"Apakah kau panik melihatku tidak ada di mana-mana?" bisik Emily sebelum memasang tampang memelas. "Maaf. Aku tidak bermaksud membuatmu panik. Aku hanya ingin memberimu kejutan ini." Emily merentangkan sebelah tangan. Pandangannya beredar mengelilingi tirai foto yang memenuhi rooftop barat. Saat matanya kembali ke titik semula, Cayden menggeleng samar. "Kejutan apa yang kau siapkan ini, Tuan Putri?" Emily kembali tersenyum simpul. "Kau tahu? Selama ini, kau sudah berbuat banyak untukku. Kau juga sudah memberiku banyak hal. Bunga, cokelat, perhatian, momen-momen indah. Rasanya, semua itu tidak akan habis jika kusebutkan. Padahal, aku belum pernah memberikan apa pun kepadamu. Karena itu ...." Emily tertunduk. Tangannya menggenggam kotak lebih erat. "Aku ingin berterima kasih kepadamu. Aku tidak mau hanya menerima. Aku ingin memberi juga." Cayden menarik napas berat. Ketegangannya masih meradang. Namun, ia tidak mau menunjukkannya. "Kata siapa kau tidak pernah memberiku sesuat
Begitu mobil berhenti, Emily terbelalak. Ia seolah tidak percaya dengan apa dilihatnya. "Cay, bukankah kau bilang mau mengajakku makan? Kenapa kita malah datang ke perpustakaan?" Mendapati kebingungan di wajah Emily, Cayden tersenyum simpul. "Ini bukan sekadar perpustakaan, Tuan Putri, tapi juga art gallery, museum, dan botanical garden." "Oke. Lalu?" "Kupikir terlalu sayang kalau kita hanya makan malam. Bukankah akan lebih baik kalau kita sekalian berkencan?" Kerutan di wajah Emily mulai terurai. Sambil tersenyum geli, ia memicingkan mata. "Kau mau mengajakku berkencan di mana lebih tepatnya? Tempat ini luas. Apakah di perpustakaan? Museum? Tapi mereka pasti sudah tutup." "Kau tahu kalau ada beberapa jenis kebun di tempat ini, kan?" Mata Emily membulat. "Kau mau mengajakku jalan-jalan di botanical garden? Malam-malam begini? Matahari sudah terbenam, Cay. Di sana pasti gelap. Lihatlah." Emily menunjuk ke luar jendela. "Tidak ada orang lain selain kita. Kendaraan yang terpark
"Terima kasih, My Prince." Emily memeluk Cayden lebih erat. Wajahnya semringah, tawanya hangat. Air mata nyaris jatuh dari pelupuknya. "Kau membuatku merasa sangat beruntung. Aku betul-betul bahagia memiliki kekasih seperti dirimu. Jangan pernah berubah, hmm? Teruslah menjadi Cayden yang manis dan penuh perhatian seperti ini," bisik Emily sebelum terpejam. Cayden mengusap kepalanya dengan lembut. Matanya ikut terpejam. Sesekali, ia menghirup aroma sampo dari rambut sang kekasih. "Sampai kapan pun, aku akan terus membuatmu bahagia, Tuan Putri. Aku akan memberimu banyak kejutan, perhatian, kasih sayang. Aku akan selalu memenuhi apa pun yang kau inginkan selagi aku bisa. Apa pun yang kau suka, pasti aku carikan." Emily mempertemukan pandangan. Ia selami manik cokelat sang kekasih. Berapa lama pun ia menatap, tidak ada kepalsuan yang terdeteksi. "Aku sangat mencintaimu, Cay. Sangat-sangat cinta," bisiknya tulus. "Aku pun begitu." Cayden mengelus pipi yang lembut itu. Setelah men
Emily menggigit bibir dan mengangguk tipis. Setetes air matanya jatuh, tetapi cepat-cepat ia hapus. "Ya, aku mau. Aku mau terus bersamamu, Cayden Evans." Tawa lega berembus dari mulut sang pria. Ia pakaikan cincin di jari manis wanitanya. Mendapati ukurannya pas, ia langsung berdiri dan mendekap sang kekasih erat. "Terima kasih telah menerimaku, Tuan Putri," bisik Cayden sebelum membenamkan bibir di pelipis sang gadis. "Terima kasih telah melamarku, My Prince. Malam ini betul-betul malam terbaik, malam terindah sepanjang hidupku. Aku tidak pernah menduga ada kejutan semanis ini." Cayden pun menangkup pipi Emily. Ia tanamkan ekspresi gembira yang cantik itu ke dalam memori. Diam-diam, ia berjanji kepada diri sendiri untuk sesering mungkin melukisnya lagi. "Aku sangat mencintaimu, Emily. Kau layak mendapat seluruh perhatian dan hal-hal terbaik dariku." Ia mengecup kening sang gadis. Emily tertawa lirih. Kemudian, setelah bertatapan selama beberapa saat, bibir mereka kembali
"Bibi, lihat ini! Bukankah aku sangat keren? Aku akhirnya bisa berfoto bersama cacing-cacing yang menyala dalam gua!" seru Summer sambil mendekatkan selembar kertas foto ke kamera. Melihat foto yang terlalu gelap itu, Emily tersenyum simpul. Hanya ada pendaran cahaya biru di sana. Satu-satunya bagian dari Summer yang terlihat hanyalah giginya. "Ya, kau sangat keren Summer. Sayang sekali aku dan Cayden tidak bisa ikut." "Kalau saja Bibi dan Paman ikut, kita pasti sudah berfoto bersama dengan menggunakan kamera Paman Cayden. Aku yakin hasilnya akan lebih keren dari ini. Mungkin cacingnya bisa terlihat lebih jelas. Kalau dari foto yang Mama ambil, mereka hanya tampak seperti titik-titik kecil." Sementara Summer memperhatikan potret dirinya, Emily menutupi mulut dengan kepalan tangan. Ia takut sang balita melihat senyum gelinya. Sementara itu, Sky yang sejak tadi diam hanya sanggup menggelengkan kepala. Ia merasa iba, tetapi memang itulah foto terbaik yang bisa diambilnya. "Omon
Cayden tersenyum simpul. Ia genggam tangan Emily, menariknya sedikit lebih jauh. "Lebih tepatnya, di sini." Ia memantapkan pijakannya di atas bumi. "Di sinilah kau berdiri saat aku memotretmu. Lalu ...." Cayden menunjuk ke arah pagar. "Kira-kira, di situlah kau terjatuh. Kau mundur-mundur tanpa tahu di belakangmu ada tumpukan salju." Emily terkekeh lirih. "Ya, aku terkejut karena blitz kameramu. Aku langsung terduduk di tumpukan salju." "Lalu aku membantumu bangkit." "Dan kau membantuku membersihkan mantel. Terima kasih telah memperlakukanku dengan baik sejak dulu, Cay." Cayden mengelus kepala Emily. "Bersikap manis padamu adalah panggilan hidupku, Tuan Putri." Emily tertawa lirih. "Kalau begitu, ayo kita bersiap. Aku sudah tidak sabar ingin me-remake momen itu. Semoga saja hasil fotonya bagus." "Hasilnya pasti bagus. Kau selalu cantik dilihat dari sudut mana pun." Hari itu, pemotretan berlangsung lancar. Meski menyimpan rasa was-was, Cayden dan Emily tetap menikmati momen
"Ada apa, Sayang? Kulitmu gatal?" Sky melirik sang putri. Summer mengangguk kecil. "Mungkin karena cuacanya mendadak panas, Mama. Aku jadi berkeringat." "Kita belum memasuki musim panas, Sayang. Udara masih sejuk." "Ya, tapi aku merasa panas." Tiba-tiba, Summer mulai terbatuk-batuk. Sky pun menyodorkan air minum. Alih-alih menyambut, Summer malah mendorong tangannya menjauh. Semakin lama, batuknya semakin kencang. Napasnya mulai tersengal. Merasa ada yang tidak beres dengan sang putri, Sky akhirnya memeriksa. Ternyata, bintik-bintik merah telah timbul di leher sang balita. Mendapati hal itu, ia terkesiap. "Astaga, Summer! Reaksi alergimu kambuh!" pekiknya tanpa sadar. Dengan sigap, Sky membuka tas. Ia hendak mengambil epipen, tetapi obat darurat itu tidak ia temukan. "Di mana epipen-mu?" ringisnya sambil mengambil tas Summer dan mencari lebih teliti. Sayangnya, obat itu tidak juga ditemukan. "Oh, tidak, tidak ...." Tangan Sky mulai gemetar. Keringat dingin melingkupi tub
Setibanya di hadapan Cayden, Emily langsung memegangi kedua lengan sang pria. Kepalanya tertunduk, napasnya terengah-engah. "Cay, kita harus segera pergi dari sini! Ini jebakan ...." Ia masih berusaha mengatur napas. Matanya sampai terpejam demi meredam kepanikan. "Ini jebakan!" Cayden balik menggenggam lengan Emily. Sambil mengguncangnya sedikit, ia berkata, "Tenangkan dirimu, Emily. Aku tidak mengerti kau bicara apa kalau kau panik begini. Sekarang jelaskan dengan perlahan. Jebakan apa yang kau maksud?" Emily tersentak. Suara yang baru saja didengarnya memang sangat mirip dengan Cayden. Intonasi dan penekanannya juga. Akan tetapi, ia tahu betul bahwa itu bukan Cayden. Napas Emily seketika bertambah berat. Ia buka matanya dengan perasaan was-was. Melihat tali sepatu Cayden yang dipasang asal-asalan, tenggorokannya tersekat. Tubuhnya mulai gemetar. Apalagi, bau rokok masih tercium olehnya, bau yang sama dengan apa yang ia endus di kamar sebelumnya. "Emily? Kau baik-baik saja?