Alan menjalankan mobilnya menuju restoran milik David, dia mencari manager restoran guna mempermudah ia dalam mencari seseorang yang dimaksud oleh Gibran.
"Teguh." panggil Alan.Alan tak sengaja melihat Teguh yang sedang berkeliling mengecek sekeliling restoran. Teguh yang merasa dipanggil pun membalikkan badannya kearah Alan, dia segera menghampiri Alan yang memanggil namanya."Ada apa Alan?" tanya Teguh."Tolong panggilkan manager restoran kesini." ucap Alan."Ada perlu apa kau pada Aksal?" tanya Teguh."Si boss nyuruh gue nyari perempuan yang tadi ngelayanin dia, sekarang tuan muda kecelakaan terus nanyain perempuan itu makanya gue dateng lagi kesini." jawab Alan."Waduh Gibran kecelakaan? sebentar, gue panggilin pelayan yang lain aja pastinya mereka tahu siapa perempuan yang loe cari." ucap Teguh."Yaudah cepetan." ucap Alan.Teguh pergi kebagian dapur dimana para pelayan berkumpul, dia memanggil salah satu pelayan untuk menghadap padanya."Devi." panggil teguh.Devi yang dipanggil lantas menghentikan pekerjaannya, dia berjalan menghampiri Teguh yang sedang berdiri tak jauh darinya."Tuan memanggil saya?" tanya Devi."Iya, aku ingin bertanya padamu. Pas pemilik restoran datang kesini, siapa pelayan yang melayaninya?" tanya Teguh.'Untuk apa Tuan teguh nanyain si barbar?' batin Windy."Dia Windy tuan, tapi sekarang dia sudah pulang katanya dia mau mengundurkan diri gara-gara saya suruh dia mengganti piring yang dia pecahkan." ucap Devi."Kenapa harus menggantinya? apa restoran ini semiskin itu sampai satu piring saja karyawan harus menggantinya? sesuai peraturan yang ada, jika da karyawan yang memecahkan piring atau gelas disini cukup diberi peringatan tanpa harus ada ganti rugi. Kenapa kamu dengan beraninya meminta ganti rugi pada karyawan lain hah? apa kamu ingin memeras uang sesama karyawan. JAWAB! " ucap Teguh marah."Maaf tuan, saya gidak bermaksud." ucap Devi menundukkan kepalanya."Setelah ini kau datang ke ruanganku." tegas Teguh.Teguh pergi meninggalkan dapur, dia berjalan menghampiri Alan yang sedang menunggunya di salah satu meja pengunjung."Bagaimana Guh?" tanya Alan."Dia sudah mengundurkan diri." jawab Teguh."Kenapa bisa? bukannya tadi dia masih bekerja? padahal tuan David juga tidak memecatnya?" heran Alan."Karena ada kesalah pahaman kadi dia memuguskan untuk berhenti bekerja." jawab Teguh."Kalau begitu, tolong kau carikan aku biodatanya. Disini pasti dia melampirkan biodata, nanti aku akan mencarinya ke rumahnya, kau tahu sendiri bukan bos kita seperti apa kalau gak dapetin apa yang dia mau?" ucap Alan."Akan aku carikan." ucap Teguh.Alan menganggukkan kepalanya, Teguh langsung berjan ke ruangan HRD meminta berkas Windy. Begitu mendapatkan biodata Windy ditangannya Teguh langsung berjalan keluar menyerahkan boodata tersebut pada Alan, Alan langsung mengambilnya dan membaca alamat yang tertera disana."Jalan tiriasan nomor 34, makasih ya Guh." ucap Alan." it's oke." ucap Teguh.Alan keluar dari dalam restoran ,dia segera masuk kedalam mobil lalu melajukannya menuju alamat yang tertera dalam biodata Windy.Beberapa menit kemudian.Alan sudah sampai di kediaman Hamzah, ia mengetuk pintu kemudian keluarlah seorang wanita paruh baya yang menatap bingung kearahnya."Maaf, cari siapa ya?" tanya Tari."Apa benar ini rumahnya Windy?" bukannya menjawab Alan malah memberikan pertanyaan."Benar, hanya saja sekarang dia sudah tidak tinggal di rumah ini." jawab Tari."Kalau boleh tahu, dia pergi kemana ya?" tanya Alan."Tidak tahu, aku tidak ada urusan dengannya." ucap Tari terus terang."Kalau begitu saya pamit bu, terimakasih. Maaf sudah mengganggu waktunya." ucap Alan.Karena tak mendapati keberadaan Windy, Alan memilih pergi dari kediaman Hamzah. Di tengah perjalanan Alan mengernyitkan dahinya, didalam biodatanya sudah tertulis jelas alamatnya di kediaman Hamzah tetapi mengapa saat ia bertanya wanita paruh baya yang ia temui menyebutkan Windy sudah tak tinggal lagi di rumah tersebut.'Wahh, agak rumit ini nyarinya. Pokoknya aku harus segar mendapatkan perempuan itu, kalau tidak? bisa disate ini mah sama si bos' batin Alan.Alan menatap foto yang tertera dalam biodata Windy, dia mencoba mengingat wajah Windy agar mempermudah ia dalam pencariannya. "Ada-ada aja nih tuan muda, biasanya kan dia paling anti sama orang baru? lah ini kenapa tiba-tiba pengen ketemu sama cewek ini?" heran Alan. Kruuukkk..Perut Alan sudah memberikan sinyal pertanda lapar, ia melihat kanan kiri jalanan mencari tempat makan, Alan tipikal orang yang tidak pilih-pilih makanan, menurutnya dimanapun ia makan selagi tidak beracun ia pasti akan memakannya. "Nah, itu ada warteg, makan dulu ah." ucap Alan. Alan menepikan mobilnya tepat di depan sebuah warteg, dia membuka pintu mobilnya keluar menuju warteg yang lumayan ramai pengunjung."Bu nasinya satu porsi. Lauknya kangkung, sambel, ikan asin, tempe sama kerupuk," ucap Alan pada pemilik warteg. "Minumnya air mineral, teh tawar, atau teh manis ?" tanya pemilik Warteg. "Teh manis bu." ucap Alan. "Silahkan duduk dulu, ditunggu ya pesanannya." ucap pemilik warteg dengan ramah. Ala
Gibran Mahesa, seorang anak kecil berusia 7 tahun mengidap penyakit Alopecia sejak ia berumur 4 tahun karena autoimun. Gibran kini duduk di bangku sekolah dasar internasional, teman satu kelasnya sering sekali membulinya karena rambutnya yang botak akibat penyakit yang di deritanya. Suatu hari, seperti biasanya ayah dari Gibran yang bernama David Giomani Mahesa mengantarnya ke sekolah. David adalah seorang single parents karena ia telah berpisah dengan istrinya sejak Gibran berusia 1 tahun, istrinya lebih memilih mengejar mimpinya dan pergi bersama selingkuhannya dibandingkan hidup dengan keluarga kecilnya. "Gibran, ayo nanti kamu kesiangan." ucap David datar. "Iya dad." sahut Gibran.Gibran duduk di belakang tepat disamping ayahnya yang selalu sibuk dengan tabletnya, supir menjalankan mobilnya meninggalkan rumah mewah milik David menuju sekolah Gibran. Di sepanjang perjalanan tidak ada yang bersuara, David adalah tipikal orang yang dingin dan tegas jadi jarang sekali ia berbicara
Gibran dan Windy memegang es krim ditangannya masing-masing, Gibran memesan es krim rasa cekelat, sedangkan Windy ia memesan es krim rasa Vanilla. "Terimakasih kak, kau sudah mentraktirku es krim." ucap Gibran. "Sama-sama adek ganteng, jangan sedih lagi ya." jawab Windy. Gibran menganggukkan kepalanya sambil tersenyum, mereka berdua menikmati es krimnya sambil sesekali tertawa. Katrina mencari Gibran kesana kemari namun tidak juga menemukannya, saat turun dari mobil Katrina melihat Gibran berlari dengan cepat sampai ia kehilangan jejaknya. "Anak ini kemana sih? gatau apa omanya nyariin sampai pegel gini? kalo David tahu , bisa murka dia hiihh membayangkan wajahnya saja sudah ngeri." gumam Katrina bergidik ngeri.Katrina kembali mencari Gibran ke setiap sudut taman, lama mencari akhinya Katrina menangkap sosok Gibran yang sedang memakan es krim bersama seorang gadis disampingnya. Katrina langsung saja menghampiri Gibran, dia tidak ingin kehilangan lagi jejaknya. "Gibran." panggil
Davin jatuh kedalam kubangan air kotor, sang supir langsung berlari membantu tuannya berdiri. Windy tersenyum puas kini ia dan David impas, baginya semua makhluk di muka bumi ini derajatnya sama dimata tuhannyaentah kaya ataupun miskin. "Akhirnya kita impas." ucap Windy tersenyum. "Brengsek!" umpat David. Windy langsung pergi meninggalkan David, dia berjalan dengan santainya meskipun bajunya kotor. David mengepalkan tangannya, wajahnya memerah menahan malunya karena banyak pasang mata yang menatap kearahnya. "Tuan sebaiknya kita masuk, takutnya ada wartawan yang meliput." ucap supir bernama Udin.David menuruti ucapan Udin, dia langsung melangkahkan kakinya masuk kedalam mobiknya dengan perasaan dongkol. 'Awas kau wanita sialan! akan ku balas semua perbuatanmu.' batin David. Udin melihat lampu yang sudah berubah warna menjadi hijau, ia segera melajukan mobilnya menuju kediaman David. Di sepanjang perjalanan David terlihat memasang wajah dinginnya, ia ingin segera sampai ke rumah
Windy menenteng tasnya mencari kontrakan untuk tempat tinggalnya, ia berjalan dengan gontai meratapi nasibnya dan menahab rasa sesak di dadanya yang terus menerus merasa terhimpit. "Kenapa nasibku seperti ini ya Allah?" keluh Windy. Saat berjalan menyusuri beberapa rumah Windy melihat tulisan 'Masih kosong kontrakan khusus wanita', Windy langsung saja masuk menanyakan siapa pemiliknya pada penghuni di sekitar kontrakan tersebut. "Permisi, kalau boleh tahu pemilik kontrakan ini dimana ya rumahnya?" tanya Windy pada seorang perempuan paruh baya."Oh itu, yang rumahnya warna kuning" jawab perembuan paruh baya tersebut. "Oh, Terimakasih bu." ucap Windy. Windy berjalan kearah rumah yang ditunjukkan, dia mengetuk pintu beberapa kali sehingga muncullah Wanita paruh baya dengan memakai kacamata diwajahnya. "Permisi, apakah benar ini yang punya kontrakan disini?" tanya Windy. "Betul neng, mau ngontrak disini?" tanyanya. "Emang satu bulannya berapa bu?" tanya Windy. "Satu bulannya 500
"Hallo tuan, kita bertemu lagi ternyata dunia ini sempit yah." ucap Windy. "Daddy kenal dengan kak Windy?" tanya Gibran."Tidak." jawab David singkat. David menatap Windy dengan tatapan yang tak bisa diartikan, Windy sudah pasrah jika David memecat dirinya atas kejadian kemarin. "Kakak," panggil Gibran. "Iya adek ganteng? eh, maksudku tuan muda apa kau membutuhkan sesuatu?" tanya Windy. "Kakak boleh suapi aku?" tanya Gibran. "Gibran!" tekan David. David menatap tajam kearah Gibran, Windy bingung harus melakukan apa jika ia pergi seniornya pasti marah padanya, tapi jika dia stay di ruangan VIP rasanya sesak harus berhadapan dengan David. "Sorry dad." ucap Gibran menunduk. Gibran menundukkan kepalanya sedih, dia memakan makanannya yang kini langsung tak berselera. 'Daddy aku hanya ingin disuapi oleh kak Windy, aku senang bisa dekat dengannya dia baik seperti seorang ibu' batin Gibran."Kau kembali bekerja, dan ingat! urusan kita belum selesai." ucap David dingin."I-iya tuan."
Prangg..Windy tak sengaja menjatuhkan piring yang sedang ia cuci, perasaannya gelisah tak menentu. Senior di restoran langsung berkacak pinggang dihadapan Windy, dia begitu kesal melihat kecerobohan Windy yang memecahkan piring mahal yang sedang di cucinya. "Kamu becus kerja gak sih?! lihat akibat ulahmu piringnya pecah, emangnya kamu sanggup buat menggantinya hah?!" sentak Devi."Maaf mbak, aku tidak sengaja memecahkannya." ucap Windy."Aku tidak mau tahu, kau harus mempertanggung jawabkan ulahmu ini dan mengganti rugi piringnya!" ucap Devi semakin meninggikan suaranya. Windy lantas membersihkan tangannya dikucuran air keran wastafel, dia mengatur nafasnya yang kini mulai tersulut emosi tak terima dibentak oleh Devi selaku senior di tempatnya bekerja. "Bisa gak sih kalau ngomong itu pake cara baik-baik? gue ngerti kok gausah pake nyolot segala, gue ngehargain loe karena loe senior disini, dan satu hal yang harus loe tahu! loe bukan pemilik restoran ini, dan ya tanpa loe suruh gue
Selang beberapa jam kemudian. David menunggu Gibran tersadar dari pengaruh obat biusnya, dia memegang tangan putra semata wayangnya mencurahkan semua kasih sayang lewat sentuhan yang sangat jarang sekali ia lakukan. Gibran mulai menggerakkan matanya, perlahan matanya mulai terbuka lebar menyesuaikan cahaya yang masuk kedalam matanya."Boy, kau sadar." ucap David. "Da-ddy." panggil Gibran lemah. "Kau butuh sesuatu boy?" tanya David."A-air." ucap Gibran terbata.David mengambilkan segelas aie minum untuk Gibran, dia membantu anaknya untuk meminum minumannya menggunakan sendok."Jika ada yang sakit beritahu daddy." ucap David dingin. "Kakak." ucap Gibran. "Kakak? siapa yang kau panggil kakak?" tanya David bingung. "Tadi aku lihat kakak." jawab Gibran.Ceklek. Katrina dan Sean masuk kedalam ruang rawat Gibran, mereka langsung menghampiri cucu kesayangannya. "Cucu oma sudah sadar." ucap Katrina. "Kamu ini bikin opa khawatir boy." ucap Sean."Aauhhhh, ssshh." ringis Gibran. "Ya a
Alan menatap foto yang tertera dalam biodata Windy, dia mencoba mengingat wajah Windy agar mempermudah ia dalam pencariannya. "Ada-ada aja nih tuan muda, biasanya kan dia paling anti sama orang baru? lah ini kenapa tiba-tiba pengen ketemu sama cewek ini?" heran Alan. Kruuukkk..Perut Alan sudah memberikan sinyal pertanda lapar, ia melihat kanan kiri jalanan mencari tempat makan, Alan tipikal orang yang tidak pilih-pilih makanan, menurutnya dimanapun ia makan selagi tidak beracun ia pasti akan memakannya. "Nah, itu ada warteg, makan dulu ah." ucap Alan. Alan menepikan mobilnya tepat di depan sebuah warteg, dia membuka pintu mobilnya keluar menuju warteg yang lumayan ramai pengunjung."Bu nasinya satu porsi. Lauknya kangkung, sambel, ikan asin, tempe sama kerupuk," ucap Alan pada pemilik warteg. "Minumnya air mineral, teh tawar, atau teh manis ?" tanya pemilik Warteg. "Teh manis bu." ucap Alan. "Silahkan duduk dulu, ditunggu ya pesanannya." ucap pemilik warteg dengan ramah. Ala
Alan menjalankan mobilnya menuju restoran milik David, dia mencari manager restoran guna mempermudah ia dalam mencari seseorang yang dimaksud oleh Gibran. "Teguh." panggil Alan.Alan tak sengaja melihat Teguh yang sedang berkeliling mengecek sekeliling restoran. Teguh yang merasa dipanggil pun membalikkan badannya kearah Alan, dia segera menghampiri Alan yang memanggil namanya. "Ada apa Alan?" tanya Teguh. "Tolong panggilkan manager restoran kesini." ucap Alan. "Ada perlu apa kau pada Aksal?" tanya Teguh. "Si boss nyuruh gue nyari perempuan yang tadi ngelayanin dia, sekarang tuan muda kecelakaan terus nanyain perempuan itu makanya gue dateng lagi kesini." jawab Alan. "Waduh Gibran kecelakaan? sebentar, gue panggilin pelayan yang lain aja pastinya mereka tahu siapa perempuan yang loe cari." ucap Teguh. "Yaudah cepetan." ucap Alan.Teguh pergi kebagian dapur dimana para pelayan berkumpul, dia memanggil salah satu pelayan untuk menghadap padanya."Devi." panggil teguh. Devi yang
Selang beberapa jam kemudian. David menunggu Gibran tersadar dari pengaruh obat biusnya, dia memegang tangan putra semata wayangnya mencurahkan semua kasih sayang lewat sentuhan yang sangat jarang sekali ia lakukan. Gibran mulai menggerakkan matanya, perlahan matanya mulai terbuka lebar menyesuaikan cahaya yang masuk kedalam matanya."Boy, kau sadar." ucap David. "Da-ddy." panggil Gibran lemah. "Kau butuh sesuatu boy?" tanya David."A-air." ucap Gibran terbata.David mengambilkan segelas aie minum untuk Gibran, dia membantu anaknya untuk meminum minumannya menggunakan sendok."Jika ada yang sakit beritahu daddy." ucap David dingin. "Kakak." ucap Gibran. "Kakak? siapa yang kau panggil kakak?" tanya David bingung. "Tadi aku lihat kakak." jawab Gibran.Ceklek. Katrina dan Sean masuk kedalam ruang rawat Gibran, mereka langsung menghampiri cucu kesayangannya. "Cucu oma sudah sadar." ucap Katrina. "Kamu ini bikin opa khawatir boy." ucap Sean."Aauhhhh, ssshh." ringis Gibran. "Ya a
Prangg..Windy tak sengaja menjatuhkan piring yang sedang ia cuci, perasaannya gelisah tak menentu. Senior di restoran langsung berkacak pinggang dihadapan Windy, dia begitu kesal melihat kecerobohan Windy yang memecahkan piring mahal yang sedang di cucinya. "Kamu becus kerja gak sih?! lihat akibat ulahmu piringnya pecah, emangnya kamu sanggup buat menggantinya hah?!" sentak Devi."Maaf mbak, aku tidak sengaja memecahkannya." ucap Windy."Aku tidak mau tahu, kau harus mempertanggung jawabkan ulahmu ini dan mengganti rugi piringnya!" ucap Devi semakin meninggikan suaranya. Windy lantas membersihkan tangannya dikucuran air keran wastafel, dia mengatur nafasnya yang kini mulai tersulut emosi tak terima dibentak oleh Devi selaku senior di tempatnya bekerja. "Bisa gak sih kalau ngomong itu pake cara baik-baik? gue ngerti kok gausah pake nyolot segala, gue ngehargain loe karena loe senior disini, dan satu hal yang harus loe tahu! loe bukan pemilik restoran ini, dan ya tanpa loe suruh gue
"Hallo tuan, kita bertemu lagi ternyata dunia ini sempit yah." ucap Windy. "Daddy kenal dengan kak Windy?" tanya Gibran."Tidak." jawab David singkat. David menatap Windy dengan tatapan yang tak bisa diartikan, Windy sudah pasrah jika David memecat dirinya atas kejadian kemarin. "Kakak," panggil Gibran. "Iya adek ganteng? eh, maksudku tuan muda apa kau membutuhkan sesuatu?" tanya Windy. "Kakak boleh suapi aku?" tanya Gibran. "Gibran!" tekan David. David menatap tajam kearah Gibran, Windy bingung harus melakukan apa jika ia pergi seniornya pasti marah padanya, tapi jika dia stay di ruangan VIP rasanya sesak harus berhadapan dengan David. "Sorry dad." ucap Gibran menunduk. Gibran menundukkan kepalanya sedih, dia memakan makanannya yang kini langsung tak berselera. 'Daddy aku hanya ingin disuapi oleh kak Windy, aku senang bisa dekat dengannya dia baik seperti seorang ibu' batin Gibran."Kau kembali bekerja, dan ingat! urusan kita belum selesai." ucap David dingin."I-iya tuan."
Windy menenteng tasnya mencari kontrakan untuk tempat tinggalnya, ia berjalan dengan gontai meratapi nasibnya dan menahab rasa sesak di dadanya yang terus menerus merasa terhimpit. "Kenapa nasibku seperti ini ya Allah?" keluh Windy. Saat berjalan menyusuri beberapa rumah Windy melihat tulisan 'Masih kosong kontrakan khusus wanita', Windy langsung saja masuk menanyakan siapa pemiliknya pada penghuni di sekitar kontrakan tersebut. "Permisi, kalau boleh tahu pemilik kontrakan ini dimana ya rumahnya?" tanya Windy pada seorang perempuan paruh baya."Oh itu, yang rumahnya warna kuning" jawab perembuan paruh baya tersebut. "Oh, Terimakasih bu." ucap Windy. Windy berjalan kearah rumah yang ditunjukkan, dia mengetuk pintu beberapa kali sehingga muncullah Wanita paruh baya dengan memakai kacamata diwajahnya. "Permisi, apakah benar ini yang punya kontrakan disini?" tanya Windy. "Betul neng, mau ngontrak disini?" tanyanya. "Emang satu bulannya berapa bu?" tanya Windy. "Satu bulannya 500
Davin jatuh kedalam kubangan air kotor, sang supir langsung berlari membantu tuannya berdiri. Windy tersenyum puas kini ia dan David impas, baginya semua makhluk di muka bumi ini derajatnya sama dimata tuhannyaentah kaya ataupun miskin. "Akhirnya kita impas." ucap Windy tersenyum. "Brengsek!" umpat David. Windy langsung pergi meninggalkan David, dia berjalan dengan santainya meskipun bajunya kotor. David mengepalkan tangannya, wajahnya memerah menahan malunya karena banyak pasang mata yang menatap kearahnya. "Tuan sebaiknya kita masuk, takutnya ada wartawan yang meliput." ucap supir bernama Udin.David menuruti ucapan Udin, dia langsung melangkahkan kakinya masuk kedalam mobiknya dengan perasaan dongkol. 'Awas kau wanita sialan! akan ku balas semua perbuatanmu.' batin David. Udin melihat lampu yang sudah berubah warna menjadi hijau, ia segera melajukan mobilnya menuju kediaman David. Di sepanjang perjalanan David terlihat memasang wajah dinginnya, ia ingin segera sampai ke rumah
Gibran dan Windy memegang es krim ditangannya masing-masing, Gibran memesan es krim rasa cekelat, sedangkan Windy ia memesan es krim rasa Vanilla. "Terimakasih kak, kau sudah mentraktirku es krim." ucap Gibran. "Sama-sama adek ganteng, jangan sedih lagi ya." jawab Windy. Gibran menganggukkan kepalanya sambil tersenyum, mereka berdua menikmati es krimnya sambil sesekali tertawa. Katrina mencari Gibran kesana kemari namun tidak juga menemukannya, saat turun dari mobil Katrina melihat Gibran berlari dengan cepat sampai ia kehilangan jejaknya. "Anak ini kemana sih? gatau apa omanya nyariin sampai pegel gini? kalo David tahu , bisa murka dia hiihh membayangkan wajahnya saja sudah ngeri." gumam Katrina bergidik ngeri.Katrina kembali mencari Gibran ke setiap sudut taman, lama mencari akhinya Katrina menangkap sosok Gibran yang sedang memakan es krim bersama seorang gadis disampingnya. Katrina langsung saja menghampiri Gibran, dia tidak ingin kehilangan lagi jejaknya. "Gibran." panggil
Gibran Mahesa, seorang anak kecil berusia 7 tahun mengidap penyakit Alopecia sejak ia berumur 4 tahun karena autoimun. Gibran kini duduk di bangku sekolah dasar internasional, teman satu kelasnya sering sekali membulinya karena rambutnya yang botak akibat penyakit yang di deritanya. Suatu hari, seperti biasanya ayah dari Gibran yang bernama David Giomani Mahesa mengantarnya ke sekolah. David adalah seorang single parents karena ia telah berpisah dengan istrinya sejak Gibran berusia 1 tahun, istrinya lebih memilih mengejar mimpinya dan pergi bersama selingkuhannya dibandingkan hidup dengan keluarga kecilnya. "Gibran, ayo nanti kamu kesiangan." ucap David datar. "Iya dad." sahut Gibran.Gibran duduk di belakang tepat disamping ayahnya yang selalu sibuk dengan tabletnya, supir menjalankan mobilnya meninggalkan rumah mewah milik David menuju sekolah Gibran. Di sepanjang perjalanan tidak ada yang bersuara, David adalah tipikal orang yang dingin dan tegas jadi jarang sekali ia berbicara