Jangan lupa tinggalkan komen dan vote ya teman-teman
"Gila," ungkap seorang gadis yang kini telah berada di kamarnya dengan wajah tampak dihiasi dengan gurat kemerahan karena salah tingkah. Dia masih berdiri tepat di belakang pintu kamar dengan jantung yang terasa berdebar semakin kencang. Ingatan beberapa menit lalu masih berputar-putar di dalam kepalanya, rasanya seperti mimpi dan Nadia tak bisa mempercayainya sama sekali.Perlahan gadis itu mencubit pipinya dan segera mengeluh, "Aw! Sakit ... berarti ini bukan mimpi," gumamnya.Senyuman kini mulai menghiasi wajahnya dan gadis itu berjalan menuju ke ranjang. Dia lantas duduk tepat di atas sisi ranjangnya dengan pandangan yang masih kosong. "Kenapa dia selalu bisa bikin aku bingung kayak gini, sih?" gumamnya lagi sambil menepuk-nepuk pipinya agar kembali sadar ke kenyataan. "Dasar nyebelin," desisnya tanpa bisa menyembunyikan senyumnya yang kini semakin sumringah.Dia segera merebahkan tubuhnya di atas kasur, menatap langit-langit kamar. Tangannya diletakkan tepat di depan dada dan Na
"Hati Nadia ikut sakit kalau melihat Ibu menderita."Ratna yang mendengar itu tak bisa lagi membendung tangisnya karena bahagia. "Beruntungnya Ibu memiliki anak seperti kamu, Nadia."Nadia yang mendengar itu justru menggeleng-gelengkan kepalanya perlahan dan berkata, "Justru Nadia yang merasa bersyukur karena jadi putri Ibu, coba kalau jadi anak orang lain? Belum tentu sekarang jadi sekuat ini."Nadia sangat sadar bahwa selama ini dia mendapat pembelajaran yang baik itu berharga dari Ratna. Wanita paruh baya itu tak pernah lupa untuk mengingatkannya supaya tetap bersyukur dan berada di jalan yang benar meskipun harus menjalani kehidupan yang sulit. Gadis itu pun kembali menambahkan, "Kalau Ibu dulu nggak ajarin Nadia supaya jadi anak yang kuat, Nadia sekarang udah gampang menyerah."Ratna merasa sangat bangga karena bisa membesarkan seorang anak seperti Nadia. Wanita paruh baya itu perlahan mulai menyekat sudut matanya yang berair sambil berkata, "Kamu adalah anugerah yang paling indah
"Sean ..." Seorang wanita paruh baya yang masih memejamkan matanya itu tiba-tiba saja mengigau. Keningnya tampak berkerut dan detik berikutnya dia langsung membuka matanya dengan nafas yang memburu naik turun. "Ha ... Ha ... Sean?"Ketika dia telah bangun sepenuhnya, wanita paruh baya itu sadar bahwa cucunya saat ini masih belum ditemukan.Dengan keadaan mata yang sebab karena semalaman menangis sampai tertidur, Marta mengusap wajahnya dengan kasar."Sean, cucuku ... kamu ada dimana?"Di saat wanita paruh baya itu tengah terpukul karena dia berpikir kejadian kemarin malam hanyalah sebuah mimpi belaka, saat ini berada dalam keadaan yang begitu terpuruk. Namun tiba-tiba saja terdengar suara ketukan dari pintu.Dengan cepat wanita paruh baya itu menoleh sambil mengerutkan keningnya. Namun tak berselang lama terdengar suara seorang gadis dari luar sana."Tante, ini Nadia. Apa Nadia boleh masuk?"Saat Martha tahu kalau seseorang yang berada di depan pintu kamarnya itu adalah calon menantu
"Daniel, kamu mau kemana?" Hendrawan yang baru saja turun dari lantai atas itu tampak mengerutkan keningnya ketika melihat putranya itu berniat untuk keluar rumah.Dengan cepat pria itu pun langsung menoleh dan menatap lekat ayahnya. Namun pandangannya juga beralih menatap ibunya dan Nadia.Daniel pun menjawab pertanyaan ayahnya dengan jujur. Saat ini tujuannya keluar rumah tentu saja untuk memastikan informasi yang baru saja didapatkan oleh asisten pribadinya karena dia tak ingin menunda waktu sedikitpun sebab lokasi si penculik bisa saja berubah jika mencurigai sesuatu."Titik lokasi terakhir penculik sudah ditemukan."Mata semua orang di ruangan Itu tampak membulat dengan sempurna ketika mendengar penuturan Daniel.Martha yang awalnya merasa lemas itupun dengan cepat langsung berjalan turun dibantu dengan Nadia dan bertanya secara langsung pada putranya, "Apa kamu serius? Dimana? Apa Sean yang terlihat di sana?""Belum ada tanda-tanda mengenai Sean." Pria itu menghela napas perlahan
"Apa kamu sudah menemukannya?" Daniel yang baru saja turun dari mobil itu segera melayangkan pertanyaan pada asistennya.Dion yang sejak tadi menunggu hanya bisa tersenyum pahit karena dia tak menemukan apapun dan menggelengkan kepalanya perlahan."Maaf, Bos. Sayangnya tidak ada informasi apapun karena ternyata pelayan itu sudah pergi sekitar satu minggu yang lalu."Daniel yang mendengar itu seketika tampak mengerutkan keningnya karena dia ingat dengan jelas bahwa sekitar satu minggu yang lalu itulah dia memecat si pelayan penghianat.Jika terus mengingatnya dan menyusunnya secara runtut maka kejadian ini memang benar-benar sudah direncanakan dari awal.Hanya dengan memikirkannya saja telah berhasil membuat amarah pria itu kembali membara.Pandangan Daniel kembali mengarah tepat pada sebuah rumah yang kini tampak kosong dan dikelilingi oleh beberapa bodyguard-nya."Cari informasi lebih banyak lagi," perintahnya pada sang asisten dan langsung ditanggapi dengan anggukan patuh.Daniel se
"Kamu yang membuatku kecewa terlebih dahulu, Daniel. Apa kamu lupa betapa frustasinya aku ketika tubuhku ini hancur gara-gara melahirkan Sean?"Sembari menatap lekat mantan suaminya itu, Monica menyimpan harapan yang begitu besar karena dia tahu dengan jelas pria itu tak akan bisa berkutik lagi jika diingatkan kembali tentang masa lalu. Di dalam hatinya dia pun membatin, 'Aku yakin dia nggak akan bisa mengelaknya,' pikirnya.Namun Daniel yang mendengar itu semua justru mengerutkan keningnya. Dia memang tak melupakannya sama sekali, namun dia telah memberikan semua yang diinginkan wanita itu sebagai tanda kompensasi.Bahkan sampai beberapa saat yang lalu, Daniel tidak membahasnya sama sekali karena dia telah melupakannya.Tapi sekarang rasanya sangat berbeda karena Monica sudah kelewat batas dan wanita itu justru memanfaatkan kenangan masa lalu."Kamu ingat itu, bukan?""Ya," jawab Daniel. Pria itu mengangkat wajahnya dan menatap lekat mantan istrinya dengan ekspresi datar sambil berkat
"Kembalikan Sean? Jangan mimpi!" teriak Monica, napasnya memburu naik turun dengan raut wajahnya yang semakin memerah. Daniel yang mendengarnya hanya memasang wajah datar. Namun tatapan pria itu terlihat semakin tajam karena bicara secara baik-baik dengan mantan istrinya tak membuahkan hasil sedikitpun."Kalau kamu nggak mau menuruti permintaanku, jangan harap bisa memiliki Sean!" Dengan amarah yang masih meluap-luap, wanita itu kembali melontarkan ancaman sambil mengarahkan jari telunjuknya tepat mengarah ke wajah Daniel. "Tinggalkan gadis kampungan itu dan kembalilah bersamaku. Dengan itu, aku akan memberikan Sean."Mata Daniel menjadi keruh. Andai saja seseorang yang sedang berbicara dengannya saat ini bukanlah wanita, dia pasti sudah menghajarnya.Namun meskipun begitu, Daniel tak kehilangan akalnya sama sekali. Dia tahu kalau sebenarnya wanita yang tengah berhadapan dengan dirinya itu saat ini tengah berada diantara tekanan. Setelah menghela nafas perlahan untuk menenangkan dirin
"Dasar anak tak berguna!" Dengan nafas yang memburu naik turun karena marah, Bagaskoro kembali mengangkat tangannya dan berniat untuk melayangkan tamparan lagi. Bahkan Monica saat ini tampak memejamkan matanya sambil memundurkan tubuhnya sedikit dan mencoba untuk melindungi wajahnya dengan kedua tangannya. Namun setelah beberapa detik dia mencoba untuk memejamkan mata, tak ada satupun hal yang mendarat di wajahnya.Perlahan wanita itu mulai membuka matanya dan menyadari bahwa tangan ayahnya saat ini dicekal oleh Daniel. Monica yang melihat itu merasakan sedikit harapan dan berpikir bahwa mantan suaminya masih peduli padanya. 'Daniel ... aku tahu kalau kamu nggak mungkin meninggalkanku sendirian,' batinnya.Di saat dia tengah memikirkan itu dengan harapan yang semakin meluap di hatinya, Daniel yang sedang memegang erat tangan Bagaskoro itu seketika langsung menghempaskannya dan berkata, "Anda sudah mendengarnya sendiri, bukan?"Pria paruh baya itu memicingkan matanya dengan tajam, nam
"Bagaimana perasaan kamu? Apa sudah lega?" Daniel bertanya pada Nadia yang saat ini memakai gaun berwarna marron, yang membuat dia nampak elegan.Nadia menghela nafas panjang dan kemudian menarik kedua sudut bibirnya. "Tentu saja, rasanya plong banget!" ucapnya dengan mata berbinar.Daniel tersenyum lega juga, karena bahagia Nadia tentu bahagianya juga. "Aku nggak mau lagi keras kepala deh! Yang kamu bilang, memang bener banget!" Nadia kecuali berucap, dia menyesalkan kejadian di kampus. Jika saja dulu dia mengikuti perkataan Daniel, tentu kejadian memalukan dan menyesakkan di kampus itu tak akan pernah terjadi. Keras kepala Nadia ternyata berakhir dengan derita saat ini. Daniel mengacak sedikit rambut Nadia karena merasa sangat gemas saat itu. Tak ayal hal itu langsung membantu Nadia protes. "Duh jail banget sih!? Kalau sampai riasan ini rusak, kamu harus tanggung jawab!" seru Nadia kesal. Daniel malah terkekeh dan malah memencet hidung Nadia. "Salah sendiri menggemaskan! Nanti m
"Kak, aku ingin bicara sama kamu. Penting."Pagi itu, Nadia menemui Alvin ketika kelas belum dimulai.Alvin menarik sudut bibirnya, senyum manis terpancar disana. "Tumben. Ok! Mau kapan?"Dari raut wajahnya nampak jika saat ini Alvin merasa sangat senang.Pemuda itu pun sebenarnya bingung tetapi juga bercampur dengan rasa bahagia. Selama ini Nadia selalu saja menghindar darinya, tetapi kini malah sang gadis pujaan hati itu mengajaknya bicara. Ini bukan mimpi kan?"Sekarang! Ayo!" Nadia yang masih nampak kecewa dengan wajah seriusnya pun langsung berjalan tanpa memperdulikan banyak mata yang sampai saat ini masih nampak menatap sinis padanya. Tanpa banyak tanya lagi Alvin pun mengekori dari belakang."Lo mau ngajak gue kemana sih?" tanya Alvin ketika Nadia malah menuju ke area parkiran. "Kenapa ngobrolnya nggak di tempat yang privat aja?"Nadia mendengus kasar dan sesaat menoleh sebentar ke belakang. " Jangan banyak tanya! Bentar lagi sampai!" Kemudian dia pun meneruskan langkahnya.S
"Daniel! Mengapa kamu merahasiakan semua ini dari mama dan papa?" Ketika Daniel baru saja sampai di rumah, Martha dan Hendrawan pun langsung menghampiri putranya itu. Mengejar dengan banyak pertanyaan yang intinya mereka merasa tak suka jika Daniel terus menyembunyikan apa pun tentang Nadia."Rahasia ap---" Daniel mencoba mengelak karena memang sebenarnya dia belum mengerti, beberapa hal yang terjadi di kantor membuatnya harus sedikit melupakan tentang yang terjadi di rumah.Martha langsung memotong ucapan anaknya itu. " Nadia di teror dan difitnah seperti itu, tapi kenapa sepertinya kamu malah tenang tenang saja?" Wanita tua itu tak dapat menyembunyikan raut wajahnya yang khawatir. Nadia menghampiri ketiga orang yang masih berdiri di ambang pintu itu, ada rasa tak enak karena sang suami menjadi bahan kemarahan orang tuanya karena dia."Maaf, tadi aku memang sudah menceritakan semuanya pada Mama," tukas Nadia yang seperti biasa malah merasa bersalah.Daniel menarik kedua sudut bibir
"Apa aku sekarang juga harus mengatakan semuanya ya?" Nadia makin bimbang saat ini. Dua pilihan yang nyatanya membuat dia merasa sangat dilema. Pilihan A akan membuat semua orang di kampus mengetahui jati dirinya dan itu berarti akan membuat semua orang mengetahui jika dia bukan dari kalangan biasa. Tetapi dengan begitu justru akan membuat dia lebih tenang menjalani perkuliahan. Sedangkan pilihan B, dengan diam dan membiarkan semua orang menganggapnya misterius, justru mungkin akan membuat berita keliru itu semakin menjadi-jadi saja. Sempat terbersit dalam pikiran Nadia untuk tak lagi melanjutkan kuliah dan fokus pada keluarganya. Tetapi itu sama saja artinya dengan dia menghapus mimpi dan cita-cita yang dulu pernah dia pupuk semenjak kecil."Kenapa kamu terlihat sedih, Sayang?"Ketika Nadia sendang melamun seperti itu, terdengar suara lembut Martha. Sang mertua yang baik hati itu ternyata kini sudah berada tepat di sampingnya."Ah Mama." Dengan sigap Nadia pun langsung menyalami
Putri mengepalkan tangannya dengan arah ketika merasakan sesuatu mulai terbakar di hatinya. Dia tak terima sama sekali setelah mendengar perkataan Alvin dan itu sudah berhasil membuat hatinya sangat sakit."Kak Alvin kenapa masih belain dia? Nadia itu …" Putri merasa tak kuasa untuk melanjutkan ucapannya, dia hanya bisa menahan diri dan memalingkan wajahnya.Namun Alvin tahu dengan jelas apa yang ingin dikatakan oleh Putri dan dia dengan cepat pun langsung menegaskan segalanya sambil meraih tangan kanan Nadia. "Nggak peduli gimana masa lalunya, gue bakalan tetap suka sama dia dan perasaan ini nggak bakalan berubah," tuturnya.Nadia terlihat sedikit kaget ketika mendapatkan perlakuan itu dan tentu saja dia sekarang berusaha untuk melepaskan diri dari cengkraman Alvin.Perkataan Alvin barusan terlalu berlebihan dan mengisyaratkan bahwa dia akan melakukan apapun demi bisa mendapatkannya.Nadia merasa kalau ini semua tak benar dan dia harus kembali meluruskannya. Tapi yang paling penting
"Jangan bawa-bawa namaku untuk memvalidasi akal busukmu!"Putri dan Alvin seketika langsung menoleh, mereka berdua mendapati sosok Nadia. Nadia berjalan mendekat dengan langkah yang dipenuhi dengan amarah. Sudah cukup rasanya karena sejak tadi dia memang telah mendengarkan perkataan Putri dan itu sudah berhasil membuatnya merasa sangat kecewa karena sempat menganggapnya sebagai teman."Aku pikir kamu nggak pernah memiliki niatan buruk untuk menghancurkanku sampai seperti ini, Put. Aku pikir kamu benar-benar menganggapku sebagai teman. Tapi apa?"Putri terlihat kaget, tapi dia dengan cepat langsung mengelaknya. "Ngomong apaan sih?! Jangan–""Aku sudah punya buktinya dan aku bahkan juga tahu kalau kamu membayar seseorang untuk mencelakaiku, kan?" Bersamaan dengan perkataannya itu, Nadia segera memberikan bukti-bukti yang akurat dan menambahkan, "Aku nggak nyangka kalau kamu bisa bertindak seperti ini untuk menghancurkanku. Apa aku pernah melakukan kesalahan padamu?"Hubungan keduanya da
"Bawa orangnya ke hadapan Bos!" Dion segera memerintahkan setelah dia berhasil menangkap pelaku yang sedari awal memang dicurigai telah meneror Nadia.Dua pasang bodyguard yang memang sudah berhasil menangkap pelakunya itu pun segera mematuhi perintah dari Dion, mendekat ke sebuah kereta versi berwarna hitam pekat.Nadia dan Daniel sedari tadi sudah menunggu tepat di dalam mobil. Jantung Nadia terasa berdetak semakin kencang karena memang dia sangat ingin tahu pelaku yang telah tega membuatnya jadi dibenci banyak orang.Suara ketukan di kaca mobil telah menyadarkan Daniel dan Nadia. Daniel melirik ke arah sang istri sambil meremas tangannya perlahan karena dia tahu dengan jelas bagaimana perasaan Nadia. Dia mencoba untuk tetap kuat dan juga tegar sambil tersenyum tipis, "Semuanya pasti baik-baik aja, Nadia. Keinginan kamu terkabul dan kita berhasil menangkap pelakunya. Kamu sudah siap untuk melihatnya?""Iya," jawab Nadia dengan singkat. Pandangan matanya itu terlihat semakin tajam dan
"Itu orangnya! Bener kan dia? Wah gila … nggak nyangka banget kalau dia cewek kayak gitu," tutur salah satu mahasiswa sambil menatap Nadia dan memandangnya dengan tajam.Nadia yang kebetulan sedang melangkahkan kakinya setelah dia sampai di kampus itu pun tampak mengerutkan kening karena sadar saat ini menjadi bahan omongan.Ketika Nadia sedang merasa bingung seperti itu tiba-tiba saja seseorang menarik tangannya, membawanya ke tempat yang sedikit sepi."Kak Alvin? Lepasin!""Gue nggak bakalan lepasin lo di sini sebelum kita bisa bicara berdua," tolaknya. Alvin lantas mengedarkan pandangannya ke sekeliling dan sadar bahwa sekarang tak ada terlalu banyak mahasiswa yang sedang memperhatikan. Dia langsung berbalik untuk menatap Nadia dengan lekat dan berkata, "Lo … ngapain lo malah datang ke kampus?""Apa?" Nadia merasa bingung dengan pertanyaan yang baru dilontarkan oleh Alvin dan sontak saja dia mencoba untuk menepis tangan pria itu karena tak suka jika disentuh seenaknya. "Kenapa pula
"Cukup!" Putri langsung memotong perkataan Nadia. Napasnya memburu naik turun bersamaan dengan emosi yang semakin menggebu-gebu. "Padahal aku baru aja maafin kamu, tapi sekarang malah kayak gini lagi. Kalau kamu emang nggak percaya, mendingan kita nggak usah temenan lagi aja."Sesuatu terasa sakit di dalam hati Nadia karena memang selama ini temannya hanyalah Putri.Tapi dia tak mencegahnya sama sekali dan melepaskan cengkramannya dari pergelangan tangan Putri. Selalu meremas tangan kanannya sendiri dan menekan perasaannya sampai mengangkat kepalanya setelah sudah siap, "Maaf, aku harusnya emang nggak merasa curiga kayak gini. Tapi aku juga nggak akan memaksa kamu untuk tetap berteman denganku.""Oh?" Putri terlihat sedikit terkejut. Tapi dia kini tertawa sinis. "Harusnya dari awal aku dengerin perkataan teman-teman yang lain aja. Kamu emang nggak sepantasnya punya teman apalagi ada di kampus ini," tambahnya.Nadia seperti mendengar suara hatinya retak. Kenapa Putri sampai mengatakan h