Raga tidak lagi bertanya, karena melihat mata Claudia yang dipenuhi kesedihan membuatnya tidak nyaman. "Aku nggak terlalu ngerti, tapi aku bisa jamin Papa nggak akan begitu." Raga kembali memeluk Claudia, tangan kecilnya menepuk-nepuk pelan punggung sang pengasuh, mencoba menghibur dan mengurangi sedikit kesedihannya. Claudia sedikit mengernyit saat Raga mengatakan Malven tidak akan melakukan pengkhianatan dan menyakitinya, meski mungkin anak itu sendiri tidak paham dengan yang Claudia katakan, tapi mendengarnya bicara seperti itu seolah memberikan izin pada Claudia dan Malven untuk memiliki hubungan. Mana mungkin! Claudia menghela napas, tidak menyukai bagaimana kepalanya langsung berpikir sejauh itu. Raga masih anak-anak, ada banyak hal yang tidak dia mengerti, tapi untuk urusan memiliki ibu tiri, Raga pasti sering mendengarnya, jadi wajar baginya untuk menolak dan tidak suka dengan ide Malven menikah lagi. Lagipula, Elodia baru saja pergi setahun lalu. "Nah, karena Raga mengha
"Mengerti apa?" Malven menaikkan satu alis saat mendengar gumaman Claudia. "Bukan apa-apa."Jawaban yang terkesan dingin itu membuat Malven semakin mengernyit, memang sih Claudia yang biasanya juga dingin dan agak ketus, tapi rasanya yang kali ini berbeda? Malven menghela napas pelan, mungkin wanita di pelukannya ini sedang sangat lelah setelah seharian mengikuti Raga mengelilingi pusat perbelanjaan. "Jadi, bagaimana?" Pertanyaan Malven membuat Claudia yang hampir memejamkan mata kembali mengerjap, menatap Malven dengan dahi berkerut, bertanya dalam diam. Ia tidak tahu harus menjawab pertanyaan 'bagaimana' yang Malven lontarkan seperti apa."Bukankah kamu bertemu Tabinta?" Malven kembali menatap mata coklat jernih wanita di hadapannya. "Dia meneleponku siang tadi, katanya tidak sengaja mengatakan tentang kami padamu. Tidakkah kamu penasaran dan ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi?"Ah ... padahal Claudia berusaha melupakannya. Tidak ada keuntungan yang bisa ia dapatkan dari men
“Darimana saja kamu?”Pertanyaan yang dilayangkan itu sarat akan kemarahan. Pria yang sedang melepas sepatu, melempar asal sepatu itu begitu saja, menambah murka wanita yang menyambutnya.“Deon! Aku tanya, kamu dari mana?! Aku telpon kantor, katanya kamu sudah pulang sejak sore tadi, kemarin-kemarin pun ternyata begitu! Kupikir kamu lembur, nyatanya malah entah kemana!” Wanita bersurai panjang itu mengikuti langkah pria yang baru dua minggu ini menjadi suaminya. Pria itu, Deon, tidak menanggapi sama sekali, hanya berjalan lurus menuju kamarnya. Tapi, langkah Deon terhenti saat Selena tiba-tiba menghadang di depan pintu.“Kenapa tidak jawab? Aku sedang bertanya, Deon, istrimu sedang bertanya! Kamu kemana, keluyuran setiap hari, pulang hampir subuh tanpa kabar, kamu tidak memikirkan aku? Bagaimana jika aku membutuhkanmu?!”“Persetan, Selena!” Deon berteriak, tangannya mengepal saat kemarahan menguasainya. “Kamu tanya aku dari mana? Aku mencari kekasihku, wanita yang kucintai, yang hila
“Membaca buku?” Malven menaikkan satu alisnya mendengar perkataan Raga yang ingin bermain di perpustakaan hari ini. Bisa dibilang ini pertama kali Raga ingin di rumah saja saat Malven memiliki waktu untuknya.“Iya, Kak Cla jago banget bacain buku, lho! Papa belum pernah denger Kak Cla baca dongeng, kan?” Raga mengangguk semangat, meyakinkan ayahnya jika menghabiskan waktu bersama di perpustakaan itu menyenangkan.Malven mendengus saat melihat Claudia mengernyit, jelas sekali wanita itu tidak mau membacakan buku untuk Malven, apalagi dongeng. “Baiklah, kalau kamu maunya begitu. Tapi, kalau Papa membawa pekerjaan ke perpustakaan bagaimana? Kamu bisa membaca buku bersama Claudia, dan Papa akan mengerjakan sesuatu sambil memperhatikan kalian. Tidak apa-apa, kan?”“Iya, boleh, kok!” Raga menjawab cepat, bahkan tanpa berpikir dua kali. Malven yang sebenarnya hanya iseng bertanya, sedikit terkejut saat putranya menyetujui dengan mudah. Entahlah … rasanya seolah Raga tidak lagi membutuhkanny
“Ap-apa?” Claudia tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya mendengar pertanyaan Malven. Kenapa tiba-tiba membicarakan Selena?“Kamu yang memberitahuku semalam, kalau kamu hanya memiliki satu sepupu yang seusia denganmu. Selena yang cantik dan baik,” ucap Malven lagi, mengulang kata-kata Claudia semalam.Claudia tersentak. Sepertinya karena terlalu mengantuk, ia tanpa sadar mengungkapkan isi hatinya tentang Selena. Benar, Selena yang Claudia kenal adalah orang yang baik dan cantik, caranya tersenyum dan tertawa sangat menawan. Bahkan ketika Claudia menangis karena ditinggal ayahnya ke luar kota, Selena akan menghiburnya, memegang tangannya dan menemani Claudia hingga ia merasa lebih tenang.Tapi, kemana gadis cantik dan baik itu pergi? Kemana Selena yang selalu Claudia banggakan?“Aku sudah menceritakan tentangku dan Dea, bukankah tidak adil kalau hanya kamu yang mengetahui salah satu cerita di masalaluku? Aku bahkan bercerita tentang orang tuaku.” Malven menaikkan satu alis saat meli
Malven menaikkan satu alis, "Tindakan amoral yang seperti apa maksudmu?" tanyanya sedikit penasaran. Selama dua bulan lebih Claudia tinggal di rumah ini, Malven memang sudah menebak, pasti ada yang sudah menceritakan apa yang sebenarnya terjadi pada para pengasuh sebelumnya.Claudia mendekat, "Seperti ini," ucapnya sebelum mengecup singkat bibir Malven. "Sudah waktunya makan siang, ayo bangunkan Raga!"Malven yang terkejut dengan tindakan Claudia, tidak sempat menahan wanita itu saat meninggalkan pangkuannya. "Ckk, godaan macam apa itu? Hanya seperti angin kecil yang lewat," ucapnya malas, tapi tetap membereskan berkas-berkas dan laptopnya yang tadi dibiarkan begitu saja."Aku harus menyimpan ini dulu, sampai bertemu di ruang makan." Malven pergi meninggalkan perpustakaan setelah merapikan semua berkas dan mematikan laptopnya."Baik, Pak." Claudia menjawab sopan, karena sekarang waktunya untuk kembali ke pekerjaannya sebagai pengasuh Raga.Claudia menatap Raga yang tidur sambil memelu
Malven segera menyadari perkataannya, dan saat menoleh ia melihat Dera sedang berdiri di sisinya. Wanita tua itu tampak sedang menaikkan alis, menatap Malven dengan mata menyelidik. "Apa kau akan melaporkan jawabanku tadi pada si tua bangka itu, Dera?" Suara Malven mengalun pelan, terdengar dingin dan wajah datarnya menambah kesan kejam. Para pelayan yang sebelumnya sudah mendekat untuk membereskan meja makan, perlahan mundur dan keluar dari ruang makan setelah merasakan suasana yang tidak menyenangkan. Dera menghela napas. "Tergantung dengan sikap Anda, Tuan. Aku tidak akan ikut campur selama itu hanya sebatas hubungan fisik yang saling menguntungkan, tapi tidak untuk menjadi nyonya di kediaman ini." Jawaban yang Dera berikan membuat Malven mendengus. Selain dikirimkan oleh kakeknya untuk melihat perkembangan Raga, Dera juga merangkap sebagai mata-mata yang memperhatikan tindak-tanduk Malven, agar pria itu tidak melakukan sesuatu yang dianggap mempermalukan nama keluarga. "
Sampai di villa yang menjadi tujuan, Claudia segera turun dari mobil dan bergegas ke arah bagasi, melewatkan kebiasaannya membukakan pintu untuk Raga. Arfa yang juga turun bersama Claudia, membukakan pintu untuk Malven lebih dulu sebelum ikut membantu Claudia mengeluarkan barang bawaan mereka. Wanita itu masih terdiam sejak saat Arfa membenarkan perkataan Malven tentang penunggu hutan. "Saya tidak berbohong," ucap Arfa pelan, tentu saja maksudnya adalah tentang kata-katanya di mobil tadi. "Itu terjadi tujuh tahun yang lalu, saat saya tersesat dan bertemu penunggu hutan." Claudia mengerjap di tempatnya, tapi tidak sempat mengatakan apa pun karena Arfa sudah pergi lebih dulu, membawakan koper milik Raga, juga tas Claudia, memasuki villa tanpa menoleh lagi."Hmm, sepertinya dia lumayan menyukaimu?" Claudia berjengit saat Malven berbisik di dekatnya. Pandangan wanita itu mengedar dan tidak menemukan keberadaan Raga. "Kalau kamu mencari Raga, dia sudah masuk duluan." Malven menjawab k
Claudia tersenyum canggung. Sejak awal ia memang hanya berniat memberikan kartu khusus itu untuk Raga agar anak itu tidak perlu khawatir tidak bisa bertemu Claudia lagi. Sejak bertemu, ketika Raga mengetahui tentang Claudia yang bukan pengasuh biasa, wanita itu sudah berjanji bahwa ia akan tetap memperlakukan Raga dengan spesial meski Claudia tidak lagi menjadi pengasuhnya."Maaf, mana kutahu kalau kartu nama khusus itu akan digunakan sebagai tiket masuk ke sini," Claudia berbisik sembari mengusap pelan lengan Malven."Kau masih di sini?"Suara tajam itu membuat Claudia dan Malven terdiam. "Aku akan antar Malven keluar!" ujar Claudia cepat, menarik Malven untuk bergegas dan tidak mengizinkan pria itu untuk mengatakan hal lain yang akan membuat emosi Regan meningkat.Meski begitu, Malven tetap membungkuk sopan pada Regan sebelum benar-benar berbalik, kembali menyusuri lorong menuju ruang tamu di bagian luar rumah bersama Claudia."Kamu tidak marah karena langsung diusir, kan?" Claudia
Seperti yang Claudia katakan pada Shouki dan Aira, hari ini ia benar-benar keluar dari rumah sakit. Shouki mengantar hingga ke lobi, juga menemani dalam diam sampai mobil yang dikendarai Arfa datang. “Aku akan ke sini lagi sore nanti untuk menjenguk Zenis, jadi kamu tidak perlu mengikutiku. Lalu, kalau Opa atau Ayah menghubungi, jangan mengatakan sedikit pun tentang masalah ini, mengerti?” Claudia memberikan perintah untuk ke sekian kalinya sejak kemarin, yang tentu saja Shouki tetap menjawab dengan sopan.“Hati-hati, Nona. Tuan Malven, pastikan mengantar Nona Claudia sampai dia masuk ke rumah,” ucap Shouki sembari membungkuk hormat pada Malven dan Claudia.“Tentu saja.” Malven menjawab acuh tak acuh. Sebenarnya agak iri dengan Shouki yang sudah mengenal Claudia sejak sangat lama, tapi karena pria itu sudah punya istri dan anak meskipun melayani Claudia yang sangat cantik, sepertinya Malven bisa mempercayainya.Mobil yang Claudia dan Malven tumpangi meninggalkan pelataran rumah sakit
Claudia kembali memeluk Malven, menyembunyikan wajahnya di bahu pria itu. “Itu aku,” ucapnya pelan, suaranya sedikit teredam di bahu Malven.“Bicaralah yang jelas, aku tidak mendengarmu.” Malven mengusap lembut kepala Claudia, meminta agar wanita itu kembali mengangkat wajah dan menatapnya.“Kubilang itu aku! Direktur utama yayasan yang menolak proposalmu, itu aku!” ujar Claudia akhirnya, tidak mau tahu bagaimana reaksi Malven setelah mendengarnya. Claudia tidak mau menyembunyikan apa pun lagi karena hubungan mereka harus segera diresmikan, jadi Malven harus tahu semua tentang Claudia. Pria itu harus menyiapkan alasan yang kuat untuk bisa menikahi Claudia di depan Regan dan Adhamar.Malven benar-benar terdiam. Ia ingin menanyakan lagi untuk meyakinkan telinganya, tapi yang didengarnya tadi sudah sangat jelas. Claudia adalah direktur utama Yayasan Gemilang? Malven mengerutkan kening, mencoba mengingat nama seseorang yang tidak pernah ditemuinya secara langsung.“C.R. Elvina?” Malven be
Claudia tidak bisa bertanya lebih jauh saat Malven mengatakan dengan yakin jika noda yang ada di ujung lengan kemejanya adalah saus. Pria itu segera beranjak ke kamar mandi setelah meraih paper bag berisi pakaian ganti yang sebelumnya dibawakan Arfa.Di dalam kamar mandi, wajah lembut Malven perlahan memudar, berganti menjadi raut datar tanpa emosi. Pria itu menghela napas pelan saat membuka kancing kemejanya satu per satu dan melihat ada beberapa bercak merah di ujung kemeja putihnya. Padahal ia menggunakan alat pelindung dan berhati-hati agar tidak ada noda yang merusak penampilannya, tapi tidak menyangka jika beberapa cipratan merusak pakaiannya.“Untung saja yang terkena noda cukup banyak bisa disembunyikan,” gumam Malven sembari berjalan mnuju shower, membasahi tubuhnya dengan air dingin. Air yang mengalir juga turut membasuh warna merah yang ada di tangan pria itu.Selesai membersihkan dirinya dan memastikan tidak ada noda atau bau darah yang menempel, Malven keluar kamar mandi
Claudia meletakkan telunjuknya di bibir, matanya melirik ke arah ranjang--menunjukkan keberadaan Raga yang tertidur lelap.Aira segera membelap mulutnya, "Maaf," ucapnya pelan. Ia menghela napas sebelum melanjutkan, "Jadi, apa kamu sudah mengatakannya pada Shouki tentang kejadian kemarin?" tanyanya sembari menatap ke arah Shouki.Shouki menggeleng, "Nona bilang akan menunggu sampai Nona Aira datang," ucap pria itu, mengalihkan tatapnya ke arah Claudia dan bertanya dalam diam.Claudia mengangguk. Sejujurnya ia khawatir akan meledak dan dipenuhi emosi saat menceritakannya jika pada Shouki, itu sebabnya Claudia tidak menelpon atau mengatakan apa pun pada pengawalnya itu saat ia melihat Deon berselingkuh. Dulu Claudia masih memikirkan Selena, karena jika ia mengadu pada Shouki, entah apa yang akan pria itu lakukan pada Deon dan Selena, tapi sekarang Claudia tidak bisa menahannya sendirian.Wanita itu menceritakan segalanya, dimulai dari perjalanannya ke kediaman sang kakek untuk menolak p
Claudia terkejut atas kedatangan Malven. Bukankah pria itu sudah pergi dari tadi?!Shouki segera menarik tangannya dari kepala Claudia dan bergegas berdiri, membungkuk sopan pada Malven yang tampak mematung di dekat pintu.Sepertinya Malven tidak tahu jika sedang ada Shouki di sini, melihat dari raut tegang Sean dan Vall di belakangnya."Malven? Bukankah kamu bilang ada urusan?" Claudia bertanya pelan, entah kenapa merasa gugup, padahal tidak melakukan sesuatu yang salah.Malven menghela napas setelah mencoba menjernihkan kepalanya. Melihat Claudia yang kikuk dan gugup, Malven tahu jika wanita itu tidak tahu cara menjelaskan kehadiran pria asing di kamarnya."Aku meninggalkan sesuatu," ucap Malven sembari berjalan mendekat. Matanya berubah tajam saat menatap Shouki. "Selamat siang, Tuan Malven, saya Shouki."Malven menaikkan satu alis melihat pria di hadapannya bersikap sopan dan tampak percaya diri. "Selamat siang, Tuan Shouki. Maaf mengganggu waktu Anda dan kekasih saya--Claudia. S
Claudia menutup buku cerita dengan perlahan, memastikan tidak ada suara yang mengganggu tidur Raga. Anak itu sudah tertidur pulas dengan posisi meringkuk di samping Claudia, napasnya yang tenang membuat Claudia tersenyum lembut. Wanita itu membenarkan posisi kepala Raga ke bantal dan menyelimutinya agar lebih nyaman, lalu menatap wajah polos anak itu sejenak sebelum menghela napas lega.Saat Claudia hendak meletakkan buku di meja kecil, pintu kamar rawatnya terdengar diketuk. Namun, bukannya langsung terbuka, ketukan itu disusul dengan suara pelan dari luar--sepertinya ada perdebatan kecil. Claudia mengerutkan kening, merasa bingung, hingga ia mendengar suara rendah dan penuh tekanan dari Shouki."Apa Sho sudah datang? Cepat juga, padahal belum dua puluh menit."Claudia segera mengambil ponselnya dan menghubungi Sean, lupa jika wanita itu dan Vall sedang berjaga atas titah Malven. Awalnya Claudia khawatir Sean tidak akan mengangkat telpon darinya karena wa
Saat Claudia tengah asyik membacakan buku cerita untuk Raga, tiba-tiba pikirannya tersentak. Ia teringat sesuatu yang membuat alisnya berkerut. Claudia sama sekali belum memberi kabar pada siapa pun tentang dirinya yang dirawat di rumah sakit, apalagi soal kejadian yang membuatnya ada di sini.Claudia berhenti membaca, membuat Raga menatapnya dengan bingung. "Kak Cla, kenapa berhenti? Ceritanya lagi seru!"Claudia tersenyum kecil, mencoba menenangkan Raga. "Sebentar, Raga. Kakak baru ingat ada sesuatu yang harus dilakukan. Bisa tolong ambilkan tas Kakak? Sepertinya ada di lemari kecil di dekat ranjang."Raga mengangguk antusias, melompat turun dari tempat tidur, lalu bergegas menuju lemari kecil. Ia membuka pintu lemari dan mengambil tas tangan Claudia dengan hati-hati. "Ini, Kak." Raga menyerahkan tas tersebut dengan senyuman bangga."Terima kasih, Raga. Kamu memang hebat." Claudia mengacak rambut anak itu sebelum membuka tasnya dengan buru-buru. Ia mengeluarkan ponsel yang langsun
Claudia tertawa pelan mendengar komentar polos namun jenaka dari Raga. "Ssst, jangan bicara begitu. Seaneh apa pun, dia tetap Papa-mu. Dan yang paling penting, Papa terlihat bahagia, kan?" Claudia mengusap kepala Raga dengan lembut.Raga mengerucutkan bibirnya dan menatap Claudia dengan tatapan ragu. "Bahagia? Masa, sih? Masa dia bahagia banget cuma karena makanan itu," gumamnya pelan, membuat Claudia nyaris tertawa lagi.Claudia melanjutkan sarapannya dengan tenang setelah berhasil menahan tawa atas kometar Raga terhadap kelakuan Malven. Beberapa saat kemudian, setelah Claudia selesai dengan sarapannya, pintu kamar diketuk. Seorang dokter masuk bersama dua perawat, membawa beberapa peralatan untuk pemeriksaan rutin. Claudia tersenyum kecil dan mengangguk sopan."Selamat pagi, Nona Claudia. Bagaimana kondisi Anda pagi ini? Apakah ada keluhan atau rasa tidak nyaman?" tanya dokter dengan ramah sambil memeriksa catatan kesehatan Claudia."T