Malven menaikkan satu alis, "Tindakan amoral yang seperti apa maksudmu?" tanyanya sedikit penasaran. Selama dua bulan lebih Claudia tinggal di rumah ini, Malven memang sudah menebak, pasti ada yang sudah menceritakan apa yang sebenarnya terjadi pada para pengasuh sebelumnya.Claudia mendekat, "Seperti ini," ucapnya sebelum mengecup singkat bibir Malven. "Sudah waktunya makan siang, ayo bangunkan Raga!"Malven yang terkejut dengan tindakan Claudia, tidak sempat menahan wanita itu saat meninggalkan pangkuannya. "Ckk, godaan macam apa itu? Hanya seperti angin kecil yang lewat," ucapnya malas, tapi tetap membereskan berkas-berkas dan laptopnya yang tadi dibiarkan begitu saja."Aku harus menyimpan ini dulu, sampai bertemu di ruang makan." Malven pergi meninggalkan perpustakaan setelah merapikan semua berkas dan mematikan laptopnya."Baik, Pak." Claudia menjawab sopan, karena sekarang waktunya untuk kembali ke pekerjaannya sebagai pengasuh Raga.Claudia menatap Raga yang tidur sambil memelu
Malven segera menyadari perkataannya, dan saat menoleh ia melihat Dera sedang berdiri di sisinya. Wanita tua itu tampak sedang menaikkan alis, menatap Malven dengan mata menyelidik. "Apa kau akan melaporkan jawabanku tadi pada si tua bangka itu, Dera?" Suara Malven mengalun pelan, terdengar dingin dan wajah datarnya menambah kesan kejam. Para pelayan yang sebelumnya sudah mendekat untuk membereskan meja makan, perlahan mundur dan keluar dari ruang makan setelah merasakan suasana yang tidak menyenangkan. Dera menghela napas. "Tergantung dengan sikap Anda, Tuan. Aku tidak akan ikut campur selama itu hanya sebatas hubungan fisik yang saling menguntungkan, tapi tidak untuk menjadi nyonya di kediaman ini." Jawaban yang Dera berikan membuat Malven mendengus. Selain dikirimkan oleh kakeknya untuk melihat perkembangan Raga, Dera juga merangkap sebagai mata-mata yang memperhatikan tindak-tanduk Malven, agar pria itu tidak melakukan sesuatu yang dianggap mempermalukan nama keluarga. "
Sampai di villa yang menjadi tujuan, Claudia segera turun dari mobil dan bergegas ke arah bagasi, melewatkan kebiasaannya membukakan pintu untuk Raga. Arfa yang juga turun bersama Claudia, membukakan pintu untuk Malven lebih dulu sebelum ikut membantu Claudia mengeluarkan barang bawaan mereka. Wanita itu masih terdiam sejak saat Arfa membenarkan perkataan Malven tentang penunggu hutan. "Saya tidak berbohong," ucap Arfa pelan, tentu saja maksudnya adalah tentang kata-katanya di mobil tadi. "Itu terjadi tujuh tahun yang lalu, saat saya tersesat dan bertemu penunggu hutan." Claudia mengerjap di tempatnya, tapi tidak sempat mengatakan apa pun karena Arfa sudah pergi lebih dulu, membawakan koper milik Raga, juga tas Claudia, memasuki villa tanpa menoleh lagi."Hmm, sepertinya dia lumayan menyukaimu?" Claudia berjengit saat Malven berbisik di dekatnya. Pandangan wanita itu mengedar dan tidak menemukan keberadaan Raga. "Kalau kamu mencari Raga, dia sudah masuk duluan." Malven menjawab k
"Tenanglah, Claudi." Suara dan panggilan itu! Claudia menghela napas lega dan tidak lagi meronta saat menyadari jika orang yang mengagetkannya dengan memeluk tiba-tiba adalah Malven. "Wah, kamu sungguh berpikir akan ada yang berbuat jahat padamu di sini, di tempat di mana akulah penguasanya?" Malven menaikkan satu alisnya saat Claudia sudah tenang dan langsung beringsut menjauh saat ia melepas pelukannya. "Kenapa sih tidak bisa datang dengan cara yang normal?! Kenapa selalu mengagetkan orang lain?" Claudia mengerut kesal, jantungnya bertalu sangat kencang akibat ulah Malven. "Eh, tapi aku sudah mendekatimu dengan cara yang normal? Cara normalku mungkin agak berbeda dari orang lain." Melihat senyum jahil yang terukir di wajah Malven membuat Claudia semakin jengkel. Di tengah taman bunga yang sepi, jauh dari jangkauan orang lain, memangnya siapa yang tidak terkejut dan ketakutan saat tiba-tiba ada yang memeluknya?!"Tidak usah dekat-dekat!" ujar Claudia saat Malven melangkah lebi
Claudia tidak mengenal keluarga Aldara secara pribadi, tapi mereka termasuk salah satu keluarga yang memimpin bisnis di negara ini. Hanya saja Claudia tanpa sadar tertegun karena perusahaan induk milik Aldara adalah tempat Selena bekerja. Ia ingat saat sepupunya itu berteriak bahagia ketika lolos menjadi salah satu staff sekretaris di kantor pusat Aldara. Tidak hanya kenyataan jika Selena bekerja di perusahaan itu yang membuat Claudia jadi tidak nyaman, tapi ingatan tentang posisi wanita itu saat ini. Dalam beberapa tahun, Selena dengan cepat naik jabatan dan seingat Claudia, beberapa bulan lalu Selena resmi menjadi salah satu sekretaris Narendra Frandika Aldara, direktur utama sekaligus pemilik saham tertinggi di Aldara saat ini.‘Apa Selena akan berada di sana juga?’ Claudia membatin cemas, tidak bisa membayangkan harus bertemu Selena sekarang, saat ia sedang melakukan tugas sebagai seorang pengasuh dan tidak bisa melakukan sesuatu yang bisa menjelekkan nama Raga.“Dari tadi Kakak
Lupakan tentang Phantom yang sering muncul dan menghilang tiba-tiba, karena pemilik orang-orang aneh itu pun sama anehnya. Claudia baru selesai menidurkan Raga dan memasuki kamar yang disiapkan untuknya, sebuah ruangan yang berada di seberang kamar sang tuan muda, tapi saat Claudia masuk, seseorang yang katanya akan pulang larut malah terlihat santai membaca buku di ranjang."Pak Malven? Kenapa di sini?" Claudia sengaja memanggil dengan sebutan 'Pak', khawatir ada Arfa atau Phantom di sekitar. "Katanya ini kamar saya, tapi kenapa Bapak di sini?"Malven menurunkan bukunya, kacamata yang bertengger di hidung mancung pria itu membuat penampilannya semakin menawan."Tidak perlu akting jadi orang sopan begitu, tidak ada siapa pun di sini. Lalu, kenapa aku di sini? Tentu saja jawabannya karena ini kamar pribadiku," ucap Malven sembari memberi isyarat agar Claudia mendekat.Claudia mengernyit, kenapa dia diarahkan ke sini kalau memang ini kamar pribadi Malven? Jangan bilang bukan hanya Arfa,
Malven tidak bisa menahan tawanya, cara Claudia mengatakan hal memalukan seperti itu sungguh sangat menghibur."Aku semakin penasaran, apakah ada teknik tertentu yang bisa kamu perlihatkan untuk membuatku melupakan dunia?" Malven bertanya sembari mengelap sudut matanya yang berair. Claudia merengut. Sejak Malven malah menertawakannya padahal Claudia sudah berusaha menjadi wanita penggoda, mood-nya menurun drastis. Kenapa sih harus tertawa mengejek begitu? Claudia juga tahu jika kata-katanya terdengar memalukan!"Lho, mau kemana?!" Malven menahan Claudia yang berusaha meninggalkan pangkuannya. Wajah cemberut dengan kerutan di kening wanita itu membuat Malven kembali terkekeh pelan. Ini pertama kali selama hidupnya Malven tertawa lepas karena tingkah seseorang. "Tertawa saja terus, aku mau tidur!" Claudia menjawab ketus, semakin kesal karena Malven malah tertawa sambil menyembunyikan wajahnya di cekuk leher Claudia. "Ah, tidak, maafkan aku, hanya saja aku tidak bisa menahannya saat k
Saat Malven mengatakan sudah menghubungi desainer kenalannya, Claudia pikir yang akan dikirim adalah gaun untuknya, tapi kedatangan Tabinta siang ini membuat kening wanita itu mengernyit.Padahal baru lusa kemarin bertemu Tabinta, kenapa wanita itu mau datang jauh-jauh ke tempat ini hanya untuk sebuah gaun? Memangnya pemilik brand fashion sepertinya tidak sibuk mempersiapkan desain untuk musim selanjutnya? "Kamu bisa mengirim anak buahmu ke sini, Binta, kenapa malah datang sendiri?" Claudia tidak bisa menahan diri selain bertanya, menatap Tabinta yang kini sudah duduk di hadapannya.Tabinta tersenyum tipis, "Aku tidak bisa mempercayakan pekerjaan sepenting ini pada orang lain," ucapnya sebelum menyesap teh yang disiapkan, senyumnya mengembang saat rasa pahit dan manis menyentuh lidahnya."Pekerjaan penting?""Iya, membawakan gaun dan melihat sendiri apakah ada yang kurang, jadi aku bisa langsung memperbaikinya." Tabinta meletakkan cangkir tehnya sebelum memberi isyarat pada asistenny
"MOMMA!" Claudia yang mendengar teriakan itu langsung berlari, menghampiri Raga yang melambai sambil melompat di dekat gerbang arrival hall, bersama Sean dan Vall di sisinya. "Sayangnya Momma!" Raga langsung melompat ke pelukan Claudia saat wanita itu akhirnya tiba di depannya. "Aku kangen Momma! Kenapa lama banget perginya?" "Momma juga kangen Raga, kangeen banget! Maaf ya sudah meninggalkan kamu sendirian, nanti kita main ke banyak tempat berdua sebagai gantinya." "Digandeng saja," Malven segera menyela saat melihat Claudia hampir menggendong Raga. Pria yang ditinggalkan sejak Raga berteriak itu, ikut berjongkok di samping Claudia. "Momma sedang tidak bisa mengangkat sesuatu yang berat, jadi kalau kamu mau digendong, dengan Papa saja."Raga mengerjap, baru ingat jika saat ini ada bayi yang harus dijaga dalam perut Claudia. "Mau dituntun Momma aja, nggak mau sama Papa."Mendengar jawaban putranya, Malven tanpa sadar mengernyit. Sejak kehadiran Claudia, rasanya ia tidak lagi menj
Malven tidak langsung menjawab. Ia berjalan ke minibar, menuang segelas kecil anggur putih dan menyeduh teh mawar lalu menyerahkannya pada Claudia. Claudia menerima tehnya, lalu mereka duduk berdampingan di sofa. Tangan besar Malven melingkar di bahu Claudia. Ia sepenuhnya mengerti karena salah satu orang yang membuat ketakutan itu tercipta adalah dirinya sendiri. Malven meninggalkan Claudia tanpa kabar setelah mereka kembali dari Vietnam. “Sepertinya aku juga takut,” katanya pelan. “Tapi, bukan karena hal-hal indah akan pergi. Aku takut kalau aku tidak cukup untuk membuat kamu yang bersamaku merasa bahagia.” Claudia menoleh, menatap dalam pada Malven. Wajah Malven tampak jujur, terbuka, dan untuk sesaat, Claudia bisa melihat dirinya sendiri dalam keraguan laki-laki itu. Bukan sebagai dua orang yang sedang jatuh cinta di Paris, tapi sebagai dua manusia yang sama-sama sedang mencoba. “Aku tidak tahu masa depan akan jadi seperti apa,” Claudia berbisik, “Tapi hari ini ... kamu cukup.
Setelah sarapan yang perlahan berubah menjadi percakapan panjang di bawah matahari pagi, Claudia dan Malven akhirnya masuk kembali ke dalam kamar. Cahaya terang telah memenuhi seluruh ruang, menari-nari di dinding berlapis wallpaper emas lembut, membangkitkan energi baru dalam suasana yang semula tenang.Claudia berdiri di depan cermin besar bergaya Rococo, jari-jarinya sibuk menyisir rambut yang masih lembap. Gaun yang ia pilih hari itu berwarna krem pucat, ringan dan mengalir lembut hingga di bawah lutut. Di balik kesederhanaannya, gaun itu memeluk tubuhnya dengan cara yang manis. Sementara Malven yang baru selesai mencukur dan mengenakan kemeja linen putih yang digulung santai di lengan, berdiri tak jauh dari sana, mengancingkan jam tangannya sambil sesekali mencuri pandang ke arah Claudia."Kenapa melihatku terus?"“Kamu terlihat seperti sesuatu yang tidak bisa ditulis dalam puisi. Terlalu indah,” gumam Malven pelan.Claudia menoleh, menahan senyum. “Itu gombal atau jujur?”Malven
Matahari baru saja menyingkap tirai langit Paris, menyebarkan cahaya keemasan yang hangat ke seluruh penjuru kota ketika Claudia benar-benar terbangun. Dari lantai paling atas hotel paling eksklusif di jantung Paris, pemandangan kota terlihat seperti lukisan hidup--Menara Eiffel berdiri megah di kejauhan, samar tertutup kabut tipis pagi, sementara Sungai Seine mengalir tenang, memantulkan kilau cahaya pagi yang lembut.Kamar paling mewah di hotel ini adalah surga keanggunan yang dipilih Malven untuk tempat menginap mereka selama seminggu ke depan. Langit-langit tinggi dihiasi ukiran klasik berlapis emas, dengan lampu gantung kristal yang masih berpendar lembut setelah malam berlalu. Lantai marmer dingin menyatu anggun dengan permadani sutra Persia yang tebal.Jendela besar setinggi langit-langit terbuka lebar, membiarkan angin pagi Paris masuk bersama aroma croissant segar dari boulangerie di bawah. Tirai tipis warna gading melambai pelan diterpa angin, menyempurnakan ketenangan pagi.
“Gugup?” Pertanyaan itu membuat Claudia yang sedang menenangkan diri sambil memegang erat tangan Raga, mendongak saat mendengar suara Aira. Temannya itu baru kembali dari mengambil bunga tangan yang akan Claudia pegang saat menuju altar.“Tentu saja, ini pertama kali aku menikah.”Jawaban Claudia yang diucap dengan raut wajah seperti menahan buang air itu membuat Aira tertawa. “Sudah lama sejak aku melihatmu begini. Terakhir kali saat sidang tesismu, kan?” Aira mendekat, memberikan bunga tangan yang dirangkai dengan keanggunan memikat. Claudia menerimanya dengan tangan gemetar, menarik napas panjang saat melihat betapa indah bunga yang diterimanya. Bunga itu benar-benar dirangkai dengan anggun. Di bagian tengah, mawar putih bermekaran sempurna, dikelilingi oleh baby’s breath yang halus seperti embun pagi. Beberapa tangkai peony merah muda pucat menyisipkan nuansa manis dan romantis, sementara sentuhan eucalyptus memberi kesan menyegarkan. Pita satin warna champagne membalut batang-
Claudia pernah melewati momen saat seseorang melamarnya, tapi perasaan terharu yang sulit dijelaskan baru sekarang ia rasakan. Air matanya mengalir begitu saja, kata-katanya seolah tersendat dan tidak bisa diungkapkan. Lalu, entah sejak kapan beberapa awak pesawat sudah berdiri di dekat mereka, masing-masing membawa sebuah kertas karton warna-warni yang sudah dihias dengan lukisan bunga di sepanjang sisi. Tapi, yang membuat Claudia tertawa sambil menitikkan air mata adalah tulisan yang tertera di kertas yang mereka bawa. TERIMA LAMARANNYA ATAU PESAWAT INI TIDAK AKAN PERNAH MENDARAT "Jadi, ini sebenarnya lamaran atau ancaman?" Claudia menghapus air matanya, senyumnya mengembang lebar saat ia menyerahkan tangan ke arah Malven. "Baiklah, demi keselamatan kita bersama, aku akan menerima lamaranmu." Malven tersenyum semringah, memasangkan cincin di jari manis Claudia dan mengecupnya lembut. "Kamu tidak bisa berbalik ke belakang atau berlari mundur, Claudi, karena aku tidak akan pernah m
Malven tidak langsung menjawab, hanya terus menggenggam tangan Claudia dan berjalan menuju pemeriksaan terakhir."Kenapa diam saja? Aku benar, kan?! Padahal sudah kubilang kalau akan ada foto prewedding, tapi kamu malah mengirim Arfa? Kamu mau Arfa yang memakai jas dan mengambil foto denganku? Kalau begitu sekalian saja nama yang tertulis di undangan adalah nama Arfa!"Selama Claudia mengomel, tanpa disadari mereka sudah memasuki pesawat dan Malven menuntun agar Claudia duduk lebih dulu.Wanita itu masih merengut, duduk di dekat jendela dan membiarkan Malven memasangkan seat belt untuknya. Tepat setelah Malven memasang seat belt untuk dirinya sendiri, terdengar pengumuman jika pesawat akan segera lepas landas. Claudia menoleh ke sekitar dan mengernyit saat tidak melihat penumpang lain. Ia juga baru menyadari jika mereka tidak berada di first class, melainkan business class. Tidak ada pramugari yang menyambut atau memberi arahan, semuanya tampak kosong seolah di dalam pesawat ini hany
"Apa kita akan kembali ke perusahaan, Nona?"Claudia mendongak dan menatap Shouki yang sedang menyetir di depan, menghela napas pelan sebelum mengangguk. "Kurasa ada baiknya untuk menyelesaikan pekerjaan saja."Shouki tidak langsung mengatakan sesuatu, membiarkan suasana hening menyelimuti sebelum menarik napas panjang. "Nona--maksudku Claudia, bukankah sebaiknya langsung datangi Tuan Malven saja? Jangan memikirkan sesuatu terlalu rumit, sebaiknya temui dan katakan jika dia telah membuatmu kesal karena tidak menepati janji."Claudia tertunduk, menatap kembali pada ponsel yang layarnya menyala, panggilan masuk dari Malven. Tadi Claudia langsung mematikan telepon setelah mengatakan jika ia sedang sangat sibuk, khawatir jika lebih lama mendengar suara Malven, amarahnya akan meledak.Akhir-akhir ini Claudia menyadari jika emosinya agak sulit dikendalikan. Detik-detik menuju pernikahan entah kenapa membuatnya ketakutan dan panik, padahal Claudia sendiri yang ingin menikah dan yakin jika l
Pernikahan Claudia dan Malven akhirnya disetujui oleh Regan, padahal pria itu belum tahu tentang kehamilan Claudia. Untungnya setelah Claudia mengatakan tentang kehamilan, Regan tidak menarik kembali restunya dan hanya menghela napas.Adhamar dan Devan bersikeras ingin mengurus persiapan pernikahan, meminta agar Claudia dan Malven menyiapkan diri juga fokus menyelesaikan pekerjaan sebelum mengambil cuti bulan madu. Pertemuan antar kedua keluarga langsung dilaksanakan dua hari setelah Regan memberi restu, dan begitu saja, tanggal pernikahan Claudia ditetapkan.Meski semua hal akan diurus oleh para kakek mereka, Claudia memutuskan untuk tetap memilih gaun pengantin dan desain undangan sendiri, termasuk foto prewedding. Sayangnya, Tabinta tidak mendesain gaun pengantin, jadi Claudia hanya memesan perhiasan darinya, untungnya ada produk baru yang belum dikeluarkan ke public hingga Claudia bisa memilikinya.Wanita itu juga menghubungi brand fashion D&C dan bersyukur saat ada beberapa gaun