"Hati Nadia ikut sakit kalau melihat Ibu menderita."Ratna yang mendengar itu tak bisa lagi membendung tangisnya karena bahagia. "Beruntungnya Ibu memiliki anak seperti kamu, Nadia."Nadia yang mendengar itu justru menggeleng-gelengkan kepalanya perlahan dan berkata, "Justru Nadia yang merasa bersyukur karena jadi putri Ibu, coba kalau jadi anak orang lain? Belum tentu sekarang jadi sekuat ini."Nadia sangat sadar bahwa selama ini dia mendapat pembelajaran yang baik itu berharga dari Ratna. Wanita paruh baya itu tak pernah lupa untuk mengingatkannya supaya tetap bersyukur dan berada di jalan yang benar meskipun harus menjalani kehidupan yang sulit. Gadis itu pun kembali menambahkan, "Kalau Ibu dulu nggak ajarin Nadia supaya jadi anak yang kuat, Nadia sekarang udah gampang menyerah."Ratna merasa sangat bangga karena bisa membesarkan seorang anak seperti Nadia. Wanita paruh baya itu perlahan mulai menyekat sudut matanya yang berair sambil berkata, "Kamu adalah anugerah yang paling indah
"Sean ..." Seorang wanita paruh baya yang masih memejamkan matanya itu tiba-tiba saja mengigau. Keningnya tampak berkerut dan detik berikutnya dia langsung membuka matanya dengan nafas yang memburu naik turun. "Ha ... Ha ... Sean?"Ketika dia telah bangun sepenuhnya, wanita paruh baya itu sadar bahwa cucunya saat ini masih belum ditemukan.Dengan keadaan mata yang sebab karena semalaman menangis sampai tertidur, Marta mengusap wajahnya dengan kasar."Sean, cucuku ... kamu ada dimana?"Di saat wanita paruh baya itu tengah terpukul karena dia berpikir kejadian kemarin malam hanyalah sebuah mimpi belaka, saat ini berada dalam keadaan yang begitu terpuruk. Namun tiba-tiba saja terdengar suara ketukan dari pintu.Dengan cepat wanita paruh baya itu menoleh sambil mengerutkan keningnya. Namun tak berselang lama terdengar suara seorang gadis dari luar sana."Tante, ini Nadia. Apa Nadia boleh masuk?"Saat Martha tahu kalau seseorang yang berada di depan pintu kamarnya itu adalah calon menantu
"Daniel, kamu mau kemana?" Hendrawan yang baru saja turun dari lantai atas itu tampak mengerutkan keningnya ketika melihat putranya itu berniat untuk keluar rumah.Dengan cepat pria itu pun langsung menoleh dan menatap lekat ayahnya. Namun pandangannya juga beralih menatap ibunya dan Nadia.Daniel pun menjawab pertanyaan ayahnya dengan jujur. Saat ini tujuannya keluar rumah tentu saja untuk memastikan informasi yang baru saja didapatkan oleh asisten pribadinya karena dia tak ingin menunda waktu sedikitpun sebab lokasi si penculik bisa saja berubah jika mencurigai sesuatu."Titik lokasi terakhir penculik sudah ditemukan."Mata semua orang di ruangan Itu tampak membulat dengan sempurna ketika mendengar penuturan Daniel.Martha yang awalnya merasa lemas itupun dengan cepat langsung berjalan turun dibantu dengan Nadia dan bertanya secara langsung pada putranya, "Apa kamu serius? Dimana? Apa Sean yang terlihat di sana?""Belum ada tanda-tanda mengenai Sean." Pria itu menghela napas perlahan
"Apa kamu sudah menemukannya?" Daniel yang baru saja turun dari mobil itu segera melayangkan pertanyaan pada asistennya.Dion yang sejak tadi menunggu hanya bisa tersenyum pahit karena dia tak menemukan apapun dan menggelengkan kepalanya perlahan."Maaf, Bos. Sayangnya tidak ada informasi apapun karena ternyata pelayan itu sudah pergi sekitar satu minggu yang lalu."Daniel yang mendengar itu seketika tampak mengerutkan keningnya karena dia ingat dengan jelas bahwa sekitar satu minggu yang lalu itulah dia memecat si pelayan penghianat.Jika terus mengingatnya dan menyusunnya secara runtut maka kejadian ini memang benar-benar sudah direncanakan dari awal.Hanya dengan memikirkannya saja telah berhasil membuat amarah pria itu kembali membara.Pandangan Daniel kembali mengarah tepat pada sebuah rumah yang kini tampak kosong dan dikelilingi oleh beberapa bodyguard-nya."Cari informasi lebih banyak lagi," perintahnya pada sang asisten dan langsung ditanggapi dengan anggukan patuh.Daniel se
"Kamu yang membuatku kecewa terlebih dahulu, Daniel. Apa kamu lupa betapa frustasinya aku ketika tubuhku ini hancur gara-gara melahirkan Sean?"Sembari menatap lekat mantan suaminya itu, Monica menyimpan harapan yang begitu besar karena dia tahu dengan jelas pria itu tak akan bisa berkutik lagi jika diingatkan kembali tentang masa lalu. Di dalam hatinya dia pun membatin, 'Aku yakin dia nggak akan bisa mengelaknya,' pikirnya.Namun Daniel yang mendengar itu semua justru mengerutkan keningnya. Dia memang tak melupakannya sama sekali, namun dia telah memberikan semua yang diinginkan wanita itu sebagai tanda kompensasi.Bahkan sampai beberapa saat yang lalu, Daniel tidak membahasnya sama sekali karena dia telah melupakannya.Tapi sekarang rasanya sangat berbeda karena Monica sudah kelewat batas dan wanita itu justru memanfaatkan kenangan masa lalu."Kamu ingat itu, bukan?""Ya," jawab Daniel. Pria itu mengangkat wajahnya dan menatap lekat mantan istrinya dengan ekspresi datar sambil berkat
"Kembalikan Sean? Jangan mimpi!" teriak Monica, napasnya memburu naik turun dengan raut wajahnya yang semakin memerah. Daniel yang mendengarnya hanya memasang wajah datar. Namun tatapan pria itu terlihat semakin tajam karena bicara secara baik-baik dengan mantan istrinya tak membuahkan hasil sedikitpun."Kalau kamu nggak mau menuruti permintaanku, jangan harap bisa memiliki Sean!" Dengan amarah yang masih meluap-luap, wanita itu kembali melontarkan ancaman sambil mengarahkan jari telunjuknya tepat mengarah ke wajah Daniel. "Tinggalkan gadis kampungan itu dan kembalilah bersamaku. Dengan itu, aku akan memberikan Sean."Mata Daniel menjadi keruh. Andai saja seseorang yang sedang berbicara dengannya saat ini bukanlah wanita, dia pasti sudah menghajarnya.Namun meskipun begitu, Daniel tak kehilangan akalnya sama sekali. Dia tahu kalau sebenarnya wanita yang tengah berhadapan dengan dirinya itu saat ini tengah berada diantara tekanan. Setelah menghela nafas perlahan untuk menenangkan dirin
"Dasar anak tak berguna!" Dengan nafas yang memburu naik turun karena marah, Bagaskoro kembali mengangkat tangannya dan berniat untuk melayangkan tamparan lagi. Bahkan Monica saat ini tampak memejamkan matanya sambil memundurkan tubuhnya sedikit dan mencoba untuk melindungi wajahnya dengan kedua tangannya. Namun setelah beberapa detik dia mencoba untuk memejamkan mata, tak ada satupun hal yang mendarat di wajahnya.Perlahan wanita itu mulai membuka matanya dan menyadari bahwa tangan ayahnya saat ini dicekal oleh Daniel. Monica yang melihat itu merasakan sedikit harapan dan berpikir bahwa mantan suaminya masih peduli padanya. 'Daniel ... aku tahu kalau kamu nggak mungkin meninggalkanku sendirian,' batinnya.Di saat dia tengah memikirkan itu dengan harapan yang semakin meluap di hatinya, Daniel yang sedang memegang erat tangan Bagaskoro itu seketika langsung menghempaskannya dan berkata, "Anda sudah mendengarnya sendiri, bukan?"Pria paruh baya itu memicingkan matanya dengan tajam, nam
"Diam!" bentak pria paruh banyak itu lagi. Dia memelototkan matanya sambil menambahkan, "Bukan Daniel yang telah membuat kesalahan, tapi kamu!"Tak ingin membuat perusahannya menjadi hancur karena ulah anaknya yang bodoh dan selalu bertingkah tanpa berpikir lebih dulu, Bagaskoro segera mengalihkan pandangannya pada Daniel. Wajah pria paruh baya itu tampak masam dan dengan cepat bicara, "Monica memang salah. Tapi, apa kamu lupa, Daniel?"Daniel mengerutkan keningnya, seolah bertanya kesalahan yang telah dilakukannya.Bagaskoro yang melihat itu segera menjelaskan, "Kamu pernah berjanji untuk tak menikah lagi, bukan?" Pria paruh baya itu kembali mengingatkan janji yang sempat dikatakan oleh mantan menantunya itu. Sebelum Monica dan Daniel bercerai, mereka berdua hanya memutuskan untuk hidup masing-masing dan tak akan menjalin hubungan lagi demi kebaikan Sean.Itulah sebabnya dia merasa tenang meski putrinya tak lagi menjadi bagian dari keluarga Adhitama. Paling tidak dia masih memiliki ba