Nadia cemburu melulu ya.
"Apa kamu sudah menemukannya?" Daniel yang baru saja turun dari mobil itu segera melayangkan pertanyaan pada asistennya.Dion yang sejak tadi menunggu hanya bisa tersenyum pahit karena dia tak menemukan apapun dan menggelengkan kepalanya perlahan."Maaf, Bos. Sayangnya tidak ada informasi apapun karena ternyata pelayan itu sudah pergi sekitar satu minggu yang lalu."Daniel yang mendengar itu seketika tampak mengerutkan keningnya karena dia ingat dengan jelas bahwa sekitar satu minggu yang lalu itulah dia memecat si pelayan penghianat.Jika terus mengingatnya dan menyusunnya secara runtut maka kejadian ini memang benar-benar sudah direncanakan dari awal.Hanya dengan memikirkannya saja telah berhasil membuat amarah pria itu kembali membara.Pandangan Daniel kembali mengarah tepat pada sebuah rumah yang kini tampak kosong dan dikelilingi oleh beberapa bodyguard-nya."Cari informasi lebih banyak lagi," perintahnya pada sang asisten dan langsung ditanggapi dengan anggukan patuh.Daniel se
"Kamu yang membuatku kecewa terlebih dahulu, Daniel. Apa kamu lupa betapa frustasinya aku ketika tubuhku ini hancur gara-gara melahirkan Sean?"Sembari menatap lekat mantan suaminya itu, Monica menyimpan harapan yang begitu besar karena dia tahu dengan jelas pria itu tak akan bisa berkutik lagi jika diingatkan kembali tentang masa lalu. Di dalam hatinya dia pun membatin, 'Aku yakin dia nggak akan bisa mengelaknya,' pikirnya.Namun Daniel yang mendengar itu semua justru mengerutkan keningnya. Dia memang tak melupakannya sama sekali, namun dia telah memberikan semua yang diinginkan wanita itu sebagai tanda kompensasi.Bahkan sampai beberapa saat yang lalu, Daniel tidak membahasnya sama sekali karena dia telah melupakannya.Tapi sekarang rasanya sangat berbeda karena Monica sudah kelewat batas dan wanita itu justru memanfaatkan kenangan masa lalu."Kamu ingat itu, bukan?""Ya," jawab Daniel. Pria itu mengangkat wajahnya dan menatap lekat mantan istrinya dengan ekspresi datar sambil berkat
"Kembalikan Sean? Jangan mimpi!" teriak Monica, napasnya memburu naik turun dengan raut wajahnya yang semakin memerah. Daniel yang mendengarnya hanya memasang wajah datar. Namun tatapan pria itu terlihat semakin tajam karena bicara secara baik-baik dengan mantan istrinya tak membuahkan hasil sedikitpun."Kalau kamu nggak mau menuruti permintaanku, jangan harap bisa memiliki Sean!" Dengan amarah yang masih meluap-luap, wanita itu kembali melontarkan ancaman sambil mengarahkan jari telunjuknya tepat mengarah ke wajah Daniel. "Tinggalkan gadis kampungan itu dan kembalilah bersamaku. Dengan itu, aku akan memberikan Sean."Mata Daniel menjadi keruh. Andai saja seseorang yang sedang berbicara dengannya saat ini bukanlah wanita, dia pasti sudah menghajarnya.Namun meskipun begitu, Daniel tak kehilangan akalnya sama sekali. Dia tahu kalau sebenarnya wanita yang tengah berhadapan dengan dirinya itu saat ini tengah berada diantara tekanan. Setelah menghela nafas perlahan untuk menenangkan dirin
"Dasar anak tak berguna!" Dengan nafas yang memburu naik turun karena marah, Bagaskoro kembali mengangkat tangannya dan berniat untuk melayangkan tamparan lagi. Bahkan Monica saat ini tampak memejamkan matanya sambil memundurkan tubuhnya sedikit dan mencoba untuk melindungi wajahnya dengan kedua tangannya. Namun setelah beberapa detik dia mencoba untuk memejamkan mata, tak ada satupun hal yang mendarat di wajahnya.Perlahan wanita itu mulai membuka matanya dan menyadari bahwa tangan ayahnya saat ini dicekal oleh Daniel. Monica yang melihat itu merasakan sedikit harapan dan berpikir bahwa mantan suaminya masih peduli padanya. 'Daniel ... aku tahu kalau kamu nggak mungkin meninggalkanku sendirian,' batinnya.Di saat dia tengah memikirkan itu dengan harapan yang semakin meluap di hatinya, Daniel yang sedang memegang erat tangan Bagaskoro itu seketika langsung menghempaskannya dan berkata, "Anda sudah mendengarnya sendiri, bukan?"Pria paruh baya itu memicingkan matanya dengan tajam, nam
"Diam!" bentak pria paruh banyak itu lagi. Dia memelototkan matanya sambil menambahkan, "Bukan Daniel yang telah membuat kesalahan, tapi kamu!"Tak ingin membuat perusahannya menjadi hancur karena ulah anaknya yang bodoh dan selalu bertingkah tanpa berpikir lebih dulu, Bagaskoro segera mengalihkan pandangannya pada Daniel. Wajah pria paruh baya itu tampak masam dan dengan cepat bicara, "Monica memang salah. Tapi, apa kamu lupa, Daniel?"Daniel mengerutkan keningnya, seolah bertanya kesalahan yang telah dilakukannya.Bagaskoro yang melihat itu segera menjelaskan, "Kamu pernah berjanji untuk tak menikah lagi, bukan?" Pria paruh baya itu kembali mengingatkan janji yang sempat dikatakan oleh mantan menantunya itu. Sebelum Monica dan Daniel bercerai, mereka berdua hanya memutuskan untuk hidup masing-masing dan tak akan menjalin hubungan lagi demi kebaikan Sean.Itulah sebabnya dia merasa tenang meski putrinya tak lagi menjadi bagian dari keluarga Adhitama. Paling tidak dia masih memiliki ba
"Hanya dengan beberapa lembar foto itu saja sudah bisa menghancurkan karir serta kehidupanmu," tuturnya lagi sembari melemparkan foto-foto itu tepat ke wajah Monica.Seketika raut wajah wanita itu berubah menjadi tegang dan pucat pasi ketika melihat foto-foto yang baru saja dilemparkan oleh Daniel.Bagaimana tidak? Di dalam foto-foto itu terlihat jelas kirinya menggandeng mesra seorang pria paruh baya yang tak lain adalah salah satu orang yang selalu mendukungnya dari belakang.Bagaskoro yang melihat itu pun seketika langsung menatap lekat putrinya dengan tatapan tajam dan bertanya, "Siapa pria itu? Apa kamu dan dia ... hah! Ayah nggak habis pikir!"Monica hanya terdiam dengan tubuh yang bergetar ketakutan. Dia telah mencoba untuk menyembunyikan fakta ini agar tak bisa diketahui oleh siapapun. Namun nyatanya dia tetap saja kecolongan dan Daniel bahkan telah mengetahuinya. Di dalam hatinya, wanita itu pun kembali berpikir, 'Sialan! Kok bisa ketahuan? Padahal aku selama ini main bersih,
'Dasar anak bodoh! Padahal Daniel udah memberi kesempatan, tapi dia masih aja bertingkah konyol!' batin Bagaskoro.Sembari menyimpan rasa kesalnya yang makin menumpuk itu, Bagaskoro melirik ke arah mantan menantunya yang kini terlihat semakin marah. Jantungnya berdetak makin kencang, merasa takut dengan jawaban yang akan diberikan oleh Daniel. Di dalam hatinya, pria paruh baya itu kembali membatin, 'Sial! Kalau kayak gini, perusahaanku benar-benar hancur.'Saat Bagaskoro tengah merasa cemas karena memikirkan itu, Monica kembali membuka suaranya dengan raut wajah yang terlihat tajam, "Kalau kamu memberikan tawaran yang menarik, aku akan melepaskan Sean."Pandangan Daniel semakin gelap dan pria itu segera berkata, "Suka ataupun tidak, aku tetap menginginkan Sean."Monica yang mendengar itu seketika langsung tertawa sinis. Dia memutar bola matanya dengan malas dan langsung melipat kedua tangannya di depan dada karena kali ini tak ingin kalah dari mantan suaminya. "Emangnya kamu bisa melak
"Ya, sudah. Bagimu Sean memang bukanlah barang, tapi bagiku dia sangat berguna. Dan, ya ... kamu tahu sendiri kalau aku tidak akan memberikan barang kesayanganku dengan cuma-cuma saja, 'kan?" Dengan suara pandangan matanya yang semakin tajam, wanita itu kembali menegaskan, "Aku tidak akan memberikan kesempatan dua kali. Kamu bisa memberikan semua keinginanku, atau mengikhlaskannya."Wajah Daniel tampak semakin gelap. Pria itu tak menjawab sama sekali dan langsung berbalik pergi meninggalkan mantan istrinya yang semakin menggila.Bagaskoro yang melihat itu seketika langsung panik dan mencoba untuk mencegah langkahnya sembari berkata, "Daniel, tunggu! Om akan mencoba membujuk Monica, jadi jangan bertindak gegabah!"Meskipun Daniel mendengar perkataan pria paruh baya itu, dia tetap bertingkah seolah tak mendengar apapun dan langsung berlalu pergi begitu saja.Bagaskoro yang melihatnya pun dengan cepat langsung menoleh menatap putrinya dan berteriak, "Monica! Kejar dia! Apa-apaan kamu, hah
"Bagaimana perasaan kamu? Apa sudah lega?" Daniel bertanya pada Nadia yang saat ini memakai gaun berwarna marron, yang membuat dia nampak elegan.Nadia menghela nafas panjang dan kemudian menarik kedua sudut bibirnya. "Tentu saja, rasanya plong banget!" ucapnya dengan mata berbinar.Daniel tersenyum lega juga, karena bahagia Nadia tentu bahagianya juga. "Aku nggak mau lagi keras kepala deh! Yang kamu bilang, memang bener banget!" Nadia kecuali berucap, dia menyesalkan kejadian di kampus. Jika saja dulu dia mengikuti perkataan Daniel, tentu kejadian memalukan dan menyesakkan di kampus itu tak akan pernah terjadi. Keras kepala Nadia ternyata berakhir dengan derita saat ini. Daniel mengacak sedikit rambut Nadia karena merasa sangat gemas saat itu. Tak ayal hal itu langsung membantu Nadia protes. "Duh jail banget sih!? Kalau sampai riasan ini rusak, kamu harus tanggung jawab!" seru Nadia kesal. Daniel malah terkekeh dan malah memencet hidung Nadia. "Salah sendiri menggemaskan! Nanti m
"Kak, aku ingin bicara sama kamu. Penting."Pagi itu, Nadia menemui Alvin ketika kelas belum dimulai.Alvin menarik sudut bibirnya, senyum manis terpancar disana. "Tumben. Ok! Mau kapan?"Dari raut wajahnya nampak jika saat ini Alvin merasa sangat senang.Pemuda itu pun sebenarnya bingung tetapi juga bercampur dengan rasa bahagia. Selama ini Nadia selalu saja menghindar darinya, tetapi kini malah sang gadis pujaan hati itu mengajaknya bicara. Ini bukan mimpi kan?"Sekarang! Ayo!" Nadia yang masih nampak kecewa dengan wajah seriusnya pun langsung berjalan tanpa memperdulikan banyak mata yang sampai saat ini masih nampak menatap sinis padanya. Tanpa banyak tanya lagi Alvin pun mengekori dari belakang."Lo mau ngajak gue kemana sih?" tanya Alvin ketika Nadia malah menuju ke area parkiran. "Kenapa ngobrolnya nggak di tempat yang privat aja?"Nadia mendengus kasar dan sesaat menoleh sebentar ke belakang. " Jangan banyak tanya! Bentar lagi sampai!" Kemudian dia pun meneruskan langkahnya.S
"Daniel! Mengapa kamu merahasiakan semua ini dari mama dan papa?" Ketika Daniel baru saja sampai di rumah, Martha dan Hendrawan pun langsung menghampiri putranya itu. Mengejar dengan banyak pertanyaan yang intinya mereka merasa tak suka jika Daniel terus menyembunyikan apa pun tentang Nadia."Rahasia ap---" Daniel mencoba mengelak karena memang sebenarnya dia belum mengerti, beberapa hal yang terjadi di kantor membuatnya harus sedikit melupakan tentang yang terjadi di rumah.Martha langsung memotong ucapan anaknya itu. " Nadia di teror dan difitnah seperti itu, tapi kenapa sepertinya kamu malah tenang tenang saja?" Wanita tua itu tak dapat menyembunyikan raut wajahnya yang khawatir. Nadia menghampiri ketiga orang yang masih berdiri di ambang pintu itu, ada rasa tak enak karena sang suami menjadi bahan kemarahan orang tuanya karena dia."Maaf, tadi aku memang sudah menceritakan semuanya pada Mama," tukas Nadia yang seperti biasa malah merasa bersalah.Daniel menarik kedua sudut bibir
"Apa aku sekarang juga harus mengatakan semuanya ya?" Nadia makin bimbang saat ini. Dua pilihan yang nyatanya membuat dia merasa sangat dilema. Pilihan A akan membuat semua orang di kampus mengetahui jati dirinya dan itu berarti akan membuat semua orang mengetahui jika dia bukan dari kalangan biasa. Tetapi dengan begitu justru akan membuat dia lebih tenang menjalani perkuliahan. Sedangkan pilihan B, dengan diam dan membiarkan semua orang menganggapnya misterius, justru mungkin akan membuat berita keliru itu semakin menjadi-jadi saja. Sempat terbersit dalam pikiran Nadia untuk tak lagi melanjutkan kuliah dan fokus pada keluarganya. Tetapi itu sama saja artinya dengan dia menghapus mimpi dan cita-cita yang dulu pernah dia pupuk semenjak kecil."Kenapa kamu terlihat sedih, Sayang?"Ketika Nadia sendang melamun seperti itu, terdengar suara lembut Martha. Sang mertua yang baik hati itu ternyata kini sudah berada tepat di sampingnya."Ah Mama." Dengan sigap Nadia pun langsung menyalami
Putri mengepalkan tangannya dengan arah ketika merasakan sesuatu mulai terbakar di hatinya. Dia tak terima sama sekali setelah mendengar perkataan Alvin dan itu sudah berhasil membuat hatinya sangat sakit."Kak Alvin kenapa masih belain dia? Nadia itu …" Putri merasa tak kuasa untuk melanjutkan ucapannya, dia hanya bisa menahan diri dan memalingkan wajahnya.Namun Alvin tahu dengan jelas apa yang ingin dikatakan oleh Putri dan dia dengan cepat pun langsung menegaskan segalanya sambil meraih tangan kanan Nadia. "Nggak peduli gimana masa lalunya, gue bakalan tetap suka sama dia dan perasaan ini nggak bakalan berubah," tuturnya.Nadia terlihat sedikit kaget ketika mendapatkan perlakuan itu dan tentu saja dia sekarang berusaha untuk melepaskan diri dari cengkraman Alvin.Perkataan Alvin barusan terlalu berlebihan dan mengisyaratkan bahwa dia akan melakukan apapun demi bisa mendapatkannya.Nadia merasa kalau ini semua tak benar dan dia harus kembali meluruskannya. Tapi yang paling penting
"Jangan bawa-bawa namaku untuk memvalidasi akal busukmu!"Putri dan Alvin seketika langsung menoleh, mereka berdua mendapati sosok Nadia. Nadia berjalan mendekat dengan langkah yang dipenuhi dengan amarah. Sudah cukup rasanya karena sejak tadi dia memang telah mendengarkan perkataan Putri dan itu sudah berhasil membuatnya merasa sangat kecewa karena sempat menganggapnya sebagai teman."Aku pikir kamu nggak pernah memiliki niatan buruk untuk menghancurkanku sampai seperti ini, Put. Aku pikir kamu benar-benar menganggapku sebagai teman. Tapi apa?"Putri terlihat kaget, tapi dia dengan cepat langsung mengelaknya. "Ngomong apaan sih?! Jangan–""Aku sudah punya buktinya dan aku bahkan juga tahu kalau kamu membayar seseorang untuk mencelakaiku, kan?" Bersamaan dengan perkataannya itu, Nadia segera memberikan bukti-bukti yang akurat dan menambahkan, "Aku nggak nyangka kalau kamu bisa bertindak seperti ini untuk menghancurkanku. Apa aku pernah melakukan kesalahan padamu?"Hubungan keduanya da
"Bawa orangnya ke hadapan Bos!" Dion segera memerintahkan setelah dia berhasil menangkap pelaku yang sedari awal memang dicurigai telah meneror Nadia.Dua pasang bodyguard yang memang sudah berhasil menangkap pelakunya itu pun segera mematuhi perintah dari Dion, mendekat ke sebuah kereta versi berwarna hitam pekat.Nadia dan Daniel sedari tadi sudah menunggu tepat di dalam mobil. Jantung Nadia terasa berdetak semakin kencang karena memang dia sangat ingin tahu pelaku yang telah tega membuatnya jadi dibenci banyak orang.Suara ketukan di kaca mobil telah menyadarkan Daniel dan Nadia. Daniel melirik ke arah sang istri sambil meremas tangannya perlahan karena dia tahu dengan jelas bagaimana perasaan Nadia. Dia mencoba untuk tetap kuat dan juga tegar sambil tersenyum tipis, "Semuanya pasti baik-baik aja, Nadia. Keinginan kamu terkabul dan kita berhasil menangkap pelakunya. Kamu sudah siap untuk melihatnya?""Iya," jawab Nadia dengan singkat. Pandangan matanya itu terlihat semakin tajam dan
"Itu orangnya! Bener kan dia? Wah gila … nggak nyangka banget kalau dia cewek kayak gitu," tutur salah satu mahasiswa sambil menatap Nadia dan memandangnya dengan tajam.Nadia yang kebetulan sedang melangkahkan kakinya setelah dia sampai di kampus itu pun tampak mengerutkan kening karena sadar saat ini menjadi bahan omongan.Ketika Nadia sedang merasa bingung seperti itu tiba-tiba saja seseorang menarik tangannya, membawanya ke tempat yang sedikit sepi."Kak Alvin? Lepasin!""Gue nggak bakalan lepasin lo di sini sebelum kita bisa bicara berdua," tolaknya. Alvin lantas mengedarkan pandangannya ke sekeliling dan sadar bahwa sekarang tak ada terlalu banyak mahasiswa yang sedang memperhatikan. Dia langsung berbalik untuk menatap Nadia dengan lekat dan berkata, "Lo … ngapain lo malah datang ke kampus?""Apa?" Nadia merasa bingung dengan pertanyaan yang baru dilontarkan oleh Alvin dan sontak saja dia mencoba untuk menepis tangan pria itu karena tak suka jika disentuh seenaknya. "Kenapa pula
"Cukup!" Putri langsung memotong perkataan Nadia. Napasnya memburu naik turun bersamaan dengan emosi yang semakin menggebu-gebu. "Padahal aku baru aja maafin kamu, tapi sekarang malah kayak gini lagi. Kalau kamu emang nggak percaya, mendingan kita nggak usah temenan lagi aja."Sesuatu terasa sakit di dalam hati Nadia karena memang selama ini temannya hanyalah Putri.Tapi dia tak mencegahnya sama sekali dan melepaskan cengkramannya dari pergelangan tangan Putri. Selalu meremas tangan kanannya sendiri dan menekan perasaannya sampai mengangkat kepalanya setelah sudah siap, "Maaf, aku harusnya emang nggak merasa curiga kayak gini. Tapi aku juga nggak akan memaksa kamu untuk tetap berteman denganku.""Oh?" Putri terlihat sedikit terkejut. Tapi dia kini tertawa sinis. "Harusnya dari awal aku dengerin perkataan teman-teman yang lain aja. Kamu emang nggak sepantasnya punya teman apalagi ada di kampus ini," tambahnya.Nadia seperti mendengar suara hatinya retak. Kenapa Putri sampai mengatakan h