kau tahu? Selama ini, kau sudah berbuat banyak untukku. Kau juga sudah memberiku banyak hal. Bunga, cokelat, perhatian, momen-momen indah. Rasanya, semua itu tidak akan habis jika kusebutkan. Padahal, aku belum pernah memberikan apa pun kepadamu. Karena itu ...." Emily tertunduk. Tangannya menggenggam kotak lebih erat. "Aku ingin berterima kasih kepadamu. Aku tidak mau hanya menerima. Aku ingin memberi juga." Cayden menarik napas berat. Ketegangannya masih meradang. Namun, ia tidak mau menunjukkannya. "Kata siapa kau tidak pernah memberiku sesuat
Begitu mobil berhenti, Emily terbelalak. Ia seolah tidak percaya dengan apa dilihatnya. "Cay, bukankah kau bilang mau mengajakku makan? Kenapa kita malah datang ke perpustakaan?" Mendapati kebingungan di wajah Emily, Cayden tersenyum simpul. "Ini bukan sekadar perpustakaan, Tuan Putri, tapi juga art gallery, museum, dan botanical garden." "Oke. Lalu?" "Kupikir terlalu sayang kalau kita hanya makan malam. Bukankah akan lebih baik kalau kita sekalian berkencan?" Kerutan di wajah Emily mulai terurai. Sambil tersenyum geli, ia memicingkan mata. "Kau mau mengajakku berkencan di mana lebih tepatnya? Tempat ini luas. Apakah di perpustakaan? Museum? Tapi mereka pasti sudah tutup." "Kau tahu kalau ada beberapa jenis kebun di tempat ini, kan?" Mata Emily membulat. "Kau mau mengajakku jalan-jalan di botanical garden? Malam-malam begini? Matahari sudah terbenam, Cay. Di sana pasti gelap. Lihatlah." Emily menunjuk ke luar jendela. "Tidak ada orang lain selain kita. Kendaraan yang terpark
"Terima kasih, My Prince." Emily memeluk Cayden lebih erat. Wajahnya semringah, tawanya hangat. Air mata nyaris jatuh dari pelupuknya. "Kau membuatku merasa sangat beruntung. Aku betul-betul bahagia memiliki kekasih seperti dirimu. Jangan pernah berubah, hmm? Teruslah menjadi Cayden yang manis dan penuh perhatian seperti ini," bisik Emily sebelum terpejam. Cayden mengusap kepalanya dengan lembut. Matanya ikut terpejam. Sesekali, ia menghirup aroma sampo dari rambut sang kekasih. "Sampai kapan pun, aku akan terus membuatmu bahagia, Tuan Putri. Aku akan memberimu banyak kejutan, perhatian, kasih sayang. Aku akan selalu memenuhi apa pun yang kau inginkan selagi aku bisa. Apa pun yang kau suka, pasti aku carikan." Emily mempertemukan pandangan. Ia selami manik cokelat sang kekasih. Berapa lama pun ia menatap, tidak ada kepalsuan yang terdeteksi. "Aku sangat mencintaimu, Cay. Sangat-sangat cinta," bisiknya tulus. "Aku pun begitu." Cayden mengelus pipi yang lembut itu. Setelah men
Emily menggigit bibir dan mengangguk tipis. Setetes air matanya jatuh, tetapi cepat-cepat ia hapus. "Ya, aku mau. Aku mau terus bersamamu, Cayden Evans." Tawa lega berembus dari mulut sang pria. Ia pakaikan cincin di jari manis wanitanya. Mendapati ukurannya pas, ia langsung berdiri dan mendekap sang kekasih erat. "Terima kasih telah menerimaku, Tuan Putri," bisik Cayden sebelum membenamkan bibir di pelipis sang gadis. "Terima kasih telah melamarku, My Prince. Malam ini betul-betul malam terbaik, malam terindah sepanjang hidupku. Aku tidak pernah menduga ada kejutan semanis ini." Cayden pun menangkup pipi Emily. Ia tanamkan ekspresi gembira yang cantik itu ke dalam memori. Diam-diam, ia berjanji kepada diri sendiri untuk sesering mungkin melukisnya lagi. "Aku sangat mencintaimu, Emily. Kau layak mendapat seluruh perhatian dan hal-hal terbaik dariku." Ia mengecup kening sang gadis. Emily tertawa lirih. Kemudian, setelah bertatapan selama beberapa saat, bibir mereka kembali