"Mengerti apa?" Malven menaikkan satu alis saat mendengar gumaman Claudia. "Bukan apa-apa."Jawaban yang terkesan dingin itu membuat Malven semakin mengernyit, memang sih Claudia yang biasanya juga dingin dan agak ketus, tapi rasanya yang kali ini berbeda? Malven menghela napas pelan, mungkin wanita di pelukannya ini sedang sangat lelah setelah seharian mengikuti Raga mengelilingi pusat perbelanjaan. "Jadi, bagaimana?" Pertanyaan Malven membuat Claudia yang hampir memejamkan mata kembali mengerjap, menatap Malven dengan dahi berkerut, bertanya dalam diam. Ia tidak tahu harus menjawab pertanyaan 'bagaimana' yang Malven lontarkan seperti apa."Bukankah kamu bertemu Tabinta?" Malven kembali menatap mata coklat jernih wanita di hadapannya. "Dia meneleponku siang tadi, katanya tidak sengaja mengatakan tentang kami padamu. Tidakkah kamu penasaran dan ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi?"Ah ... padahal Claudia berusaha melupakannya. Tidak ada keuntungan yang bisa ia dapatkan dari men
“Darimana saja kamu?”Pertanyaan yang dilayangkan itu sarat akan kemarahan. Pria yang sedang melepas sepatu, melempar asal sepatu itu begitu saja, menambah murka wanita yang menyambutnya.“Deon! Aku tanya, kamu dari mana?! Aku telpon kantor, katanya kamu sudah pulang sejak sore tadi, kemarin-kemarin pun ternyata begitu! Kupikir kamu lembur, nyatanya malah entah kemana!” Wanita bersurai panjang itu mengikuti langkah pria yang baru dua minggu ini menjadi suaminya. Pria itu, Deon, tidak menanggapi sama sekali, hanya berjalan lurus menuju kamarnya. Tapi, langkah Deon terhenti saat Selena tiba-tiba menghadang di depan pintu.“Kenapa tidak jawab? Aku sedang bertanya, Deon, istrimu sedang bertanya! Kamu kemana, keluyuran setiap hari, pulang hampir subuh tanpa kabar, kamu tidak memikirkan aku? Bagaimana jika aku membutuhkanmu?!”“Persetan, Selena!” Deon berteriak, tangannya mengepal saat kemarahan menguasainya. “Kamu tanya aku dari mana? Aku mencari kekasihku, wanita yang kucintai, yang hila
“Membaca buku?” Malven menaikkan satu alisnya mendengar perkataan Raga yang ingin bermain di perpustakaan hari ini. Bisa dibilang ini pertama kali Raga ingin di rumah saja saat Malven memiliki waktu untuknya.“Iya, Kak Cla jago banget bacain buku, lho! Papa belum pernah denger Kak Cla baca dongeng, kan?” Raga mengangguk semangat, meyakinkan ayahnya jika menghabiskan waktu bersama di perpustakaan itu menyenangkan.Malven mendengus saat melihat Claudia mengernyit, jelas sekali wanita itu tidak mau membacakan buku untuk Malven, apalagi dongeng. “Baiklah, kalau kamu maunya begitu. Tapi, kalau Papa membawa pekerjaan ke perpustakaan bagaimana? Kamu bisa membaca buku bersama Claudia, dan Papa akan mengerjakan sesuatu sambil memperhatikan kalian. Tidak apa-apa, kan?”“Iya, boleh, kok!” Raga menjawab cepat, bahkan tanpa berpikir dua kali. Malven yang sebenarnya hanya iseng bertanya, sedikit terkejut saat putranya menyetujui dengan mudah. Entahlah … rasanya seolah Raga tidak lagi membutuhkanny
“Ap-apa?” Claudia tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya mendengar pertanyaan Malven. Kenapa tiba-tiba membicarakan Selena?“Kamu yang memberitahuku semalam, kalau kamu hanya memiliki satu sepupu yang seusia denganmu. Selena yang cantik dan baik,” ucap Malven lagi, mengulang kata-kata Claudia semalam.Claudia tersentak. Sepertinya karena terlalu mengantuk, ia tanpa sadar mengungkapkan isi hatinya tentang Selena. Benar, Selena yang Claudia kenal adalah orang yang baik dan cantik, caranya tersenyum dan tertawa sangat menawan. Bahkan ketika Claudia menangis karena ditinggal ayahnya ke luar kota, Selena akan menghiburnya, memegang tangannya dan menemani Claudia hingga ia merasa lebih tenang.Tapi, kemana gadis cantik dan baik itu pergi? Kemana Selena yang selalu Claudia banggakan?“Aku sudah menceritakan tentangku dan Dea, bukankah tidak adil kalau hanya kamu yang mengetahui salah satu cerita di masalaluku? Aku bahkan bercerita tentang orang tuaku.” Malven menaikkan satu alis saat meli
Malven menaikkan satu alis, "Tindakan amoral yang seperti apa maksudmu?" tanyanya sedikit penasaran. Selama dua bulan lebih Claudia tinggal di rumah ini, Malven memang sudah menebak, pasti ada yang sudah menceritakan apa yang sebenarnya terjadi pada para pengasuh sebelumnya.Claudia mendekat, "Seperti ini," ucapnya sebelum mengecup singkat bibir Malven. "Sudah waktunya makan siang, ayo bangunkan Raga!"Malven yang terkejut dengan tindakan Claudia, tidak sempat menahan wanita itu saat meninggalkan pangkuannya. "Ckk, godaan macam apa itu? Hanya seperti angin kecil yang lewat," ucapnya malas, tapi tetap membereskan berkas-berkas dan laptopnya yang tadi dibiarkan begitu saja."Aku harus menyimpan ini dulu, sampai bertemu di ruang makan." Malven pergi meninggalkan perpustakaan setelah merapikan semua berkas dan mematikan laptopnya."Baik, Pak." Claudia menjawab sopan, karena sekarang waktunya untuk kembali ke pekerjaannya sebagai pengasuh Raga.Claudia menatap Raga yang tidur sambil memelu
Malven segera menyadari perkataannya, dan saat menoleh ia melihat Dera sedang berdiri di sisinya. Wanita tua itu tampak sedang menaikkan alis, menatap Malven dengan mata menyelidik. "Apa kau akan melaporkan jawabanku tadi pada si tua bangka itu, Dera?" Suara Malven mengalun pelan, terdengar dingin dan wajah datarnya menambah kesan kejam. Para pelayan yang sebelumnya sudah mendekat untuk membereskan meja makan, perlahan mundur dan keluar dari ruang makan setelah merasakan suasana yang tidak menyenangkan. Dera menghela napas. "Tergantung dengan sikap Anda, Tuan. Aku tidak akan ikut campur selama itu hanya sebatas hubungan fisik yang saling menguntungkan, tapi tidak untuk menjadi nyonya di kediaman ini." Jawaban yang Dera berikan membuat Malven mendengus. Selain dikirimkan oleh kakeknya untuk melihat perkembangan Raga, Dera juga merangkap sebagai mata-mata yang memperhatikan tindak-tanduk Malven, agar pria itu tidak melakukan sesuatu yang dianggap mempermalukan nama keluarga. "
Sampai di villa yang menjadi tujuan, Claudia segera turun dari mobil dan bergegas ke arah bagasi, melewatkan kebiasaannya membukakan pintu untuk Raga. Arfa yang juga turun bersama Claudia, membukakan pintu untuk Malven lebih dulu sebelum ikut membantu Claudia mengeluarkan barang bawaan mereka. Wanita itu masih terdiam sejak saat Arfa membenarkan perkataan Malven tentang penunggu hutan. "Saya tidak berbohong," ucap Arfa pelan, tentu saja maksudnya adalah tentang kata-katanya di mobil tadi. "Itu terjadi tujuh tahun yang lalu, saat saya tersesat dan bertemu penunggu hutan." Claudia mengerjap di tempatnya, tapi tidak sempat mengatakan apa pun karena Arfa sudah pergi lebih dulu, membawakan koper milik Raga, juga tas Claudia, memasuki villa tanpa menoleh lagi."Hmm, sepertinya dia lumayan menyukaimu?" Claudia berjengit saat Malven berbisik di dekatnya. Pandangan wanita itu mengedar dan tidak menemukan keberadaan Raga. "Kalau kamu mencari Raga, dia sudah masuk duluan." Malven menjawab k
"Tenanglah, Claudi." Suara dan panggilan itu! Claudia menghela napas lega dan tidak lagi meronta saat menyadari jika orang yang mengagetkannya dengan memeluk tiba-tiba adalah Malven. "Wah, kamu sungguh berpikir akan ada yang berbuat jahat padamu di sini, di tempat di mana akulah penguasanya?" Malven menaikkan satu alisnya saat Claudia sudah tenang dan langsung beringsut menjauh saat ia melepas pelukannya. "Kenapa sih tidak bisa datang dengan cara yang normal?! Kenapa selalu mengagetkan orang lain?" Claudia mengerut kesal, jantungnya bertalu sangat kencang akibat ulah Malven. "Eh, tapi aku sudah mendekatimu dengan cara yang normal? Cara normalku mungkin agak berbeda dari orang lain." Melihat senyum jahil yang terukir di wajah Malven membuat Claudia semakin jengkel. Di tengah taman bunga yang sepi, jauh dari jangkauan orang lain, memangnya siapa yang tidak terkejut dan ketakutan saat tiba-tiba ada yang memeluknya?!"Tidak usah dekat-dekat!" ujar Claudia saat Malven melangkah lebi
Pernikahan Claudia dan Malven akhirnya disetujui oleh Regan, padahal pria itu belum tahu tentang kehamilan Claudia. Untungnya setelah Claudia mengatakan tentang kehamilan, Regan tidak menarik kembali restunya dan hanya menghela napas.Adhamar dan Devan bersikeras ingin mengurus persiapan pernikahan, meminta agar Claudia dan Malven menyiapkan diri juga fokus menyelesaikan pekerjaan sebelum mengambil cuti bulan madu. Pertemuan antar kedua keluarga langsung dilaksanakan dua hari setelah Regan memberi restu, dan begitu saja, tanggal pernikahan Claudia ditetapkan.Meski semua hal akan diurus oleh para kakek mereka, Claudia memutuskan untuk tetap memilih gaun pengantin dan desain undangan sendiri, termasuk foto prewedding. Sayangnya, Tabinta tidak mendesain gaun pengantin, jadi Claudia hanya memesan perhiasan darinya, untungnya ada produk baru yang belum dikeluarkan ke public hingga Claudia bisa memilikinya.Wanita itu juga menghubungi brand fashion D&C dan bersyukur saat ada beberapa gaun
Selama menunggu Malven dan Regan bicara, Claudia menunggu di ruang keluarga. Sudah dua jam sejak Malven memasuki ruang kerja Regan, tapi hingga kini belum ada tanda-tanda akan keluar. Claudia menghela napas panjang, sedikit khawatir.Kalau saja ayahnya tidak melarang, Claudia pasti sudah menemani Malven saat ini. Tapi, Regan mengatakan jika itu adalah pembicaraan antar laki-laki, jadi Claudia dilarang ikut campur.“Berapa lama lagi ayah akan mengintrogasinya?” Claudia menarik napas pelan, matanya melirik pada jam yang tertera di ponsel. Awalnya Claudia tidak sendirian karena Raga menemaninya bermain, tapi anak itu akhirnya tertidur setelah hampir satu jam, jadi Claudia memindahkannya ke kamar dan kembali ke ruang keluarga untuk menunggu Malven.“Tapi, kenapa lama sekali?” Claudia kembali mengeluh sembari menyandarkan tubuhnya di sofa, menatap lampu gantung yang malam ini terlihat lebih jauh.Claudia sebenarnya merasa lelah dan perutnya sedikit kram. Mengingat perjalanan panjang yang
“Raga, Kakak pulang!” Claudia berseru setelah memasuki ruang keluarga, membuat Raga dan Regan yang sedang menyusun puzzle besar, langsung menoleh bersamaan. “Iya, selama datang kembali, Kak.” Raga membalas sapaan Claudia sebelum kembali fokus pada mainannya.Claudia cemberut pada rendahnya antusias Raga. Apa anak itu tidak merindukannya?“Raga … Kakak bawa sesuatu lho,” ucap Claudia sembari mendekat dan menggoyangkan kresek putih di tangannya. Claudia sempat mampir ke mini market untuk membeli beberapa es krim dan camilan kesukaan Raga. Biasanya Raga akan sangat senang karena ia jarang diizinkan makan makanan instan seperti itu. Tapi … kenapa tidak ada reaksi berarti?Raga hanya menoleh sebentar dan mengatakan ‘oh ya’ sebelum kembali berusaha menyusun puzzle, sama sekali tidak menyadari wajah keruh Claudia. Wanita itu meletakkan barang bawaannya sebelum mendekati Raga dan langsung menusuk pipi anak itu menggunakan jari telunjuknya.“Apa ini … Raga mengabaikan Kakak?” Claudia mengelua
“Biar aku yang menghubungi Devan, kalian tinggal yakinkan anak nakal itu saja.” Adhamar berkata saat mengantarkan Claudia dan Malven ke halaman, keduanya akan meninggalkan kediaman Adhamar hari ini.“Tapi, kalau ayah masih tidak mau memberi restu bagaimana?” Claudia bertanya pelan, agak cemas.“Kenapa menanyakan hal yang sudah jelas? Tentu saja kalian tidak akan bisa menikah. Meski aku masih tidak menyukai anak nakal itu, bukan berarti aku tidak mendengarkan pendapatnya. Berusahalah lebih giat, tapi aku yakin dia akan segera merestui. Dia bukan orang yang keras kepala.”Claudia menghela napas panjang. Anak nakal yang disebut kakeknya adalah Regan, meski Claudia tidak mengerti kenapa Adhamar selalu menyebut menantunya seperti itu.“Kalau begitu kami permisi dulu, Tuan Adhamar.” Malven mengangguk hormat, membukakan pintu mobil dan membiarkan Claudia masuk lebih dulu.Setelah memeluk kakeknya, Claudia langsung memasuki mobil dan segera disusul oleh Malven. Hari ini mereka akan kembali ha
Setelah memberitahu pelayan tentang tujuan mereka, Claudia dan Malven menelusuri jalan setapak dengan pohon-pohon besar di sepanjang jalan. Seperti yang Claudia katakan, hutan ini sangat rimbun dan terlihat seperti hutan sungguhan yang tidak terbatas luasnya.Meski begitu, Malven bisa melihat beberapa ranting dan daun bergoyang secara tidak wajar. “Apa di hutan ini ada ‘penunggu’ juga?” tanyanya sembari menatap lembut Claudia.Claudia yang tidak pernah melepas genggamannya dari Malven, mendongak dan tersenyum lebar. Sekarang ia mengerti apa maksud dari kata ‘penunggu hutan’ yang pernah Malven dan Arfa bicarakan. Orang-orang yang dilatih dan bekerja di bawah Adhamar, bertugas untuk menjaga keamanan tempat ini dengan memperhatikan siapa pun tamu yang datang.Tapi, meski Claudia bukan tamu asing, sejak kecil ia memang sudah dijaga diam-diam. Ada kalanya Claudia tersesat saat mengeksplor hutan dan salah satu penjaganya akan berpura-pura tidak sengaja lewat lalu membawa Claudia kembali ke
Claudia memilih menunggu di ruang keluarga yang tidak jauh dari ruang kerja kakeknya, sedikit gugup dengan pembicaraan yang akan dilakukan Adhamar dan Malven. Bagaimana kalau kakeknya bersikeras tidak akan merestui seperti saat bersama Deon dulu?“Ah, harusnya aku tidak menurut begitu saja dan meninggalkan mereka.” Claudia bergumam sembari menggoyangkan kaki, tidak bisa menyembunyikan rasa cemasnya.“Minum tehnya dulu, Nona. Apa perlu saya bawakan camilan lain? Atau Nona ingin makan?”Pertanyaan pelayan yang menghampiri sambil membawa nampan berisi secangkir teh dan sepiring kukis, membuat Claudia menghela napas pendek. Benar, tidak ada yang akan berubah hanya karena ia bergumam sendirian di sini, jadi lebih baik mengisi perutnya dengan sesuatu yang hangat.“Terima kasih, tapi bisakah ganti tehnya dengan kopi? Aku ingin kopi hitam tanpa gula,” ucap Claudia saat menyadari bahwa perutnya mual mencium harum yang menguar dari teh. “Lalu, aku sedang tidak ingin kukis. Bawakan saja sesuatu
Sindiran tajam dan dengusan Adhamar membuat suasana ruangan itu hening. Tidak ada yang bisa membantah, baik Claudia maupun Malven tahu pasti apa yang Adhamar maksud.“Memang benar kalau saya jatuh cinta padanya, tapi saya tidak pernah mengatakan itu, dan dia pun sama. Kami saling mencintai, tapi tidak sempat menyatakan perasaan masing-masing. Saya sibuk dengan beberapa urusan, lalu Zheva yang kebetulan punya pekerjaan di sini dan mengkhawatirkan kondisi saya, datang dan membuat hubungan kami berakhir dengan kesalahpahaman.”Malven menghela napas pelan. “Dia pergi meninggalkan saya tanpa sepatah kata. Saya membuatnya menangis patah hati, karena kekurangan saya dalam berkomunikasi membuatnya berpikir jika Zheva adalah wanita yang akan dijodohkan dengan saya. Satu bulan lalu, saya kehilangan arah karena wanita itu menghilang tiba-tiba.”Claudia menatap penuh perhatian pada Malven, berharap waktu yang akan mereka habiskan ke depannya akan menghapus sedikit demi sedikit rasa sakit karena k
Claudia menarik napas panjang saat pria berusia tujuh puluhan itu mengangkat pandangan dari buku di tangan. Adhamar tentu saja mengernyit melihat kedatangan cucunya yang tiba-tiba, apalagi setelah melihat tangan Claudia yang melingkari lengan Malven.Adhamar meletakkan bukunya di meja dan berdiri, menghampiri dua orang yang masih mematung tanpa mengatakan apa-apa.“Ayo bicara di dalam.” Claudia dan Malven segera menunduk sopan saat Adhamar berjalan lebih dulu sebelum mengekor di belakang. Tidak ada yang bicara selama perjalanan melewati beberapa koridor, ruang keluarga dan anak tangga menuju ruang kerja Adhamar. Sudah menjadi aturan tak tertulis untuk membicarakan hal penting hanya di ruang kerja Adhamar, tempat di mana tidak ada seorang pun yang akan menguping. Setelah memasuki ruang kerja dan pintu tertutup, Claudia segera melepas lengan Malven dan berjalan menuju sofa yang telah diduduki kakeknya. Ini adalah hal yang harus Claudia lakukan sekarang, duduk di sisi kakeknya dan mem
Setelah perjalanan panjang yang cukup melelahkan, akhirnya Claudia dan Malven tiba di kediaman Adhamar. Gerbang besar terbuka perlahan, menampakkan halaman luas dengan arsitektur klasik yang mencerminkan wibawa pemiliknya.Bangunan besar dengan arsitektur klasik itu selalu berdiri anggun, dikelilingi tamanluas yang tertata rapi. Meski Claudia tidak asing dengan tempat ini, tapi perasaanya saat ini lebih tegang dan mendebarkan.Claudia melirik ke samping dan tersenyum melihat Malven yang duduk diam dengan wajah sedikit kaku, tentu saja pria itu juga sedang sangat tegang sekarang. Claudia bisa melihat jari-jari Malven saling tertaut erat di pangkuan, napasnya pun terdengar lebih berat dari biasanya. Claudia masihtersenyum saat meraih tangan Malven dan menggenggamnya erat.“Jangan terlalu tegang, Malven,” bisik Claudia lembut, mencoba menenangkan. “Kakekku tidak akan menelanmu, kok.”Malven menoleh ke arah Claudia dan mengernyit mellihat senyum jahil wanita itu. Tentu saja Adhamar tidak